Selasa, 12 September 2017

Membenahi Nasib Petani (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Selasa, 12 September 2017)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti kondisi pertanian Indonesia. Katanya, petani harus memperoleh nilai tukar hasil pertanian sebesar-besarnya. Hal ini tak mungkin terwujud bila pola kerja dan pengolahan panen masih konvensional. Para petani juga tidak akan mengantongi keuntungan maksimal andai mengandalkan lahan kecil dan mengurusnya hingga masa panen tiba. Padahal, nilai tambah yang melimpah justru berada pada proses agrobisnis. Maka, perlu diciptakan banyak badan usaha atau korporasi guna meningkatkan kesejahteraan mereka.
Ungkapan Presiden Jokowi menunjukkan, gairah mengangkat harkat dan martabat petani yang mayoritas bermukim di perdesaan. Pasokan beras kaum urban tergantung pada hasil kerja mereka. Gagal panen membuat beras di perkotaan semakin terbatas. Bisa dipastikan, tanpa kebijakan impor, cadangan beras menipis.
Sayangnya, kebijakan pemerintah dari masa ke masa seringkali kurang berpihak pada bidang agraris. Para petani mengaku, terutama setelah reformasi, hasil sawah tidak pernah memuaskan. Dari tahun ke tahun, hasil panen selalu menurun. Lantaran menerima berbagai jenis padi dan pupuk kimia, tanah jenuh. Imbasnya, kualitas dan kuantitas beras kurang baik. Hal ini berbeda dengan tahun 1980-an karena hasil panen amat memuaskan. Keringat petani benar-benar dihargai. Mereka cukup menggantungkan hidup dari sawah. Kini, mereka mesti mencari sumber keuangan lain.
Ledakan kapitalisme beberapa dasawarsa terakhir yang begitu dahsyat turut meroketkan angka kemiskinan dan penderitaan petani. Dengan alasan keuntungan serta berbagai kepentingan, para pemodal sengaja mengusung model ekonomi barat ke perdesaan. Tapi tidak dalam rangka mengakrabkan desa dengan perkembangan zaman dan modernitas, melainkan cenderung menjadikan desa terperosok.
Boeke mempermasalahkan kapitalisme dengan ekonomi barat modern yang mengantar kemiskinan dan keterbelakangan di desa. Pakar sosial Belanda tersebut menyalahkan ekonomi modern yang memaksakan dampaknya terhadap masyarakat desa dengan tatanan ekonomi dan sosial yang sangat berbeda dengan barat. Perbedaan inilah yang akhirnya mendesak kehidupan perdesaan. Boeke menyimpulkan, hukum dan dalih ekonomi barat tidak berlaku di perdesaan. Di desa berjalan dengan “ekonomi timur” (Sarbini Sumawinata, 2004: 144).
Desa tidak mungkin dijauhkan dari arus globalisasi dan modernisasi dengan segala risikonya. Namun demikian, beragam ekses seyogianya tidak membiarkan orang desa terusir dari tanah kelahirannya. Kehadiran hotel, restoran, kafe, mal, butik, serta galeri yang sebagian besar milik oleh orang luar, telah mengabaikan sektor industri perdesaan.
Guna mempertahankan hidup, masyarakat desa terpaksa mengikuti pola perekonomian urban. Kearifan lokal warisan nenek moyang dikorbankan demi menyesuaikan diri dengan realitas. Upaya pemenuhan kebutuhan tidak lagi berlandaskan moralitas, tapi nilai-nilai material semata. Pragmatisme dan hedonisme yang menyusup dalam diri orang desa secara perlahan menggantikan prinsip hidup yang mengutamakan kebersamaan, keguyuban, serta gotong-royong.
Industrialisasi bercorak urban terbukti genap menggerogoti basis sosial masyarakat serta mengubah tata kuasa, guna, produksi, dan konsumi lokal. Dampaknya cukup serius. Orang-orang yang tidak mampu menyesuaikan diri memilih meninggalkan desa. Realitas membimbing mereka berpisah dengan keluarga demi mencukupi kebutuhan. Industrialisasi perkotaan telah menghisap tenaga kerja perdesaan ke pabrik-pabrik besar dengan pendapatan lebih menjanjikan. Mobilitas tenaga kerja ke kantong-kantong urban melahirkan ketimpangan ekonomi, sosial, serta melumpuhkan industri-industri lokal.
Di perdesaan, kaum tani termasuk masyarakat tangguh. Dalam menggarap sawah, mereka senantiasa dibekali harapan besar. Mereka selalu memupuk asa agar semangat bertani tetap menyala. Mengeluarkan banyak biaya sebelum mengetahui hasil panen, tak masalah. Petani bahkan berani utang kepada tengkulak demi menghasilkan beras terbaik. Padahal, di balik perjuangan tersimpan keluh kesah. Ketika panen tiba, mereka belum tentu merasakan manisnya bertani. Mereka sering rugi karena hama dan bencana alam.
Orang tua cenderung membatasi diri pada kebiasaan bertahun-tahun, bahkan lintas generasi dan enggan mencoba cara baru. Ini berarti, tujuan kerja bukan memperoleh keuntungan, namun sekadar menyalurkan “kemampuan bertahan” dan mewarisi sikap leluhur menjalani kehidupan.
Meski demikian, kecenderungan ini tidak lantas membuat citra bahwa orang desa antiperubahan. Dalam situasi tertentu, pertimbangan-pertimbangan logis mampu mengubah cara pandang. Mereka bersedia menempuh langkah baru jika benar masuk akal. Bila muncul ambisi mengubah nasib, biasanya ditularkan kepada keturunan. Selama ini tersebar asumsi, ketika orang tua belum mampu mewujudkan harapan, buah hati menanggung beban merealisasikannya.

Dana Desa
Salah satu upaya meminimalkan kesenjangan antara masyarakat rural dan kaum kota dan menekan tingkat kemiskinan petani di perdesaan memaksimalkan dana desa. Dana dari APBN tersebut harus memampukan desa berdaya bersaing dengan kota. Desa dapat menggali potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di dalamnya.
Dengan demikian, para sarjana akan bertahan di desa dan para pemuda sebagai aktor penggerak desa pun tidak tergiur berbondong-bondong hijrah ke kota, pinggiran kota, dan sentra pengembangan industri lainnya. Selama ini, desa tidak lagi produktif menyebabkan banyak warga bekerja sebagai buruh di kota-kota besar.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mengamanatkan pencairan dana desa. Di samping memperbaiki infrastruktur perdesaan, dana desa juga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan agroindustri lokal yang menyediakan lahan pekerjaan setempat. Dengan memanfaatkan dana desa, lapangan pekerjaan yang berhubungan dengan bidang agraris bisa terbuka. Melalui langkah ini, karakter ekonomi perdesaan semakin kuat. Namun, jangan sampai dana desa didominasi elite lokal. Di beberapa daerah, para kepala desa dijebloskan ke bui gara-gara menggunakannya untuk kepentingan individu.
Selain itu, semangat bertani semestinya diwariskan kepada generasi muda. Ikhtiar mempertahankan luas lahan pertanian tidak cukup sekadar dituangkan dalam regulasi, harus dengan mengokohkan pondasi kultur agraris. Di samping mengajarkan kearifan lokal nenek moyang dalam menggarap sawah, kurikulum pendidikan selayaknya juga menampung materi-materi keuntungan bertani.
Terlibatnya kawula muda dalam jagat pertanian tidak selalu diwujudkan dengan mencangkul atau memanen. Demi menghasilkan panen bermutu, mereka bisa diikutsertakan dalam penyuluhan dan pendampingan petani. Seiring dengan kian kencangnya laju modernisasi, yang terpenting menanamkan pada diri anak muda bahwa profesi kaum tani tak kalah bergengsi. Di dalamnya tersimpan harga diri, bukan sekadar subsisten.

Yogyakarta, 2017

Jumat, 08 September 2017

Guyonan Gus Dur dan Etos Literasi (Kolom_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Geotimes" edisi Jumat, 8 September 2017)


Putri mendiang Presiden Abdurrahman Wahid, Alissa Qotrunnada, menerima penghinaan melalui foto yang dikirimkan sebuah akun Instagram. Penghinaan terungkap setelah putri sulung Presiden RI keempat tersebut mengunggah foto yang dimaksud melalui akun Twitter pribadinya, @Alissawahid. Bukannya menyerang balik, Alisa justru merespons dengan bijak, “Itulah saya, dan saya bangga dengan itu!”
Beragam reaksi bermunculan. Para netizen melayangkan pembelaan dan dukungan terhadapnya. Mereka menilai bahwa Gus Dur adalah figur yang senantiasa dikenang jasa-jasanya. Itulah mengapa, setiap tahun anggota keluarga, pejabat, sahabat, simpatisan, serta pengagum Gus Dur (Gusdurian) disibukkan dengan peringatan haul tokoh besar tersebut.
Selain merenungi dan meratapi “kehilangan”, memperingati kepergian tokoh besar juga merupakan upaya membangkitkan semangat, etos, serta cita-citanya. Kala negeri ini terbelit problematika akut, mereka ingin menghadirkan kembali sosok Gus Dur sebagai Bapak Bangsa yang selalu dirindukan.
Mengenang riwayat tokoh besar sekaliber Gus Dur merupakan salah satu ikhtiar menggali lebih jauh tentang sejarah Indonesia. Ya, mengingat Gus Dur bukan hanya dikukuhkan sebagai ikon pluralisme negeri ini, melainkan juga “pembela perdamaian” di ranah global. Mementaskan memoar tokoh yang menerima banyak penghargaan tersebut di ruang publik sama saja dengan mengokohkan bangunan historiografi nasional. Gambaran kehidupan tokoh-tokoh besar tiada lain adalah refleksi mengenai kebudayaan Indonesia.
Gus Dur memandang bahwa semua manusia adalah sama, tak peduli asal-usul, jenis kelamin, warna kulit, suku, ras, dan kebangsaan mereka. Yang ia lihat adalah bahwa mereka adalah manusia sebagaimana dirinya. Yang ia perhatikan adalah niat baik dan perbuatan mereka. Gus Dur berteriak lantang dalam membela hak-hak mereka, meski banyak pihak yang malah menghujatnya. Ia teguh menemani orang-orang yang merasa kehormatannya diinjak-injak oleh negara atau otoritas yang dominan.
Husein Muhammad (2012) menilai bahwa ekspresi-ekspresi personal dan individual yang dianggap sebagian orang tak bermoral, menurut Gus Dur, tak boleh melibatkan negara, tak boleh diintervensi kekuasaan, tetapi harus diselesaikan sendiri oleh masyarakat dengan cara-cara yang mereka miliki tanpa kekerasan.
Beragam sisi kehidupannya selalu menarik untuk direkam, dihayati, serta diceritakan ulang. Salah satunya humor atau guyonan Gus Dur. Tak ayal lahirlah buku-buku yang memuat celoteh, penuturan, serta kisah lucu Presiden Republik Indonesia keempat tersebut. Sebut saja Lachen mit Gus Dur: Islamicher Humor Aus Indonesien (Mizan, 2005), Gus Dur, Asyik Gitu Loh (The Wahid Institute, 2007), Gitu Aja Kok Repot!! Banyolan Gus Dur (Citra Media, 2010), Humor Nyentrik Ala Gus Dur (Abdika, 2010), dan Tertawa Bersama Gus Dur: Humornya Kiai Indonesia (Mizan, 2010).
Ini menandakan warisan humor Gus Dur menjadi semacam oase bagi mereka yang “miskin inspirasi” sekaligus “haus imajinasi”. Urat syaraf masyarakat yang mudah tegang membutuhkan humor sebagai sarana rekreasi yang membebaskan. Kondisi politik, sosial, dan ekonomi yang carut-marut mengakibatkan orang berbondong-bondong mencari penyegaran. Humor menjadi medium masyarakat dalam menjalani hidup tanpa rasa marah, jenuh, dan benci. Dalam humor terselip wacana, kebajikan, serta kontemplasi.
Humor memang menjadi bagian tak terpisahkan dari kepribadian Gus Dur. Di berbagai kesempatan, Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia pada tahun 1994 tersebut tak lupa menyelipkan anekdot. Suasana yang formal dan serius tak menghalanginya untuk melempar beraneka kisah unik, lucu, tapi juga cerdas.
Greg Barton dalam karya fenomenalnya, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (LKiS, 2003) menyebutkan bahwa Gus Dur sering menghiasi pidatonya dengan anekdot-anekdot jenaka. Dalam suatu pertemuan, misalnya, ia mengibaratkan NU dengan mobil yang para penumpangnya terus-menerus mencoba untuk menginjak rem. Jika mobil ingin melaju, maka harus ada orang yang mengendalikan gas. Gus Dur mengaku bahwa dirinya bertugas menekan rem tersebut. Sontak para hadiri terkesima dan tak mampu mendebatnya.
Label humoris tak hanya melekat pada diri Gus Dur ketika beranjak dewasa. Masa mudanya ternyata juga dipenuhi pengalaman-pengalaman lucu. Setelah menamatkan studi di beberapa pondok pesantren Jawa dan Madura, pada tahun 1892, ia pergi ke Mekkah. Anehnya, di sana ia didaulat menjadi seorang ahli hadits dengan spesifikasi kisah jenaka kehidupan Nabi Muhammad SAW.
Itulah mengapa Gus Dur mengidentifikasi dirinya dengan figur Semar, tokoh wayang dengan sifat dan perilaku yang mengundang tawa orang-orang sekelilingnya. Semar adalah manusia sakti yang menitis pelawak istana yang gemuk, lucu, namun juga kritis.

Sumber Inspirasi
Humor Gus Dur menjadi sumber inspirasi bagi siapa saja yang ingin berkarya. Melalui humor, Gus Dur mampu menularkan etos literasi kepada anak bangsa. Dari humor, lahir ratusan buku. Bisa dibayangkan betapa banyak buku yang terbit lantaran terinspirasi dari sisi kepribadian Gus Dur lainnya. Para penulis, akademisi, dan peneliti dapat melakukan kajian terhadap biografi Gus Dur serta buah pemikirannya, mulai agama, sosial, budaya, hingga politik.
Karena itu, rasanya kurang lengkap jika rangkaian peringatan haul Gus Dur melewatkan diskusi mengenai etos literasinya. Dalam sosoknya tersimpan imaji literer yang sangat kuat. Motivasi belajar yang dimiliki Gus Dur memang tak perlu diragukan. Saat menempuh studi di luar negeri, ia doyan menghabiskan waktu di berbagai forum diskusi. Bahkan ia nekat meninggalkan kuliah demi menonton film-film berkualitas serta mengunjungi perpustakaan-perpustakaan “berkelas”. Baginya, lebih baik membuka wawasan keilmuan dari “ruang non-formal” daripada mengikuti jam pelajaran yang cenderung membosankan.
Etos literasi Gus Dur senantiasa diwariskan lintas zaman dan generasi. Itulah mengapa, pada tahun 2010, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X meresmikan perpustakaan Guru Bangsa. Dalam rangka mengenang jasa Gus Dur, perpustakaan ini didirikan terutama bagi kelas menengah ke bawah. Sebagaimana diketahui, Gus Dur adalah pembela kaum minoritas dan siapa saja yang tertindas.
Di sejumlah tempat, para Gusdurian juga mencetuskan perpustakaan keliling yang menyediakan bahan bacaan bagi semua lapisan masyarakat. Keberadaan perpustakaan keliling tidak hanya melayani kaum urban, melainkan juga masyarakat perdesaan yang jauh dari akses ilmu pengetahuan.
Belum lama ini Perpustakaan Gus Dur dibangun di kompleks Taman Budaya Indonesia Tionghoa, Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ini merupakan wujud apresiasi dan dedikasi atas sumbangsih Gus Dur selama hidup. Di samping menumbuhkan minat dan budaya membaca, kehadiran perpustakaan juga diharapkan mampu menggelorakan semangat kerukunan antarumat, toleransi antaretnis, dan harmonisme bangsa.

Yogyakarta, 2017