Selasa, 29 September 2015

Hak Anak di Permukiman Kumuh (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Sinar Harapan" edisi Selasa, 29 September 2015)

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sedang fokus menata permukiman kumuh. Tentu hal ini segaris dengan keputusan pemerintah pusat yang menargetkan Indonesia bebas permukiman kumuh pada 2019. Saat ini, luas kawasan kumuh sekitar 38.431 hektar. Ironisnya, pelayanan kota urung menyentuhnya, baik sarana bermain, fasilitas kesehatan, air minum, listrik, sistem pembuangan sampah, maupun fasilitas pelayanan mandi, cuci, kakus (MCK).
Munculnya permukiman kumuh di perkotaan tentu menjadi penghambat bagi pertumbuhan psikologis anak. Kawasan kumuh hanya akan membuat ruang dan waktu bermain mereka terganggu. Padahal, anak-anak bisa tumbuh dengan sempurna jika diberi kesempatan yang cukup untuk menikmati dunia mereka. Betapa sejak kecil, keriangan dan kegembiraan mereka kerap terampas oleh beragam kepentingan. Sistem kapitalistik telah membuka ruang yang demikian lebar, sehingga gejala-gejala kekerasan psikis dan sosial terhadap anak-anak semakin mudah ditemukan.
Berdasarkan konsep demokrasi, pemerintah dituntut berperan aktif dalam menjaga ruang publik yang sehat dengan menghormati kebebasan anak-anak dan tidak membiarkan mereka terombang-ambing dalam permainan politik identitas. Sayangnya, pemerintah tak mempunyai taring untuk menghentikan berbagai perilaku yang merusak mental generasi muda. Berbagai produk hukum terbukti kurang efektif menggawangi masa depan mereka.
Dalam dunia anak-anak, bermain bukanlah sebuah kegiatan sia-sia yang menghabiskan waktu. Melalui bermain, mereka dapat belajar berekspresi, meningkatkan kecerdasan emosi, mengembangkan daya kreativitas, memupuk kepercayaan diri, serta mengatrol antusiasme belajar. Hal yang tidak kalah penting, pergaulan sosial mereka bisa terbangun sejak dini. Bagaimanapun, bermain dapat melatih anak-anak bersosialisasi, di mana perbedaan identitas kultural tidak menjadi prasyarat berteman. Dengan bermain, anak-anak dapat memperjuangkan semangat kolektivitas yang ditopang oleh rasa cinta, empati, kerja sama dan toleransi. Dengan demikian, keterampilan sosial dan tanggung jawab sosial dapat terasah dengan baik.
Lingkungan kumuh menjadi ancaman bagi anak-anak dalam mempelajari dan memaknai kehidupan. Lingkungan kotor, anti-sehat, dan kurang menyenangkan menjadi batu sandungan bagi mereka yang ingin mengembangkan potensi. Padahal, lingkungan salah satu pendukung proses pembelajaran anak yang meliputi bermain, berekspresi, berinovasi, serta bereksperimentasi. Lingkungan merupakan wahana bagi anak-anak untuk mampu berpikir merdeka dan kreatif. Adanya permukiman kumuh di perkotaan menunjukkan bahwa perlindungan terhadap anak-anak kurang terpenuhi. Kebebasan mereka mengekspresikan diri kurang mendapat porsi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu menciptakan mekanisme pengamanan dalam rangka menjamin anak-anak supaya terbebas dari berbagai bentuk kezaliman.
Selama ini, anak-anak dianggap sebagai aset dan komoditas empuk. Barang tentu persepsi seperti ini berpotensi mereduksi hak anak-anak. Segala macam bentuk diskriminasi dihalalkan, asal mendatangkan keuntungan politis, sosial, serta finansial. Potret hitam masa depan anak-anak di negeri ini terekam jelas dari ragam kekerasan yang menimpa mereka. Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Anak) membeberkan bahwa sepanjang 2010-2014, jumlah kekerasan terhadap anak cenderung signifikan. Berdasarkan pusat data dan informasi (Pusdatin) Komnas Anak, terdapat 21.689.797 kasus pelanggaran anak yang tersebar di 34 provinsi dan 179 kabupaten/kota.
Boleh dibilang, data ini menunjukkan gagalnya pemerintah, masyarakat, serta orang tua melindungi serta menghargai hak anak-anak Indonesia. Padahal, pemerintah telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Konvensi tersebut seharusnya menjadi pijakan awal dalam mewujudkan proses pembelajaran berbasis hak anak (child rights-based approach of education). Termasuk juga melindungi anak-anak dari kekerasan fisik, mental, dan seksual. UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UUPA) sebenarnya melarang setiap orang membiarkan anak-anak tanpa perlindungan. Apa pun alasannya, mereka tidak boleh ditelantarkan. Semangat utama konvensi dan regulasi ini mengandung upaya penyadaran dan peringatan bagi siapa saja untuk mengutamakan kepentingan anak-anak.

Hak Hidup
Sesungguhnya anak-anak dibekali dengan hak hidup, bertahan, serta mengembangkan diri. Anak-anak membutuhkan lingkungan yang menghargai eksistensi mereka dan menjamin pengembangan diri mereka secara holistik. Perkembangan anak-anak ditopang oleh iklim dan ekosistem yang kondusif. Dengan lingkungan yang bersih dan sehat, potensi mereka bisa dikembangkan secara dinamis.
Masih banyak anak di permukiman kumuh yang belum sepenuhnya menikmati hak-hak fundamental mereka. Beragam ketimpangan dan kepentingan justru menyudutkan mereka sebagai “anak tiri” di negeri sendiri. Menanggapi fenomena ini, harus ada ikhtiar serius mengembangkan mekanisme penyelamatan anak-anak.
Baik pemerintah, masyarakat, maupun orang tua, dituntut mampu menjamin kesempatan yang sama bagi setiap anak untuk menikmati hak-hak mereka dengan leluasa. Penghormatan atas martabat mereka salah satu indikator utama negara dinyatakan sehat. Kasus-kasus pelanggaran hak anak selayaknya direspons secara proporsional, sehingga anak-anak terhindar dari segala bentuk tindak kekerasan (child abuse) dan diskriminasi.
Pemerintah dituntut bersikap responsif, berpikir inovatif, dan bertindak kreatif dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat di lingkungan permukimah kumuh. Pemerintah harus membangun infrastruktur dan reproduksi sosial bagi anak-anak, seperti fasilitas pengasuhan, crisis centre dan shelter, pusat kesehatan, air bersih, subsidi pangan bergizi dan energi, serta lingkungan huni sehat. Pemerintah bisa menggandeng swasta dalam memperbaiki permukiman kumuh melalui program-program CSR perusahaan yang mengemban misi sosial.

Bojonegoro, 2015

Kamis, 17 September 2015

Konservasi Peninggalan Bersejarah (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Kamis, 17 September 2015)

Berusaha membangkitkan kepedulian sejarah di kalangan muda, 23 anggota Forum Pemuda Peduli Sejarah Karawang (FPPSK) bersama-sama membersihkan kantor bekas Kewedanaan Rengasdengklok, Jawa Barat. Bangunan bersejarah yang berdiri pada tahun 1920-an tersebut kurang terawat. Padahal, dia menjadi tempat  berkibarnya bendera merah putih untuk pertama kali.
Boleh jadi, secara arsitektural, bangunan ini kurang istimewa, tapi menjadi  “tinta emas” yang mengabadikan riwayat panjang kebudayaan bangsa. Sejarah kemerdekaan berkaitan dengan Rengasdengklok. Penyusunan teks proklamasi memanfaatkan rumah seorang Tionghoa bernama Djiaw Kie Siong di sebuah kecamatan di Kabupaten Karawang tersebut.
Wilayah yang dulu merupakan kecamatan Rengasdengklok (Raya) ini menjadi  saksi bisu penculikan Soekarno dan Hatta oleh sejumlah pemuda, antara lain Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh dari perkumpulan Menteng 31. Mereka menginginkan agar proklamasi dilaksanakan secepatnya tanpa melalui PPKI yang dituduh sebagai boneka Jepang.
Peristiwa  16 Agustus 1945 ini memancing kesepakatan antara antara golongan tua yang diwakili Soekarno, Hatta, serta Subardjo dengan  kaum muda tentang waktu  proklamasi. Orang muda khawatir  kemerdekaan dianggap sekadar pemberian Jepang. Mereka yang sebelumnya berunding di salah satu lembaga bakteriologi di Pegangsaan Timur Jakarta memutuskan, pelaksanaan kemerdekaan dipisahkan dengan segala janji kemerdekaan dari Jepang.
Berdasar kesepakatan inilah, keesokan harinya, pada tanggal 17 Agustus 1945, proklamasi dikumandangkan. Teks diketik Sayuti Melik menggunakan mesin ketik kantor Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jerman. Akhirnya kedaulatan Indonesia atas segala bentuk kolonialisme dan imperialisme dikukuhkan.
Penelantaran situs-situs bersejarah sungguh disesalkan karena menunjukkan bahwa bangsa tidak peduli dan seolah berpaham anti-kebudayaan. Bangunan-bangunan yang turut menguatkan sendi-sendi peradaban berantakan, dilahap  waktu. Akibatnya, sejumlah peninggalan  lambang kebesaran peradaban terbengkalai, bahkan tidak berbekas.
Contoh, Wisma Samudera di Toboali, Bangka Selatan  sangat memprihatinkan. Kondisi  persinggahan Soekarno ini terbengkalai. Atap rusak dan dinding kotor. Catnya juga terkelupas. Aksi vandalisme membuat gedung yang pernah menjadi kantor pemerintah Belanda tersebut penuh coretan. Bahkan, beberapa tahun silam, seorang pengusaha nekat menjadikannya sebagai sarang burung walet. Hal ini memperlihatkan bahwa gedung-gedung bersejarah belum sepenuhnya dimanfaatkan. Padahal, di balik fisik bangunan yang sebagian sudah hancur dan rusak, tersimpan nilai-nilai yang perlu dilestarikan.
Kemudian, pencurian empat benda artefak purbakala berlapis emas raib dari Museum Nasional atau Museum Gajah, Jakarta Pusat, dua tahun lalu. Benda-benda tersebut merupakan temuan abad ke-10 dan ke-11 warisan Kerajaan Mataram Kuno. Keempat artefak bernilai puluhan miliar rupiah ini berupa lempengan emas, lempeng bulan sabit beraksara, wadah berbentuk cepuk, serta lempeng harihara yang tersimpan di lemari kaca di ruang Khasanah lantai dua gedung lama museum.
Yang tak kalah serius, raibnya beragam manuskrip seperti lontara, babad, tambo, hikayat, dan naskah keagamaan abad ke-16 hingga  18 dalam jumlah yang relatif besar setiap tahun. Benda-benda pustaka tersebut merupakan khazanah pengetahuan yang menjadi bahan kajian beberapa universitas dan lembaga ilmu pengetahuan  dunia. Ironisnya, di negeri sendiri, benda-benda berharga ini tak diurus  (Paeni, 2014).
Hilangnya aset-aset budaya menunjukkan, bangsa  kurang menghargai warisan pejuang. Kesadaran historis rendah, sehingga  situs-situs bersejarah diabaikan. Kekayaan peradaban bangsa  dalam  tata nilai,  etika dan  ekspresi budaya berserak di mana-mana.

Rekonstruksi
Selama ini, situs-situs bersejarah tak terawat karena tak ada  manajemen dan konservasi koleksi. Keamanan dan database lemah. Ini sejalan ketidakseriusan negara  memperhatikan masa depan peradaban. Banyak program dan kebijakan yang diluncurkan cenderung sekadar perayaan (celebration). Bebagai kasus penistaan terhadap aset bersejarah di Tanah Air tidak pernah menjadi pelajaran. Masyarakat juga kurang  empati pada situs-situs bersejarah.
Jika tidak ada upaya penyelamatan, situs-situs bersejarah dikhawatirkan menjadi puing-puing tidak bernilai. Pemerintah  hendaknya mengagendakan konservasi warisan peradaban yang telah rusak.
Pemugaran secara bertahap terhadap koleksi cagar budaya perlu dilakukan demi menyelamatkan peradaban. Warisan budaya yang bersifat kebendaan seperti cagar, bangunan, situs, maupun kawasan budaya jangan sampai punah. Warisan tersebut memiliki arti dan kontribusi penting perkembangan sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, serta kebudayaan itu sendiri.
Jejak-jejak peradaban nenek moyang harus dihargai seperti  mengelola deposit bangsa. Eksistensi peradaban dalam suatu wilayah komunal-regional jangan sampai tergadai pada  modal yang menjadikannya barang dagangan demi kepuasan sesaat. Warisan budaya jangan jatuh ke tangan kaum pragmatis yang menilai segala sesuatu dalam bingkai komoditas ekonomis.
Sebaliknya, ikhtiar pelestarian peninggalan bersejarah mesti diwujudkan dengan mengedepankan kolektivitas yang telah menjadi etos laku para pendahulu. Dengan demikian, budaya difungsikan sebagai medium transformasi nilai-nilai luhur, kearifan, dan kebijakan yang menjadi penguat ikatan sosial masyarakat.
Upaya rekonstruksi sejarah harus digenapi dengan pendokumentasian  peninggalan fisik dan karya pemikiran dalam bentuk media digital dan buku referensi. Dengan mengetahui sejarah, niscaya karakter kebangsaan bisa terbentuk. Jangan sampai situs bersejarah tidak bermakna bagi generasi mendatang, apalagi sekadar menjadi bagian dari masa lalu (a thing of the past) lantaran kegagalan pemerintah memeliharanya.
Artefak-artefak kuno berjasa penting bagi perkembangan arkeologi Indonesia. Maka  yang  tersisa selayaknya difungsikan sebagai objek wisata. Selain mewariskan pengetahuan, akan  memperkuat ikatan emosional warga, sehingga semua lapisan masyarakat memiliki cara berpikir historis (berkesadaran sejarah). Dengan demikian, peluang ditegakkannya tiang negara-bangsa (nation-state) semakin terbuka lebar.
Sebuah bangsa yang besar, mengutip Endang (2013), senantiasa mencurahkan apresiasi terhadap warisan sejarahnya. Kesadaran sejarah bangsa terbentuk dari  ruang dan waktu di mana  pemahaman  hakiki  masa lalu berkontribusi besar dalam membangun masa depan.

Bojonegoro, 2015

Memangkas Alur Tawuran (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Kamis, 17 September 2015)

Diberitakan, puluhan pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) terlibat tawuran di Sukabumi, Jawa Barat. Penyebab bentrokan tersebut belum diketahui, namun seorang pelajar terluka di bagian wajahnya. Diduga, tawuran tersebut direncanakan beberapa hari sebelumnya. Belasan pelajar dari salah satu sekolah menggunakan kendaraan roda dua memenuhi terminal Lembursitu. Beberapa saat kemudian, muncul gerombolan pelajar dari sekolah lain.
Rasanya di negeri ini, sudah tidak asing lagi berita mengenai insiden kekerasan oleh para pelajar. Kekerasan seolah menjadi berita biasa bagi warga negara. Kekerasan menjadi menu isu sehari-hari bagi siapa saja. Sepertinya tiada lagi jalan lain yang bisa ditempuh selain melalui jalan kekerasan. Kekerasan menjadi salah satu cara terbaik guna menyelesaikan persoalan. Apabila hal ini dibiarkan, maka tak ayal akan terjadi kekerasan-kekerasan serupa, bahkan lebih parah, yang menjalar pada beragam aspek kehidupan.
Data Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebutkan bahwa jumlah kekerasan antar pelajar meningkat tiap tahunnya. Tahun 2014 lalu, terdapat 2.737 kasus dengan kenaikan 10 persen dibanding tahun sebelumnya. Tahun 2015 ini, angka kekerasan dengan pelaku anak-anak, termasuk tawuran antar pelajar, diprediksi meningkat sekitar 12-18 persen. Angka kasus tawuran yang terus melonjak dikhawatirkan dapat menjadikan tawuran sebagai trend baru bagi para pelajar. Tawuran bukan dipandang lagi sebagai aksi kekerasan yang sangat membahayakan, melainkan gaya hidup yang layak dicoba.  

Beberapa Sebab
Para pakar sosial, mengutip Musni Umar, mengemukakan bahwa tawuran pelajar memiliki beberapa sebab. Di antaranya yaitu karena lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang kurang sehat. Ketiga lingkungan ini berandil besar dalam membentuk karakter pelajar. Sebaik apapun lingkungan sekolah, kalau tidak didukung keharmonisan dalam keluarga maupun masyarakat, tentu akan melahirkan dampak negatif. Begitu juga dengan ketidaknyamanan yang dirasakan ketika pelajar berada di sekolah. Hal inilah yang memicu mereka untuk meluapkan kekesalan mereka. Celakanya, jika mereka memilih tawuran sebagai jalan merealisasikan luapan kekesalan tersebut.   
Di samping ketiga lingkungan di atas, faktor lingkungan sosial, ekonomi dan politik juga sangat berpengaruh. Saat para pelajar hidup dan bergaul dalam lingkungan yang kurang mampu memberikan kedamaian, ketenangan serta harapan, mereka mudah mengalami depresi dan stres. Dalam hiruk-pikuk kehidupan sosial, ekonomi dan politik Indonesia yang tak menentu, kalangan pelajar bisa menjadi korban. Mereka terbawa arus ketegangan, kegaduhan, dan kekurangramahan. Guna menghilangkan gangguan perasaan jiwa tersebut mereka melampiaskannya antara lain dengan tawuran.
Yang menjadi keprihatinan yaitu pelajar pelaku atau korban tawuran justru disalahkan dan menjadi bahan gunjingan, sehingga mereka merasa tertekan. Para orang tua, pihak pendidik, ataupun anggota masyarakat menilai bahwa tawuran merupakan kesalahan murni yang telah mereka lakukan. Padahal, bila ditelisik lebih dalam, terjadinya tawuran tak boleh dilepaskan begitu saja dari faktor eksternal yang ada. Inilah yang menjadikan kasus tawuran tidak memperoleh tindak lanjut yang memadai.

Penyakit Sosial
Fenomena tawuran para pelajar mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia sedang didera penyakit sosial yang akut. Penyakit yang apabila tidak segera ditangani akan menyebabkan hilangnya jati diri. Oleh karena itu, ada dua langkah yang perlu diemban. Pertama. Melahirkan sosok inspirator. Para pelajar membutuhkan suri teladan dalam menelusuri kehidupan. Orang tua, guru, tokoh masyarakat, serta public figure harus mampu memberikan contoh yang patut ditiru oleh mereka. Bukan kekerasan yang seringkali ditampilkan, semisal tindakan guru menghukum anak didiknya terlalu berlebihan atau kericuhan anggota DPR dalam persidangan.
Kedua. Menanamkan rasa cinta kepada sesama. Para pelajar diberikan pengertian tentang pentingnya arti cinta. Cinta di sini bukanlah cinta dalam arti sempit, yang justru kerap disalahgunakan. Dalam istilah Erich Fromm disebut “cinta produktif”, sebuah cinta yang memberi ruang kebebasan, penghormatan bagi yang dicintainya tanpa ada penindasan ataupun penjajahan. Hal ini diperlukan kerjasama semua pihak untuk mewujudkannya. Di antaranya, pihak kepolisian mendatangkan psikolog untuk memberikan pengarahan kepada para pelajar yang terlibat tawuran.
Dengan langkah tersebut, diharapkan fenomena tawuran antar pelajar di negeri ini secara berangsur-angsur bisa dihilangkan. Semoga.

Bojonegoro, 2015

Minggu, 13 September 2015

Etos Literasi dalam Bundel Esai (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Jawa Pos" edisi Minggu, 13 September 2015)


Judul: Cuilan
Penulis: Bandung Mawardi
Terbit: September 2015
Penerbit: Bilik Literasi Solo
Tebal: 60 halaman

“Menulis dengan wagu dan lugu”. Barangkali itulah slogan yang selama ini menghidupi dan dihidupi Bandung Mawardi, esais moncer yang tulisan-tulisannya kerap menghiasi media massa lokal dan nasional.
Di tangannya, beragam tema digarap dengan serius, kritis, tanpa berpretensi menggurui. Ia seakan memiliki insting untuk menghormati dan menghargai pembaca yang enggan “didikte”.
Produktivitas Bandung seakan tiada habisnya. Boleh dibilang, ia adalah generasi penulis yang mengawat erat prinsip kepenulisan dengan segala suka dan dukanya. Dengan teguh, ia membangkitkan budaya literal yang pernah menjadi nafas kebangkitan nasional.
Hingga detik ini, ia mengelola Pawon, komunitas sastra yang bertujuan menjaga spirit sastra dan menjadikannya sarana komunikasi massa. Dalam sebuah perbincangan, pendiri Sekolah Bahasa Indonesia di Kediri ini bertutur, “kami ingin memasyarakatkan sastra dan menyastrakan masyarakat. Ini memang terdengar memaksa, tetapi sebenarnya hal ini memang kami anggap perlu.”
Ia juga terlibat di Jagat Abjad, komunitas partikelir-nirlaba yang melahirkan karya-karya bernas dan berkualitas. Bisa jadi, ia menduplikasi konsep dan corak budaya literal yang menjadi akar gerakan kebangsaan para pelopor kebangkitan dan kemerdekaan, mulai dari Soekarno, Sjahrir, hingga Tan Malaka.
10 esai dalam buku ini mengukuhkan, Bandung adalah aktivis literasi yang getol memperjuangkan nasib aksara. Dari jejak karyanya, dapat dilacak bahwa ia termasuk pegiat sekaligus penulis yang berhasrat memuliakan aksara. Menghindar dari kesan heroik, bahasanya lembut dan “tidak meledak-ledak”. Tulisannya kerap memanfaatkan kehalusan bahasa, agar bisa dinikmati semua kalangan.
Bandung sanggup menulis dalam terminologi ekonomi, politik, hukum, sosial, sejarah, dan budaya dengan apik dan menarik. Esai “Beras” mengisahkan penjajahan yang begitu menyengsarakan.
Saat beras sedang langka, rakyat dipaksa menyetorkan beras ke Jepang. Menahan lapar, rakyat diwajibkan menopang kebutuhan pangan para tentara sebelum bertempur di medan perang. Ketika India mengalami krisis pangan, Soekarno menerapkan “politik beras” dengan mengajak rakyat mengumpulkan beras demi menghapus penderitaan.
Di kaca mata dunia, kebijakan ini turut mengukuhkan penghormatan atas kedaulatan Indonesia. Akan tetapi, pada masa 1960-an, Soekarno tak sanggup menjamin ketersediaan beras bagi jutaan orang. Kelaparan ternyata mampu merapuhkan kekuasaan. Meski presiden pertama RI tersebut sanggup menggaungkan revolusi, beras justru tercecer. (halaman 40-41).
Dalam esai “Tanda Tangan”, Bandung berpandangan bahwa sejarah negeri ini bermula dari tanda tangan. Orang-orang Eropa memerintah pribumi membuat tanda tangan di atas kertas demi pemenuhan hasrat kolonialisme dan kapitalisme. Betapa tanda tangan memainkan peranan penting dalam kesepakatan berkekuatan hukum dan politis. (halaman 13).
Ia bisa mengangkat hal-hal tabu dengan kesan wagu dan lugu. Esai “Nisan” menyebutkan, adanya nisan para penggerak politik kebangsaan mengandung seruan merenungi ide dan imajinasi Indonesia. Di kuburan massal korban G30S/PKI, rakyat diajak untuk bersama-sama membuka tabir misteri.
Pemasangan nisan merupakan ikhtiar penghormatan jenazah. Mengunjungi kuburan berarti ziarah bersejarah, di mana nisan berfungsi sebagai tanda dan tata ingatan. (halaman 9-10).
Dengan analisis mendalam, tulisannya tentu memuaskan kaum intelektual dan kalangan akademis. Apalagi, ia memanfaatkan referensi terpercaya karya pakar-pakar ternama, semisal Cindy Adams, R. Sasrasoeganda, Robert van Niel, Max Karundeng, Rm. S. Tri Tjondrokusumo, Robert Adhi, Lambert Giebels, Alfred Wallace, Thomas Stamford Raffles, Rudolf Mrazek, juga Harriet W. Ponder.
Yang membedakan Bandung dengan penulis lain adalah ketelatenannya memungut sejumlah arsip “tempo doeloe”. Dalam esai “Kantor”, ia mengutip harian Medan Prijaji edisi Sabtu, 5 Februari 1910.
Barang tentu di samping memperkuat data, arsip-arsip lama mendatangkan semacam klangenan masa silam. Berbekal kliping koran, majalah, serta buku usang, Bandung sanggup menghidangkan nostalgia bagi pembaca.
Apa yang dilakukan Bandung menyimpan etos literasi yang mencerahkan kehidupan. Tulisan-tulisannya mengandung ruh perlawanan terhadap menjamurnya budaya pop (popular culture) yang cenderung simbolis, atributif, materialistis, juga serba-artifisial. Bundel esai dalam buku ini mencoba merespons pesatnya peradaban maya (illusion). Generasi masa kini lebih gemar berselancar di jejaring sosial sebagai ajang rekreasi, ekstase, dan selfie ketimbang menikmati sebuah buku. Mengakrabkan diri dengan buku seolah menjadi tindakan asketis yang dihindari oleh kaum modern.
Sayangnya, kenikmatan pembaca harus terganggu saat menemukan beberapa halaman yang “kurang edit”, antara lain 12, 16, 19, 30, 31, 38, dan 55. Namun demikian, hal ini tak lantas mendegradasi Bandung dari jajaran esais yang berkontribusi besar mendorong pertumbuhan literasi di negeri ini.

Bojonegoro, 2015

Jumat, 11 September 2015

Alvine (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di tabloid "Minggu Pagi" edisi 11-18 September 2015)

Alvine menolak lamaran Jippo, ksatria tampan dari kota Hule. Sudah ratusan kali ia melakukan hal serupa. Lobire, ayahnya, miskin kuasa membujuknya. Gadis berlesung pipit itu memang berbeda dengan gadis pada umumnya.
“Apa yang kau kehendaki, anakku?” Sore itu, ayahnya kehilangan kesabaran.
“Kau mau, melihat ayahmu ini tak pernah menggendong cucu?” Sambungnya ketus.
Alvine hanya membatu, menyimak kemarahan yang hinggap di wajah ayahnya. Ia sadar, kalau sang ayah begitu kecewa dengan keputusan konyolnya. Namun, ia sendiri mengantongi alasan untuk menjauhkan diri dari makhluk yang disebut lelaki.
Mohus, ibunya, tak habis pikir, mengapa putrinya bersikap demikian. Padahal, ribuan perawan mengidam-idamkan supaya bisa mendampingi Jippo di kursi pelaminan. “Gadis yang aneh”. Gumamnya lirih.
Apa yang dilakukan Alvine bukan tanpa alasan. Ia urung mengulang kisah pahitnya dalam asmara. Kisah singkat yang pernah ia rajut dengan Forhene 5 tahun silam. Kisah seuntai yang pada akhirnya mengantarnya sebagai gadis yang berhati remuk-redam. Usai menelan kisah tersebut, ia membenci setengah mati lelaki dengan segala yang menempel di tubuh dan pikirannya. Kepercayaan pada kaum berkumis dan bercambang itu layak sirna. Di mana mereka berhasrat mengoyak perasaan perempuan dan melihatnya menangis berlarat-larat. Tak lebih dari itu. Ia terlanjur menaruh keyakinan, di serata semesta, hanya ayahnya sajalah pejantan yang mampu menerapkan cinta. Ya, hanya ayahnya.
Hingga kini, sebutir rahasia tetap terkunci rapat dalam lidah Alvine. Tiada seorangpun menduga bahwa ia memiliki kenangan buruk tentang cinta. Betapa tidak. Ketika nekat menadah cinta Forhene, ia merenggut petaka; pemburu kijang di hutan Tobhe itu raib entah ke mana. Raib dengan terlebih dahulu mencicipi keperawanan Alvine.
Alvine menganggap bahwa dirinya tercipta guna mengalirkan air mata. Benar. Hanya untuk itulah ia lahir ke dunia. Maka, tiada salah jika kesedihannya tumpah kala teringat Forhene. Kepedihannya kian menggumpal tatkala ia memegang isi panah di meja kamarnya. Benda tersebutlah yang mengakibatkan ia menyesal seumur hidup. Sungguh. Memorinya masih sangat kuat untuk sekadar merekam peristiwa menyesakkan hati itu. Ya. Siang itu. Siang berlangit pekat itu, seperti biasa, ia mencari keindahan bunga Kein di belantara Tobhe. Bunga yang harumnya terendus hingga tanah Vornia. Kala memungut dan memandangi kecantikan Kein, Alvine mendapati sebiji panah tertancap di pohon Lorra. Dengan sigap, ia mengambilnya. Bila ada biji panah, tentu ada pemburu di selingkar tempat itu. Pikirnya.
Berlari-lari kecil, Alvine menyusuri rimba Tobhe. Ingin sekali ia jumpai seorang pemburu. Sebab, ketika masih balita, kakeknya kerap mewartakan dongeng pemburu Goffer yang baik dan lembut perangainya. Ialah satu-satunya orang yang rela berburu kijang, membakarnya, kemudian membagi-bagikannya kepada para fakir yang kelaparan. Ia jua yang mencarikan kayu bakar buat Nenek Siumm, perempuan renta yang ditinggal mati anak dan suaminya.
Dalam kepala Alvine, pemburu adalah seseorang yang berkata halus serta berulah laiknya malaikat. Ringan tangan dan benci menerima pujian. Begitulah, saking nafsunya bertembung dengan pemburu, ia memirsa semua keadaan sekeliling. Barangkali pemburu itu ada di situ.  
Sepemakan sirih kemudian, ia menemukan bayangan di balik semak belukar. Dengan hati-hati, ia mendekat—bagai anak ingusan yang hendak menangkap capung di mulut sungai Liche. Hatinya mengayuh gembira karena memindai lelaki yang meletakkan busur panah di bahunya.
“Inilah pemburu yang ada dalam dongeng kakek”. Desisnya.
Sekonyong-konyong lelaki itu membalik badan dan langsung menatapnya. Alvine terkesima. Ah, tepatnya terpana menyaksikan lengan dengan otot yang bermekaran, menyiratkan keperkasaan empunya. Kakinya. Ya, kaki lelaki itu tegap berdiri, seolah mengindikasikan pemburu yang memiliki langkah kuat guna mengejar satwa buruan. Terakhir—ini yang mendesak jantung Alvine berdentum-dentum—ia tergiur oleh matanya. Mata yang rimbun cahaya. Mata dengan rona hitam sedikit kebiru-biruan. Biru yang teduh. Biru yang mengatakan bahwa ia lelaki jujur. Elok tabiat pula.
Seolah paham dengan kehendak masing-masing, keduanya saling bertukar nama. Lantas mereka menggelesot santai di bawah rindang tumbuhan Biett. Ditemani kicau burung Gomu, Forhene membuka pembicaraan. Ia menceritakan kesukaannya meringkus kijang. Berbekal panah, ia berusaha menyergap binatang berkulit halus itu, sejak surya menampakkan batang hidungnya hingga petang bertandang. Hasil tangkapannya—berapa pun jumlahnya—didermakan kepada orang-orang terlantar yang bermukim di gunung Sebe.
“Ya. Benar. Kaulah pemburu itu.” Katup mulut Alvine bocor.
“Apa kau bilang?”
“Maaf, aku tak bilang apa-apa.”
Mendengar urita panjang dari Forhene, Alvine bergeming. Seakan suaranya diikat dari dalam.
“Hari sudah senja. Aku mau pulang. Orang-orang menungguku. Kalau ingin mengikuti ceritaku lagi, sepertinya besok kau harus hadir di tempat ini. Pada waktu yang sama.”
Begitulah. Seolah tersihir oleh kaul Forhene, esoknya Alvine berkunjung lagi ke tempat sejuk itu. Tempat di mana ia membuntuti celoteh Forhene. Sebelumnya, ia berjanji tidak akan berdiam diri lagi. Waktu layak dimanfaatkan sebaik-baiknya. Nian rugi, jika ia hanya menyunggi dagu sambil memelototi bulir kata yang menyembul dari bibir Forhene. Semisal Forhene, perawan beralis kepak burung camar itu hendak pula menuturkan hobinya. Betapa senang ia, punya sahib yang dengan setia bersedia berbagi kegembiraan. Sesuatu yang musykil ia dapati di rumah, sebab Alvine adalah anak semata wayang. Bertahun-tahun ia menanti hadirnya seorang adik. Baginya, laki atau perempuan sama saja; asal mudah diajak bergilir cerita. Walakin, harapannya kandas, kala mengetahui perut ibunya mustahil mengandung janin. Ya. Rahim perempuan berumur enam puluh tahun tak mungkin mengolah sperma suami menjadi orok. Begitu iri ia dengan anak-anak tetangga yang ramai dan riang karena leluasa saling menuturkan sesuatu yang disukai.   
Janji cuma janji. Apa yang diucap dalam hati sukar tercapai. Karena, nyatanya, Alvine belum sempat ambil bagian. Alangkah kagumnya ia pada sosok Forhene. Sampai-sampai, lupa meminta paruh Forhene berhenti sesaat guna mendengarkan buah kalam Alvine.
Matahari pulang ke peraduan. Saat itulah, Alvine baru sadar bahwa sebentar lagi Forhene berpamit. Sedang, ia belum menyembulkan sepatah kata pun. Dari tadi, ia menggigit bibir dan sesekali menghidangkan senyum pada Forhene.
“Maaf, Alvine. Aku harus pulang. Kau tahu, kan? Aku akan mengemban tugas lainnya. Mau kau besok ke sini lagi?” Alvine mengangguk.
Setiba di rumah, Alvine tampak semringah. Orang tuanya ikut senang. Akan tetapi, dalam benak Lobire dan Mohus, Alvine bergembira sebab menjumpai bunga Kein yang semerbak baunya, lebih besar tangkainya, lebih hijau daunnya, serta lebih merah warnanya.
Berbaring di atas tikar, Alvine kembali melempar janji. Esok, ia tak boleh lengah. Wajib ia buka mulut dan mulai bercerita. Aduhai senangnya, menyampaikan apa yang disuka kepada Forhene. Segelintir kegembiraan yang pasti melebihi kegembiraan-kegembiraan lain.
Di siang berkabut tebal, Alvine datang lebih awal. Sengaja ia cawiskan diri agar terlihat tidak canggung menghadapi Forhene. Dengan harapan, kata-katanya akan meluncur ringan. Sayangnya, lagi-lagi ia melanggar janji. Pesona Forhene membuat Alvine bungkam.
Keesokan harinya, kembali Alvine memamah ulah sejenis. Hal tersebut dilakukan berulang darab. Lagi, lagi, dan lagi.
Itulah yang dialami Alvine dari hari pertama bertemunya dengan Forhene hingga hari ke 70. Ada saja alasan yang mendesak untuk mematung. Lebih-lebih, sebab terbius oleh Forhene sekaligus cerita kegemarannya dalam berburu.
Dan pada hari ke 71, ia bukan hanya diam. Tapi juga merintih. Merasakan dengus nafsu yang tengah berpacu. Sama sekali tak terbesit dalam angannya, jikalau pemburu itu, pemburu yang baik dan bertingkah bak malaikat itu, akan membentur-benturkan kepalanya, mengupas pakaiannya, dan menindih tubuhnya yang lemah. Sekali lagi, Alvine membisu, merintih. Pun mengunyah sembilu.
***
Kegusaran Lobire tiada sanggup terbendung. Celakanya, bukan cuma gusar, namun juga berang. Ya. Ia berang kepada Alvine; di mana pada usia ke 36, belum sudi bersuami. Padahal, bujang peminatnya silih berganti. Datang lalu pergi. “Dasar anak kurang mengerti balas budi!” Sesalnya.
Betapa selaku tetua suku, Lobire benar-benar menanggung malu luar biasa. Buah gunjingan rajin dilemparkan kepadanya. Maklumlah, rata-rata penduduk Yomuha menikahkan putri mereka di usia 18 tahun—separo dari umur Alvine.
Dengan amarah meluap-luap, Lobire memungut isi panah yang tergeletak di kamar Alvine. Di tangan sendiri, nyawa putrinya bakal melayang. Alvine enggan menghindar. Ia boleh mati, sekiranya tidak dengan isi panah Forhene. Isi panah yang saat mencerapnya, netra Alvine meleleh seketika.
Lobire kalap; abai dengan permohonan putrinya. Ia memasang isi panah itu pada busurnya lalu secepat kilat melepaskannya ke arah Alvine. Dan……..

Yogyakarta, 2011

Kamis, 10 September 2015

Yatim Piatu Sosial (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Kamis, 10 September 2015)

Anak-anak desa masa kini mendapat julukan ”yatim piatu sosial”—meminjam istilah Lies Marcoes. Mereka memiliki orang tua, tetapi dilepas begitu saja guna melaksanakan tanggung jawab yang begitu berat. Bekerja dan berhubungan seksual adalah tugas-tugas yang jauh melampaui usia mereka.
Bagaimana tidak. Himpitan ekonomi membuat anak-anak berjibaku membantu orang tua saat mereka belum siap melakukannya. Konsekuensinya, hilangnya keceriaan masa kanak. Secara sengaja ataupun tidak, mereka telah menceburkan diri dalam riak kehidupan orang tua. Memang ada kalanya anak-anak bekerja atas kehendak sendiri. Tetapi, cakrawala berpikir demikian mewakili cakrawala berpikir masyarakat yang cenderung mengutamakan kehidupan sekarang dengan mempertaruhkan seluruh masa depan.
Dalam sejumlah kasus, orang tua tega menjual anak demi memenuhi kebutuhan dan membayar utangnya. Akibat godaan konsumerisme materialistis dan rasionalisme sekularistis, orang tua rela menukar buah hati dengan uang tak seberapa. Di usia yang masih belia, anak-anak terpaksa memenuhi hasrat orang tua dengan mengorbankan harga diri. Orang-orang yang sudah sukses di kota menjemput anak-anak perempuan di desa untuk kemudian dipekerjakan sebagai penghibur di bar, kafe, dan warung remang-remang.
Saat kembali ke desa, mereka terlihat modis, seksi, dengan gadget canggih. Gaya hidup urban telah mempengaruhi pola pikir, tindak-tanduk, dan kebiasaan mereka sehari-hari. Derasnya arus modernisme di perkotaan secara perlahan mengikis prinsip kehidupan tradisional yang mereka akrabi sejak lahir. Dari sisi fisik, mereka terlihat berbahagia. Namun, sisi batin menunjukkan penderitaan berlarat, sebab ada yang raib dari diri mereka.
Celakanya, realitas di atas tidak mampu dibendung oleh adat yang ribuan tahun terbukti menyelamatkan desa dari kehancuran. Saat ini, fungsi adat justru menjadi kekuatan penekan demi menjaga harga diri perkauman sebagai satu-satunya benteng pertahanan orang-orang desa.
Sumber-sumber perlindungan, penghidupan, dan dukungan sosial yang dimiliki anak-anak desa sedikit demi sedikit berkurang. Di satu pihak, perubahan ruang hidup menghasilkan kekayaan melimpah, namun di pihak lain juga membelokkan hubungan-hubungan sosial ke arah hubungan eksploitatif serta menindas (Lies Marcoes, 2015).
Anak-anak dengan predikat “yatim piatu sosial” di pedesaan didesak bahaya dari lingkungan internal, semisal, penganiayaan, pengeksploitasian, dan pembunuhan, yang kerap datang dari orang-orang terdekat. Orang tua, saudara, dan kerabat bisa jadi merupakan ancaman terbesar bagi anak-anak yang berusaha merenggut hak mereka demi segelintir kepentingan. Tragedi Angeline menggambarkan bahwa seseorang yang sedianya menjadi pelindung, justru menebar teror bagi kehidupan anak-anak.
Adapun pemerkosaan, perampasan, penganiayaan, penculikan, serta pembunuhan merupakan bahaya dari lingkungan eksternal yang selalu menghantui anak-anak. Dengan demikian, desa tidak lagi identik sebagai benteng pertahanan yang memelihara kearifan dan kebajikan nenek moyang. Desa bukan lagi institusi lokal yang berhasil menangkis ekses-ekses modernisasi dan globalisasi dengan sajian kekerasan yang sewaktu-waktu dapat menimpa anak-anak, baik kekerasan emosional, verbal, fisik, maupun seksual.

Pendidikan Bercorak Urban
Segala bentuk kekerasan terhadap anak-anak desa seolah dilegalkan oleh carut-marutnya dunia pendidikan. Selama ini, hak-hak mereka sebagai warga negara kurang terpenuhi, sebab sistem pendidikan di negeri ini cenderung mengultuskan ritus kehidupan urban. Akibatnya, mereka lambat laun menjadi anak-anak semi urban: bermukim di desa dengan pemikiran serbaurban.
Sejak kecil, anak-anak di desa melahap buku pelajaran dengan habitus kelas tertentu. Sering kali mereka dicekoki dunia yang bukan keseharian mereka. Materi yang diajarkan kepada siswa memperlihatkan potret kehidupan orang kota lebih dominan dibanding habitus desa. Dari ketidakberimbangan ilustrasi materi tersebut, disparitas kelas atas (orang kaya) dan kelas bawah (orang miskin) muncul. Realitas ini menyebabkan tersebarnya anggapan bahwa kota adalah masa depan. Kota merupakan komunitas imajiner (imagined community) yang merepresentasikan kekayaan, kemajuan, dan kemewahan.
Mereka telah mengalami kekerasan simbolik. Dalam pandangan Pierre Bourdieu, kekerasan simbolik (la violence symbolique) merupakan kekerasan tidak kasat mata yang tidak akan tampak tanpa adanya pemahaman kritis. Pada dasarnya, para korban menganggap apa yang menimpa mereka bersifat alamiah dan wajar. Tak heran jika kekerasan semacam ini dipelihara sampai dewasa dan berkeluarga.
Saat ini, kaum terpelajar terperangkap oleh paradigma bahwa kesuksesan diukur dari kekayaan materi dan hidup di kota. Kerja merupakan tujuan akhir studi. Kerja menjadi indikator utama pendidikan yang berhasil. Narasi pendidikan melihat bahwa mereka yang sukses dalam pendidikannya adalah pekerja bergaji tinggi (Junaidi Abdul Munif, 2013).
Atas dasar inilah, setelah mengantongi ijazah, anak-anak desa berlomba-lomba mengais rezeki di kota. Bagi mereka, menghirup udara perkotaan adalah ikhtiar meninggalkan kemiskinan, kemunduran, dan keterbelakangan. Implikasinya, sumber daya manusia (SDM) di pedesaan semakin berkurang. Mereka yang didaulat sebagai aktor utama pembangunan desa justru tergiur dengan peluang kerja serta tingginya gaji di perkotaan. Generasi muda dengan mentalitas urban telah tercerabut dari akar kehidupan tradisional, sebab hanya berburu status sosial dan kehormatan.
Hak-hak anak di desa akan terus tergadaikan, selama ketimpangan pendidikan masih berlangsung. Oleh sebab itulah, perubahan paradigma pendidikan merupakan keniscayaan. Pendidikan harus melihat bagaimana kehidupan pedesaan diangkat dan diberdayakan. Para pemangku kebijakan, stakeholder, serta semua elemen masyarakat juga harus mengagendakan revitalisasi desa, demi memangkas regenerasi anak-anak yatim piatu sosial.


Bojonegoro, 2015

Rabu, 09 September 2015

Hari Aksara dan Jihad Literasi (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Sinar Harapan" edisi Selasa, 8 September 2015)

Hari ini, publik dunia memperingati Hari Aksara Internasional (HAI). Berdasarkan Konferensi Tingkat Menteri Negara-negara Anggota PBB pada 1965 di Teheran, Iran, UNESCO telah menetapkan tanggal 8 September sebagai International Literacy Day. Di negeri ini, perayaan HAI dilandasi oleh semangat memberantas buta aksara dan meningkatkan antusiasme masyarakat dalam membaca.
Data UNESCO menunjukkan, persentase minat baca anak Indonesia sebesar 0,01 persen. Ini berarti, dari 10.000 anak bangsa, hanya ada seorang yang membaca buku. Dari survei tersebut terkuak bahwa minat baca warga Indonesia lebih rendah dibandingkan penduduk Asia atau Eropa. Di Amerika, satu orang biasa membaca 20-30 judul buku yang berbeda.
Rendahnya antusiasme masyarakat dalam membaca menjadi persoalan klasik dan klise yang terus-menerus diekspos. Hal ini tentu bertolak belakang dengan corak kebangkitan nasional di mana budaya literal menjadi akar gerakan kebangsaan. Boleh dibilang, hampir semua pelopor kebangkitan dan kemerdekaan bergelut dengan budaya literal (Wijaya, 2012).
Budaya membaca yang pernah menjadi karakter peradaban bangsa mulai tersisihkan. Pesatnya teknologi dan derasnya arus globalisasi ternyata membawa dampak negatif. Keseimbangan berpikir telah direduksi “budaya menonton” yang semakin mengakar dalam kehidupan masyarakat.
Tayangan hiburan di televisi yang cenderung irasional lebih banyak digemari. Perusahaan televisi tampaknya rajin mengasah nalar bisnis dan membaca naluri publik yang menggandrungi jagat hiburan.
Budaya membaca semakin tidak populer saat peradaban maya (illusion) menjadi daya tarik tersendiri bagi generasi muda. Mereka lebih gemar berselancar di jejaring sosial sebagai ajang rekreasi, ekstase, dan selfie daripada menikmati sebuah buku.
Mereka seakan menjauhkan diri dari keterikatan emosional dengan buku. Membaca seolah menjadi tindakan asketis yang dihindar oleh kaum modern.
Menganggap diri sebagai anak kandung tren modernitas, anak muda zaman sekarang begitu akrab dengan idiom budaya pop (popular culture) yang cenderung simbolis, atributif, materialistis, juga serba-artifisial. Mereka terjebak pada kubangan materialisme eksesif (crass materialism) dan individualisme yang kerap melahirkan alienasi sosiologis dan psikologis.
Dalam perkembangan masyarakat post-industrial, ruang publik di dunia maya memudahkan lahirnya komunitas sendiri (virtual community), realitas sendiri (virtual reality), dan ruang sendiri (cyberspace). Akibatnya, kesadaran mengenai identitas sebagai pemuda secara perlahan memudar.
Anggaran pendidikan sebanyak 20 persen kurang berpengaruh pada peningkatan sektor pendidikan, khususnya budaya membaca. Bagaimanapun, budaya literal tampaknya sudah tercerabut dari nafas pendidikan kita.
Di perpustakaan-perpustakaan sekolah, lebih-lebih di pedesaan, buku merupakan “barang langka”. Kalau pun ada, stok buku tampak kurang terawat. Padahal, buku merupakan hak dasar siswa sebagai sumber imajinasi dan gagasan.
Fakta ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah mengelola sistem pendidikan yang mencerahkan bagi segenap anak bangsa yang potensial dan cerdas. Padahal dengan membaca, siswa dapat menumbuhkan kemampuan nalar yang mencakup daya berpikir logis, mengolah informasi, serta menyimpulkan bacaan dengan pemikiran sendiri. Membaca merupakan satu di antara cara menjemput peradaban mulia.
Intelektualisme menjadi sumber energi dalam rangka membuka pencerahan bagi kehidupan. Dengan membaca, diharapkan siswa memiliki cara berpikir historis (berkesadaran sejarah).
Membaca menjadi sarana dan jembatan sekaligus bagi siswa untuk mengenal dunia. Dengan membaca, siswa dapat menembus sekat-sekat yang selama ini membatasi imajinasi mereka. Pengetahuan dapat dengan mudah diperoleh tanpa mengenal batas teritorial sebuah negara. Membaca juga dapat menumbuhkan daya berpikir siswa dalam mengartikulasikan beragam fenomena sosial.
Aktivitas membaca di hampir semua jenjang pendidikan tereduksi sebagai wujud evaluasi pemahaman siswa terhadap teks. Membaca hanya dianggap sebagai alat ukur pendalaman siswa terhadap struktur kalimat.
Ironisnya, pemerintah terkesan kurang memberdayakan guru untuk mengakses bahan ajar di luar buku teks bahan ajar (resource). Ini berimbas pada munculnya kesenjangan antara reading for learning dan reading for pleasure.

Kemitraan Strategis
Kita dituntut untuk duduk dan berpikir bersama dalam merumuskan kembali arah kebudayaan negeri ini, terutama dalam cakupan budaya literal.
Upaya yang bisa dilakukan, antara lain membangun kemitraan strategis antara pemerintah, pelaku perbukuan, dan pemerhati pendidikan dalam mengampanyekan gerakan membaca secara masif. Guna meretas peningkatan minat baca masyarakat, perlu dirancang jihad literasi yang menggerakkan aktivitas membaca dalam kehidupan sehari-hari.
Seluruh pemerintah daerah harus serius membangun dan mengembangkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM).
Pejabat bisa ambil bagian dalam gerakan literasi dengan menyelenggarakan diskusi-diskusi kecil, membentuk klub-klub baca, serta mendukung aktivis literasi yang berusaha keras meningkatkan kesadaran pentingnya budaya membaca dalam kehidupan.
Sebagai bagian dari usaha memberikan pemahaman kepada khalayak, pejabat perlu menginformasikan bahwa buku merupakan bagian kehidupan kolektif yang memiliki multifungsi.
Arus pertumbuhan literasi juga didukung pembangunan ekosistem industri perbukuan dan gerakan budaya membaca di Tanah Air. Oleh karena itu, pergerakan yang ekstensif oleh pelaku perbukuan dalam menjamin buku berkualitas perlu digalakkan.
Peradaban buku menjadi pusat orbit agenda literasi lintas generasi, sehingga menyimpan roh ideologi perlawanan terhadap budaya instan yang begitu dominan.

Bojonegoro, 2015