Kamis, 28 Juni 2012

Lakon Buram dari Malaka (Cerpen Sejarah_Riza Multazam Luthfy, terbit di majalah "Basis" edisi Mei-Juni 2012)


Para lelaki tinggi besar, putih aneh, dengan bulu-bulu menggelikan itu melempar sauh di pelabuhan. Gemerigi mereka yang semringah seolah menawarkan keramahan. Mereka melantingkan tabik begitu hangat. Layaknya saudara kandung terpisah, kami pun menyambut mereka seberinda perasaan. Ikan-ikan bakar kami suguhkan. Anak-anak perawan menadah titah untuk menyajikan minuman khas ternikmat. Sungguh, benak kami malu dihinggapi curiga. Sebutir rasa yang pantas dipelihara oleh musuh manusia. Ya. Hanya setanlah makhluk yang berbangga hati bila menaruh prasangka nista pada sesama.
Dalam meniti jalan kehidupan, kaul Eyang Razaq—bernama asli Abdul Razaq— senantiasa kami timbang. Masih lekat di cuping kami, sepemakan sirih sebelum sesepuh itu mangkat, ia berpesan untuk selalu memulyakan tamu yang bertandang. Sebengis apa pun, tamu layak mereguk penghormatan sekaligus kenyamanan. Atas dasar itulah, keyakinan kami menggumpal. Keyakinan yang memekik lantang bahwa nasib bakal mengunyah balasan setimpal, jika gerombolan kaum jantan berdada bidang itu kami mulyakan—sebenar-benar kami mulyakan: entah rejeki berlipat, atau ajal yang enggan mendarat.
Di pangkal abad XV, Eropa bukanlah wangsa terdidik dan berkembang. Hanya sok pintar, barang kali. Bukan berarti, kemajuan peradaban tengah dipanggul negeri kami. Namun, untuk disebut terpuruk, rasanya jauh dari benar. Alam genap menyediakan semua. Lautan menyimpan harta karunnya. Hutan memuat kehijauan dan kesuburan tiada tara. Dan, atas petunjuk nenek moyang, kami leluasa memanfaatkannya. Buah-buahan jadi penyumpal lapar. Dedauan diracik, dipakai ramuan pengokoh badan. Kekuatan yang sedang berkibar di dunia saat itu adalah Islam; pada tahun 1453, orang-orang Turki Utsmani berhasil menekuk lutut Konstantinopel, dan beberapa dasawarsa kemudian mengembangkannya menjadi pusat navigasi. Di pucuk timur, agama yang turun di padang gersang itu memuncratkan cahaya gilang-gemilang.
Merenungi ketertinggalan, Eropa enggan dijuluki si terbelakang. Orang-orang Portugis membuktikannya dengan mengetam kemajuan di bidang teknologi tertentu, sehingga mengantar mereka menjadi petualang hebat dalam mengarungi luas samudra. Wawasan geografi dan astronomi mereka mengagumkan. Dan, patutlah mereka menghunus banyak terima kasih kepada para sarjana Yahudi yang dengan tekun memetik khazanah keilmuan dari bangsa Arab dan menyebarkannya di kalangan Kristen Eropa. Adapun kami, sekadar tertambat, dengan tiada segelintir hasrat pun mencapai pertumbuhan.  
Portugis melahirkan mualim-mualim handal dan cekatan. Berbekal kelihaian, layar berbentuk segitiga dan persegi empat mereka padukan. Dengan melakukan pembenahan pada konstruksi, orang-orang berbola netra biru itu menganggit kapal dengan laju lari luar biasa. Tentu disertai kemudahan dalam mengoperasikannya. Dunia pun menghunjamkan pandangan pada Portugis. Betapa negara yang awalnya kurang dikenal itu tengah menebar daya pikat.
Berbekal sarana yang memadai, orang-orang Portugis mengantongi kepercayaan diri dalam menjelajahi samudra. Kini, merekalah yang berhak didaulat sebagai pelaut ulung. Dan, demi mempertebal kewibawaan, mereka menghiasi kapal dengan meriam. Aih, aih, aih… selain balai terapung, kapal-kapal tersebut juga dijelmakan selaku benteng perkasa yang lekas membuat musuh gemetar.
***
Urita kekayaan Malaka berseliweran. Entah angin jenis apa yang tega membagul urita tersebut ke serata loka. Raja Portugal mengendusnya. Segera, Diogo Lopes de Sequeira ia perintahkan untuk menemukan tanah yang dianggap sebagai cipratan dari surga itu. Layaknya gula, Malaka gemar memancing semut-semut untuk mengerubunginya.
Pada hari entah apa, sekelompok delegasi asuhan Diogo Lopes de Sequeira berlabuh. Sebagaimana tamu pertama, kami pun memperlakukan rombongan lelaki yang tampak bersahaja itu dengan baik. Tanda-tanda kejahatan sama sekali tak tampak dari tampang mereka. Melihat hal demikian, jalinan persahabatan tunai diulurkan oleh penguasa kami, Sultan Mahmud Syah.
Selaku rakyat jelata, malas benar kami mencerna tujuan apa yang sebenarnya terpendam rapat dalam kepala mereka. Kami hanya menempatkan diri selaku tuan rumah; melindungi agar hubungan antara pendatang dengan empu rumah enggan berkarat. Tiada lebih. Itulah mengapa tatkala komunitas niaga Islam Internasional di kota kami melontarkan peringatan kepada Sultan untuk merawat jarak, kami tercekat. Terlebih lagi, tatkala berhamburan desas-desus yang mencoba meyakinkan bahwa tamu-tamu itu merupakan ancaman besar yang wajib ditumpas. Didorong berbagai pertimbangan, Sultan Mahmud Syah mengoyak posisi Diogo Lopes de Sequeira. Betapa khawatir ia. Jika lamban mengambil tindakan, kedudukannya sendiri bakal tumbang. Begitulah hukum alam berbicara. Dan, naga-naganya ungkapan homo homini lupus berlaku bagi sesiapa yang menghajatkan maupun melanggengkan kekuasaan.
Diogo Lopes de Sequeira merasa ada yang kurang beres dengan pendirian Sultan Mahmud Syah. Pasalnya, tak mungkin sultan keras kepala itu oleng lantaran ditampar urusan sepele. Pasti ada penghasut! Benaknya menggumam. Keheranannya kian membuntang ketika mengetahui beberapa anak buahnya ditawan, sedangkan nyawa beberapa lainnya melayang. Harus lahir keputusan cerdik! Lantas dengan sigap, ia meloloskan diri beserta empat kapal ke laut lepas, usai mencium usaha penyerangan yang dilancarkan oleh sang Sultan. Atas masukan dari beberapa penasihat, ia memungut sebulir kesimpulan: guna menundukkan Malaka, perdamaian bukanlah hal yang tepat. Cara kekerasan barang kali lebih menjanjikan.
Adapun di otak dungu kami, terselip sebiji pertanyaan: “mengapa tamu agung itu diusir oleh Sultan?” Pertanyaan yang kian hari kian sumbang, sebab tiada segelintir pun dari kami menjemput jawaban memuaskan.
***
Berkekuatan sekitar 1.200 orang serta 18 buah kapal, pada tahun 1511, Albuquerque melakukan pelayaran dari Goa Portugis menuju pelataran kota kami. Demikianlah Malaka, kawasan yang mencadangkan kesejahteraan dan mendesak manusia terperangah. Buntungnya, keistimewaan yang dikandung Malaka jangkap mengundang malapetaka. Benar. Setiba kawanan Albuquerque di pelabuhan, peperangan besar sukar terhindar. Selama hampir dua bulan, kami memeras darah demi menghadang kenekatan Albuquerque beserta para begundalnya. Segala senjata kami kerahkan guna menghindarkan tanah kelahiran kami direnggut orang asing. Apa yang berhembus dari lidah Sultan merupakan suatu kebaikan. Sehingga terpaksa kami mendurhakai petuah Eyang Razaq. “Maafkan ketololan kami, Eyang! Sungguh, jika ini tergolong kesalahan, engkau boleh menuntut, tapi hanya kepada Sultan.” 
Diterpa serangan mendadak, kami kedodoran. Parahnya, kondisi internal di selingkar keluarga kerajaan turut memperburuk suasana. Terbit pertikaian sengit antara Sultan Mahmud Syah dengan putranya, Sultan Ahmad. Memang, pikiran kawula muda acap kali berbenturan keras dengan minda orang tua. Sejenak setelah menerima limpahan kekuasaan atas negara, ia merombak beberapa kebijakan yang pernah digariskan sang ayah. Wajah Sultan Mahmud Syah merah bara. Darahnya memanjat ubun-ubun. Betapa hatinya tercabik-cabik dengan langkah yang digencarkan lelaki penerus tampuk wewenangnya itu. Celaka! Rivalitas berbau politis tersebut ditangkap seraya dimanfaatkan oleh pihak Portugis. Setangguh apapun rakyat Malaka, perpecahan ringan menyodok ke jurang kehancuran. Itulah sebabnya, meski beberapa meriam kami gelontorkan, nyatanya armada Portugis lebih unggul dalam mencengkeram keadaan. 
Khatamnya, kami menelan penderitaan; Malaka ditundukkan. Albuquerque masih bergerak dan urung tinggal diam. Rencana apa pula yang sedang dibangun? Agenda suram apa yang bakal menyapa nasib kami? Sampai pengujung tahun 1511, pejantan misterius itu memperkuat barisan di Malaka demi membendung setiap serangan balasan yang mungkin timbul dari orang-orang Melayu.
Meskipun Malaka berada di bawah penguasaan, orang-orang Portugis disergap kecemasan. Kecemasan tentang kecakapan mereka yang sangat terbatas dalam mengatur perdagangan Asia. Ujung-ujungnya, keperkasaan mereka melumat tanah kami belum menghibahkan keuntungan yang berarti. Bahkan, Portugis dicecar rimbun masalah. Betapa kesusahan selalu menghampiri, ketika mereka kurang mampu mencukupi kebutuhan dan menyandarkan tubuh pada pemasok bahan makanan dari Asia. Kekeringan dana serta sumber daya manusia merupakan problem utama yang sulit terpecahkan. Diperkeruh lagi dengan korupsi merajalela; Gubernur-gubernur mereka sendiri ikut berdagang di pelabuhan Malaya, Johor. Dengan membanting harga barang, terang saja merusak monopoli yang seyogyanya mereka jaga. Para pedagang Asia dengan mudah mengalihkan sejumlah alur perdagangan ke pelabuhan-pelabuhan lain demi menjauhkan diri dari monopoli Portugis.
***
Penaklukan Portugis terhadap Malaka meletakkan sendi-sendi kerapuhan bagi kejayaan kami di lingkup Asia. Kota yang kami sanjung-sanjung itu mulai kembang kempis. Administrasi Portugis yang amburadul menjadikan pelabuhan Malaka megap-megap. Tiada lagi pelabuhan yang menjadi induk di mana kokohnya perekonomian menjadi kebanggaan, begitu pula kekayaan Asia ditukargulingkan.
Mengamati apa yang dilakukan orang-orang Portugis, lekas kami mafhum, bahwa sesungguhnya mereka telah lama membidik Maluku, daerah yang tersohor dengan “kepulauan rempah”. Itulah sebabnya, sesudah merebut Malaka, pada tahun 1512, mereka mengirim Francisco Serrao—selaku delegasi terpercaya Portugis—mengangkut beraneka bahan pangan serta menebus rempah-rempah.
Lintasan-lintasan peristiwa menggugah kesadaran. Memergoki beberapa kejadian, nyatalah kami paham; apa yang pernah bertiup dari bibir Eyang Razaq tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Mengapa demikian? Sebab, orang-orang jangkung yang mula-mula kami anggap sebagai tamu itu ternyata berniat melahap habis keuntungan dengan memborong rempah-rempah sebanyak-banyaknya ke negeri mereka. Dan, dengan kondisi yang amat lemah, tiada hal yang sanggup kami perbuat, kecuali… kecuali menuruti keinginan mereka. Sementara, atau bahkan selamanya.

Yogyakarta, 2012

Keterangan:
Cerpen ini diadaptasi dari buah pena Prof. M.C. Ricklefs, Ph.D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar