Jumat, 11 September 2015

Alvine (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di tabloid "Minggu Pagi" edisi 11-18 September 2015)

Alvine menolak lamaran Jippo, ksatria tampan dari kota Hule. Sudah ratusan kali ia melakukan hal serupa. Lobire, ayahnya, miskin kuasa membujuknya. Gadis berlesung pipit itu memang berbeda dengan gadis pada umumnya.
“Apa yang kau kehendaki, anakku?” Sore itu, ayahnya kehilangan kesabaran.
“Kau mau, melihat ayahmu ini tak pernah menggendong cucu?” Sambungnya ketus.
Alvine hanya membatu, menyimak kemarahan yang hinggap di wajah ayahnya. Ia sadar, kalau sang ayah begitu kecewa dengan keputusan konyolnya. Namun, ia sendiri mengantongi alasan untuk menjauhkan diri dari makhluk yang disebut lelaki.
Mohus, ibunya, tak habis pikir, mengapa putrinya bersikap demikian. Padahal, ribuan perawan mengidam-idamkan supaya bisa mendampingi Jippo di kursi pelaminan. “Gadis yang aneh”. Gumamnya lirih.
Apa yang dilakukan Alvine bukan tanpa alasan. Ia urung mengulang kisah pahitnya dalam asmara. Kisah singkat yang pernah ia rajut dengan Forhene 5 tahun silam. Kisah seuntai yang pada akhirnya mengantarnya sebagai gadis yang berhati remuk-redam. Usai menelan kisah tersebut, ia membenci setengah mati lelaki dengan segala yang menempel di tubuh dan pikirannya. Kepercayaan pada kaum berkumis dan bercambang itu layak sirna. Di mana mereka berhasrat mengoyak perasaan perempuan dan melihatnya menangis berlarat-larat. Tak lebih dari itu. Ia terlanjur menaruh keyakinan, di serata semesta, hanya ayahnya sajalah pejantan yang mampu menerapkan cinta. Ya, hanya ayahnya.
Hingga kini, sebutir rahasia tetap terkunci rapat dalam lidah Alvine. Tiada seorangpun menduga bahwa ia memiliki kenangan buruk tentang cinta. Betapa tidak. Ketika nekat menadah cinta Forhene, ia merenggut petaka; pemburu kijang di hutan Tobhe itu raib entah ke mana. Raib dengan terlebih dahulu mencicipi keperawanan Alvine.
Alvine menganggap bahwa dirinya tercipta guna mengalirkan air mata. Benar. Hanya untuk itulah ia lahir ke dunia. Maka, tiada salah jika kesedihannya tumpah kala teringat Forhene. Kepedihannya kian menggumpal tatkala ia memegang isi panah di meja kamarnya. Benda tersebutlah yang mengakibatkan ia menyesal seumur hidup. Sungguh. Memorinya masih sangat kuat untuk sekadar merekam peristiwa menyesakkan hati itu. Ya. Siang itu. Siang berlangit pekat itu, seperti biasa, ia mencari keindahan bunga Kein di belantara Tobhe. Bunga yang harumnya terendus hingga tanah Vornia. Kala memungut dan memandangi kecantikan Kein, Alvine mendapati sebiji panah tertancap di pohon Lorra. Dengan sigap, ia mengambilnya. Bila ada biji panah, tentu ada pemburu di selingkar tempat itu. Pikirnya.
Berlari-lari kecil, Alvine menyusuri rimba Tobhe. Ingin sekali ia jumpai seorang pemburu. Sebab, ketika masih balita, kakeknya kerap mewartakan dongeng pemburu Goffer yang baik dan lembut perangainya. Ialah satu-satunya orang yang rela berburu kijang, membakarnya, kemudian membagi-bagikannya kepada para fakir yang kelaparan. Ia jua yang mencarikan kayu bakar buat Nenek Siumm, perempuan renta yang ditinggal mati anak dan suaminya.
Dalam kepala Alvine, pemburu adalah seseorang yang berkata halus serta berulah laiknya malaikat. Ringan tangan dan benci menerima pujian. Begitulah, saking nafsunya bertembung dengan pemburu, ia memirsa semua keadaan sekeliling. Barangkali pemburu itu ada di situ.  
Sepemakan sirih kemudian, ia menemukan bayangan di balik semak belukar. Dengan hati-hati, ia mendekat—bagai anak ingusan yang hendak menangkap capung di mulut sungai Liche. Hatinya mengayuh gembira karena memindai lelaki yang meletakkan busur panah di bahunya.
“Inilah pemburu yang ada dalam dongeng kakek”. Desisnya.
Sekonyong-konyong lelaki itu membalik badan dan langsung menatapnya. Alvine terkesima. Ah, tepatnya terpana menyaksikan lengan dengan otot yang bermekaran, menyiratkan keperkasaan empunya. Kakinya. Ya, kaki lelaki itu tegap berdiri, seolah mengindikasikan pemburu yang memiliki langkah kuat guna mengejar satwa buruan. Terakhir—ini yang mendesak jantung Alvine berdentum-dentum—ia tergiur oleh matanya. Mata yang rimbun cahaya. Mata dengan rona hitam sedikit kebiru-biruan. Biru yang teduh. Biru yang mengatakan bahwa ia lelaki jujur. Elok tabiat pula.
Seolah paham dengan kehendak masing-masing, keduanya saling bertukar nama. Lantas mereka menggelesot santai di bawah rindang tumbuhan Biett. Ditemani kicau burung Gomu, Forhene membuka pembicaraan. Ia menceritakan kesukaannya meringkus kijang. Berbekal panah, ia berusaha menyergap binatang berkulit halus itu, sejak surya menampakkan batang hidungnya hingga petang bertandang. Hasil tangkapannya—berapa pun jumlahnya—didermakan kepada orang-orang terlantar yang bermukim di gunung Sebe.
“Ya. Benar. Kaulah pemburu itu.” Katup mulut Alvine bocor.
“Apa kau bilang?”
“Maaf, aku tak bilang apa-apa.”
Mendengar urita panjang dari Forhene, Alvine bergeming. Seakan suaranya diikat dari dalam.
“Hari sudah senja. Aku mau pulang. Orang-orang menungguku. Kalau ingin mengikuti ceritaku lagi, sepertinya besok kau harus hadir di tempat ini. Pada waktu yang sama.”
Begitulah. Seolah tersihir oleh kaul Forhene, esoknya Alvine berkunjung lagi ke tempat sejuk itu. Tempat di mana ia membuntuti celoteh Forhene. Sebelumnya, ia berjanji tidak akan berdiam diri lagi. Waktu layak dimanfaatkan sebaik-baiknya. Nian rugi, jika ia hanya menyunggi dagu sambil memelototi bulir kata yang menyembul dari bibir Forhene. Semisal Forhene, perawan beralis kepak burung camar itu hendak pula menuturkan hobinya. Betapa senang ia, punya sahib yang dengan setia bersedia berbagi kegembiraan. Sesuatu yang musykil ia dapati di rumah, sebab Alvine adalah anak semata wayang. Bertahun-tahun ia menanti hadirnya seorang adik. Baginya, laki atau perempuan sama saja; asal mudah diajak bergilir cerita. Walakin, harapannya kandas, kala mengetahui perut ibunya mustahil mengandung janin. Ya. Rahim perempuan berumur enam puluh tahun tak mungkin mengolah sperma suami menjadi orok. Begitu iri ia dengan anak-anak tetangga yang ramai dan riang karena leluasa saling menuturkan sesuatu yang disukai.   
Janji cuma janji. Apa yang diucap dalam hati sukar tercapai. Karena, nyatanya, Alvine belum sempat ambil bagian. Alangkah kagumnya ia pada sosok Forhene. Sampai-sampai, lupa meminta paruh Forhene berhenti sesaat guna mendengarkan buah kalam Alvine.
Matahari pulang ke peraduan. Saat itulah, Alvine baru sadar bahwa sebentar lagi Forhene berpamit. Sedang, ia belum menyembulkan sepatah kata pun. Dari tadi, ia menggigit bibir dan sesekali menghidangkan senyum pada Forhene.
“Maaf, Alvine. Aku harus pulang. Kau tahu, kan? Aku akan mengemban tugas lainnya. Mau kau besok ke sini lagi?” Alvine mengangguk.
Setiba di rumah, Alvine tampak semringah. Orang tuanya ikut senang. Akan tetapi, dalam benak Lobire dan Mohus, Alvine bergembira sebab menjumpai bunga Kein yang semerbak baunya, lebih besar tangkainya, lebih hijau daunnya, serta lebih merah warnanya.
Berbaring di atas tikar, Alvine kembali melempar janji. Esok, ia tak boleh lengah. Wajib ia buka mulut dan mulai bercerita. Aduhai senangnya, menyampaikan apa yang disuka kepada Forhene. Segelintir kegembiraan yang pasti melebihi kegembiraan-kegembiraan lain.
Di siang berkabut tebal, Alvine datang lebih awal. Sengaja ia cawiskan diri agar terlihat tidak canggung menghadapi Forhene. Dengan harapan, kata-katanya akan meluncur ringan. Sayangnya, lagi-lagi ia melanggar janji. Pesona Forhene membuat Alvine bungkam.
Keesokan harinya, kembali Alvine memamah ulah sejenis. Hal tersebut dilakukan berulang darab. Lagi, lagi, dan lagi.
Itulah yang dialami Alvine dari hari pertama bertemunya dengan Forhene hingga hari ke 70. Ada saja alasan yang mendesak untuk mematung. Lebih-lebih, sebab terbius oleh Forhene sekaligus cerita kegemarannya dalam berburu.
Dan pada hari ke 71, ia bukan hanya diam. Tapi juga merintih. Merasakan dengus nafsu yang tengah berpacu. Sama sekali tak terbesit dalam angannya, jikalau pemburu itu, pemburu yang baik dan bertingkah bak malaikat itu, akan membentur-benturkan kepalanya, mengupas pakaiannya, dan menindih tubuhnya yang lemah. Sekali lagi, Alvine membisu, merintih. Pun mengunyah sembilu.
***
Kegusaran Lobire tiada sanggup terbendung. Celakanya, bukan cuma gusar, namun juga berang. Ya. Ia berang kepada Alvine; di mana pada usia ke 36, belum sudi bersuami. Padahal, bujang peminatnya silih berganti. Datang lalu pergi. “Dasar anak kurang mengerti balas budi!” Sesalnya.
Betapa selaku tetua suku, Lobire benar-benar menanggung malu luar biasa. Buah gunjingan rajin dilemparkan kepadanya. Maklumlah, rata-rata penduduk Yomuha menikahkan putri mereka di usia 18 tahun—separo dari umur Alvine.
Dengan amarah meluap-luap, Lobire memungut isi panah yang tergeletak di kamar Alvine. Di tangan sendiri, nyawa putrinya bakal melayang. Alvine enggan menghindar. Ia boleh mati, sekiranya tidak dengan isi panah Forhene. Isi panah yang saat mencerapnya, netra Alvine meleleh seketika.
Lobire kalap; abai dengan permohonan putrinya. Ia memasang isi panah itu pada busurnya lalu secepat kilat melepaskannya ke arah Alvine. Dan……..

Yogyakarta, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar