Rabu, 09 September 2015

Hari Aksara dan Jihad Literasi (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Sinar Harapan" edisi Selasa, 8 September 2015)

Hari ini, publik dunia memperingati Hari Aksara Internasional (HAI). Berdasarkan Konferensi Tingkat Menteri Negara-negara Anggota PBB pada 1965 di Teheran, Iran, UNESCO telah menetapkan tanggal 8 September sebagai International Literacy Day. Di negeri ini, perayaan HAI dilandasi oleh semangat memberantas buta aksara dan meningkatkan antusiasme masyarakat dalam membaca.
Data UNESCO menunjukkan, persentase minat baca anak Indonesia sebesar 0,01 persen. Ini berarti, dari 10.000 anak bangsa, hanya ada seorang yang membaca buku. Dari survei tersebut terkuak bahwa minat baca warga Indonesia lebih rendah dibandingkan penduduk Asia atau Eropa. Di Amerika, satu orang biasa membaca 20-30 judul buku yang berbeda.
Rendahnya antusiasme masyarakat dalam membaca menjadi persoalan klasik dan klise yang terus-menerus diekspos. Hal ini tentu bertolak belakang dengan corak kebangkitan nasional di mana budaya literal menjadi akar gerakan kebangsaan. Boleh dibilang, hampir semua pelopor kebangkitan dan kemerdekaan bergelut dengan budaya literal (Wijaya, 2012).
Budaya membaca yang pernah menjadi karakter peradaban bangsa mulai tersisihkan. Pesatnya teknologi dan derasnya arus globalisasi ternyata membawa dampak negatif. Keseimbangan berpikir telah direduksi “budaya menonton” yang semakin mengakar dalam kehidupan masyarakat.
Tayangan hiburan di televisi yang cenderung irasional lebih banyak digemari. Perusahaan televisi tampaknya rajin mengasah nalar bisnis dan membaca naluri publik yang menggandrungi jagat hiburan.
Budaya membaca semakin tidak populer saat peradaban maya (illusion) menjadi daya tarik tersendiri bagi generasi muda. Mereka lebih gemar berselancar di jejaring sosial sebagai ajang rekreasi, ekstase, dan selfie daripada menikmati sebuah buku.
Mereka seakan menjauhkan diri dari keterikatan emosional dengan buku. Membaca seolah menjadi tindakan asketis yang dihindar oleh kaum modern.
Menganggap diri sebagai anak kandung tren modernitas, anak muda zaman sekarang begitu akrab dengan idiom budaya pop (popular culture) yang cenderung simbolis, atributif, materialistis, juga serba-artifisial. Mereka terjebak pada kubangan materialisme eksesif (crass materialism) dan individualisme yang kerap melahirkan alienasi sosiologis dan psikologis.
Dalam perkembangan masyarakat post-industrial, ruang publik di dunia maya memudahkan lahirnya komunitas sendiri (virtual community), realitas sendiri (virtual reality), dan ruang sendiri (cyberspace). Akibatnya, kesadaran mengenai identitas sebagai pemuda secara perlahan memudar.
Anggaran pendidikan sebanyak 20 persen kurang berpengaruh pada peningkatan sektor pendidikan, khususnya budaya membaca. Bagaimanapun, budaya literal tampaknya sudah tercerabut dari nafas pendidikan kita.
Di perpustakaan-perpustakaan sekolah, lebih-lebih di pedesaan, buku merupakan “barang langka”. Kalau pun ada, stok buku tampak kurang terawat. Padahal, buku merupakan hak dasar siswa sebagai sumber imajinasi dan gagasan.
Fakta ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah mengelola sistem pendidikan yang mencerahkan bagi segenap anak bangsa yang potensial dan cerdas. Padahal dengan membaca, siswa dapat menumbuhkan kemampuan nalar yang mencakup daya berpikir logis, mengolah informasi, serta menyimpulkan bacaan dengan pemikiran sendiri. Membaca merupakan satu di antara cara menjemput peradaban mulia.
Intelektualisme menjadi sumber energi dalam rangka membuka pencerahan bagi kehidupan. Dengan membaca, diharapkan siswa memiliki cara berpikir historis (berkesadaran sejarah).
Membaca menjadi sarana dan jembatan sekaligus bagi siswa untuk mengenal dunia. Dengan membaca, siswa dapat menembus sekat-sekat yang selama ini membatasi imajinasi mereka. Pengetahuan dapat dengan mudah diperoleh tanpa mengenal batas teritorial sebuah negara. Membaca juga dapat menumbuhkan daya berpikir siswa dalam mengartikulasikan beragam fenomena sosial.
Aktivitas membaca di hampir semua jenjang pendidikan tereduksi sebagai wujud evaluasi pemahaman siswa terhadap teks. Membaca hanya dianggap sebagai alat ukur pendalaman siswa terhadap struktur kalimat.
Ironisnya, pemerintah terkesan kurang memberdayakan guru untuk mengakses bahan ajar di luar buku teks bahan ajar (resource). Ini berimbas pada munculnya kesenjangan antara reading for learning dan reading for pleasure.

Kemitraan Strategis
Kita dituntut untuk duduk dan berpikir bersama dalam merumuskan kembali arah kebudayaan negeri ini, terutama dalam cakupan budaya literal.
Upaya yang bisa dilakukan, antara lain membangun kemitraan strategis antara pemerintah, pelaku perbukuan, dan pemerhati pendidikan dalam mengampanyekan gerakan membaca secara masif. Guna meretas peningkatan minat baca masyarakat, perlu dirancang jihad literasi yang menggerakkan aktivitas membaca dalam kehidupan sehari-hari.
Seluruh pemerintah daerah harus serius membangun dan mengembangkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM).
Pejabat bisa ambil bagian dalam gerakan literasi dengan menyelenggarakan diskusi-diskusi kecil, membentuk klub-klub baca, serta mendukung aktivis literasi yang berusaha keras meningkatkan kesadaran pentingnya budaya membaca dalam kehidupan.
Sebagai bagian dari usaha memberikan pemahaman kepada khalayak, pejabat perlu menginformasikan bahwa buku merupakan bagian kehidupan kolektif yang memiliki multifungsi.
Arus pertumbuhan literasi juga didukung pembangunan ekosistem industri perbukuan dan gerakan budaya membaca di Tanah Air. Oleh karena itu, pergerakan yang ekstensif oleh pelaku perbukuan dalam menjamin buku berkualitas perlu digalakkan.
Peradaban buku menjadi pusat orbit agenda literasi lintas generasi, sehingga menyimpan roh ideologi perlawanan terhadap budaya instan yang begitu dominan.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar