Jumat, 14 Juni 2013

Akulah Angin (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian “Joglo Semar” edisi Minggu, 9 Juni 2013)


Aku adalah angin yang setiap hari menghuni loka penampungan sampah di pinggiran kota. Aku adalah angin yang puluhan tahun menghirup bau tak sedap dari daun busuk, kaleng, plastik dan bungkus makanan. Akulah angin yang oleh sejumlah makhluk lainnya seringkali dianggap tiada berguna. Tak apa. Aku menerima saja takdirku sebagai angin. Ya, angin, yang bisanya mematuhi alur kehidupan dari Tuhan.
Sayangnya, aku tergolong angin yang kurang percaya kepada manusia; makhluk yang didaulat untuk senantiasa memelihara semesta dan sedianya menebarkan benih-benih kebaikan, dan nyatanya malah mengumbar keonaran. Aku bingung kenapa hidup makhluk paling dimuliakan itu begitu nista. Senista iblis, pecandu kesesatan dan segala jenis kebejatan. Ah, aku tak mengerti apakah kini manusia menjadi setan. Setan? Maaf, maaf. Aku tak tahu. Sungguh. Bilamana dibekali pikiran, mungkin aku sanggup mendiamkan pertanyaan yang kian hari kian menjengkelkan ini.
Kalian percaya? Mustahil aku ngawur dan asal nyeplos. Semua perkataanku tadi berlogika serta ada dasarnya. Meskipun hanya angin, aku ini angin yang menjaga martabat. Malu dong kalau aku sampai disebut makhluk durjana semisal manusia.
Tepatnya, beberapa bulan lalu, saat jalan-jalan, aku mengetam pengalaman yang barangkali jauh dari bayangan kalian. Pagi itu, ya, pagi dengan sinar matahari berloncatan kesana kemari itu, aku bosan berbaring terus di sebuah tempat yang selayaknya tidak dihuni. Aku ingin melihat-lihat keadaan di luar sana. Menyesap suasana agak berbeda dari biasanya. Dan, ngeluyurlah aku ke terminal, gedung DPR dan sungai. Ya, sungai yang terakhir kusambangi tiga lebaran silam. Sungai yang pernah kukagumi keindahannya itu.
Di terminal, aku melihat beberapa pengasong menawarkan manisan mangga yang begitu memikat, menjerat calon penumpang untuk menerogoh dompet dan kemudian menebusnya. Apabila seseorang bepergian sendirian, maka ia akan membeli minimal satu bungkus. Agar saat berada di kendaraan, ia bisa menikmatinya guna mengusir rasa pahit di kerongkongan. Apabila ada ibu bersama anak kecil, maka ia akan membayar dua bungkus. Tentu si anak memilih merengek jika tidak dijejali manisan berpenampilan aduhai itu. Adapun sang ibu bakal meneteskan liur jika saja tidak ikut mencicipi. Jikalau seseorang hendak berkunjung ke rumah mertua, maka pastilah ia memborong lusinan makanan ringan penuh pemanis itu. Mertua mana yang keberatan dibawakan oleh-oleh dari menantunya. Oleh-oleh yang meskipun murah, akan tetapi tetap berasa di lidah.
Alangkah sialnya! Para penggandrung manisan itu sebenarnya adalah korban. Korban? Benar. Transaksi jual-beli yang seolah berdasar suka sama suka itu mengandung unsur tipu daya. Pembeli tak ubahnya selaku mangsa. Adapun penjual mengangkat diri selaku penipu ulung yang berhasrat meraup untung. Jika memergoki muasal pembuatannya, dijamin kalian akan muntah-muntah, beol seharian, serta seumur hidup tak bakal makan manisan. Asal kalian pahami, warna kuning kemerah-merahan pada manisan yang bertebaran di terminal itu ternyata diperah dari pewarna tekstil. Sebab itulah tampilannya selalu segar dan menentramkan.
Kalian mungkin tak sampai menduga, kalau oleh pembuatnya, manisan tersebut dijauhkan dari jangkauan anggota keluarga—disebabkan ribuan bahaya terselip di dalamnya. Aih, aih, aih. Menginsafi hal itu, aku pun mengurut dada. Benar-benar keterlaluan! Manisan yang dilarang dikonsumsi keluarga sendiri karena menyimpan racun malah disebarkan kepada orang lain, demi memungut uang.
Di gedung DPR, melalui jendela, celah-celah pintu, juga lubang-lubang kecil plafonnya, aku menemukan orang-orang dewasa sedang bermain. Mereka layaknya anak-anak play group yang menguras waktu di plorotan dan ayunan. Begitu riangnya hingga terdengar riuh tawa membahana. Tiada beban menghinggapi dada mereka. Tiada kesedihan pada raut wajah mereka. Bagaimana tidak. Hidup mereka ditanggung oleh gaji selangit, yang dikeruk dari keringat manusia lainnya.
Juga bagai anak balita, mereka gemar berkelahi antara satu dengan lainnya. Entah mempertengkarkan apa. Sekali lagi, entahlah. Yang jelas, setelah terlihat saling bermusuhan, bertengkar lantas menangis menggerung-gerung, mereka akur seperti semula. Seperti tidak terjadi apa-apa. Dan, kembali mereka bermain bersama, lalu karena disulut masalah sepele mereka saling berkelahi. Lagi, lagi. Dan, lagi. Begitulah seterusnya, seakan menunjukkan putaran kehidupan tiada putusnya.
Fungsi gedung megah yang fondasinya mengorbankan banyak peluh dan darah itu mirip sekali dengan bangunan penentu takdir manusia. Dalam gedung itu, nasib petani, buruh, tukang parkir, guru, penyair, artis, dan ratusan jenis profesi lainnya digariskan. Anehnya, orang-orang kekanak-kanakan itulah yang memegang hak dalam membagikan kesejahteraan. Begitu pula dalam urusan menyebarluaskan penderitaan. Maka, berbahagialah bagi orang-orang yang merapat-mendekat dan berhasil mencuri hati mereka. Pun sebaliknya, meranalah orang-orang yang kurang akrab dengan mereka atau bahkan sama sekali tak dikenal.
Barang tentu para pemasok uanglah yang menjadi sahabat terbaik mereka (para fakir, kaum melarat, gembel, juga pemilik-kekayaan-terbatas sengaja dijauhi). Undang-undang dengan mudah dikondisikan sesuai kepentingan pemodal. Kata-kata dalam peraturan merupakan penjelmaan dari beragam pesanan. Lantas menyebarlah berita memilukan itu. Berita yang mewartakan bahwa mereka dengan terang-terangan nekat membandrol tiap pasal dengan tarif ratusan juta hingga milyaran. Lewat televisi, radio, koran dan internet, mereka menyebar pengumuman. Bahkan pernah suatu saat kami—para angin—mendapat tawaran untuk turut serta mensukseskan program mereka. Sesuai kemampuan, kami menadah perintah untuk meniupkan pengumuman gila tersebut ke segala penjuru. Mulai dari daerah perkotaan yang syarat kebisingan hingga wilayah paling dalam dari perkampungan. Sebagian besar di antara kami menolak mentah-mentah. Namun sebagian kecil menerima dengan berharap imbalan sepantasnya. Dan, akibatnya, angin yang bertindak lalai tersebut kami kucilkan dengan terlebih dahulu kami siksa habis-habisan.
Di sungai, aku mendapati genangan darah di sana-sini. Sungai yang dulu bermata jernih dan bersih itu berubah sayu, keruh dan berwarna merah. Sungai yang hampir saban hari dipakai mencuci tangan-tangan pembunuh sesudah membinasakan lawan bisnis, rival karir, atau pesaing cinta. Sungai yang dimanfaatkan untuk meraibkan jejak-jejak penjahat seusai melunasi tugasnya.
Sungguh, sepasang mataku gemar memuncratkan rintik-rintik tipis cairan asin ketika memandangi sungai malang itu. Di sanalah, di hamparan tubuhnya, aku menyaksikan onggokan mayat manusia. Benar. Mayat yang sebagian besar diantaranya sama sekali tiada kuraba identitasnya. Mayat yang jika boleh memanggil namanya, akan kusebut tiga saja. Merekalah yang selama ini kujajaki secuil kepribadiannya.
Mayat pertama, mayat Bu Lasmi. Perempuan bunting delapan bulan itu mati mengenaskan, akibat dibantai Kriwul di malam gerhana. Kepala pecah, mata kiri keluar dan ususnya terburai di lantai. Terdapat indikasi kuat bahwa pemuda pengangguran itu suruhan Bu Mirah, perempuan paruh baya berprofesi sama dengan si korban. Toko plastik Bu Lasmi yang akhir-akhir ini padat pembeli rupanya menjadi alasan utama mengapa perempuan itu harus menghirup nafas terakhir, sebelum melahirkan jabang bayinya. Begitulah. Nyaris aku tak percaya. Ternyata di kampung mungil yang katanya sangat damai sekalipun tersembul dengki membabibuta. Dengki yang mengantarkan perempuan harus meninggalkan dunia tanpa memafhumi kesalahannya.
Kedua, mayat Pak Bambang—terapung tiga hari tiga malam. Ialah lelaki berumur tiga puluhan tahun yang baru empat bulan menjabat direktur perusahaan besar. Lelaki yang selalu mengundang iri para bawahan karena lajunya yang begitu cepat meraih posisi puncak. Lelaki yang mencintai sekaligus dicintai seluruh keluarga namun dibenci beberapa kolega. Dan, barangkali di alam sana, lelaki itu menyesal kenapa ia menjadi direktur. Sebiji jabatan yang enggan memancing berkah, namun justru menjaring musibah.
Juga mayat Karyamin, penarik becak miskin yang berani melamar Aryani, putri saudagar terkenal di ujung kota. Ialah pemantik geram Yanto, pemuda lulusan kampus ternama, yang setengah mati jatuh hati pada bunga kampung itu. Terang saja Yanto berbulat niat untuk melibas nyawa si tampan berkumis runcing itu, karena tahu Aryani menyambut pinangannya. Dan, jadilah ladang belakang rumah Gepeng sebagai ajang kebiadabannya: melesapkan parang di genggamannya tepat di lambung dan leher Karyamin.    
Demikianlah. Seperti kalian simak, sehabis mengunjungi terminal, gedung DPR dan sungai, rasa percayaku kepada manusia mulai berkurang. Dan, dapat dipastikan, dalam sebentar lagi rasa itu sepenuhnya hilang. Sehingga pada saatnya nanti, aku lebih suka mengakrabi waktu di loka penampungan sampah di pinggiran kota—walaupun bosan menjadi ancaman tersendiri: menghirup bau tak sedap dari daun busuk, kaleng, plastik dan bungkus makanan. Juga menerima saja takdirku sebagai angin. Ya, angin, yang bisanya mematuhi alur kehidupan dari Tuhan.

Yogyakarta, 2012

Belajar Hidup di Dhaka (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di “Kompas.com” edisi Selasa, 28 Mei 2013)

Judul: Remember Dhaka
Penulis: Dy Lunaly
Terbit: Januari 2013
Penerbit: Bentang Belia
Tebal: 212 halaman
Harga: Rp. 37.000,-

Novel ringkas ini mengajak kita untuk senantiasa berintropeksi diri, mengisi waktu dengan hal-hal berguna, serta menggali makna kehidupan dengan bijak.
Ialah Arjuna Indra Alamsjah, remaja tanggung yang begitu manja karena kebesaran orang tuanya. Lulusan SMA yang punya hobi party dan menghabiskan puluhan juta rupiah dalam waktu semalam. Dalam pikirannya, dengan kekayaan yang dipunyai sang ayah, ia bisa membeli segalanya, termasuk kampus mana yang akan bersedia menampungnya. Akan tetapi, kakaknya, Dewi Agni, mengingatkan bahwa hidup ini tidak semudah membalik telapak tangan, sehingga uang cukup lemah untuk diandalkan. Ia menegur sikap adiknya, sebab gemar membanggakan kekayaan dan kepopuleran ayahnya yang selalu terdaftar dalam short list lima besar konglomerat di Indonesia serta memiliki jaringan bisnis di berbagai negara.
Guna merubah perilaku saudaranya tercinta, Agni merencanakan ‘program khusus’. Untuk melancarkannya, ia meminta persetujuan dan dukungan penuh kedua orang tua. Sesuai harapan, papa dan mamanya memberinya lampu hijau, bahkan akan turut serta membantu jika dibutuhkan. Akhirnya ia pun memberi tahu bahwa adiknya telah didaftarkan dalam volunteer trip, suatu program di Dhaka, Bangladesh, yang membuka peluang bagi siapa saja untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran dalam pendidikan anak-anak. Arjuna merasa bahwa itu adalah rencana konyol yang pernah digagas oleh sang kakak. Mengingat, selama ini ia hanya memikirkan diri sendiri, sehingga mengurus orang lain menjadi urusan ke sekian dalam hidupnya. Ia pun terang-terangan menolak ide kakaknya dengan mengatakan kalau dirinya tidak sanggup.
Dengan gigih, Agni melanting motivasi bahwa adiknya bisa melakukannya, “I know you can. Selain itu, coba berpikir, itu cuma sebulan, 30 hari. Setelah itu kamu bisa kembali ke kehidupan yang kamu kenal. Anggaplah ini tantangan dari Papa buat membuktikan bahwa kamu udah dewasa.” (halaman 16)
Terpaksa, berangkatlah Arjuna ke sebuah tempat yang sebelumnya tidak pernah menjadi target rekreasinya. Maklum, bersama teman-temannya, ia lebih suka menghamburkan waktu dan uang ke negara-negara lainnya, dengan hanya satu tujuan: bersenang-senang.
Setiba di Dhaka, ia disambut oleh Emma, seorang gadis dari Swedia. Ialah yang berperan selaku advisor bagi Arjuna. Tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya, ternyata advisor-nya berusia lebih muda darinya.
Terbiasa hidup mewah dengan fasilitas serba cukup, di Dhaka ia merasa seperti di neraka. Mulanya, ia tidak begitu betah tinggal di sana. Apalagi, beragam kesulitan sudah ditemuinya sejak kali pertama ia mendarat. Mulai dari kewajiban yang mengharuskannya bangun tepat jam lima pagi, tempat perbelanjaan yang tutup jam tujuh malam, hingga pembatasan air yang tentu menurutnya amat menyiksa.
Susah. Itulah kata yang tepat untuk mewakili kesan di hari perdana ia mengajar anak-anak di Dhaka. Mereka ribut, berlarian ke sana kemari dan sama sekali tidak memperhatikan Arjuna. Meskipun awalnya agak kesal, namun lambat laun, dari hari ke hari, ia mulai enjoy dengan kegiatan tersebut, setelah beberapa teman sesama volunteer memberikan masukan. Bahkan, ia menilai anak-anak didiknya sangat luar biasa dengan berkata, “anak-anak ini besar dalam kemiskinan, keterbatasan yang aku sendiri tidak bisa membayangkan, tapi kenapa mereka masih bisa tersenyum bahagia? Sedangkan aku, sedikit saja keinginanku tidak berhasil aku dapatkan bisa marah dan berteriak kesal pada hidupku?!” (halaman 79)
Arjuna semakin enjoy karena Emma dengan senang hati kerap mengajaknya berjalan-jalan ke berbagai tempat yang baginya menyimpan keindahan tiada tara. Dalam mindanya, Dhaka tidak seperti apa yang dibayangkan. Loka-loka tertentu di Dhaka menyajikan memori yang manis jika berhasil diabadikan, semisal Sungai Tongi, yang menyewakan kapal-kapal bagi para pengunjung yang ingin menyusurinya.
Perasaan Arjuna tercubit, ketika mengajar di kelas Emma, ia mengetahui bahwa siswa bernama Arya sudah tiga hari berturut-turut tidak masuk tanpa kabar. Ia bermaksud mencari tahu alasan mengapa anak itu meninggalkan pelajaran, padahal dibanding yang lain, Arya termasuk penurut dan terlihat tidak punya masalah.
Tepat, jika keputusan Arjuna adalah mengunjungi rumah Arya. Dari sanalah ia memahami kenapa Arya tidak masuk kelas. Rupanya anak kecil itu sedang menunggu adiknya yang terbaring lemah karena sakit. Adapun ibu dan ayahnya tengah bekerja dan baru kembali bila malam sudah menampakkan batang hidungnya. Ketika ditanya, Arya mengaku ibunya ikut banting tulang setelah mengetahui tempat kerja ayahnya didera masalah. Karena kondisi keuangan yang memprihatinkan itu pula, adiknya belum sempat dirujuk ke rumah sakit.
Beberapa hari usai mengunjungi Arya, Arjuna bertekad meringankan beban anak didik Emma tersebut dengan cara mendermakan sejumlah uang. Namun, langkah ini justru ditentang oleh Emma dengan sengit, “mungkin buat kamu, uang bisa menyelesaikan masalah. Tapi, di dunia nyata, uang tidak pernah bisa menyelesaikan masalah.” (137)
Bukan hanya Emma. Thomas rupanya juga kurang sependapat dengan Arjuna. Dengan bahasa meyakinkan, Thomas memberi pengertian bahwa uang hanyalah solusi sementara. Jadi, harus ada problem solving atas sebab-sebab yang bersifat lebih mendasar.
Beberapa hari mengurung diri di kamar, Arjuna merampungkan proposal pengajuan dana kesehatan ke induk organisasi volunteer trip. Bukan cuma bagi keluarga Arya, melainkan semua orang kurang beruntung di Dhaka. Ide brilian tersebut ia unduh dari Thomas usai melalui debat panjang.
  Gayung bersambut. Proposal Arjuna diterima dan dinyatakan lolos. Seluruh temannya ramai-ramai mengucapkan selamat, karena Arjuna dianggap telah menghibahkan kontribusi berarti bagi kehidupan orang-orang Dhaka. Arjuna begitu puas dan terharu. Di luar dugaan, ternyata ia mampu memberikan manfaat kepada orang lain.
 Saat kian akrab dengan berbagai program kemanusiaan, Arjuna harus angkat kaki dari tanah Dhaka. Genap 30 hari ia tinggal di sana. Genap 30 hari pula ia berjuang, demi perubahan hidup dirinya juga manusia lainnya. Akhirnya, dengan berat hati ia meninggalkan Dhaka dan bertolak ke Indonesia. Berbekal pengalaman pendek selama sebulan tersebut, Arjuna menjadi mengerti tentang apa arti kehidupan sebenarnya.

Yogyakarta, 2013

Minggu, 09 Juni 2013

Meraup Bijak dari Sajak (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Riau Pos" edisi Minggu, 26 Mei 2013)


Sepenggal sajak Taufik Ikram Jamil (TIJ) bertajuk Pujangga Hasan Junus yang terbit pada 1 April 2012 dipetik menjadi judul buku ini, Sekeping Ubi Goreng. Selain karena memang patut diapresiasi, sajak tersebut dipersembahkan kepada Hasan Junus sebagai sastrawan Riau yang disepuhkan. Bila merunut asbabun nuzul-nya, sajak berisi enam bait tersebut direkacipta selepas keberangkatan Hasan Junus menghadap Sang Maha Perancang tepat sehari sebelum karya TIJ ini lahir, yaitu 30 Maret 2012.
Guna menuang secuil memoar Hasan Junus, TIJ menulis: engkau telah membaca/ saat huruf-huruf baru menyusun makna.
Dari potongan sajak di atas, terlihat keseriusan TIJ dalam menggambarkan sosok Hasan Junus, baik dalam mengekalkan imajinasi dan intuisi maupun ketika menghayati ritme kehidupan. Proses kreatif Hasan Junus dalam berkarya ataupun saat berkontemplasi, menghayati alur hidup, divisualkan dengan kata ‘membaca’. Barang tentu kata kerja ‘membaca’ tidak terbatas pada telaah buku, catatan, coretan, surat, serat, dan lain sebagainya, namun lebih luas dan menjangkau hingga tataran mikrokosmos dan makrokosmos: seluruh rangkaian peristiwa di jagat raya. Bukan asal-asalan jika TIJ memilih kata satu ini. Sebab dengan membaca, kita bisa mengerti apa makna kehidupan sesungguhnya. Dengan membaca, kita mampu memahami esensi di balik segala fakta-realita.
 Meskipun demikian, kegiatan ‘membaca’ oleh Hasan Junus sebenarnya barulah berada pada tahap permulaan. Hal ini ditunjukkan dengan frase: saat huruf-huruf baru menyusun makna. Mengingat, bagaimana pun juga manusia, siapa pun dia, berapa pun usianya, akan terus mengalami proses pembelajaran. Jadi, seorang pembelajar dituntut untuk senantiasa mengikuti garis-garis dalam memungut remah-remah pengetahuan, hingga ia bersua dengan batas besar yang menjadi penghalang (baca: ajal).
Bagi TIJ, kepergian Hasan Junus menyebabkan keintiman dan keakraban dengannya selama ini harus dikorbankan. Inilah yang menyebabkan TIJ ‘kurang terima’ dengan kematian yang datangnya begitu tiba-tiba. Dengan penuh rasa menyesal, maka ia mempertanyakan kepada ‘yang diratapi’ ihwal kepergian yang terkesan amat tergesa-gesa: maka bagaimana engkau bisa pergi/ sementara semuanya masih di sini, di pucuk sajaknya.
84 karya dari 23 penyair yang terikat dalam buku terbitan Yayasan Sagang, Riau, akhir tahun 2012 ini merupakan sajak-sajak yang terbit di Riau Pos (rubrik Pujangga) setiap hari Minggu sepanjang tahun 2012. Sejumlah penyair terbilang produktif mengirimkan sajaknya, semisal Taufik Ikram Jamil, Saukani al Karim, Jefri al Malay, M. Badri, Musa Ismail, Riki Utomi, Marhalim Zaini, Isbedi Setiawan, dan Alvi Puspita, yang merupakan deretan nama dalam kancah sastra Indonesia. Akhir-akhir ini, muncul pula beberapa nama baru, seperti Monda Gianes, Ekky Gurin Andika dan Deni Afriadi. (halaman vi)
Tema-tema yang menjadi pilihan para penyair kini jauh lebih beragam. Namun demikian, persoalan Melayu dengan ‘rasa’ tempatan yang sangat lokal senantiasa menarik untuk ditulis, baik dengan rasa lama maupun kontemporer (halaman viii)
Ihwal Melayu yang di maksud misalnya bisa ditengok dalam sajak Terkenang Melayu. Penyairnya, Sukardi, menyentak pembaca dengan racikan kata memesona: senandung Melayu/ kecintaanku memukat/ seperti hitam kopi yang mengendap/ tentang Melayu/ resam adat kutampi dari zaman ke zaman/ hingga kini masih terjunjung.
Dengan sajak ini, kecintaan membabibuta pada akar sejarah Melayu dilukiskan begitu merdu dan mendayu-dayu. Kopi hitam sebagai visualisasi atas hati yang sedang dimabuk cinta menunjukkan bahwa meskipun bermodal tamsil sederhana, akan tetapi penyair tetap sanggup menghidangkan ‘rasa’ sajak yang istimewa.
Lain halnya dengan Marhalim Zaini yang menyajikan keindahan dan keberlimpahan makna dalam sajak Birahi Gunung: dari debu,/ kau menulis di daun-daun/ tentang duka tanah/ di malam ketigabelas/ yang gemetar// ada gigil,/ bukan oleh gugur hujan, dan/ dingin musim, tapi anak-anak api/ yang mendidih/ dalam tubuhmu// aku birahi, bisikmu.
Pemikiran yang mendalam tentang hakikat kehidupan didapatkan penyair dari ‘sosok’ gunung. Menghasilkan sajak yang memikat dengan memberdayakan kata-kata ‘lama’ untuk diolah menjadi metafora baru tentu bukan pekerjaan mudah. Tetapi, penyair sanggup melakukannya dengan lembut dan bernas.
Adapun refleksi atas penciptaan alam dan isinya menjadi daya kekuatan sajak Segumpal Tanah oleh Musa Ismail: segumpal tanah di tangan-Mu/ menjadi manusia dan pucuk-pucuk cemara/ menjadi hati dan buih-buih lautan/ juga daun-daun kering berguguran/ di hamparan bumi luas membentang.
Dari cuilan sajak di atas belum nampak kegenitan penyair dalam ‘mencampuri’ urusan Tuhan. Kecerewetan penyair baru ditemu-rasakan dalam cuilan lainnya: rerumputan hijau, sejuk di telapak hati/ alirkan air ke nadi-nadi kehidupan, kebijaksanaan/ dari tanah-tanah yang merekah di musim kemarau/ langkah-langkah yang menjejaki tanah-Mu/ adalah segumpal tanah dari tangan-Mu/ menjadi putih, menjadi hitam/ lalu, kembali dalam kekosongan/ diam.
Yang patut dinikmati tentu bukan hanya beberapa sajak yang telah disebut. Masih banyak sajak lain, semisal: Semburat Titis Hijau (Sujud Arismana), Adik Tak Berbaju (Muhammad Hanif MA), Bulan Berkalam (Kuni Masrohanti), Tentang Kepulangan (Hajral Sofi), Secangkir Kopi Sore Hari (Dwi S. Wibowo), Dialog sepasang Hawa (Nuraini), dan Kita Masih Saja Berbicara Lewat Peka Hujan… (Refila Yusra).
Buku ini kian menarik, sebab di samping dipadati dengan sajak-sajak yang lembut, juga diselingi sejumlah lukisan. Di antaranya yaitu Meraih Prestasi (Dantje S. Moes), Wajah, Tangan dan Kaki (Furqon Elwe), Pertemuan (Masteven Romus), Jelatik (Adi Bagong), serta Bunga Lilin (M. Rafi).

Yogyakarta, 2013