Kamis, 28 Juni 2012

Kiriman Tikus dari Joko (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Padang Ekspres" edisi Minggu, 22 Januari 2012)


Di pagi yang berbaju embun. Seperti biasa, Joko menggembalakan kerbau milik Pak Sukra. Dari kerja itulah, ia, ayah, dan ibunya sanggup meruncit beras. Maklumlah. Ia mustahil meranggi diri lagi. Apalagi melantamkan harta yang dipunyai sang ayah.
Joko tak habis pikir, kenapa wajah takdirnya berbelok seratus delapan puluh derajat. Dulu, meski anak seorang petani tulen, ia nyenyai nyemplung di ladang. Sebagian besar warga mengenal Joko selaku pemuda berat tangan dan pemakan keringat orang tua. Berbeda jauh dengan ayahnya, yang disebut-sebut sebagai petani pekerja keras.
Situasi berubah sejak Diran merasai lumpuh berat. Sebagai anak pertama, Joko terdesak mengurus sawah ayahnya. Karena tiada terbiasa menggarap sawah, ia memburuhkan orang lain.
Berulang kali lelaki berusia 59 tahun itu berobat, tetapi sembuh tak kunjung terbit. Tersebar desas-desus, Diran lumpuh sehabis memamah singkong bakar pemberian Sumantri, tetangga RT. 12, yang hasad dengan kesuksesannya. Penyakit kutukan itu membuahkan Diran melego berhektar-hektar sawahnya, yang bertahun-tahun menjadi tumpuan hidup. Usai berobat ke sana kemari, penyakit bukannya kabur, justru mengendap dan mengantarkan tubuhnya semakin lemah.
***
Matahari bangkit dari tidur panjang. Saritun, anak tunggal Paijan, bergegas keluar rumah guna memasok sarapan ayahnya di ladang. Telinganya tersenyum dan mengangguk-angguk perlahan tatkala menyimak tiupan seruling Joko yang terlalu merdu dan membius. Dan ia akan menghadiahkan senyum tipis selagi bersemuka dengan Joko di pematang sawah.
Trisna jalaran saka kulina. Begitulah cara menggambarkan apa yang dilakoni oleh Joko dan Saritun. Saking jamaknya bertembung, dua remaja ini terjebak dalam jaring asmara.
Tiap kali mengirim nasi ke sawah, Saritun selalu menyelipkan nasi bersarung daun pisang. Tentu, nasi itu akan dimakannya bersama sang pujaan hati. Nasi hangat disertai lauk tempe, lima iris mentimun, dan sambal terasi merupakan menu istimewa tiada duanya. Joko bakal tertentang begitu lahap saat menyikat masakan sir-sirannya. Melihat kedua remaja yang seia sekata, si kerbau, gembalaan Joko, turut merasakan kehangatan cinta mereka.
***
Suatu petang bersanggul dingin, Bambang mengangkat kaki ke griya Saritun. Ia ingin membuktikan sendiri kecantikan Saritun, yang selama ini hanya ia dengar dari Lubiz, sahabat sekaligus keponakannya. Dengan berbekal sedan mengkilap, rambut licin, sepatu kinclong, jas hitam dengan kancing logam yang dibeli dari Eropa, serta beberapa bingkisan, ia hendak menampakkan siapa dirinya sebenarnya.
Setiap kali Bambang beranjangsana, Saritun berberat hati menemui. Meski bermuka tampan dan berdompet tebal, tiadalah ia perempuan yang mudah bertukar bulu. Hatinya masih tertambat pada Joko. Entah apa yang membuatnya terlampau mencintai lelaki miskin, berburuk rupa pula. Namun, lagi-lagi ayahnya yang berkepala batu selalu memaksa untuk sekadar menghidangkan sedikit basa-basi. Hal demikian terjadi bertukas-tukas, hingga akhirnya menerap gadis berlesung pipit tersebut menadah pinangan Bambang.
Paijan amat girang mendapati keputusan anaknya. Ia tahu benar latar kehidupan Bambang. Lulusan kampus luar negeri. Direktur perusahaan besar di Surabaya. Dan ayahnya termasuk saudagar kaya yang cukup disegani. Menjabat sebagai mertua, tentu lekas menjadikannya dipandang berat di masyarakat. Orang-orang tidak mungkin lagi mencercanya sebagai juragan tikus, karena seringnya mengejar tikus yang berlalulalang di sawah. Tiada pula ia perlu menambah utang pupuk pada Kang Sukri. Perkara hati Saritun yang sama sekali tak terjerat pada lelaki berjanggut tebal itu bukan jadi soal. Asal rimbun uang, pasti kelak putrinya akan segera menurut kepada suami.
***
Kabar buruk itu mendarat di tubuh Joko. Selasa depan adalah hari di mana Saritun naik ke pelaminan. Joko mulai merakit rencana. Baginya, lebih baik mati membusuk daripada menanggung malu seumur hidup. Ia acap membayangkan, bagaimana jadinya bila Saritun berhasil dinikahi teman semasa kecilnya di SD Pembangunan itu. Sungguh, seluruh waktunya akan dihabiskan untuk meladeni ejekan dari tetangga: “Benar saja, Saritun pasti lebih senang hidup dengan Bambang daripada menderita dengan teman kebo”.
Tertumbuk biduk dikelokkan, tertumbuk kata dipikiri. Peribahasa itulah yang pantas kita todongkan pada Joko. Tega nian. Ia membujuk Sumi, tetangga Saritun, untuk memetik minimal tiga helai rambut Saritun. Usahanya pun berbayar. Guna melancarkan kelicikan, terlebih dahulu Joko menyelipkan beberapa lembar uang ribuan ke kantong Sumi.
“Awas, jangan sampai ketahuan orang lain. Kalau kesulitan menemukan rambutnya, coba kamu lihat sisirnya. Pastikan. Jika ada rambut yang menempel, ambil saja.” 
Pesan itu disampaikan Joko ketika Sumi hendak mengayunkan kaki ke rumah Saritun.
***
Barangkali nasib Joko sedang tercabut di kartu mati. Bukan Saritun yang terkena jampi-jampi. Melainkan ibunya, Paniem. Tiap tengah malam hingga fajar menyingsing, perempuan paruh baya itu meruah nama Joko. Ditambah lagi dengan tangannya yang mencakar-cakar baju dan segala benda di sekitar. Paijan membentur-benturkan kepala ke tembok. Ia sungguh berang dan melacak alasan mengapa pedusinya tiba-tiba tergila-gila pada pemuda melarat.
Desa Kedungkandang gempar. Orang-orang yang bermukim di sana harus menudungi kuping, jika mereka ingin sekadar istirahat atau memejamkan mata. Jeritan Paniem yang memanggil-manggil nama Joko menyeruak. Para jabang bayi pun rela mengantri menangis, sebab terganggu dengan suara melengking dari rumah Paijan.
Joko bingung bukan kepalang. Belum kesampaian maksud, ia sudah didera bencana. Ya, bencana yang singgah dari ulahnya. Ternyata tujuh helai rambut yang dikutil Sumi adalah rambut Paniem yang memakai sisir anaknya selesai keramas. Ia membodoh-bodohkan Sumi dan dirinya sendiri. Kenapa bukan rambut Saritun saja yang menjadi sasaran, tetapi sisirnya. Namun, apalah daya. Nasi terlanjur menjelma bubur. Ia mulai khawatir. Bisa jadi, ia bukan hanya beradu kening dengan Paijan, bahkan semua warga. 
Kekhawatiran Joko terjawab. Para warga mengamuk. Dari tindak-tanduk Paniem, menunjukkan bahwa dirinya terhantam jampi-jampi. Tudingan warga mengarah ke arah Joko, sebab cuma namanya yang dipanggil saban malam.
Ups, kisah kita belumlah mogok sampai sini. Setelah bermufakat di balai desa, warga sepakat untuk mengusir pemuda pembawa malapetaka itu, supaya angka musibah tak bertambah. Dengan menundukkan pandangan dan menyembunyikan rupa, ia pun meninggalkan kampung halaman menuju hutan Rumbuk Kidul yang terkenal seram. 
Joko mengajun bersarang di hutan dengan menabung seribu dendam. Dendam kepada Saritun yang sampai hati menumbalkan cinta mereka. Dendam kepada Bambang yang telah merampas alur kebahagiaan yang baru saja direnggut. Dendam dengan Paijan dan semua warga yang tega menundungnya dari rumah.
Gigil malam, tamparan angin, auman macan, pekik burung hantu, desis ular, menjadi santapannya. Demi membungkam lambung, ia melumat dedaunan dan buah-buahan yang tersua di hutan. Sesekali ia juga berburu kijang. Kalau sedang bosan, perutnya pun bersedia menampung daging tikus dan ular.
Ketika sibuk membopong kayu, ia melihat sesosok renta duduk bersila di bawah pohon besar. Joko mendekat. Sekedip kemudian, ia tertegun. Jantungnya berhenti berdegup. Ternyata si kakek melungguh di hamparan udara. Dalam benaknya, baru ini kali ia menyaksikan manusia sakti. Tanpa diminta, si kakek bersoal:
“Ada apa anak muda? Kenapa kau ada di sini?”
Suara serak menyentak ke ubun-ubun Joko.
“Saya kualat, Mbah. Ini karma yang harus saya tanggung.”
“Tidak. Aku yang akan membalaskan dendammu.”
Tiba-tiba kakek berjenggot putih dan bertongkat itu memotong kalam Joko. Seolah ia telah mengetahui hal-ihwal yang dialami Joko.
***
Malam pekat. Awan menggumpal. Angin liar berhamburan. Dari arah hutan Rumbuk Kidul, menyembul tikus-tikus raksasa. Tikus-tikus berkulit kasar, berbulu lebat, berkuku lancip dan bertaring tajam menyerbu desa Kedungkandang. Ribuan tikus mengusut mangsa. Mereka bukan tikus yang kerap mengganggu sawah Paijan, melainkan tikus jadi-jadian.
Para jejantan meluncurkan senjata. Pisau, sabit, celurit, parang, pedang. Segala sesuatu yang tersusun dari besi atau baja dihembuskan. Tikus-tikus dibabat, dicincang, ditusuk, dibacok. Tetapi sungguh aneh. Ketika berhasil mengenai sedikit saja tubuh mereka, tikus-tikus itu langsung terbelah dan melahirkan dua tikus kembar yang lebih besar. Sehingga jumlah tikus tidak menyurut, malah semakin membludak.
Semua orang kelabakan. Tikus-tikus menyerang warga tanpa ampun. Ada yang tangannya putus. Ada yang lehernya terluka parah. Ada yang jemarinya hilang. Ada yang bola matanya menggelinding ke tanah. Tak terkecuali dengan sepasang pengantin baru, Bambang dan Saritun, yang tengah bersembunyi di hangatnya selimut. Seekor tikus mengganyang pantat bambang, dan seketika darah memuncrat. Sedangkan Saritun tampak tenang. Saat pahanya dikerutak tikus seukuran kambing, bibirnya melenguh: “Kau tikus kiriman Joko, bukan?”. 

Yogyakarta, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar