Kamis, 24 Agustus 2017

Malaysia (Bukan) Negara Digdaya (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jateng" edisi Kamis, 24 Agustus 2017)


Boleh dibilang, hubungan antara Indonesia dengan Malaysia semakin renggang. Hal ini antara lain disulut oleh tindakan orang-orang Malaysia yang semena-mena. Insiden terhangat yang gencar dipublikasikan oleh media yaitu terbaliknya bendera merah-putih pada buku Opening Ceremony SEA Games 2017 di Kuala Lumpur, Malaysia (20/8/2017). Peristiwa tersebut terkesan disengaja oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab, agar memancing emosi orang-orang Indonesia.
Bukan kali ini saja kasus “pelecehan” yang dilakukan oleh warga Malaysia. Yang paling sering dilakukan yaitu perlakuan membabibuta terhadap para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mengundi nasib di negeri jiran tersebut. Seolah mendaulat diri sebagai majikan, mereka pun memperlakukan orang-orang Indonesia seperti budak. Bahkan, pemerintah Kerajaan Malaysia juga kerap melakukan deportasi terhadap TKI. Karena kasus keimigrasian, sebanyak 103 TKI sempat diusir dan dikurung selama berbulan-bulan di penampungan warga asing Malaysia.
Perlu disesalkan memang. Padahal, bila ditinjau dari segi kultural, antara Indonesia dengan Malaysia dapat ditarik garis lurus. Bagaimana tidak, kedua negara ini terikat dalam kultur melayu. Dengan latar belakang serumpun inilah sebenarnya tiada dalih untuk berseteru antara satu dengan yang lain. Sebaliknya, keduanya harus saling menguatkan dengan memupuk rasa persaudaraan.
Janggalnya, kerukunan kedua negara ini dalam perjalanannya masih jauh panggang dari api. Bukannya menampilkan ritme keharmonisan, hubungan dua negara ini kian lama kian akut, dengan ditandai munculnya gejala permusuhan tiada akhir. Terlebih lagi, sikap pongah Malaysia yang turut memperdalam jurang perselisihan, sehingga memupus harapan bagi yang berhasrat menyemai kerukunan.

Problem Apatisme
Bila dicermati, aksi main hakim sendiri oleh pemerintah Kerajaan Malaysia mengindikasikan bahwa Malaysia ingin menunjukkan diri sebagai negara digdaya. Celakanya, cara yang diambil telah menyalahi norma sekaligus etika. Dengan kedigdayaannya, Malaysia ingin meyakinkan pada dunia bahwa pemerintahan Indonesia sangatlah lemah. Terbukti dengan keterlambatan atau bahkan pembiaran terhadap kasus yang menimpa para TKI.
Indikasi di atas seolah menemukan pembenaran, sebab pemerintah Indonesia kurang memiliki komitmen serius serta agenda yang rigit dalam menindaklanjuti kesewenangan Malaysia. Hal tersebut menandakan bahwa perlindungan para TKI bukanlah menjadi prioritas utama. Bahkan, beban penderitaan penyumbang devisa terbesar tersebut kerap ditanggung sendiri. Perlindungan yang semestinya dinikmati para warga ternyata tidak diberikan. Padahal konstitusi secara tegas mengaturnya (Pasal 27 Ayat 1, Pasal 28, Pasal 29 Ayat 2, Pasal 30 Ayat 1, dan Pasal 31 Ayat 1).
Realitas ini rentan menimbulkan problem apatisme. Kepercayaan warga terhadap negara akan berangsur-angsur hilang. Akibatnya, idealisme dan nasionalisme tergadaikan. Fakta bahwa sebagian warga Indonesia, terutama di daerah perbatasan, merasa hak dan kesejahteraan mereka dipenuhi oleh Malaysia—mulai dari listrik, makanan, hingga gas elpiji yang lebih murah—merupakan wujud apatisme yang dimaksud.

Aksi Nyata
Apabila tidak ingin berlarut-larut, maka problem di atas sudah saatnya ditangani dengan serius. Yang perlu dilakukan bukanlah sekadar menebar janji belaka, seakan pemerintah memerankan diri selaku pejuang retorika. Bukan pula tindakan reaktif atas gencarnya tuntutan kelompok penekan (pressure group), baik LSM, partai politik maupun kelompok akar rumput (grass root community). Namun, lebih pada inisiatif dan kesadaran pemerintah dalam menunaikan kewajiban.
Beberapa langkah yang perlu diambil yaitu: pertama, menyediakan lahan pekerjaan seluas mungkin bagi warga. Kebijakan ini membawa konsekuensi bagi semua perusahaan untuk lebih mengutamakan orang-orang pribumi. Pemerintah pusat, melalui tangan pemerintah daerah, harus menginstruksikan agar prosentase tenaga kerja putra daerah yang ditampung dalam perusahaan ditingkatkan hingga 80-90 %. Harapannya, kisah orang-orang tertindas dan terusir dari daerah sendiri tidak lagi terdengar. Semisal suku Sakai di Riau, suku Tobelo Dalam di Maluku Utara, juga orang-orang yang sejak lama bermukim di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, serta Nusa Tenggara Barat.
Kedua, pemerintah harus berani menjanjikan kesejahteraan warga dengan upah yang layak. Tidak bisa dimungkiri, alasan pilihan bekerja di luar negeri di antaranya adalah berburu upah lebih besar. Jika keringat tenaga kerja benar-benar dihargai, niscaya mereka lebih suka bertahan di negeri sendiri. Ditinjau dari segi psikologis dan sosiologis, mereka sebenarnya lebih suka berada di dekat teman dan keluarga. Mereka terpaksa melalangbuana ke berbagai negara lantaran kesejahteraan dari pemerintah tidak kunjung tiba.
Ketiga, pemberlakuan moratorium impor terhadap Malaysia. Jika sementara ini, masih banyak barang dan bahan pangan yang sulit ditemukan atau diproduksi dalam negeri, pemerintah bisa bekerjasama dengan negara lain, selain Malaysia, untuk menyuplai. Tujuannya agar Indonesia tampil sebagai negara kuat, tidak menjadi pengemis di hadapan Malaysia.
Bagaimana dengan moratorium tenaga kerja? Itu hanyalah siasat “pemadam kebakaran” yang sebenarnya tidak menyentuh persoalan, bahkan bisa jadi sekadar menumpuk api kebencian dan amarah warga yang setiap saat bisa diluapkan. Mereka menuding negara hanya berfungsi sebagai petugas pencatat pelbagai keluhan dan lebih identik dengan “negara penjaga malam” (night-watchman state).

Yogyakarta, 2017

Kamis, 10 Agustus 2017

Pancasila Rujukan Berorganisasi (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Kamis, 10 Agustus 2017)

Berbagai kelompok cukup getol memaksakan kehendak. Mereka ambisi mengutamakan keseragaman ideologi. Mereka berusaha mengubur jati diri bangsa Indonesia dengan menghapus Bhinneka Tunggal Ika. Mereka mengingkari realitas historis para pendiri bangsa. Mereka mengesampingkan kenyataan, negeri ini tersusun atas berbagai elemen.
Padahal, selama ratusan tahun, agama, suku, dan ras, merupakan unsur-unsur yang membentuk fondasi kebangsaan. Keberadaan mereka tak mungkin dinihilkan. Suku-suku di berbagai penjuru Indonesia mempunyai kearifan lokal yang eksotis. Itulah banyak peneliti meriset warisan budaya suku-suku tersebut.
Pluralitas etnik menjadi khazanah yang memperkaya peradaban negeri ini. Keanekaan kultur tidak lantas memperlebar jurang perbedaan, justru menyatukan identitas kebangsaan.
Inspirasi serta narasi kerukunan, keguyuban, dan keharmonisan bangsa antara lain ditunjukkan Suku Batak Toba, Betawi, dan Banjar. Para leluhur mereka telah mewariskan kearifan lokal. Kehidupan Suku Batak Toba memuat tata tertib yang mengatur pertikaian keluarga batih dan antarmarga (bius). Untuk menyelesaikan permasalahan sosial, mereka memanfaatkan lembaga adat.
Setiap orang menjunjung tinggi etika kepatuhan terhadap keputusan bersama. Lembaga mediasi yang dulu diduduki raja huta dan tunggane-huta sangat menentukan keputusan suatu perkara serta mempunyai kekuatan hukum untuk dihormati. Sisa-sisa lembaga penyelesaian konflik yang asli suku Batak Toba masih dikenal sekarang. Contoh, lembaga natua-tua ni huta (tua-tua desa), raja huta (kepala desa), pangituai (orang-orang terkemuka), dan sebagainya.
Ada juga lembaga baru seperti pangula ni huria (pimpinan gereja) atau lembaga modern yang merupakan transformasi lembaga-lembaga tradisional, yaitu pengurus punguan marga (pengurus organisasi marga) dan pengurus persahutaon (pengurus organisasi desa). Sayangnya, lembaga-lembaga ini bersifat disfungsional karena lemahnya nilai kesatriaan, bergengsinya lembaga peradilan negara, serta meredupnya peradilan adat (Bungaran Antonius Simanjuntak, 2007: 25).
Muhammad Husni dan Tiarma Rita Siregar (2000: 19–22) menyebutkan bahwa bagi suku Betawi, upacara perkawinan merupakan sarana religiositas manusia. Perhiasan pengantin wanita secara tidak langsung menunjukkan wujud penghambaan manusia kepada Tuhan. Tusuk konde berbentuk Arab yang diselipkan pada penutup cadar menggambarkan pengukuhan terhadap keesaan Allah.
Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Selatan mempunyai korpus sastra adat yang luas, terutama diwariskan menurut garis keturunan laki-laki oleh ahli hukum adat selaku tetua desa, kepala desa, atau kepala adat. Bagi suku Dayak, sastra profan mencakup legenda mengenai sejarah atau asal kejadian tempat, arca, tumbuhan, dan sebagainya.
Mereka mengenal sansana sebagai salah satu genre sastra yang dilantunkan dengan nyanyian dan bersifat didaktis moral. Sansana bukanlah milik golongan tertentu, sehingga banyak orang Ngaju yang hafal dan menyampaikannya kepada orang lain untuk pendidikan. Kadang-kadang, di luar pesta adat, seorang perempuan tua diminta menceritakan Sansana sebagai hiburan. Penduduk desa berkumpul serta mendengarkan sepanjang malam (JJ Ras, 2014: 10).
Pada tahun 2002, Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) melaksanakan program pemberdayaan masyarakat tradisional untuk berpartisipasi dalam upaya pelestarian alam dengan membantu Desa Nangga dan Jangga Manggu di Sumba Timur di perbatasan Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti. Kehati berharap kearifan lokal dalam pengelolaan keanekaragaman hayati tetap berkembang, sehingga Taman Nasional dilestarikan. Bagi dua desa tersebut, hutan adalah pemberi kehidupan (pingi lata luri). Hutan memberikan pangan dan obat-obatan, bahan tali dan bangunan, serta pewarna kain. Di samping itu, hutan menjadi kawasan menggembalaan ternak dan menggelar upacara keagamaan.
Program Kehati di Desa Nangga dan Jangga mendorong masyarakat bersama melaksanakan rotu (aturan tak tertulis yang menjadi pedoman masyarakat Sumba Timur untuk bercocok tanam atau beternak, melindungi tanaman dan hewan budi daya serta menjaga hutan di sekitarnya). Sejumlah ketetapan yang digariskan antara lain penentuan jumlah pohon yang ditanam setiap keluarga, larangan pembakaran hutan, kesepakatan lokasi penggembalaan.
Kemudian, perawatan kebun hutan milik keluarga, mekanisme pembayaran sanksi atau denda ketika pelanggaran, serta penunjukan pemantau implementasi rotu (Setijati D Sastrapradja 2010: 179). Dalam buku Belajar dari Bungo: Mengelola Sumber Daya Alam di Era Desentralisasi (2008: 108) tercatat bahwa di Jambi, Suku Banjar menetapkan aturan unik yang menggambarkan kearifan lokal.
Di desa-desa Pelepat, Bungo, suatu lubuk dilarang dipanen dalam 6–24 bulan. Masyarakat menetapkan, peralatan untuk mengambil ikan terbatas alat-alat yang dapat menjamin kelestarian ikan. Pelanggar bakal dikenakan sanksi adat yang disepakati ninik mamak dan seluruh masyarakat. Sanksi diberikan secara bertahap dengan jumlah denda tergantung pada kesalahan.
Di samping turut mengampanyekan slogan go green, aturan di atas juga mendorong meningkatnya kesejahteraan masyarakat melalui lubuk. Pengalaman sejarah membuktikan, lubuk menjadi kas desa untuk membiayai pembangunan serta kepentingan lainnya. Salah satunya lubuk larang di Desa Batu Kerbau.

Rujukan
Pluralitas yang berpijak pada kearifan-kearifan lokal inilah yang semestinya dihormati semua golongan. Kesadaran terhadap keberagaman membuat manusia semakin bijak dalam bersikap sehingga fanatisme berlebihan yang cenderung melahirkan perselisihan, permusuhan, bahkan perpecahan dapat dihindarkan.
Sebagai dasar negara, Pancasila selayaknya dijadikan rujukan hidup bersama. Pada dasarnya nilai-nilai Pancasila bisa menjadi titik tolak untuk masuk (entry point) pembudayaan kawula muda. Hal ini terutama dirasakan di beberapa desa yang relatif lebih kerap memanfaatkan pola komunikasi tradisional dan nilai budaya cukup kuat.
Bahkan, sering kali diungkapkan bahwa Pancasila sesungguhnya genap tertanam dalam kearifan lokal orang desa. Anggapan ini kiranya tak berlebihan karena merupakan kristalisasi budaya Nusantara (Sudjito dkk 2012: 140). Atas dasar itulah, terlepas dari pro dan kontra sejumlah pihak atas penerbitan Perpu No 2 Tahun 2017, organisasi kemasyarakatan (ormas) yang berhaluan anti-Pancasila harus dibubarkan.
Pemerintah dituntut mampu membina dan mengarahkan orang-orang yang bergabung di dalamnya. Ormas-ormas yang berideologi Pancasila juga dilarang menaruh dendam terhadap mereka yang terlibat dalam organisasi terlarang. Bagaimanapun, pintu selalu terbuka memperbaiki diri.
Selain itu, penghayatan nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan-kearifan lokal tidak hanya dijadikan jargon semata. Tapi, juga diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jika wacana ini berhasil, kelak tidak ada lagi kelompok-kelompok yang mengampanyekan “kebenaran tunggal.” Dengan demikian, masa mendatang, organisasi-organisasi kemasyarakatan memiliki semangat kebersamaan dengan Pancasila sebagai asasnya.

Yogyakarta, 2017

Rabu, 02 Agustus 2017

BUMDes dan Ekonomi Lokal (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Suara NTB" edisi Rabu, 2 Agustus 2017)


Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) meresmikan PT Mitra Bumdes Nusantara sebagai holding (induk) Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Menjalin ikatan kerja sama dengan beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Holding Bumdes diharapkan mampu mempercepat laju ekonomi perdesaan. Langkah ini membuktikan, Kemendesa PDTT menyadari bahwa BUMDes memiliki posisi urgen dalam meningkatkan taraf hidup serta kesadaran ekonomi orang desa.
Dikukuhkan melalui Peraturan Mendagri No. 39 tahun 2010, BUMDes dipercaya memiliki fleksibilitas untuk selalu beradaptasi dengan keinginan masyarakat perdesaan. Sebagai aset yang dikelola oleh desa, BUMDes berupaya memajukan usaha-usaha perdesaan. Dengan demikian, BUMDes lebih mudah berperan selaku lembaga pembiyaan bagi mereka yang ingin meningkatkan usahanya di tingkat lokal. BUMDes menjadi alternatif pengelolaan potensi kearifan lokal serta pemberdayaan masyarakat yang berada di garis kemiskinan.
Keberlangsungan BUMDes bisa lebih terpelihara lantaran berdiri atas inisiatif masyarakat desa, dikelola serta dikontrol oleh masyarakat desa. Pemberdayaan BUMDes dilakukan demi mencapai kesejahteraan masyarakat desa dengan pola kehidupan yang kental dengan semangat gotong-royong. Pengawasan BUMDes berdasarkan norma sosial dan adat yang berlaku di desa tentu bisa meminimalisir perilaku menyimpang dalam kehidupan ekonomi perdesaan. Sebab ditopang oleh lembaga perekonomian yang dijiwai oleh semangat gotong-royong, kemandirian desa akan memperkokoh fondasi ekonomi nasional. Sehingga, terwujudnya keadilan sosial sebagai pengamalan Pancasila dan terciptanya negara berdikari bukanlah utopia belaka (Sudjito, dkk. 2012: 335-336).

Ekonomi Kapitalistik
Lahirnya BUMDes di desa diharapkan mampu meminimalisir efek dan dampak negatif kapitalisme. Dengan memegang teguh visi kebersamaan dan loyalitas, BUMDes diyakini sanggup memerangi aktivitas ekonomi modern yang cenderung liberal-individual. Apalagi, nilai-nilai globalisasi yang menancap sedemikian rupa di berbagai penjuru negeri genap melahirkan ekonomi kapitalistik.
Ekonomi dengan kapitalisme sebagai ideologi cenderung memaksakan pengaruhnya bagi orang desa yang dari dulu mempunyai tatanan sosial dan ekonomi yang berlainan dari Barat. Nilai-nilai materialisme yang ditawarkan ekonomi kapitalistik mendesak kehidupan ekonomi di tingkat lokal. Dalam taraf tertentu, keadaan ini mengakibatkan kerusakan berbagai tatanan yang ada. Stabilitas, keseimbangan, dan harmoni sosial akhirnya dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Ekonomi kapitalistik yang mulai tumbuh di desa juga menciptakan perubahan struktural dalam kehidupan masyarakat.
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, kapitalisme yang mengusung ide-ide Barat menjadikan orang desa seakan terusir dari tanah kelahiran. Para konglomerat yang memperluas usahanya hingga pelosok turut memperparah penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan desa. Kaum pengusaha yang sebenarnya dituntut memberikan peluang kerja bagi orang desa justru turut ambil bagian dalam upaya menyengsarakan orang desa. Mereka selalu berusaha agar keuntungan yang mereka peroleh semakin berlipat, tanpa memperhatikan nasib rakyat kecil.
Munculnya banyak mall tentu menggusur toko kecil, warung, dan kedai tradisional. Menjamurnya aktivitas pertambangan yang mengesampingkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) mengotori alam perdesaan yang sejak lama jauh dari polusi. Dalam konteks inilah, peran BUMDes selalu dinantikan. Sepak terjang orang-orang yang aktif di dalamnya diharapkan mampu melakukan transformasi di tingkat lokal. Sehingga, aktivitas ekonomi tidak didikte oleh keinginan the have (orang kaya) dan pengusaha, tetapi diatur dengan prinsip tolong-menolong, kerukunan, serta komunalitas.

Filosofi Kerja
Fungsi BUMDes bisa berjalan dengan baik dan maksimal, apabila filosofi kerja orang desa diperhatikan dan daya tawar (bargaining power) BUMDes dinaikkan. BUMDes dituntut menampung cara berpikir aktor penggeraknya. Sebagai garda terdepan dalam upaya pemanfaatan potensi desa, keberadaan BUMDes terkait erat dengan filosofi kerja orang desa. Dalam memenuhi kebutuhan hidup, mereka yang bermukim di wilayah pedalaman mengantongi pola dan mekanisme tersendiri dibanding mereka yang tinggal di wilayah perkotaan. Apa yang mereka kerjakan genap dipengaruhi oleh lingkungan dan pengalaman hidup. Inilah yang menyebabkan aktivitas ekonomi orang-orang desa berbeda dengan kaum urban.
Abdul Munir Mulkhan (2009: 95) mensinyalir bahwa orang desa memiliki filosofi kerja sendiri. Bagi mereka, kerja bukan sekadar berburu keuntungan atau kekayaan. Lebih jauh dari itu, kerja dianggap sebagai bagian dari cara menjalani kehidupan. Seluruh pekerjaan petani dan masyarakat perdesaan bukan dilandasi kesadaran bahwa mereka menganggap usaha utama dan sampingan sebagai bagian dari sistem produksi ekonomi. Apa yang mereka kerjakan  merupakan cara untuk mengisi waktu kosong yang mesti dijalani sebagai bagian dari kehidupan rohani yang bernilai dan mendalam.
Salah satu kiat mengatrol daya tawar (bargaining power) BUMDes adalah dengan jalan memberdayakan generasi muda. Melalui pemanfaatan dana desa, BUMDes bisa menyediakan lapangan kerja bagi mereka. Selama ini, wajah ekonomi perdesaan belum mengalami perubahan signifikan dikarenakan anak-anak desa yang berhasil meraih gelar sarjana enggan kembali ke tanah kelahiran. Mereka lebih memilih untuk bekerja di berbagai lembaga modern di daerah perkotaan, pinggiran kota, dan sentra pengembangan industri, dengan gaji yang lebih menjanjikan.

Yogyakarta, 2017