Kamis, 10 September 2015

Yatim Piatu Sosial (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Kamis, 10 September 2015)

Anak-anak desa masa kini mendapat julukan ”yatim piatu sosial”—meminjam istilah Lies Marcoes. Mereka memiliki orang tua, tetapi dilepas begitu saja guna melaksanakan tanggung jawab yang begitu berat. Bekerja dan berhubungan seksual adalah tugas-tugas yang jauh melampaui usia mereka.
Bagaimana tidak. Himpitan ekonomi membuat anak-anak berjibaku membantu orang tua saat mereka belum siap melakukannya. Konsekuensinya, hilangnya keceriaan masa kanak. Secara sengaja ataupun tidak, mereka telah menceburkan diri dalam riak kehidupan orang tua. Memang ada kalanya anak-anak bekerja atas kehendak sendiri. Tetapi, cakrawala berpikir demikian mewakili cakrawala berpikir masyarakat yang cenderung mengutamakan kehidupan sekarang dengan mempertaruhkan seluruh masa depan.
Dalam sejumlah kasus, orang tua tega menjual anak demi memenuhi kebutuhan dan membayar utangnya. Akibat godaan konsumerisme materialistis dan rasionalisme sekularistis, orang tua rela menukar buah hati dengan uang tak seberapa. Di usia yang masih belia, anak-anak terpaksa memenuhi hasrat orang tua dengan mengorbankan harga diri. Orang-orang yang sudah sukses di kota menjemput anak-anak perempuan di desa untuk kemudian dipekerjakan sebagai penghibur di bar, kafe, dan warung remang-remang.
Saat kembali ke desa, mereka terlihat modis, seksi, dengan gadget canggih. Gaya hidup urban telah mempengaruhi pola pikir, tindak-tanduk, dan kebiasaan mereka sehari-hari. Derasnya arus modernisme di perkotaan secara perlahan mengikis prinsip kehidupan tradisional yang mereka akrabi sejak lahir. Dari sisi fisik, mereka terlihat berbahagia. Namun, sisi batin menunjukkan penderitaan berlarat, sebab ada yang raib dari diri mereka.
Celakanya, realitas di atas tidak mampu dibendung oleh adat yang ribuan tahun terbukti menyelamatkan desa dari kehancuran. Saat ini, fungsi adat justru menjadi kekuatan penekan demi menjaga harga diri perkauman sebagai satu-satunya benteng pertahanan orang-orang desa.
Sumber-sumber perlindungan, penghidupan, dan dukungan sosial yang dimiliki anak-anak desa sedikit demi sedikit berkurang. Di satu pihak, perubahan ruang hidup menghasilkan kekayaan melimpah, namun di pihak lain juga membelokkan hubungan-hubungan sosial ke arah hubungan eksploitatif serta menindas (Lies Marcoes, 2015).
Anak-anak dengan predikat “yatim piatu sosial” di pedesaan didesak bahaya dari lingkungan internal, semisal, penganiayaan, pengeksploitasian, dan pembunuhan, yang kerap datang dari orang-orang terdekat. Orang tua, saudara, dan kerabat bisa jadi merupakan ancaman terbesar bagi anak-anak yang berusaha merenggut hak mereka demi segelintir kepentingan. Tragedi Angeline menggambarkan bahwa seseorang yang sedianya menjadi pelindung, justru menebar teror bagi kehidupan anak-anak.
Adapun pemerkosaan, perampasan, penganiayaan, penculikan, serta pembunuhan merupakan bahaya dari lingkungan eksternal yang selalu menghantui anak-anak. Dengan demikian, desa tidak lagi identik sebagai benteng pertahanan yang memelihara kearifan dan kebajikan nenek moyang. Desa bukan lagi institusi lokal yang berhasil menangkis ekses-ekses modernisasi dan globalisasi dengan sajian kekerasan yang sewaktu-waktu dapat menimpa anak-anak, baik kekerasan emosional, verbal, fisik, maupun seksual.

Pendidikan Bercorak Urban
Segala bentuk kekerasan terhadap anak-anak desa seolah dilegalkan oleh carut-marutnya dunia pendidikan. Selama ini, hak-hak mereka sebagai warga negara kurang terpenuhi, sebab sistem pendidikan di negeri ini cenderung mengultuskan ritus kehidupan urban. Akibatnya, mereka lambat laun menjadi anak-anak semi urban: bermukim di desa dengan pemikiran serbaurban.
Sejak kecil, anak-anak di desa melahap buku pelajaran dengan habitus kelas tertentu. Sering kali mereka dicekoki dunia yang bukan keseharian mereka. Materi yang diajarkan kepada siswa memperlihatkan potret kehidupan orang kota lebih dominan dibanding habitus desa. Dari ketidakberimbangan ilustrasi materi tersebut, disparitas kelas atas (orang kaya) dan kelas bawah (orang miskin) muncul. Realitas ini menyebabkan tersebarnya anggapan bahwa kota adalah masa depan. Kota merupakan komunitas imajiner (imagined community) yang merepresentasikan kekayaan, kemajuan, dan kemewahan.
Mereka telah mengalami kekerasan simbolik. Dalam pandangan Pierre Bourdieu, kekerasan simbolik (la violence symbolique) merupakan kekerasan tidak kasat mata yang tidak akan tampak tanpa adanya pemahaman kritis. Pada dasarnya, para korban menganggap apa yang menimpa mereka bersifat alamiah dan wajar. Tak heran jika kekerasan semacam ini dipelihara sampai dewasa dan berkeluarga.
Saat ini, kaum terpelajar terperangkap oleh paradigma bahwa kesuksesan diukur dari kekayaan materi dan hidup di kota. Kerja merupakan tujuan akhir studi. Kerja menjadi indikator utama pendidikan yang berhasil. Narasi pendidikan melihat bahwa mereka yang sukses dalam pendidikannya adalah pekerja bergaji tinggi (Junaidi Abdul Munif, 2013).
Atas dasar inilah, setelah mengantongi ijazah, anak-anak desa berlomba-lomba mengais rezeki di kota. Bagi mereka, menghirup udara perkotaan adalah ikhtiar meninggalkan kemiskinan, kemunduran, dan keterbelakangan. Implikasinya, sumber daya manusia (SDM) di pedesaan semakin berkurang. Mereka yang didaulat sebagai aktor utama pembangunan desa justru tergiur dengan peluang kerja serta tingginya gaji di perkotaan. Generasi muda dengan mentalitas urban telah tercerabut dari akar kehidupan tradisional, sebab hanya berburu status sosial dan kehormatan.
Hak-hak anak di desa akan terus tergadaikan, selama ketimpangan pendidikan masih berlangsung. Oleh sebab itulah, perubahan paradigma pendidikan merupakan keniscayaan. Pendidikan harus melihat bagaimana kehidupan pedesaan diangkat dan diberdayakan. Para pemangku kebijakan, stakeholder, serta semua elemen masyarakat juga harus mengagendakan revitalisasi desa, demi memangkas regenerasi anak-anak yatim piatu sosial.


Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar