Kamis, 13 Maret 2014

Puisi Menyihir Sahabat Nabi (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Merapi" edisi Minggu, 2 Maret 2014)

Dalam taraf tertentu, puisi bisa menjelma semacam sihir yang membuaikan. Ia sanggup membuat manusia terlena dengan kata-kata yang dihidangkan, imajinasi yang memesonakan, ilustrasi yang menghanyutkan, juga dunia baru yang menjanjikan. Akhirnya, puisi menjadi candu bagi mereka yang terbelenggu kehidupan duniawi dan mengkhayalkan keindahan surgawi.
Oleh dasar itulah, pada zaman Arab Jahiliyah, banyak orang terpana ketika seorang penyair mendeklamasikan sebuah puisi. Terlebih lagi, apabila puisi tersebut sengaja diperuntukkan bagi mereka. Sebagaimana halnya saat Zuhair Ibn Abi Sulma menyanjung kebesaran dan keagungan Haram Ibn Sinan. Bermodal kata-kata, Zuhair dengan lihai menggambarkan kehebatan dan kemuliaan pembesar negara tersebut. Saking gembiranya, Haram memberikan hadiah kepada Zuhair atas karya ciptaannya. Hal yang tak mengherankan, mengingat mayoritas ahli sastra Arab berpendapat bahwa puisi Zuhair Ibn Abi Sulma mengantongi beberapa kelebihan, semisal: singkat, padat, dengan bahasa mudah dicerna; melanting pujian sesuai dengan keadaan sebenarnya; serta tidak bersifat cabul. Selain itu, Kamal Yusuf (2009) mencatat, bahwa Zuhair dikenal sebagai penyair hikmah, yang puisi-puisinya memuat ajakan dan anjuran menuju kebaikan.
Bahkan Labid Ibn Rabiah, yang dianugerahi usia panjang serta suatu saat memeluk Islam, ketika masih kecil mampu membuat tercengang seorang penyair masyhur. Peristiwa ini menunjukkan bahwa bakat kepenyairannya sudah terendus sebelum memasuki usia dewasa. Sebuah riwayat menyebutkan, Labid pernah berjumpa dengan Nabighah dalam suatu majelis. Nabighah, penyair tersohor waktu itu, memperhatikannya. Ketika Nabighah mengatakan bahwa dalam diri Labid terpendam bakat puisi, spontan anak kecil tersebut berpuisi dengan baik. Nabighah menaruh takjub dan berkata bahwa Labid kelak menjadi penyair besar suku Qias. Prediksi itu terbukti dengan didaulatnya Labid sebagai salah seorang penyair yang sangat disegani.
Begitu pula ketika masyarakat Arab menghayati puisi-puisi gubahan Imru’ul Qais, Nabighah Zibyani, A’sya Ibn Qais, Amr Ibn Kaltsum, Tharfah Ibn ‘Abd, Al-Haris ibn Hilza, Abid al-Abros al-Asadi, juga Khansa’ yang bernama lengkap Tumadir bintu Amrin as-Syarib. Bagi mereka, puisi-puisi yang ditulis penyair-penyair di atas sanggup menyajikan ramuan yang menyebabkan orang mabuk kepayang.
Tidak berhenti pada masyarakat Arab pada umumnya, daya tenung puisi ternyata juga menyerang para sahabat Nabi. Sebut saja Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Adonis, melalui buku Ats-tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Itba ‘inda al-Arab yang diterjemahkan dengan Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam (LKiS, 2012), mengungkapkan bahwa Umar suatu hari mendengar puisi elegi karangan Mutammam bin Nuwairah terhadap saudaranya Malik. Pada waktu itu, Umar langsung terpikat dan memohon kepada Mutammam, “sungguh aku menginginkan engkau membuat puisi elegi untuk saudaraku seperti halnya kamu membuat puisi elegi untuk saudaramu”. Sesaat setelah Mutammam memenuhi permintaan untuk menulis puisi dukacita, Umar berkomentar, “tak seorang pun yang memberikan pelipur lara kepadaku seperti halnya yang ia berikan.”
Umar juga merasa kagum terhadap Zuhair Ibn Abi Sulma yang selalu berhasil memikat pembaca atau pendengar melalui puisi. Dua puisi berikut ini adalah contohnya:
Walau anna hamdan yukhlidu an-nasa akhladu #
                                                   Walakin hamdu an-nasi laisa bimukhlidin
(Andai pujian dapat mengabadikan manusia, mereka pasti mengabadikannya #
Akan tetapi, pujian terhadap mereka tidaklah membuat abadi)
Wa inna al-haqqa muqthi’uhu tsalatsun #
                                                   Yaminun au nafarun au jalaun
(Sesungguhnya kebenaran itu diputuskan dengan tiga hal #
Sumpah, memperkarakan atau mencari kejelasan)
Untuk puisi terakhir, sampai-sampai Umar menyempatkan diri untuk mengulang-ulang baitnya, sebagai rasa kagum atas pengetahuan Zuhair tentang kebenaran.
Adapun Ali bin Abi Thalib dalam menyikapi puisi, sebuah riwayat menuturkan bahwa suatu hari suami Fatimah tersebut ditanya mengenai siapa orang yang paling pandai dalam membuat ilustrasi. Lantas Ali menjawab bahwa orang tersebut adalah Abu Mihjan dengan ucapannya, “janganlah kamu (perempuan) bertanya kepada orang lain tentang hartaku dan berapa banyaknya”. Kalimat singkat ini begitu membekas dalam diri Ali. Sebab kekagumannya itulah, Ali berpendapat bahwa Abu Mihjan merupakan seseorang yang memiliki kelihaian dalam merangkai ilustrasi yang indah, didukung dengan tepatnya pernyataan.
Dari gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa sahabat Nabi pun merasa teror puisi ternyata dapat ‘menghantui’ jiwa manusia, sehingga menyelundupkan kritik, pencerahan, atau sekadar celoteh yang perlu ditularkan. Namun demikian, yang perlu dicatat yaitu tidak setiap puisi mampu menjalankan fungsi tersebut dengan baik. Barang tentu puisi para penyair matang yang rajin berpikir, berkontemplasi, merenung di atas riak-riak kehidupan. Pun tidak semua orang bisa tertimpa sihir puisi, kecuali mereka yang bersih pikirannya juga jernih perasaannya. Semoga kita bukan tergolong orang yang terlanjur mengidap “gila”. 

Yogyakarta, 2013

Puisi_Riza Multazam Luthfy (Terbit di majalah "Kalimas" edisi Januari-Fabruari 2014)

Kepala Sakti

tukang babat itu
tak pernah menghitung
berapa helai bulu
yang telah dipancung

setiap kali beraksi
ia hanya mengingat
bentuk kepala
tak sudi lihat wajah empunya

suatu hari
ada pelanggan istimewa

“kok aneh,
beda dengan kepala biasanya”

dengan memegang gunting
ia siap mengakhiri
riwayat bulu-bulu
yang sedang menunggu

setelah dua jam
tak ada perubahan

si kepala besar
tambah besar kepala
pasalnya,
bulunya kebal senjata

setelah ditelusuri,
ternyata banyak
utang luar negeri
yang diganyang sendiri

“pantas kepalanya sakti
sudah berulang kali
ia masuk bui”

Malang, 2010


Penentuan

kata,
kalau berani
ambil pisaumu

kita
selesaikan
di sini

agar
semua tahu
: siapa yang
dipinang oleh
 - puisi -

Malang, 2010


Kerja Baru

karena sudah
lama nganggur
aku ingin bekerja
padamu, bu!
           
            mengawasi burung ayah
            yang manggung
            di luar rumah

Malang, 2010


Sabtu, 01 Maret 2014

33 Angka Keramat? (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Republika" edisi Minggu, 23 Februari 2014)

Sebagian di antara kita percaya bahwa munculnya angka tidak berdiri sendiri. Dalam situasi dan kondisi tertentu, angka selalu berhubungan dengan hal-hal yang berada di sekitar. Dalam setiap fakta dan peristiwa, angka menjadi nilai, faktor, atau bahkan unsur yang sangat menentukan. Tak ayal, dalam perjalanannya, angka diklaim sebagai penyangga sistem, tradisi, atau kepercayaan yang turun-temurun.
Begitu besarnya perhatian terhadap angka, lahirlah numerologi, yang didefinisikan oleh Muharram H (2009) sebagai “ilmu pengetahuan yang didasarkan pada sudut pandang bahwa seluruh alam raya ini bergerak teratur menurut perhitungan tertentu, yang bisa dieksplorasikan dengan angka-angka”.

Malapetaka
Para numerolog berpendapat bahwa di balik kabar suka maupun nestapa tersimpan angka. Saat manusia merajut tali kebahagiaan ataupun sedang memeluk mesra penderitaan, angka bersembunyi di belakangnya. Namun demikian, yang kerap mengundang pergunjingan adalah ketika angka dituduh sebagai biang keladi atau kambing hitam atas kesedihan dan kepedihan yang berlarat-larat. Untuk hal ini, menurut saya, 33 menjadi contoh yang bagus sekaligus representatif. 
Angka 33 berhubungan dengan penderitaan dan nasib tragis umat manusia. Sebagaimana diramalkan oleh Jayabaya, tiga jaman akan dilalui oleh manusia (Kaliyuga, Kalisengara, serta Kalabendhu), yang berlangsung selama 33 tahun. Pada Jaman Kaliyuga, banyak orang pontang panting, susah, berpindah mukim, berjuang melawan bengisnya hidup serta terus menerus tertimpa kesengsaraan. Pada Jaman Kalisengara, orang-orang kebingungan, kesepian, negara kehilangan kewibawaan, para gadis kehilangan kehormatan, para lelaki kehilangan kekuasaan, ajaran kebaikan diabaikan, digenapi dengan pemandangan yang penuh iba. Adapun Jaman Kalabendhu diawali dengan bumi bergoncang, lautan bergelora, hujan salah musim, banjir bandang, tanah longsor, orang melupakan saudara sendiri, orang tua melupakan anak, begitu pula sebaliknya.
Mengenai hal ini, Arwan Tuti Artha, dalam buku Laku Spiritual Sultan; Langkah Raja Jawa Menuju Istana (Galangpress, 2009: 159) menyebutkan: “Jika membuka Serat Centhini, tarikh Masehi terbagi menjadi tiga zaman besar dalam kurun tujuh ratus tahunan untuk kemudian seratus tahunan dibagi lagi menjadi tiga 33 tahunan. Dengan pembagian tahun hanya tiga kali tujuh ratus tahunan, Jayabaya seolah-olah meramalkan, akhir zaman akan terjadi pada abad ke-21 ini.”
Peristiwa berdarah yang memenuhi buku-buku sejarah juga bersinggungan dengan 33. Di antaranya yaitu pembunuhan Presiden Amerika Serikat ke-35, John F. Kennedy. Sebagaimana dicuplik dalam berbagai diskusi dan blog pribadi, James Shelby Downard (1913-1998) yang menulis sebuah artikel bertajuk “Sorcery, Sex, Assassination and the Science of Symbolism” mencoba memberikan analisa mengenai kaitan antara kasus pembunuhan John F. Kennedy yang terjadi pada 22 November 1963 dengan letak geografis seputar pembunuhan tersebut. Ia berkesimpulan bahwa presiden yang mengawali kuliahnya di Harvard College itu tertembak ketika berada dalam limousin di Elm Street, Dallas, sebuah kota yang berada di dekat 33 Lintang Utara.
Bagi Anda, para pelahap gosip, barang tentu mafhum bahwa aktor dan produser film yang genap memenangkan tiga kali penghargaan Golden Globe Award, Tom Cruise, menduga bahwa 33 adalah wujud kesialan dalam hidupnya. Bagaimana tidak, bahtera rumah tangga yang diarungi sebanyak 3 kali ternyata harus berakhir kandas berhubungan dengan 33. Baginya, barangkali bukan sebuah kebetulan, jika robohnya fondasi kebahagian yang telah ia bangun dengan segenap usaha dan cinta selalu memiliki keterkaitan dengan angka tersebut. Baik aktris Mimi Rogers (dinikahi tahun 1987), aktris Nicole Kidman (dinikahi tahun 1990), maupun aktris Katie Holmes (dinikahi tahun 2006), bercerai dengan Tom Cruise dalam usia yang sama: 33 tahun!
Angka 33 memberikan kenangan pahit dan suram bagi perjalanan hidup salah satu aktor tersukses di Hollywood yang memulai karier aktingnya sejak era 1980an tersebut. Sepertinya, demi sekadar meraih puncak kebahagian dalam ikatan keluarga, ia harus berjuang melawan kesialan yang ditimpakan angka 33. Dunia boleh berseloroh bahwa ia tersohor lewat peran-peran suksesnya dalam film Risky Business (1983), Top Gun (1986), Mission: Impossible (1996), Mission: Impossible II (2000), Mission: Impossible III (2006), Jerry Maguire (1996), Vanilla Sky (2001), The Last Samurai (2003), War of the Worlds (2005) juga dalam Mission: Impossible IV (2012). Akan tetapi, kegagalan dalam rumah tangga seakan meruntuhkan kesempurnaan akting serta sejumlah capaian besarnya.

Numerologi
Akhir-akhir ini, banyak yang merasa was-was dengan pemberitaan media. Bukan hanya terhadap penyanyi dangdut yang digadang sebagai kandidat presiden sebuah partai, Ratu Atut yang mulai kisruh di penjara, atau Anas yang menyerahkan diri ke KPK, tetapi juga buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" yang belum lama ini diluncurkan namun mengalami beragam penolakan.
Publik sastra yang tidak setuju dan merasa terganggu dengan penerbitan buku tersebut beramai-ramai meluncurkan petisi yang di antaranya berisi: pertama, buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" harus dicabut dari peredaran. Kedua, anggota Tim 8 sebagai penyusun dan kurator (Maman S Mahayana, Agus R Sarjono, Acep Zamzam Noor, Jamal D Rahman, Joni Ariadinata, Nenden Lilis A, Berthold Damhuser, dan Ahmad Gaus) harus meminta maaf secara terbuka kepada bangsa Indonesia. Tuntutan ini merupakan bentuk perlawanan terhadap kejahatan literasi berwujud "kebohongan menyesatkan" dengan menempatkan Denny JA, sebagai "Tokoh Sastra Paling Berpengaruh" di Indonesia.
Bagi mereka, Denny JA tidak memiliki kontribusi penting terhadap perkembangan sastra Indonesia. Ia sekadar menggemborkan puisi-esai, kerap mengadakan perlombaan bertabur hadiah, serta rajin mempublikasikan eksistensi dengan cara merangkul para sastrawan dan kritikus sastra yang bisa dibeli. Padahal, sebenarnya masih banyak sastrawan bernas yang belum ter-cover dalam buku ini. Misalnya Sitor Situmorang, Umar kayam, juga Ahmad Tohari.
Saya sih tak perlu pusing dengan sibuk menuding bahwa peristiwa miris di atas merupakan hasil rekayasa sosial, politisasi, ataupun imbas berkepanjangan dari “demokrasi wani piro”. Saya juga tidak mungkin memprediksi angka 33 dalam judul buku rentan memancing musibah besar dalam jagat sastra Indonesia. Saya hanya menerka: Tim 8 sedang memanjatkan doa agar 33 sastrawan yang didaulat sebagai tokoh sastra paling berpengaruh—termasuk Denny JA barang tentu—kelak menikmati surga tanpa harus direcoki masa tua. Anda tahu, menurut Al-Ghazali, penghuni surga selalu berusia 33.

Yogyakarta, 2014