Kamis, 27 September 2018

Historiografi Balai Desa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jateng" edisi Sabtu, 22 September 2018)

Dalam salah satu kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN), sejumlah mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung bekerjasama dengan perpustakaan keliling mengadakan kegiatan membaca di balai Desa Sidomulyo. Upaya tersebut dilakukan demi mendorong semangat belajar anak-anak melalui pemanfaatan balai desa. Fakta ini menunjukkan bahwa balai desa tidak hanya difungsikan selaku kantor perangkat desa sebagaimana persepsi elite lokal akhir-akhir ini, melainkan juga fasilitas publik yang bisa diakses semua lapisan masyarakat.

Prioritas Utama
Berdasarkan fakta sejarah, balai desa sejak lama menunjukkan eksistensinya bagi masyarakat yang bermukim di wilayah pedalaman. Banyak komunikasi antara warga desa dengan pemimpinnya terjalin di balai desa. Pada tahun 1952, rapat atau musyawarah yang melibatkan banyak pihak pernah digelar di Ciparai, Jawa Barat. Mengutip Indonesia edisi 16-09-1952, Pamong Praja sengaja menggelar rapat dengan mengundang rakyat jelata. Pada waktu itu, mereka yang hadir sangat banyak. Warga Ciparai cukup antusias, sehingga sebagian dari mereka terpaksa berdiri di luar bangunan lantaran “kehabisan tempat”. Surat kabar yang sama menyebutkan, dari pertemuan tersebut tersebar informasi bahwa Camat Majalaya mengangkat wakil lurah dan wakil juru tulis, karena lurah dan juru tulisnya sedang berada dalam tahanan.
Dalam taraf tertentu, pembangunan balai desa merupakan prioritas utama dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan lokal. Guna memajukan desa, Pemerintah Desa Kedung, Surabaya, pada tahun 1977, menyelenggarakan pembangunan fasilitas publik. Harian Berita Yudha edisi 01-02-1977 memberitakan, Abdul Fatah Sahlan selaku kepala Desa Kedung berhasil mengagendakan pembangunan kantor dan balai desa. Berdasarkan pengakuannya, setelah kantor dan balai desa dibangun, pihaknya berencana memperbaiki jalan, menyeragamkan pagar halaman, membina generasi muda dengan olahraga, serta melaksanakan kegiatan lainnya.
Pada dasarnya balai desa menampung kegiatan-kegiatan yang netral dan jauh dari kepentingan politis. Diselenggarakannya aktivitas yang memiliki keterkaitan dengan partai politik peserta Pemilihan Umum (Pemilu) selayaknya dihindarkan. Akan tetapi, realitas faktual berkata lain. Acara seremonial yang cenderung memihak salah satu organisasi politik pernah dijumpai pada tahun 1977 di Banjarnegara. Berita Yudha edisi 05-03-1977 mencatat, pelantikan Pengurus Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI) Cabang Banjarnegara dilangsungkan di Balai Desa Merden, Kecamatan Purwonegoro. Berdasarkan surat kabar tersebut, GUBSI yang beranggotakan 2.500 orang berikrar menjadi bagian dari Golongan Karya (Golkar) dan berusaha memenangkannya dalam Pemilu tahun 1977.

Aspek Sosial
Di sejumlah wilayah Indonesia, barangkali balai desa merupakan fasilitas publik yang paling menonjol. Keberadaan desa salah satunya dapat ditandai dengan tersedianya balai desa. Persepsi inilah yang dipegang teguh oleh sebagian orang yang bermukim di Sumatera Utara. M. Junus Melalatoa (1995: 509) mencatat bahwa bagi masyarakat Mandailing, suatu desa biasanya memiliki balai desa dan sopo godang, tempat digelarnya pertemuan atau musyawarah.
Namun demikian, catatan historis menunjukkan bahwa balai desa ternyata ditemukan belakangan. Berdasarkan Syamsidar (1991: 203), pada zaman purba, ruang pertemuan atau musyawarah tidak dikenal di Minahasa. Untuk berkumpul, masyarakat setempat memanfaatkan lapangan desa yang memuat batu desa (tumotoa) di tengah-tengahnya. Sebelum balai desa genap dimiliki oleh setiap desa, terdapat suatu balai umum bernama bangsal yang berada di daerah perkebunan. Selain menjadi lokasi diadakannya pertemuan antara Hukum Tua dengan sejumlah pembantunya, bangsal ini juga difungsikan untuk beragam kegiatan warga desa.
Selain jumlah tanah pada masa lampau sangat melimpah, pemanfaatan lapangan sebagai lokasi berkumpul juga menunjukkan bahwa fungsi tanah dalam kehidupan desa-desa tradisional cukup urgen. Tidak hanya bidang ekonomi, eksistensi tanah juga berpengaruh besar terhadap ranah sosial. Berkembangnya aspek-aspek sosial dalam kehidupan masyarakat merupakan imbas dari pandangan warga desa terhadap tanah. Meski belum mempunyai ruang khusus, aktivitas menghimpun anggota masyarakat masih bisa dilaksanakan di tempat terbuka. Adapun pemakaian bangsal mengindikasikan bahwa pertemuan tetap berjalan meski pada waktu itu sarana dan prasarana lokal cukup terbatas. Ketiadaan balai desa membuat orang Minahasa menyiasati keadaan. Mereka mendayagunakan apa yang ada di sekitarnya supaya kepentingan publik dapat terlaksana dengan baik. Dengan demikian, orang-orang di sana memiliki local genius (kearifan lokal) serta semangat kebersamaan yang tinggi.
Penggunaan bangsal bersifat egaliter dan demokratis lantaran menampung aktivitas-aktivitas warga dari bermacam lapisan sosial. Sayangnya, berdirinya balai desa yang menggantikan bangsal lebih bercorak elitis. Saat ini, kesan formal yang melekat pada balai desa rentan melahirkan jarak antara warga dengan pamongnya. Apalagi, munculnya persepsi bahwa perangkat desa merupakan pejabat pemerintahan telah melegitimasi kesan tersebut. Daripada tempat berhimpunnya warga dari berbagai elemen, balai desa lebih terkesan sebagai kantor kepala desa yang digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas negara. Megahnya balai desa di berbagai daerah bukan merepresentasikan fasilitas rakyat yang melayani urusan kewarganegaraan sekaligus menampung aspirasi masyarakat lokal, tetapi justru menggambarkan peranti berkumpulnya para elite lokal.

Bojonegoro, 2018