Kamis, 28 Juni 2012

Kapitein Terakhir (Cerpen Sejarah_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 24 Juni 2012)

“Bahaya!” Abdul Rasyid tergopoh-gopoh, nafasnya kembang kempis.
“Kenapa? Ada maling lagi?” Kakaknya ikut gugup.
“Bahaya!” Dalam pikiran Abdul Rasyid hanya terselip satu kata.
“Apa yang akan dicuri dari kita? Tenanglah! Kita ini sudah tak punya apa-apa.” Dalam kondisi paling runyam, sejumlah orang justru memanfaatkan keadaan. Tidak, tidak. Tepatnya, mereka terdesak. Munculnya para pencuri karena butuh makanan dan benar-benar kelaparan.
“Di jalanan banyak orang membawa senjata.”
“Senjata? Bambu runcing maksudmu?” Harun menebak sekenanya. Maklum. Selama ini di dalam maupun belakang rumah para warga banyak bambu yang diraut ujungnya.
“Tidak.”
“Lantas?” Sepasang alis Harun mengait. Keheranan.
“Senapan.”
“Senapan burung? Ah, mungkin orang-orang Belanda mau berburu. Mereka butuh hiburan.”
“Aku tak tahu senapan apa. Yang pasti aku belum pernah melihat sebelumnya. Dan, mereka akan menyerang kita!” Lidah Abdul Rasyid tampak lebih berat.
Terpancing dengan apa yang dilontarkan adiknya, Harun segera memeriksa keadaan. Celaka! Serdadu Belanda yang dianggap sebagai teman sendiri—karena berjasa mengusir Portugis dari tanah kami—sedang mengepung serata kampung.
Dan, dari Harun-lah kami mengetahui kondisi sebenarnya. Benar. Itulah waktu pertama kali orang-orang Belanda menunjukkan gelagat sebenarnya. Beberapa bulan selanjutnya, orang-orang berludah pahit itu ternyata kian beringas.
Sungguh. Kekhawatiran yang selama ini kami pendam akhirnya menyembul. Kami baru sadar, apa yang dulu didengung-dengungkan nyatanya sanggup mereka wujudkan. Sebelumnya, kami mengira mereka cuma menyebar kegelisahan, sehingga kami pun meyakini hal itu sebagai omong kosong belaka. Tiada lebih. Rupanya, kata-kata mereka terkadang ada benarnya. Lihatlah kemajuan luar biasa telah dipetik Belanda! Entah apa yang genap dilakukan, sehingga dengan mudahnya fondasi-fondasi militer untuk menguasai perdagangan berhasil mereka tancapkan. Dengan demikian, perniagaan laut di negeri kami sedang dalam kondisi darurat; mendesak diselamatkan.
Ambon. Pulau penghasil rempah-rempah itu terpaksa bertekuk lutut, setelah melakukan berbagai upaya, namun nihil. Tentu, kekuatan orang-orang yang kebanyakan bernama Van itu tak bisa diremehkan. Anggapan yang menuturkan bahwa hanya orang berkulit hitamlah yang kuat, salah total. Kami bukan mengada-ngada. Tengoklah kuli di pasar, buruh, pegawai kasar di pabrik, kuli-kuli tebu, petani, atau para pekerja berat lain. Semua berkulit hitam! Akan tetapi, kenyataannya, orang-orang berkulit putih-aneh seperti mereka, meskipun tampak lemah, justru mengantongi kekuatan yang bersembunyi di kepala. Buktinya, berbekal kelicikan dan politik nista, markas megah di Batavia mampu mereka dirikan. Lengkap dengan begundal-begundal yang sok terlatih dan profesional. Dan, masih banyak contoh lain yang enggan kami sebutkan.
Malaka. Kota yang tersohor dengan pelabuhan dagang itu beralih ke tangan VOC. Ini adalah pencapaian gemilang yang patut mereka rayakan. Tampaknya, dengan apa yang diraih tersebut, mereka menyelenggarakan pesta besar beberapa malam dengan mendatangkan anggur-anggur ternikmat. Perkumpulan yang awal pembentukannya dipicu persaingan sengit antar sejumlah perseroan tersebut semakin menunjukkan taringnya. Namun, kami lega ketika mendengar kabar bahwa pada pertengahan abad XVII, kesatuan VOC agak goyah. Pencetusan beberapa perjanjian perdamaian, pendirian pusat-pusat pertahanan, serta kedigdayaan armada lautnya diterka belum mampu menegakkan sendi-sendi kegagahan VOC. Ditambah lagi, kerajaan-kerajaan di negeri kami masih menebar ancaman dengan menerbitkan beragam pemberontakan. Tentu, hal ini bertujuan salah satunya agar kecongkakan VOC merosot tajam. Agar VOC malas menganggap kami semua sebagai boneka. Ya, hanya boneka!
Menyadari gencarnya gertakan dari beberapa kerajaan, VOC melanting tindakan dengan menelurkan kebijakan yang terkesan membabibuta. Benar. Lagi-lagi kekuatan militer diberdayakan untuk membungkam semua orang yang dianggap pemberontak. Kaum pengacau layak dilibas. Golongan pendurhaka pantas dibersihkan. Otomatis, dengan munculnya keadaan yang kurang nyaman, para pengecut dan pengkhianat memilih bergabung dalam kebijakan tersebut. Dan, tak berselang lama, lahirlah dasar-dasar bagi imperium Belanda di negeri kami. Hal yang ringan membuat kami gentar, dengan bulu kuduk berloncatan disertai tubuh menggigil.
Antonio van Diemen, Joan Maetsuycker, Rijklof van Goens, dan Cornelis Janszoon Speelman. Keempat lelaki inilah di antara para Gubernur Jenderal yang leluasa menudingkan telunjuk agar diikuti perintahnya. Di bawah arahan merekalah, kaki militer VOC berjalan. Daerah mana yang ditunjuk dalam peta, di sanalah akan turun neraka. Ya. Bersiap-siaplah bagi seluruh penduduknya untuk berwasiat kepada keluarga. Atau menebar pahala sebanyak-banyaknya. Atau berdiam saja sambil menunggu kapan bersua ajal. Karena, sebentar lagi, genangan darah bakal menyebabkan parit berwarna merah dan berbau anyir.
Sasaran pertama orang-orang berbulu menggelikan itu adalah Maluku. Di sana. Di tempat Francisco Serrao—delegasi terpercaya Portugis—pernah mengangkut beraneka bahan pangan serta menebus rempah-rempah itulah Belanda memasang siasat. Produksi pala dan cengkih dimonopoli sedemikian brutalnya. Orang-orang yang mulanya berprofesi membudidayakan tanaman yang mendarat dari surga tersebut tersisih. Permainan harga seolah menjadi pemandangan biasa. Dan, terjadilah apa yang dinamakan penyingkiran dan pelecehan dalam negeri sendiri.
“Benar-benar biadab! Setelah dapat tempat, mereka memperlakukan kita seperti sampah.”
Begitulah raung salah seseorang yang merasakan kepahitan tersebut.
Selaku kaum bertuhan, kami selalu berharap atas pertolongan ajaib-Nya. Kami mafhum bahwa apa yang tunai ditetapkan menyimpan bebongkah kebaikan. Namun, maafkan. Maafkan, Tuhan! Bila kami belum sanggup menghadapi cobaan berat ini. Cobaan yang rajin mencabik-cabik bukan hanya badan, hati, tapi juga jiwa kami. Di tengah penderitaan menyesakkan seperti ini, tiada yang bisa kami lakukan kecuali hanya berdoa. Ya. Berdoa, bagi kami, merupakan hiburan tersendiri. Karena dengannyalah, kami masih sanggup merawat sinar kehidupan.
Dan, terkabul. Seorang bernama Kakiali diturunkan. Sejak balita, tiada sebiji tanda apapun menempel di tubuhnya, yang memberitahukan bahwa kelak ia merupakan pemimpin sejati. Ibunya, ketika hamil, tak pernah bercerita jika suatu hari bermimpi ada cahaya bergerak-gerak dalam perutnya. Hanya saja, seorang lelaki di antara kami—kami lupa siapa namanya—menduga, anak kecil tersebut akan menjadi orang yang berguna. Entah bagi orang tua, bangsa, ataupun agamanya. Atau bahkan ketiga-tiganya.
Yang kami mengerti, bukanlah ia malaikat, jin, atau nabi. Bukan, bukan. Kakiali hanyalah pemeluk syariat teguh. Kalau tidak salah, ia termasuk murid Sunan Giri di Jawa—anggota wali songo yang giat menyebarkan Islam, agama yang tumbuh di padang gersang dan memuncratkan cahaya gilang-gemilang di pucuk timur.
Di usianya yang masih hijau, Kakiali nekat membentuk persekutuan dalam rangka memprotes kesombongan Belanda. Bagaimanapun juga, orang-orang kafir itu tak ubahnya dengan majikan yang menuntut pelayanan penuh, gemar ongkang-ongkang kaki dan meludah sembarangan. Melihat tindakan Kakiali, tak ayal, sebagian besar di antara kami ditikam keheranan. Pasalnya, di balik tampangnya yang lembut, janggal bila benih-benih perlawanan menumpuk dalam dirinya.
Kakiali memperoleh jalan. Bermodal sokongan kerajaan bangsa Makassar, Gowa, ia berhasrat memandu kami—kaum Muslim Hitu—beserta pasukan-pasukan Ternate di Hoamoal guna melancarkan aksi pemberontakan. Dengan mengobarkan semangat anti-VOC, si keras kepala itu berniat menanamkan arti perlawanan. Benar. Perlawanan yang digaungkan demi merenggut kebebasan.
“Kalian tahu apa yang akan kita lakukan?” sambil berdiri, Kakiali memekik lantang. Penampilannya meyakinkan, didukung terutama oleh kumisnya yang gagah.
Sebagian dari kami menggeleng. Lebih banyak lagi mematung.
“Kita akan menggorok leher orang-orang bermata biru itu satu per satu.”
Tiba-tiba kebingungan menghinggapi wajah kami. Kami bertukar pandang antara satu dengan yang lain. Serasa ada ribuan jarum menusuk cuping kami. Serejang kemudian, “Dengan apa?” seseorang memaksakan diri bertanya.
“Dengan keberanian.” Begitu tenang Kakiali melanting jawaban. Katup mulutnya tampak lebih hitam. Lantas menyambungnya dengan ketus “untuk mengusir para calon penghuni neraka itu dari tanah kita, cuma ada satu jalan: pemberontakan!”
Kami tergeragap. Suara-suara yang berseliweran sebelum perkumpulan tersebut lenyap. Debu-debu yang dibuntingi udara jatuh ke tanah. Pohon-pohon turut memasang telinga, hendak menyimak apa yang selanjutnya menyembul dari lidah Kakiali.
“Kalau gagal?” lelaki itu, lelaki berjambang tipis itu lagi yang nekat menggerakkan moncongnya. Seakan tiada sama sekali orang di sampingnya.
“Hidup mulia atau mati syahid”. Kakiali menjawabnya singkat; dengan wibawa yang memancar dari tubuhnya.
Dan, jauh dari sangkaan kami sebelumnya, pewaris gelar Kapitein Hitoe tersebut bukanlah lelaki dungu yang ingin mati konyol. Ia begitu cerdas, sehingga kerap kali kami dibuat heran dengan apa yang dilakukan. Cara berpikirnya yang berbeda merupakan tanda bahwa otaknya lebih encer. Bayangkan! Ia pura-pura bersahabat dengan Belanda. Padahal, di saat yang sama, ia juga mengingatkan bahwa VOC adalah musuh yang laik diluluhlantakkan. Hampir setiap hari, kami terngiang-ngiang dengan kata-katanya yang dilontarkan di satu pagi yang mendung: “hidup diperbudak lebih hina daripada mati diterjang pelor. Atau bahkan meriam sekalipun.”
Apa yang diperbuat Kakiali menyebabkan kepercayaan diri tumbuh di pundak semua orang, terutama sekali kaum pejantan. Entah mantra apa yang dibaca, sehingga apapun yang keluar dari bibirnya, seakan menjanjikan kebaikan. Dan, demikianlah, pada khatamnya kami berbulat hati hendak memperjuangkan tanah kami hingga titik darah penghabisan.
Terkena lecutan, kami segera membangun benteng-benteng pertahanan di pelosok. Belum sebanding memang, jika gedung-gedung sederhana itu disandingkan dengan markas VOC. Sunggguhpun demikian, kami anggap hal tersebut sebagai upaya agar VOC urung memandang kami sebelah mata.
Para pembesar VOC naik pitam. Darah mereka memanjat ubun-ubun. Pasalnya, selain harus membabat ulah kami sekaligus membuat kami jera, kali itu penyelundupan cengkih yang melanggar peraturan-peraturan VOC kian menjalar. Jika tidak segera diatasi, mereka khawatir akan timbul persoalan lebih pelik. Dan, mereka menaruh curiga, jangan-jangan seseorang di balik semua ini adalah Kakiali.     
Kakiali tersenyum lebar, melihat gerakan penyelundupan cengkihnya berjalan sesuai harapan. Merasa tidak tahan, ia pun melepas kedok persahabatannya dengan VOC. Bagaimanapun juga, menyamar menjadi karib VOC bukanlah persoalan mudah. Kerap ia dituntut untuk memungut satu di antara sekian pilihan yang sama-sama menyakitkan.
Sebagaimana dirinya sendiri, kami pun percaya dengan segenap keputusan Kakiali. Kami yakin bahwa apa yang ditentukan lelaki bijak tersebut senantiasa melahirkan kebahagiaan. Sayangnya, sekali lagi sayangnya, kebahagiaan yang baru kami ketam nyatanya harus lekas menghilang. Benar. Pagi itu, tak biasanya Kakiali telat ke masjid. Ia selalu datang lebih awal; berdiri di shaf pertama untuk lebih dulu menunaikan dua raka’at shalat fajar sembari menanti para jama’ah lain.
Usai menunggu begitu lama dan tiada tanda kemunculannya, terpaksa salah satu di antara kami menjadi imam. Padahal, selama ini, Kakiali, orang yang memiliki bacaan al-Quran paling fasih itulah yang bertindak sebagai imam masjid Bait al-Qahhar.
Membaca wirid, konsentrasi kami buyar saat Abdul Rasyid berteriak berulang-ulang.
“Bahaya! Bahaya!”
Geram, Harun bergegas keluar, hendak menanggapi ulah adiknya yang jarang ikut berjamaah dan sepagi itu sudah membikin ribut. “Bahaya apa? Tak perlu lagi ada yang dirisaukan. VOC masih takut menghadapi Kapitein Kakiali. Kau tahu? Sebuah desa yang berkompromi dengan VOC berhasil diserang.”
“Bahaya!” Apa yang dialami Abdul Rasyid hampir serupa dengan kegugupannya ketika mengetahui serdadu Belanda menyerang kampung kami.
Penasaran, orang-orang di dalam masjid berhamburan keluar. Syarif, pemuda yang bertugas mengumandangkan adzan, langsung bersoal. “Ada apa?”
“Kapitein Kakiali semalam dibunuh ketika tidur.” Abdul Rasyid menjawabnya tangkas.
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Benar apa yang kau ucapkan?”
“Orang Spanyol kiriman VOC menusukkan pisau ke tubuhnya bertubi-tubi!”
Dalam waktu agak lama kami terdiam. Ya. Kami sangat terpukul dengan apa yang dikatakan Abdul Rasyid. Nyaris kami tak percaya bahwa seseorang yang mendermakan keberanian serta mengajarkan arti harga diri tersebut akhirnya harus meregang nyawa, setelah berjuang habis-habisan. Benak kami bertanya-tanya “adakah Kapitein selanjutnya yang mewarisi darah Kakiali?” dan kami sendiri menjawab “sepertinya tidak akan pernah ada”.

Yogyakarta, 2012

Bekal Tambahan Dido (Cernak_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Suara Merdeka" edisi Minggu, 10 Juni 2012)


Dido senang sekali karena bekalnya sangat istimewa. Ayam goreng krispy dan saus pedas adalah menu kesukaannya. Hari itu pasti bekalnya akan ludes. Dido keluar dari kelas sambil membawa bekal. Bersama Aldi dan Eko, ia menuju taman untuk menyantap bekal masing-masing.
Bagi Dido, masakan ibu adalah masakan nomor satu di dunia. Tak heran, Dido menyantap bekalnya dengan lahap. Meski demikian, ia tak lupa untuk berdoa terlebih dahulu. Melihat apa yang dilakukan Dido, kedua temannya juga melakukan hal yang sama. Bu Guru pernah bilang, “anak-anak, kalau mau makan berdoa dulu ya. Jika lupa berdoa, syetan bakal ikut makan, lho”.
Usai menikmati bekal, mereka bertiga kembali ke kelas. Ternyata teman-temannya masih banyak yang di luar. Maklumlah, waktu istirahat masih lumayan lama. Akan tetapi, Dido melihat Aryo duduk sendiri di bangkunya. Raut mukanya terlihat sangat sedih.
“Aryo, kok kamu gak istirahat?” Tanya Dido penasaran.
“Ya, Dido. Aku kan gak bawa bekal.”
“Memangnya kenapa?”
“Gak ada yang buatkan. Ibu sudah lama meninggal. Kalau ayah sedang kerja di luar kota.”
Mendengar pengakuan temannya itu, mata Dido berkaca-kaca.
***
“Ma, tolong nasinya diperbanyak. Lauknya juga ditambah ya.”
Mama Dido tidak keberatan dengan permintaan buah hatinya. Kali ini, kotak bekal Dido lebih besar. Bila memakai kotak kemarin, sepertinya tak akan muat menampung bekal.
Dido berangkat ke sekolah penuh semangat. Hari itu, ia akan bertemu Pak Faisal di kelas. Ia senang dengan cara guru favoritnya itu mengajar. Lewat permainan, Pak Faisal mengubah matematika menjadi pelajaran mengasyikkan.
Setelah belajar bersama Pak Faisal, Dido hendak menuju ke taman. Waktu istirahat harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, pikir Dido. Selain Aldi dan Eko, Dido juga mengajak Aryo.
Sesampai di taman, Aldi, Eko, serta Dido membuka bekal masing-masing. Aldi membawa dadar gulung. Eko membawa rendang. Sedangkan Dido membawa gurami bakar. Aryo sangat malu. Di antara ketiga temannya, rupanya ia sendiri yang tidak berbekal. Dengan polos, Aryo bertutur lembut, “maaf teman-teman. Aku gak bawa bekal.”
Segesit kilat, mulut Dido menjawab, “gak usah khawatir, Aryo. Ini bekalku banyak kok. Jadi, kita bisa makan bersama.”
Menyimak kata-kata Dido, bibir Aryo tersungging.
Dido membalas senyum Aryo. Ia berjanji, besok akan membawa bekal lebih banyak lagi.

Yogyakarta, 2012

Menebar Senyum Sambil Meraung, Kata Pengantar untuk Kumpulan Puisi M. Asqalani Eneste (Esai_Riza Multazam Luthfy, Terbit di harian "Riau Pos" edisi Minggu, 27 Mei 2012)


Adonis, penyair Arab kontroversial paska Perang Dunia Kedua (dalam ADONIS, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, terj. Khoiron Nahdliyin, LKiS, 2012), melontarkan bahwa puisi melambangkan sarana ideologis: dipakai untuk membela dan memberikan kabar gembira (madh), atau mengkritik dan menyerang (hija’).
Berdasarkan pendapat Adonis di atas, tujuan penciptaan puisi adalah dalam rangka mengajak manusia memeluk kebahagiaan serta menghidangkan teguran terhadap realitas yang sedang sakit. Dalam pengertian inilah, puisi-puisi Muhammad Asqalani Eneste (MAE) mendapati eksistensinya.
Selain fungsi alamiahnya: menghibur diri dan lingkungan sembari menanam benih-benih perubahan, puisi-puisi MAE memanggul kesan bahwa ekstase puisi bisa direngkuh tanpa mengobral jamak kata. MAE seolah berhasrat memekikkan secara lantang bahwa dalam merekacipta puisi, penyair tidak harus menghamburkan kata-kata. Pengorbanan banyak kata, tanpa dibuntuti kekuatan makna, menyebabkan keberadaan puisi sia-sia belaka. 
Dari sinilah timbul kecurigaan bahwa MAE adalah penyair yang berat tangan, atau bahkan pelit. Pelit dalam arti enggan melepas kata dari sangkarnya. Berbagai ragam perhitungan ditimbang secara matang sebelum menyelipkan seekor kata dalam puisinya. Namun, meskipun puisi-puisi MAE termasuk ‘kikir kata’, ia tetap menjanjikan kemurahan, kenyamanan dan kemewahan bagi penikmatnya. Hal ini sejalan dengan pepatah Arab klasik: “khairul kalaami maa qalla wa dalla” (sebaik-baik perkataan ialah yang sedikit tapi efektif).
Tidak semua hasil maksimal diperoleh dengan mengeluarkan jumlah yang besar. Penggunaan kata seirit mungkin, nyatanya mampu menyajikan efek kejut luar biasa. Hal tersebut menjadi salah satu pijakan MAE dalam membesarkan ‘anak ruhani’nya—meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer. Ini dijumpai semisal dalam puisi Kania I, Kania II, dan Kania III (semuanya membicarakan tentang Adam), di mana ketiganya terdiri dari dua larik dan kurang dari sepuluh kata.
Berikut disajikan secara utuh ketiga puisi dimaksud. Puisi ‘Kania I’: Adam, aku ingin tetap menjelma rusukmu…/ hingga waktu jadi debu//. Puisi ‘Kania II’: Adam, mata kelerengmu berputarputar di retinaku/ wajahmu membelenggu//. Puisi ‘Kania III’: Adam, berikan aku waktu mencengkram bayangmu/ hingga lelah menemu kantukku//.
Tentu melahirkan puisi yang ‘padat berisi’ demikian bukanlah urusan ringan. Diperlukan usaha ‘berdarah-darah’ guna memilah kata agar puisi-puisi tersebut menyimpan ruh. Merugilah seorang penyair yang genap menetaskan puisi, yang memiliki raga, namun tiada ditopang oleh jiwa! 
Selugu apa pun kata, ia tetap tergolong keras kepala, malas diatur, dan mempunyai karakter tersendiri yang membedakan dengan kata lainnya. Seringkali  penyair dibuat muntab dan putus asa ketika kata berhasil mengelabui dan mengecohnya. Atas dasar itulah, penyair dituntut waspada. Mengapa? Kata yang ditempatkan secara serampangan bakal membalas dendam dengan melukai dan membunuh pelan-pelan puisi yang dihasilkan. Lantas, pada masanya, puisi itu akan kejang-kejang dan mati mengenaskan. Dengan demikian, hanya kepada para pengrajinlah (baca: penyair), kata mau bertekuk lutut. Barang tentu pengrajin yang bukan asal-asalan. Pengrajin yang sudah ‘menjadi’ dan bosan ‘makan garam’.

Mengurai Tema dengan Airmata
Penentuan judul merupakan hak prerogatif penyair dalam upaya mencakup keseluruhan tema puisi yang dirangkai dalam satu kesatuan. Bukan hal yang mudah untuk menetapkan judul yang sanggup memuat segala hal (baca: puisi) di dalamnya. Terkadang, bagi penyair, setelah mengumpulkan ceceran puisi dalam satu wadah, ia ditikam kesukaran untuk mengambil judul yang pas. Judul yang mewakili aspirasi unsur-unsurnya. Tak ayal, dibutuhkan rimbun waktu, tenaga, juga pikiran, demi sekadar mendaulat judul yang relevan.
Kumpulan puisi ini bertajuk ‘Tangisan Kanal Anakanak Nakal’. Memang di dalamnya, pembaca tidak akan menemukan puisi dengan judul tersebut. Hal yang tak perlu dianggap ganjil, bahkan dirisaukan, karena sejumlah penyair juga melakukan hal serupa: melabeli buku kumpulan puisi mereka dengan titel tertentu—yang berbeda dengan judul-judul puisinya. Sebut saja Epri Tsaqib dengan buku puisinya ‘Ruang Lengang’ (Penerbit Pustaka Jamil), yang jangkap dua kali naik cetak.
Kenakalan dalam mengolah imajinasi dan menyajikan pesan merupakan faktor utama mengapa MAE mencomot judul di atas. Dalam puisi berjumlah 125 ini, MAE ingin memosisikan diri selaku anak kecil yang gemar melakukan sesuatu seenak udelnya. Dalam tarafnya sebagai sang kreator puisi, hal tersebut diwujudkan, baik dalam pengelanaan jagat metafora maupun pengembaraan makna tanpa batas. Sehingga apapun yang dipendam, bisa diungkapkan sebebas-bebasnya. Layaknya burung yang terbang tinggi di angkasa. 
Selain itu, sesuai dengan sifat anak kecil, merengek dan meronta-ronta adalah hal yang lumrah. Ketika keinginannya urung dituruti, maka ia akan menangis sejadi-jadinya. Apalagi, ya apalagi, yang memeras airmata adalah anak badung, yang tak hanya menerap sesiapa di sekitarnya menggelengkan kepala, akan tetapi juga tersungut-sungut di buatnya. Atas dasar itulah, dengan cara memerankan diri selaku bocah nakal, kepada siapa saja—dalam kondisi apapun—penyair leluasa meluapkan segala perasaannya. Contoh yang baik ditunjukkan pada puisi ciuman candu’: /1/ bara bibirMu membakar kerontang bibirku /2/ air liurMu jatuh ke lidahku. Sebenarnya, dalam puisi tersebut tiada ungkapan tersirat yang menyampaikan bahwa saking nikmatnya, aku lirik mengharap agar anugerah yang telah mendarat bisa terus dihisap. Dalam puisi ini, aku lirik sebagai hamba memohon supaya yang di ajak bicara (Tuhan) bersedia senantiasa menggelontorkan cinta-Nya. Kemesraan hubungan antara makhluq (yang diciptakan) dengan khaliq (yang menciptakan) diekspresikan dengan kata ‘ciuman’. Sedang ‘candu’  mengisyaratkan bahwa makhluq—dalam konteks ini aku lirik—merasa ketagihan dengan apa yang telah diberikan oleh Sang Pencipta.   

‘Trial and Error’ Puisi
Di antara tantangan berat bagi penyair adalah menjinakkan kata. Oleh sebab itulah, MAE terdorong untuk mengetahui bagaimana cara menundukkan dan mengalahkan kata. Pada proses kreatif MAE, hal tersebut salah satunya ditandai dengan indikasi bermain-main diksi. Semisal pada puisi ‘bagai aku’, di mana di dalamnya terdapat frasa melangkahi batubatu bisu/ dan di celah tubatuba waktu/. ‘Batubatu’ disulih rupa menjadi ‘tubatuba’. Bandingkan dengan puisi Joko Pinurbo (2006) ‘Ranjang Kecil’: Tubuhmu tak punya lagi ruang/ ketika relungmu menghembuskan raung//.
Memperhatikan puisi di atas, terdapat gejala ‘trial and error’. Sebuah langkah yang tidak boleh dihalang-halangi, bahkan oleh kritikus sekalipun. Sebab, kadang kala hal tersebut menjadi pemantik timbulnya karya agung (masterpiece). Namun jika kurang hati-hati, ulah ‘coba-coba’ itu justru mengantar puisi ke keranjang sampah.    
Hal sama juga menjangkiti puisi ‘Hi-La’: La latah Jan menelanjangi rupa//, yang diselipi keterangan:  Hi-La = halo jangan, Hi (Inggris) = halo, La (Arab) = jangan, Jan (Minang) = jangan. Dalam puisi tersebut, tersua usaha MAE yang serius guna menghasilkan puisi agak nyeleneh dengan corak puisi pada umumnya.
Sungguhpun demikian, MAE patut mengantongi apresiasi setinggi-tingginya, sebab dengan gencarnya upaya ‘trial and error’ tersebut, ternyata tidak lantas menjadikan MAE meninggalkan gaya puisinya—seperti puisi-puisi lama—yang mempunyai keteraturan rima. Misalnya, puisi ‘langkah tertahan’ (Magfiroh Az-Zahra): kita bertengkar sehabis getar/ lalu kau menggulung tikar/ ingin pulang/ tak tahu jalan pulang//.
Demikianlah, sekelumit pembacaan terhadap puisi-puisi MAE—yang diakui sendiri sebagai puisi-puisi singkat. Puisi-puisi yang meski giat memerah airmata, namun tetap membujuk manusia untuk tertawa. Dan, tentunya, masih terbuka ruang yang begitu luas bagi para pembaca lain untuk merabanya dengan pandangan tajam serta paparan yang lebih mendalam. 

Yogyakarta, 2012
(di bawah cahaya surya yang baru bangun dari dengkurnya)

Lakon Buram dari Malaka (Cerpen Sejarah_Riza Multazam Luthfy, terbit di majalah "Basis" edisi Mei-Juni 2012)


Para lelaki tinggi besar, putih aneh, dengan bulu-bulu menggelikan itu melempar sauh di pelabuhan. Gemerigi mereka yang semringah seolah menawarkan keramahan. Mereka melantingkan tabik begitu hangat. Layaknya saudara kandung terpisah, kami pun menyambut mereka seberinda perasaan. Ikan-ikan bakar kami suguhkan. Anak-anak perawan menadah titah untuk menyajikan minuman khas ternikmat. Sungguh, benak kami malu dihinggapi curiga. Sebutir rasa yang pantas dipelihara oleh musuh manusia. Ya. Hanya setanlah makhluk yang berbangga hati bila menaruh prasangka nista pada sesama.
Dalam meniti jalan kehidupan, kaul Eyang Razaq—bernama asli Abdul Razaq— senantiasa kami timbang. Masih lekat di cuping kami, sepemakan sirih sebelum sesepuh itu mangkat, ia berpesan untuk selalu memulyakan tamu yang bertandang. Sebengis apa pun, tamu layak mereguk penghormatan sekaligus kenyamanan. Atas dasar itulah, keyakinan kami menggumpal. Keyakinan yang memekik lantang bahwa nasib bakal mengunyah balasan setimpal, jika gerombolan kaum jantan berdada bidang itu kami mulyakan—sebenar-benar kami mulyakan: entah rejeki berlipat, atau ajal yang enggan mendarat.
Di pangkal abad XV, Eropa bukanlah wangsa terdidik dan berkembang. Hanya sok pintar, barang kali. Bukan berarti, kemajuan peradaban tengah dipanggul negeri kami. Namun, untuk disebut terpuruk, rasanya jauh dari benar. Alam genap menyediakan semua. Lautan menyimpan harta karunnya. Hutan memuat kehijauan dan kesuburan tiada tara. Dan, atas petunjuk nenek moyang, kami leluasa memanfaatkannya. Buah-buahan jadi penyumpal lapar. Dedauan diracik, dipakai ramuan pengokoh badan. Kekuatan yang sedang berkibar di dunia saat itu adalah Islam; pada tahun 1453, orang-orang Turki Utsmani berhasil menekuk lutut Konstantinopel, dan beberapa dasawarsa kemudian mengembangkannya menjadi pusat navigasi. Di pucuk timur, agama yang turun di padang gersang itu memuncratkan cahaya gilang-gemilang.
Merenungi ketertinggalan, Eropa enggan dijuluki si terbelakang. Orang-orang Portugis membuktikannya dengan mengetam kemajuan di bidang teknologi tertentu, sehingga mengantar mereka menjadi petualang hebat dalam mengarungi luas samudra. Wawasan geografi dan astronomi mereka mengagumkan. Dan, patutlah mereka menghunus banyak terima kasih kepada para sarjana Yahudi yang dengan tekun memetik khazanah keilmuan dari bangsa Arab dan menyebarkannya di kalangan Kristen Eropa. Adapun kami, sekadar tertambat, dengan tiada segelintir hasrat pun mencapai pertumbuhan.  
Portugis melahirkan mualim-mualim handal dan cekatan. Berbekal kelihaian, layar berbentuk segitiga dan persegi empat mereka padukan. Dengan melakukan pembenahan pada konstruksi, orang-orang berbola netra biru itu menganggit kapal dengan laju lari luar biasa. Tentu disertai kemudahan dalam mengoperasikannya. Dunia pun menghunjamkan pandangan pada Portugis. Betapa negara yang awalnya kurang dikenal itu tengah menebar daya pikat.
Berbekal sarana yang memadai, orang-orang Portugis mengantongi kepercayaan diri dalam menjelajahi samudra. Kini, merekalah yang berhak didaulat sebagai pelaut ulung. Dan, demi mempertebal kewibawaan, mereka menghiasi kapal dengan meriam. Aih, aih, aih… selain balai terapung, kapal-kapal tersebut juga dijelmakan selaku benteng perkasa yang lekas membuat musuh gemetar.
***
Urita kekayaan Malaka berseliweran. Entah angin jenis apa yang tega membagul urita tersebut ke serata loka. Raja Portugal mengendusnya. Segera, Diogo Lopes de Sequeira ia perintahkan untuk menemukan tanah yang dianggap sebagai cipratan dari surga itu. Layaknya gula, Malaka gemar memancing semut-semut untuk mengerubunginya.
Pada hari entah apa, sekelompok delegasi asuhan Diogo Lopes de Sequeira berlabuh. Sebagaimana tamu pertama, kami pun memperlakukan rombongan lelaki yang tampak bersahaja itu dengan baik. Tanda-tanda kejahatan sama sekali tak tampak dari tampang mereka. Melihat hal demikian, jalinan persahabatan tunai diulurkan oleh penguasa kami, Sultan Mahmud Syah.
Selaku rakyat jelata, malas benar kami mencerna tujuan apa yang sebenarnya terpendam rapat dalam kepala mereka. Kami hanya menempatkan diri selaku tuan rumah; melindungi agar hubungan antara pendatang dengan empu rumah enggan berkarat. Tiada lebih. Itulah mengapa tatkala komunitas niaga Islam Internasional di kota kami melontarkan peringatan kepada Sultan untuk merawat jarak, kami tercekat. Terlebih lagi, tatkala berhamburan desas-desus yang mencoba meyakinkan bahwa tamu-tamu itu merupakan ancaman besar yang wajib ditumpas. Didorong berbagai pertimbangan, Sultan Mahmud Syah mengoyak posisi Diogo Lopes de Sequeira. Betapa khawatir ia. Jika lamban mengambil tindakan, kedudukannya sendiri bakal tumbang. Begitulah hukum alam berbicara. Dan, naga-naganya ungkapan homo homini lupus berlaku bagi sesiapa yang menghajatkan maupun melanggengkan kekuasaan.
Diogo Lopes de Sequeira merasa ada yang kurang beres dengan pendirian Sultan Mahmud Syah. Pasalnya, tak mungkin sultan keras kepala itu oleng lantaran ditampar urusan sepele. Pasti ada penghasut! Benaknya menggumam. Keheranannya kian membuntang ketika mengetahui beberapa anak buahnya ditawan, sedangkan nyawa beberapa lainnya melayang. Harus lahir keputusan cerdik! Lantas dengan sigap, ia meloloskan diri beserta empat kapal ke laut lepas, usai mencium usaha penyerangan yang dilancarkan oleh sang Sultan. Atas masukan dari beberapa penasihat, ia memungut sebulir kesimpulan: guna menundukkan Malaka, perdamaian bukanlah hal yang tepat. Cara kekerasan barang kali lebih menjanjikan.
Adapun di otak dungu kami, terselip sebiji pertanyaan: “mengapa tamu agung itu diusir oleh Sultan?” Pertanyaan yang kian hari kian sumbang, sebab tiada segelintir pun dari kami menjemput jawaban memuaskan.
***
Berkekuatan sekitar 1.200 orang serta 18 buah kapal, pada tahun 1511, Albuquerque melakukan pelayaran dari Goa Portugis menuju pelataran kota kami. Demikianlah Malaka, kawasan yang mencadangkan kesejahteraan dan mendesak manusia terperangah. Buntungnya, keistimewaan yang dikandung Malaka jangkap mengundang malapetaka. Benar. Setiba kawanan Albuquerque di pelabuhan, peperangan besar sukar terhindar. Selama hampir dua bulan, kami memeras darah demi menghadang kenekatan Albuquerque beserta para begundalnya. Segala senjata kami kerahkan guna menghindarkan tanah kelahiran kami direnggut orang asing. Apa yang berhembus dari lidah Sultan merupakan suatu kebaikan. Sehingga terpaksa kami mendurhakai petuah Eyang Razaq. “Maafkan ketololan kami, Eyang! Sungguh, jika ini tergolong kesalahan, engkau boleh menuntut, tapi hanya kepada Sultan.” 
Diterpa serangan mendadak, kami kedodoran. Parahnya, kondisi internal di selingkar keluarga kerajaan turut memperburuk suasana. Terbit pertikaian sengit antara Sultan Mahmud Syah dengan putranya, Sultan Ahmad. Memang, pikiran kawula muda acap kali berbenturan keras dengan minda orang tua. Sejenak setelah menerima limpahan kekuasaan atas negara, ia merombak beberapa kebijakan yang pernah digariskan sang ayah. Wajah Sultan Mahmud Syah merah bara. Darahnya memanjat ubun-ubun. Betapa hatinya tercabik-cabik dengan langkah yang digencarkan lelaki penerus tampuk wewenangnya itu. Celaka! Rivalitas berbau politis tersebut ditangkap seraya dimanfaatkan oleh pihak Portugis. Setangguh apapun rakyat Malaka, perpecahan ringan menyodok ke jurang kehancuran. Itulah sebabnya, meski beberapa meriam kami gelontorkan, nyatanya armada Portugis lebih unggul dalam mencengkeram keadaan. 
Khatamnya, kami menelan penderitaan; Malaka ditundukkan. Albuquerque masih bergerak dan urung tinggal diam. Rencana apa pula yang sedang dibangun? Agenda suram apa yang bakal menyapa nasib kami? Sampai pengujung tahun 1511, pejantan misterius itu memperkuat barisan di Malaka demi membendung setiap serangan balasan yang mungkin timbul dari orang-orang Melayu.
Meskipun Malaka berada di bawah penguasaan, orang-orang Portugis disergap kecemasan. Kecemasan tentang kecakapan mereka yang sangat terbatas dalam mengatur perdagangan Asia. Ujung-ujungnya, keperkasaan mereka melumat tanah kami belum menghibahkan keuntungan yang berarti. Bahkan, Portugis dicecar rimbun masalah. Betapa kesusahan selalu menghampiri, ketika mereka kurang mampu mencukupi kebutuhan dan menyandarkan tubuh pada pemasok bahan makanan dari Asia. Kekeringan dana serta sumber daya manusia merupakan problem utama yang sulit terpecahkan. Diperkeruh lagi dengan korupsi merajalela; Gubernur-gubernur mereka sendiri ikut berdagang di pelabuhan Malaya, Johor. Dengan membanting harga barang, terang saja merusak monopoli yang seyogyanya mereka jaga. Para pedagang Asia dengan mudah mengalihkan sejumlah alur perdagangan ke pelabuhan-pelabuhan lain demi menjauhkan diri dari monopoli Portugis.
***
Penaklukan Portugis terhadap Malaka meletakkan sendi-sendi kerapuhan bagi kejayaan kami di lingkup Asia. Kota yang kami sanjung-sanjung itu mulai kembang kempis. Administrasi Portugis yang amburadul menjadikan pelabuhan Malaka megap-megap. Tiada lagi pelabuhan yang menjadi induk di mana kokohnya perekonomian menjadi kebanggaan, begitu pula kekayaan Asia ditukargulingkan.
Mengamati apa yang dilakukan orang-orang Portugis, lekas kami mafhum, bahwa sesungguhnya mereka telah lama membidik Maluku, daerah yang tersohor dengan “kepulauan rempah”. Itulah sebabnya, sesudah merebut Malaka, pada tahun 1512, mereka mengirim Francisco Serrao—selaku delegasi terpercaya Portugis—mengangkut beraneka bahan pangan serta menebus rempah-rempah.
Lintasan-lintasan peristiwa menggugah kesadaran. Memergoki beberapa kejadian, nyatalah kami paham; apa yang pernah bertiup dari bibir Eyang Razaq tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Mengapa demikian? Sebab, orang-orang jangkung yang mula-mula kami anggap sebagai tamu itu ternyata berniat melahap habis keuntungan dengan memborong rempah-rempah sebanyak-banyaknya ke negeri mereka. Dan, dengan kondisi yang amat lemah, tiada hal yang sanggup kami perbuat, kecuali… kecuali menuruti keinginan mereka. Sementara, atau bahkan selamanya.

Yogyakarta, 2012

Keterangan:
Cerpen ini diadaptasi dari buah pena Prof. M.C. Ricklefs, Ph.D