Selasa, 30 Januari 2018

Vandalisme Situs Majapahit (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bhirawa" edisi Selasa, 30 Januari 2018)


Belakangan ini, publik dihebohkan dengan insiden vandalisme situs Majapahit. Melalui media sosial, seorang warga Mojokerto mengunggah sebuah foto yang menunjukkan aktivitas penjarahan batu bata dari struktur bangunan bersejarah di Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto.
Kegiatan destruktif ini merupakan pelanggaran hukum yang dapat dikenai sanksi pidana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Pasal 66 Ayat (1), “Setiap orang dilarang merusak cagar budaya baik seluruh maupun bagian-bagiannya”. Adapun Pasal 105 undang-undang ini menuturkan, “Pelaku perusakan terancam hukuman penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 15 tahun dan/atau denda sebesar 500 juta rupiah hingga 5 miliar rupiah”.
Ironisnya, meski pengambilan batubata kuno secara ilegal telah berlangsung sejak lama, namun pemerintah setempat mengaku tidak mengetahuinya. Hal ini mengindikasikan bahwa perhatian terhadap keberadaan desa sangat rendah. Padahal, rusaknya situs purbakala dalam suatu desa rentan meluluhlantakkan semangat hidup warga desa. Betapa warisan historis turut melekatkan identitas kultural bagi orang desa yang terkenal ulet dan tangguh. Dari satu generasi ke generasi selanjutnya, situs purbakala mampu menularkan kepribadian dan keperkasaan para leluhur pada masa silam. Itulah mengapa, meski kerap terbelit dengan urusan perut, mereka tetap mampu menjalani hidup dengan tegar.

Kesadaran Berdesa
Saat Majapahit masih berjaya, pemerintah memiliki perhatian besar terhadap eksistensi desa beserta kekayaan kultural di dalamnya. Sikap ini berangkat dari fakta bahwa desa merupakan embrio negara. Cikal-bakal Majapahit bermula dari sebuah desa di sebelah timur Sungai Brantas yang pada tahun 1292 mengalami pembangunan. Dengan pembukaan hutan Tarik oleh Nararya Sanggramawijaya, desa yang telah direnovasi diberi nama Majapahit. Para penduduknya adalah orang-orang Madura dan Singasari yang menaruh simpati kepada Nararya Sanggramawijaya selaku kepala desa. Menurut Tafsir Sejarah Nagarakretagama, setelah nekat memecundangi Raja Jayakatwang serta berhasil mengusir tentara Tartar, Nararya Sanggramawijaya mengambil alih kekuasaan Kediri. Ia kemudian mengatrol “status” Majapahit menjadi ibu kota kerajaan dengan terlebih dahulu memperluas wilayahnya. Pada saat inilah, Majapahit berubah dari desa menjadi negara sekaligus pusat kerajaan.
Kesadaran berdesa dipegang teguh oleh raja-raja Majapahit. Dengan mendaulat beberapa orang menjadi buyut, raja melimpahkan tanggung jawab penuh bagi para pemimpin lokal tersebut dalam mengurus kesejahteraan masyarakat di wilayah pedalaman. Undang-undang pratigundala dijadikan pedoman untuk mengatur pemerintahan dan kehidupan desa. Perhatian para pembesar kerajaan terhadap keamanan desa antara lain ditunjukkan oleh Hayam Wuruk yang percaya bahwa demi membentuk negara yang digdaya, kelestarian desa merupakan prasyarat utama. Lebih jauh, ia meyakini bahwa kerusakan desa berarti kerusakan negara.
Perjalanan Hayam Wuruk ke sejumlah daerah menggambarkan rasa simpati terhadap desa serta bangunan suci di dalamnya. Di samping memeriksa realisasi tugas pejabat pemerintahan pusat, lawatan sang prabu yang disambut hangat oleh para warga tersebut juga dimaksudkan untuk menyaksikan kondisi kehidupan rakyat di desa-desa kekuasaan Majapahit. Tentu ia belum merasa puas dengan cukup mendengar laporan bawahannya tentang nasib wong cilik. Tujuan lain perjalanan Hayam Wuruk yaitu supaya semua durjana lenyap dari wilayah kerajaan. Itulah sebabnya semua desa dikunjungi, ditelusuri, diteliti, meski berada di tepi pantai laut (Slamet Muljana, 2005: 96). Fakta ini menunjukkan, penguasa berupaya menjauhkan desa dari segala bentuk kriminalitas dan aksi vandalisme.

Primary Actor
Penyelamatan nasib desa beserta apa yang dikandungnya merupakan hal yang urgen dan mendesak. Insiden perusakan situs purbakala di Mojokerto harus segera ditangani secara serius. Seiring dengan semakin tergerusnya bukti kebesaran nenek moyang, masa depan bangsa seolah tergadaikan. Guna mengatasi vandalisme batubata bersejarah, dua langkah berikut mesti segera ditempuh.
Pertama, aparat kepolisian bergerak cepat dengan mengusut tuntas insiden tersebut. Demi memberikan efek jera, mereka yang terbukti sebagai pelaku layak menerima hukuman setimpal. Ringannya sanksi pidana hanya akan memancing tindakan serupa di masa mendatang. Apalagi, kasus semacam ini genap terjadi berulang kali. Betapa tahun demi tahun menjadi saksi atas keberingasan para penjarah benda-benda bernilai historis. Pengusutan meniscayakan penggalian informasi secara mendalam terhadap kemungkinan adanya “otak” di balik tindakan perusakan situs kuno. Sehingga, sanksi hukum bukan saja menjerat oknum lokal, melainkan juga jaringan regional dan nasional.
Kedua, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur meminta bantuan pemerintah desa dalam upaya menguak vandalisme. Selama ini, muncul asumsi bahwa para elite lokal jarang dilibatkan dalam menyelesaikan kriminalitas dengan aset historis sebagai sasarannya. Lemahnya pengawasan terhadap peninggalan purbakala antara lain dikarenakan minimnya kontribusi pemerintah desa. Padahal, semestinya mereka menjadi primary actor (aktor utama) yang senantiasa memelihara, mempertahankan, serta menjunjung tinggi warisan bersejarah. Ketetapan mengenai hal ini terpampang dengan jelas dalam peraturan legislasi. Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Pasal 26 Ayat (2) menyebutkan bahwa aparatur desa berwenang mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat desa.

Yogyakarta, 2017

Senin, 22 Januari 2018

Jagoan dan Kekuasaan (Teroka_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kompas" edisi Senin, 22 Januari 2018)


Dalam sejarahnya, setidaknya di negeri ini, kekuasaan (dalam arti politik) memiliki relasi langsung dengan kekuatan (dalam arti fisik). Di mana ada kekuasaan di situ tersimpan kekuatan. Maka, siapa saja yang dibekali kekuatan yang dapat dibuktikan secara fisikal/material memiliki peluang kian besar pula untuk mendapatkan kekuasaan.
Pola pikir masyarakat kita yang sederhana dan tradisional itu mungkin dilatari oleh sejarah terbentuk dan terebutnya kekuasaan di sebuah daerah atau kerajaan pada masa lalu yang memang banyak didahului ”adu otot” ketimbang ”adu otak” semacam kampanye di masa kini. Tak heran, bahkan para calon raja atau pemimpin lain di dalam hidup tradisi kita harus memiliki latar belakang, pendidikan, atau latihan semacam kanuragan yang bisa memberi seorang calon raja, misalnya, kekuatan atau ketangkasan fisik yang luar biasa.
Studi Onghokham mengenai priayi dan petani memperlihatkan bukti pada abad XIX di mana sosok jago(an) atau jawara secara natural menjadi pemimpin di perdesaan. Bagi masyarakat desa, menurut Ong, jagoan dengan seluruh kapasitas fisikalnya merupakan representasi dari semua kualitas kepemimpinan yang utama. Tingkat kesaktian atau kapasitas itu menentukan tingkat kekuasaan yang bisa direngkuhnya. Jagoan desa tentu saja belum apa-apa ketimbang priayi, apalagi bupati dan terlebih seorang raja, sang ”jagoan super”, alias superhero.

Manusia Pilihan
Kekuatan yang didapatkan dari ”wahyu langit”, saking abstrak bahkan absurdnya, tentu saja sulit diperoleh sembarang orang. Karena itu, ada semacam ”logika” kekuatan semacam itu tidak dapat diajarkan, tetapi diwariskan. Inilah prosedur di mana seorang penguasa besar, raja misalnya, selalu harus dimulai dari pertanda bahwa sang calon (raja) telah menerima warisan (wahyu) kekuasaan lebih dulu.
Dalam cara berpikir modern yang rasional-kritis, prosesus dan prosedur pemindahan kekuasaan itu tentu saja menafikan kemampuan manusia sesungguhnya. Prinsip-prinsip meritokratik tentu saja terbatalkan. Siapa saja, tak peduli jenis kelamin, usia, bahkan kecacatan, jika ia dianggap telah membuktikan kewahyuan dalam dirinya, ia pantas menjadi raja/pemimpin. Logika primordial ini berlaku universal, di Inggris, Skandinavia, China, hingga di Jawa.
Pada titik ini, kekuasaan wahyu tak lagi peduli pada hukum (yang diciptakan) manusia. ”Raja adalah hukum”. ”L’etat c’est moi”, begitu Raja Louis XIV menegaskan. Satu hukum yang berlaku di negeri kita hingga ke tingkat bawah, di mana jagoan juga merasa diri di atas hukum yang berlaku. Mereka bisa melanggarnya kapan saja tanpa perlu menanggung risiko yuridis apa pun. (Willem GJ Remmelin, 2002: 112)
Pada abad XX, sosok jagoan dalam tinjauan Onghokham dapat dihubungkan dengan jawara di Banten. Karakter jago bisa ditemukan dalam diri jawara. Menurut Harry A Poeze (2008: 19), pada 1943 jawara punya posisi luar biasa. Pada umumnya, jawara adalah petani muda yang memimpin kehidupan semi-ilegal. Di samping cukup ditakuti dan disegani, mereka juga mengantongi kehormatan, pengaruh, dan wibawa.
Sebagian di antara mereka berperan selaku penguasa bayangan, sedangkan sebagian lainnya menjadi pelaku tindak kriminal. Mereka berada dalam jaringan gerombolan dengan ritme kegiatan yang berubah-ubah seiring faktor sosial-ekonomi. Saat timbul keresahan sosial, mereka tampil di depan dan bersatu dengan penduduk desa. Di beberapa desa di Sumatera Selatan, misalnya, para jawara yang sebenarnya hidup sebagai bandit di kota-kota lain dianggap pahlawan atau ”Robin Hood”. Alasannya, mereka banyak melakukan aksi sosial hingga turut membangun desa. Hingga hari ini.
Maka, banyak masa para jawara itu tampil mewakili petani, memegang kendali kuasa di desa, terutama dalam menghadapi pihak asing yang hendak mengganggu ketenteraman desa. Meski sifatnya tak resmi, mereka sanggup menunjukkan ”taringnya” di depan publik. Eksistensi jawara menggambarkan betapa kaum petani tidak bisa dilihat sebelah mata oleh pemerintah ataupun penguasa bangsa lain.
Sementara bagi pemerintah, keberadaan jawara justru dianggap pencipta masalah. Perbuatan mereka bertolak belakang dengan kehendak hukum, notabene kehendak penguasa/pemerintah. Sebaliknya, dalam praktik kekuasaan lain, para jawara malah menjadi kaki tangan penguasa untuk melanggengkan kekuasaan atau memaksakan kehendak pemimpinnya. Penelitian Peter Carey di Jawa Tengah masa perang Diponegoro mengisahkan bagaimana para jagoan atau jawara digunakan bukan hanya untuk melindungi kekuasaan, melainkan juga rakyat jelata dari penindasan kolonial, bahkan menjadi bagian dari tentara perang Diponegoro.
Jawara dan jagoan seperti memiliki paradoks dalam peran sosial, politis, hingga kultural, dan spiritualnya. Ini membuat publik pun sering terbelah dua dalam memahami dan memosisikannya. Namun, dualisme atau paradoks itu pula yang membuat jawara dan jagoan senantiasa dibutuhkan hingga saat ini.

Yogyakarta, 2017

Senin, 15 Januari 2018

Rabitah dan Potret Perempuan Desa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Suara NTB" edisi Sabtu, 13 Januari 2018)


Kasus Sri Rabitah yang diduga kuat menjadi korban perdagangan orang dan perdagangan organ tubuh di Qatar, empat tahun silam, seolah terkubur seiring dengan gencarnya berbagai berita politik di media cetak dan daring. Padahal, tenaga kerja wanita asal Desa Sesait, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat tersebut sedang menanti keadilan. Penyidikan oleh Subdit IV Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTB sejak Bupati Lombok Utara Nazmul Akhyar melaporkan kasus tersebut pada 11 April 2017 menunjukkan bahwa kasus Rabitah masih berlanjut.
Apa yang dialami oleh Rabitah merupakan secuplik dari rentetan panjang kisah penderitaan perempuan di negeri ini. Terutama di wilayah pedalaman, perempuan kurang mengantongi akses dan kesempatan untuk mengambil keputusan. Arah dan jalan hidup mereka seolah hanya mengikuti ke mana bandul zaman bergerak.
Hingga saat ini, potret perempuan desa direpresentasikan dengan gadis yang menikah pada usia belia (10-15 tahun), terpaksa putus sekolah, mempunyai kesehatan reproduksi buruk, tercemar lingkungan, serta angka kematian ibu (AKI) yang kian meroket. Kawasan perdesaan yang pada mulanya merupakan “lumbung padi”, kini tak lebih sekadar “penghasil” perempuan dan anak buruh migran sektor informal, gadis kecil yang sengaja dilacurkan, korban trafficking, penderita busung lapar, dan sebagainya. (Sulistyowati Irianto [ed.], 2008: 279).
Melalui buku Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: dari Wacana Bangsa hingga Wacana Agama, Yasir Alimi (2004: 79) menunjukkan bahwa demi kepentingan bangsa, perempuan sebelum masa developmentalisme dianjurkan untuk menghasilkan keturunan sebanyak mungkin. Sebaliknya, juga demi kepentingan bangsa, perempuan didorong bahkan diwajibkan untuk membatasi angka kelahiran. Pada masa developmentalisme, seorang ibu dituntut mempunyai maksimal dua anak. Oleh perangkat desa, tak jarang perempuan yang mengesampingkan program Keluarga Berencana (KB) dicap sebagai “komunis”.
Fakta di atas mengindikasikan begitu rentannya posisi perempuan di ranah publik. Hak mereka kerap diabaikan demi terpenuhinya misi penguasa. Beberapa program dan kebijakan pemerintah yang diselundupkan hingga wilayah perdesaan telah mengerdilkan hakikat perempuan.

Momok Menakutkan
Celakanya, perampasan hak kaum Hawa semakin dikukuhkan dengan praktik poligami. Betapa poligami telah menjadi momok menakutkan bagi mereka. Sejumlah kasus menunjukkan bahwa menjamurnya poligami tidak dilandasi dengan niat dan tujuan mulia. Seringkali poligami dijadikan oleh para lelaki sebagai alibi mengumbar berahi, bukan ikhtiar mengulurkan kasih sayang dan pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Praktik poligami berdalih agama menggambarkan bahwa dalam lingkup rumah tangga, perempuan kerap diposisikan sekadar sebagai konco wingking (teman di belakang). Tak heran jika keseharian kaum Hawa identik dengan dapur, sumur, dan kasur. Budaya patriarki yang cukup kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat membuat peran mereka dinihilkan.
Padahal, pada era 1980-an, pemerintah sempat mengurangi laju perkembangan poligami dengan melarang pemimpin lokal beristri banyak. Sebagaimana diketahui, lantaran menyandang perekonomian yang mapan, dahulu kala kepala desa gemar berbini. Hal ini dilakukan antara lain demi menyokong kedudukan elite lokal di mata masyarakat. Poligami merupakan salah satu kiat mengatrol status sosial sekaligus memantapkan image (citra) di hadapan publik. Pada beberapa kasus, poligami bahkan menjadi  gaya hidup (way of life) para pemimpin di level lokal.
Berdasarkan pernyataan Memed Tohir, pada waktu itu disinyalir masih banyak kepala desa beristri lebih dari satu. Harian Pikiran Rakyat edisi 09-02-1984 pernah mengutip ucapan Bupati Cirebon tersebut, “Jadi kalau mereka yang punya isteri lebih dari seorang itu, berminat kembali mengikuti pemilihan Kepala Desa tentunya mereka harus menceraikan isteri-isterinya sampai benar-benar hanya beristeri seorang saja.”

