Rabu, 13 April 2016

Dunia Maya dan Cybersastra (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 10 April 2016)

Era digital mengajak manusia untuk selalu peka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Akses yang begitu luas menjadikan curiosity (rasa ingin tahu) manusia mendapatkan saluran yang efisien. Bagaimana tidak! Dalam hitungan seper sekian detik, dengan menekan enter, manusia bisa menjawab apa yang selama ini menjadi ‘misteri’. Namun demikian, informasi yang tidak terbendung menuntut para peselancar dunia maya lebih selektif dan cerdas, supaya terhindar dari julukan “makhluk instan”.
Dunia maya dengan segala konsekuensi dan seluk-beluknya menjadi penyebab munculnya revolusi digital. Mark Sloka mengatakan bahwa revolusi digital merupakan awal dari semua problematika yang menghantui setiap produk pemikiran manusia. Produk itulah yang disebut “realitas cyberspace” yang memunculkan ekstasi utopia dan menghalalkan tingkah-laku publik di dalam jargon Netopia.
Dalam esai yang dipublikasikan pada awal tahun 1995, The Road to Unreality, Mark Sloka menguraikan realitas teknologi baru dan implikasinya secara kultural. Pemikir dan kritikus budaya tersebut menjelaskan dengan menganalogikan sebuah konsep teknologi yang menyatakan bahwa kecenderungan teknologi baru membias pada hilangnya realitas (a loss of reality) dalam diri masyarakat. Sebuah kemajuan, imbuhnya, berkonsekuensi pada hilangnya komunikasi personal dan realitas secara keseluruhan. Ia secara tegas mengkritisi sikap masyarakat yang percaya dan menyerahkan segala sesuatunya ke dalam kerja komputer, dan mereka yang menganggap bahwa permasalahan masa depan bukan lagi di dunia nyata (real life) tetapi ditentukan oleh dunia realitas virtual (virtual relity). Sebagai seorang humanis, Slouka menunjukkan kemungkinan-kemungkinan hilangnya sense realitas dalam diri kita karena terlalu terlibat pada apa yang disuguhkan realitas maya, yang mampu diciptakan komputer (Astar Hadi, 2005: 66-67).

Buku Bertema Digital
Dalam perkembangannya, fakta dan realitas yang disuguhkan era digital telah memantik kesadaran literasi para penulis untuk melahirkan buku-buku bertema digital. Sebut saja Addicted to Weblog: Kisah Perempuan dalam Dua Dunia (Labibah Zain, 2005) dan Satin Merah (Brahmanto Anindito dan Rie Yanti, 2010).
Lewat buku kumpulan cerpennya yang diterbitkan oleh Pustaka Populer Obor, Labibah Zain berusaha menelanjangi tema-tema cyber dengan spesifik. Barang tentu, saat pertama kali bukunya diterbitkan, tema cyber masih sangat langka dalam jagat sastra Indonesia.
Dari awal paragraf cerpennya, bisa diketahui bahwa pendiri komunitas weblogger Indonesia Blogfam tersebut mengajak pembaca berkelana pada labirin dunia maya yang riuh dengan ragam keuntungan beserta risikonya: “bagi istriku, internet adalah kehidupan keduanya. Dia bisa menghabiskan waktunya selama berjam-jam di depan komputer untuk berselancar di dunia maya. Mulanya dia berselancar di dunia maya hanya untuk membaca berita-berita baik yang terjadi di Indonesia maupun di mancanegara. Semua berita yang berhubungan dengan politik, ekonomi maupun gosip seputar artis dilalapnya. Lambat-laun dia mulai pintar mencari resep-resep masakan yang ada di website-website buatan orang-orang Indonesia. Resep-resep baru itu disalinnya untuk dipraktekkan di dapur kami. Kadang masakannya gosong sebelah, tetapi rasanya enak. Tak jarang pula masakannya kelihatannya enak, namun membuat perutuku mual tidak karuan.”
Adapun Brahmanto Anindito dan Rie Yanti, dalam novelnya, secara tidak langsung mengatakan bahwa manusia dapat dengan mudah menemukan apa yang mengganjal dalam pikirannya: “dalam keadaan kuyup sisa dari menerjang hujan, Nadya duduk di depan komputer. Lampu led di modemnya berkedip-kedip. Begitu internet terkoneksi, Nadya langsung menuju mesin pencari Google. Dia mengetikkan dua kata di sana. Tak lama, muncullah beberapa tulisan pendek beserta tautan yang menunjukkan letak artikel tentang Sastra Sunda.”

Lahirnya Cybersastra
Di luar jalur penerbitan ‘buku-buku digital’ sebagaimana yang disinggung di atas, telah berkembang juga ‘sastra maya’ (cybersastra) melalui internet yang memberi kesempatan kepada semua orang untuk membuat situs dan mengisinya dengan tulisan apa saja, termasuk sastra. Konon, jalur internet di dunia penerbitan Indonesia dirintis oleh penerbit Mizan sejak tahun 1996 dengan website Mizan-Online (http://www.mizan.com). Kalaupun kemudian telah lama dimanfaatkan oleh banyak orang, perkembangan zamanlah yang menjadi “ibu kandung”-nya. Tentu saja dapat diperkirakan bahwa pendukungnya masih terbatas pada mereka yang memiliki fasilitas dan jaringan, sedangkan keterbacaannya akan kembali juga kepada publikasi tertulis yang secara umum disebut buku (Yudiono K.S., 2007: 298).
Bagaimana perkembangannya kemudian memang harus selalu dikejar agar teknologi komunikasi canggih itu dapat diberdayakan sedemikian rupa sehingga meningkatkan harkat dan martabat kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat sastra yang selama ini selalu meyakini pentingnya sastra dalam pembentukan moral dan karakter bangsa.
Sementara itu, penyair Medy Loekito (2000) telah mengabarkan bahwa cybersastra Indonesia sudah dimulai oleh sejumlah anak muda dengan berbagai situs dan milis sastra, seperti milis gedongpuisi asuhan Dodi Iskandar, milis penyair asuhan Nanang Suryandi, dan milis puisikita asuhan Anna Herdiyanti Haris. Sejumlah situs pribadi pun mulai bermunculan, seperti Edi Cahyono yang memlui situs angelfire.com situs Nanang Suryadi dengan alamat thepentagon.com/penyair, Anna Herdiyanti Haris dengan surf.to/inong, dan Aranggi Sumardjan dengan members.tripod.com/jaranireng.
Kemunculan cybersastra merupakan kabar menggembirakan bagi perkembangan sastra Indonesia. Di samping dapat menjangkau kalangan pembaca lebih luas, keberadaannya merupakan jawaban atas perkembangan zaman. Namun demikian, di masa-masa yang akan datang, apakah cybersastra tetap mampu bertahan di tengah gempuran globalisasi? Kita hanya bisa menunggu. Sejarah yang akan bicara.

Bojonegoro, 2015

The Historiography of Corruption (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di “Jakarta Post” edisi Senin 4 April 2016)

The wide debate over the plan to revise the Corruption Eradication Commission (KPK) Law is intrinsically linked to the history of corruption in Indonesia. Corruption is a result of the permissive culture that affects law enforcers. During this time, the verdict handed down by the judges to corruptors has tended to be mild. After serving their sentences, corruptors do not stop stealing money from the country.
This matter is compounded by the assumption that legislation tends to protect corruptors. For example, in the Tipikor Law, the law is able to ensnare corruptors only. Thus, their family and relatives are free from all charges. In addition, criminal penalties and state losses can be replaced with further imprisonment. As a result, many corruptors choose subsidiary punishments rather than reimbursing the state’s money.
The Tipikor Law privileges convicts and defendants. Those with convict status still have a vote in political activities. Defendant can receive a salary and pension, and are allowed to conduct business freely.

Urgency of Land
If traced, this permissive culture has been shown by previous rulers. In the empire era, corruption has been commonplace and ratified. In fact, its existence was seen as supporting the glory, honor and dignity of the king. The concept of the Javanese king involved the idiom "Manunggaling Kawula Gusti" in which power always expects the people's approval. The obedience, support and dedication of the kawula (people) for gusti (leaders) are key to governmental success.
The king was expected to provide well-being, protection and shelter, and the people demanded to blend with the king. In contrast, as gusti, the king must be able to mingle with the kawula, among others with the wisdom that defends them. This interrelationship is a fixed price for any power that attempts to combine the microcosm (small universe) and the macrocosm (large universe). Harmony between gusti and kawula doesn’t rest on rights and obligations, but pragmatism.
In traditional thought, there was a consensus saying that all land was under the king's possession (eigenaar). At a time when money did not have a central role in public economic activity, land occupied an important position. As the king was a land’s sole owner, farmers were considered as tenants, with a high burden of rent, with village heads used as mediators in recruiting those who cultivated them.
Rewards for loyalty were manifested by the land. Those willing to help the king were purchased by apanage land. Thus, the village head had a lot of land. As the local authorities, this award was received after handling their duties well. This reciprocation flourished with the appearance of "kickbacks" in contemporary times. The relationship between superiors and subordinates was characterized by bribes in order to secure position and dignity. Superiors needed a "tribute" in order to confirm their existence and increase their treasure, while subordinates required an "asylum", in order to survive.

Patron-Client
The foundations of corruption were thus laid by feudalism, with a symbiotic relationship between the king, palace bureaucrats and local leaders deliberately perpetuated. Patronage was a measure of human communication.
Feudalism was not destroyed by colonialism – rather, it was promoted. Besides the ordinary income, the Dutch government provided cultuurprocenten for employees, regents and village heads, aiming to maximize performance. This stimulant was taken as a percentage of the sale of certain export crops.
In an official provision, the cultivation system used only one-fifth of the villager's land. In reality, half or more of their land was frequently annexed. In addition to harming the people, of course, it endangered their lives. If their power ran out, villagers would not be able to cultivate the land as a provider of everyday food.
Citing Marwati Djoened Poesponegoro and Notosusanto Nugroho (2008: 2), when Thomas Stamford Raffles came to power in 1811-1816, he removed the submission of crops and obligatory labor in some regencies. Raffles assigned the traditional rulers as a colonial extension. They taxed the community in in natura (crops).
Raffles understood that the village head could be utilized for land tax collection. Therefore, through the Revenue Instruction, he positioned some village heads as official police and instructed them to act as intermediaries for the central government to collect land tax. The position of the village head as a colonialist medium with villagers in the process of the cultivation system showed a financial orientation. Thus, social division became obvious in some areas.
Corruption was rampant when the New Order regime came to power. At this time, the idiom asal bapak senang (ABS, “as long as Sir is happy”) appeared and fertilized the seeds of feudalism. Those who devoted themselves entirely to the ruler were able to acquire a large fortune and great respect. Corruption was institutionalized by highly authoritarian and undemocratic presidential instructions.
After the reformation era, the number of corruption cases in Indonesia remains high. Although the government has changed, the heritage of the New Order has been maintained. This is why corruption still persists to this day, and is even propagated by supporters of the status quo.

Bojonegoro, 2016