Senin, 15 September 2014

Kiai Badrus (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Banjarmasin Post" edisi Minggu, 7 September 2014)

Pesantren al-Huda memendam keistimewaan tersendiri dibanding pesantren pada umumnya. Tiadalah segenap santri yang bermukim di sana dipungut rupiah sepeser pun. Malah, sejumlah santri yang mendarmabaktikan diri selaku santri ndalem, beroleh uang saku tiap kali pulang ke rumah. Pesantren yang ditanam pada tahun 1949 ini dirancang sebagai lembaga pendidikan umat. Dalam arti, siapa saja dapat belajar dan menetap di dalamnya.
Ialah Kiai Badrus, pendiri sekaligus pengasuh pesantren istimewa tersebut. Baginya, mereka yang berazam kuat dan niat tinggi dalam belajar namun kurang mampu dari segi finansial, tetap berhak meraup ilmu sebanyak-banyaknya. Himpitan ekonomi tidak lantas menerap orang menyerah dan merenggangkan diri dari ilmu. Sebab, dengannya, seseorang akan mengantongi kemuliaan di dunia dan akhirat.
Keramahan dan kedermawanan merupakan ciri utama yang melekat pada Kiai Badrus. Bahkan, jamak kali pengemis dan anak jalanan dipersilahkan menginap di rumahnya. Mereka terlihat sangat betah; makan gratis, mandi gratis, ngaji gratis. Dan karena berusul dari berbagai penjuru daerah, pertembungan di antara mereka merupakan langkah jitu dalam mempererat tali silaturrahim. Begitulah. Sudah menjadi tabiat manusia; nasib kembar mengantarkan mereka untuk saling menghargai satu sama lain.
Kiai Badrus menjelma bahan pembicaraan yang tiada habisnya. Seakan-akan, hampir tiada yaum tanpa berita kiai yang gandrung berpeci putih dan berbaju koko lusuh itu. Dan, desa Kasembon memerankan saksi atas kelebihan-kelebihan yang disandangnya. Tentang keistiqomahannya dalam mengaji dan mendidik santri. Tentang kekhusyukannya dalam shalat. Tentang kesungguhannya dalam berjuang di jalan Allah. Tentang kesantunannya dalam berkata-kata. Bukan sekadar itu, urita kesaktiannya juga berseliweran dan mendarat di telinga warga.
“Dengar-dengar, Kiai Badrus bisa terbang lho. Kemarin sore Mbah Kasmo melihatnya terbang di sawah.”
“Selesai shalat, di bawah sajadahnya pasti ada banyak uang. Bisa mencapai jutaan. Wah, senang ya. Kalau bisa sepertinya, tentu kubelikan lima kerbau.”
Itulah beberapa potong kata yang muncrat dari bibir Supri dan Jaelan saat berburu ikan mujair di irigasi.
Pula apa yang dituturkan oleh Mbah Sujak, renta berumur 70 tahun yang sempat menimbrung dalam mengusir Belanda dari tanah air. “Lha wong dulu kalau perang, dia gak pakai senjata. Orang-orang menenteng bambu runcing, ia malah bawa kacang hijau. Mbah kira kacang hijau itu buat bekal. Eee, ternyata kalau dilemparkan bisa meledak, kayak bom. Wong Londo ya kalang kabut.”
Pun, Kiai Badrus kesohor dengan istilah weruh sakdurunge winarah. Tak jarang, orang-orang yang berkonsultasi kepadanya dibuat takjub dan geleng-geleng kepala. Apa sebab? Tamu belum mengungkapkan permasalahan yang dihadapi, kiai satu ini lebih dulu menghibahkan solusi. Semisal halnya apa yang dialami oleh Busro, jejaka dari desa Kasembon. Setiba di beranda rumah sang kiai, pemuda yang sebentar lagi meminang pacarnya itu menggelesot santai dan menunggu beberapa orang yang masih sungkem kepada Kiai Badrus. Berniat menanti giliran, tiket konsultasi menyapanya lebih awal. “Cung, kamu mau nikah to? Ya, nikah aja gak apa. Nunggu apa lagi, keburu tua. Kalau belum punya mas kawin, ini ada uang tiga ratus ribu. Cukup, kan?”
Atau yang dikenyam Kang Diran, warga RT. 9 yang malamnya kemalingan motor. “Anu, Pak Kiai. Anu…”
“Anu apa? Di belakang ada kambing dua ekor. Jual dan bayar utangmu. Sisanya boleh kamu pakai kebutuhan sehari-hari. Honda-mu ikhlaskan. Gak usah dipikir. Bikin stres aja!”
Selain mengasuh berratus-ratus santri, Kiai Badrus juga menyampaikan pengajian saban malam Senin di aula. Loka besar yang berlantai dan berdinding kayu jati dengan atap seng itu memang didesain guna menampung jamaah. Pengajian dengan mendaulat kitab al-Hikam sebagai pokok bahasan tersebut dihadiri sekitar seribu orang; dimulai jam sembilan dan berakhir pada jam dua belas malam. Selepasnya, Kiai Badrus merebahkan badan sejenak, dan pada jam setengah tiga ia ajak para jamaah untuk qiyam al-lail serta merapal Ratib al-haddad dan wirid-wirid lain hingga menjelang shubuh. Sejurus kemudian, diiringi dengan hembusan sisa udara malam, mereka semua menunaikan shalat shubuh dengan Kiai Badrus sebagai imamnya. Paginya, sebelum beranjak, terlebih dahulu mereka disuguhi nasi berlauk ikan asin ditemani sambal terong.
“Kang, Kang. Kamu tahu to Kiai Badrus? Masa sehari cuma tidur dua setengah jam. Dulu aku kurang percaya sih. Tapi, kemarin, aku sendiri membuktikannya.” Kicau Sugik menyembur ketika ngopi di warung Mbok Minah. Bermalam dua hari dua malam di pesantren al-Huda nekat dilakoni, hanya demi mengecek celotehan keponakannya. 
***
Bulan Rajab kurang seminggu, Pak Kasdi mengkhitankan anak keduanya, Wahyudi. Semua saudara dan tetangga diundang, tak terkecuali beberapa sanak kerabat yang berpunca dari luar kota. Sebagaimana adat yang dipegang erat oleh tetua adat, mereka tinggal sekian hari di rumah Pak Kasdi. Selain beritikad membantu, biasanya mereka ingin meramaikan dan menyemarakkan acara. Sekeping mitos yang beredar, bahwa kian gaduh griya pemilik hajat, maka kian mulia pula ia di mata masyarakat.
Senin itu, jarum jam mendekap angka sepuluh. Dingin udara beserta pekat malam mengarak para tamu berpamit diri. Sepemakan sirih kemudian, sambil melendehkan kepala di kursi, Pak Kasdi membuka perbincangan.
“Di sini ada kiai yang hebatnya bukan main. Mana ada kiai seperti Kiai Badrus. Selain ilmunya luar biasa, tak mau pula ia sulap pesantrennya sebagai ladang pekerjaan. Pesantren mana yang gratis, tis, tis..! Pokoknya, besok kalau Yudi sudah sembuh, dia bakal kutitipkan di sana.”
Pakde Sampun mengimbangi. “Itu belum seberapa. Di tempatku, ada Kiai Syamsu. Bukan cuma punya pesantren gratis. Jamaah pengajiannya juga banyak banget. Kebetulan aku salah satu jamaahnya lho. Gak rugi deh. Habis ngaji, shalat wengi, eee paginya kita dapat sarapan. Hehe…”
Enggan kalah dengan dua pendahulunya, moncong Kang Parno mengalirkan kalam. “Wah, wah. Kalian kayaknya belum kenal siapa Kiai Nur. Bukan hanya seperti apa yang kalian ceritakan barusan. Ini kiai sakti mandraguna. Masa aku baru mau mangap, ia sudah ngomong duluan. Dan, karena waktu itu sawahku gagal panen, pulang-pulang aku dibawakan beras sekarung. Hebat tenan.”
Usai mewartakan tokoh idola masing-masing, mereka saling bertukar pandang. Tiada secuil kata pun menyembul. Jemari udara mengikat pita suara mereka dari dalam. Dalam benak mereka, apakah kiai yang dimaksud adalah kiai yang sama. Sebab, kiai yang diceritakan oleh mereka—menurut kabar yang beterbangan—sanggup membelah diri menjadi tiga. Ya, tiga. Kalau begitu, betapa banyak pahala yang mengendap di tubuhnya!  

Yogyakarta, 2011


Catatan:
      (1)   Santri ndalem (Jawa) = santri yang mengabdikan diri pada kiainya.
      (2)   Cung (Jawa) = panggilan untuk anak laki-laki yang lebih muda.
      (3)   Weruh sakdurunge winarah (Jawa) = mengerti sebelum diberi tahu.
      (4)   Wong Londo (Jawa) = orang Belanda.
      (5)   Qiyam al-lail = shalat wengi (Jawa) = shalat malam.
      (6)   Ratib al-haddad = dzikir-dzikir nabawiyyah yang disusun oleh Habib Abdullah al-Haddad.
(7) Tenan (Jawa) = sungguh.