Fondasi Peradaban
Upaya memperjuangkan hak Rabitah seakan menguap apabila eksistensi perempuan di berbagai penjuru negeri ini masih direndahkan. Padahal, potensi perempuan dapat dimanfaatkan sebagai medium pengukuh fondasi peradaban bangsa. Atas dasar inilah, berbagai proyek pembangunan sebaiknya senantiasa melibatkan tenaga dan pikiran perempuan. Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa antara lain menggariskan bahwa perempuan berhak disertakan dalam keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa. Ini berarti, perempuan mengantongi daya saing di hadapan kaum Adam.
Fakta-fakta di lapangan menggambarkan tingginya produktivitas kaum Hawa. Dalam berbagai situasi, mereka dinilai mampu memelihara motivasi bekerja. Berdasarkan realitas historis, perempuan Nusantara sejak masa silam menggenggam etos kerja yang layak dibanggakan. Keteguhan mereka dalam menyiasati beban hidup diturunkan lintas generasi. Kelebihan ini, misalnya, terlihat jelas pada masa kolonialisme. Karakter tahan banting antara lain dibuktikan oleh perempuan ketika Indonesia dikuasai oleh Jepang.
Penelusuran Hario Kecik (2009: 12) menunjukkan bahwa penjajahan Jepang genap menciptakan istilah “bakul”. Kelompok baru di kalangan masyarakat perdesaan tersebut terdiri dari para perempuan yang menjalankan aktivitas jual-beli antara desa dan kota. Hasil tanaman di kawasan perdesaan, semisal rebung, pete, keluwak, biji kopi mentah, dan lain-lainnya, dibawa demi mendatangkan keuntungan. Aneka corak kebutuhan tersebut kemudian dijual atau ditukarkan dengan apa yang hanya dijumpai di wilayah perkotaan.

Bojonegoro, 2018

Minggu, 14 Januari 2018

Waduk Simbol Harmonisasi (Aspirasi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Harian Jogja" edisi Sabtu, 13 Januari 2018)


Banyak desa di berbagai penjuru tengah dilanda bencana banjir. Di samping rusaknya fasilitas publik dan raibnya harta benda, malapetaka ini juga membuat penduduk desa terluka bahkan meninggal dunia. Dalam konteks inilah, waduk selaku instrumen pengendali banjir diperlukan guna menekan kerugian material dan meringankan beban psikologis.
Oleh sebagian orang, waduk dianggap sebagai pengukuh kedaulatan bangsa. Lantaran fungsinya yang strategis, waduk dapat menjadi penunjang kedaulatan air, pangan, dan energi. Menurut Basuki Hadimuljono (2015), pembangunan waduk sebagai infrastruktur sumber daya air diperlukan guna mendukung ketersediaan air bagi para petani. Apalagi, tekad pemerintah membangun waduk dilandasi beberapa manfaat. Di antaranya peningkatan ketersediaan air baku, pencegahan banjir, pengadaan pembangkit listrik tenaga air, transportasi air, perikanan, serta pariwisata.
Namun demikian, waduk semestinya tidak hanya dilihat dalam bingkai positif. Selama ini, realisasi pembangunan waduk masih jauh panggang dari api. Belum lagi, waduk berpotensi mendatangkan beragam risiko dan bahaya. Selain menyebarkan penyakit (misalnya demam berdarah), mencaplok lahan pertanian, serta mengubah ekosistem, waduk juga kerap menyisakan problem-problem sosial.

Kentalnya Problem Sosial
Di setiap daerah telah disediakan kawasan tertentu sebagai ruang terbuka hijau (RTH) yang menjadi tangkapan air. Dengan demikian, waduk tidak mungkin dibangun di sembarang tempat. Jadi, alih-alih menyokong kedaulatan air, pangan, dan energi, pembangunan waduk yang tidak pada tempatnya justru rentan menyulut masalah.
Sebenarnya, melalui instrumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), pemerintah telah mengkaji masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan atas pembangunan sejumlah waduk. Namun demikian, Suhardi Suryadi (2015) mensinyalir bahwa dalam banyak kasus, penyusunan amdal cenderung bersifat legal-formal, sehingga sukar dikontrol, non-partisipatif, dan kurang transparan.
Saat ini, keberadaan waduk dianggap kurang sustainable, baik secara ekonomi, politik, maupun sosial. Besarnya biaya pembangunan dan pemeliharaan tentu merugikan pelaksana proyek dan pemberi pinjaman. Ditambah lagi, problem-problem sosial menjadi latar belakang mengapa terjadi penolakan masyarakat terhadap pembangunan waduk.
Proyek pembangunan Waduk Jatigede, Jawa Barat, misalnya, terkesan mengesampingkan fakta bahwa warga sekitar memiliki ikatan sosio-kultural. Keterbatasan pemerintah memahami psikologi masyarakat perdesaan menyebabkan kasus-kasus pembangunan waduk kerap disambut resistensi. Setiap protes dan perlawanan yang digencarkan berdalih mempertahankan tanah leluhur.
Di wilayah penggenangan waduk tersimpan situs-situs sejarah bernilai keramat. Sebagian besar lahan dikelola bukan berlandaskan nilai ekonomi semata. Dianggap sakral, harta pusaka peninggalan nenek moyang dipegang teguh, dipelihara, dan dilestarikan. Bagaimanapun, masyarakat perdesaan tidak ingin tercerabut dari nilai, prinsip, dan kearifan para pendahulu. 
Dalam kasus Waduk Jatigede, faktor sosial, ekonomi, dan politik saling memintal antara satu dengan yang lain. Pembangunan waduk ini diwarnai dengan sulitnya warga direlokasi akibat minimnya kompensasi ribuan kepala keluarga (KK), kurang dihargainya kekayaan penduduk, dan ketidakjelasan pembangunan permukiman baru. Padahal, relokasi warga merupakan di antara prasyarat normalisasi waduk.
Masalah di atas diperkeruh dengan munculnya oknum yang memanfaatkan situasi dengan membangun ribuan rumah baru di kawasan yang bakal terendam air. Menjamurnya “rumah hantu” (harapan tunai) tersebut menggambarkan keinginan sejumlah pihak memperoleh ganti rugi dari Pemda (Bappeda). Kehadirannya tidak terlepas dari permainan yang melibatkan aktor-aktor di level desa hingga kabupaten. Tersebar dugaan, mereka merupakan para tokoh masyarakat dan elit-elit lokal yang dibekali jejaring informasi strategis tentang pembebasan lahan.

Simbol Harmonisasi
Waduk selayaknya menjadi simbol harmonisasi. Pemerintah dan masyarakat bisa bersama-sama merumuskan rencana pembangunan waduk, permasalahan serta solusinya. Supaya proses pembangunan berlangsung dalam suasana guyub, pemerintah bisa membuka ruang diskusi dan komunikasi dengan menempuh sejumlah langkah. Hal ini penting dilakukan, mengingat kebijakan pembangunan yang kurang aspiratif tentu rentan mengulang kembali “kesalahan masa lampau”.
Pertama, di samping melibatkan akademisi dan pengembang, pengelolaan kawasan waduk juga melibatkan warga. Dari sinilah, arah dan strategi pengembangan kawasan menjadi RTH bisa dirumuskan. Dengan demikian, waduk bisa diterima semua lapisan masyarakat (socially accepted) dan menjamin persetujuan tanpa paksaan (free prior informed consent).
Kedua, SIDCOM (survey, investigation, design, operation, dan maintenance) menjadi acuan dalam merealisasikan proyek pembangunan. Jika semua tindakan berdasarkan hasil studi kelayakan, ketersediaan dana, serta pelaksanaan teknis, maka bisa dipastikan tidak ada lagi keluhan mengenai ganti rugi.
Ketiga, pemerintah mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam pengawasan pihak-pihak yang terkena dampak proyek demi perbaikan tata kelola pembangunan waduk. Aktor-aktor nakal yang memanfaatkan situasi bisa dilaporkan untuk segera ditindak oleh aparat kepolisian.
Keempat, jika uang tunai disebut sebagai pengganti tempat penampungan pemukiman, maka pemerintah harus memberi pandangan ke mana warga harus berhijrah. Boleh jadi, lokasi hunian baru memiliki demografi, iklim, dan sosiokultur yang berbeda dengan lokasi asal. Dalam hal ini, mesti ada rekayasa sosial guna membangun budaya baru, sehingga tempat tinggal baru menjadi kawasan ramah lingkungan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.

Bojonegoro, 2017

Simbolisasi Dokar dalam Politik (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jateng" edisi Jumat, 12 Januari 2018)


Berada di atas dokar, pasangan Sri Hartini-Setia Budi Wibawa berangkat ke KPU guna mendaftarkan diri dalam ajang Pemilihan Bupati Kudus. Maju dengan diusung PKS, Gerindra, dan PBB, keduanya menaiki dokar dari Rumah Aspirasi Loram, Kudus menuju Jalan Ganesha nomor 4, Purwosari. Hartini mengaku bahwa pemilihan dokar sebagai alat transportasi merupakan kiat berbaur dengan rakyat kecil.
Dokar memang identik dengan simbol rakyat kecil yang bermukim di desa. Keberadaan alat transportasi tradisional tersebut menggambarkan perjuangan orang-orang desa menyiasati beratnya beban hidup. Dalam upaya mendongkrak tingkat perekonomian, dokar menjadi pilihan yang tepat untuk mengangkut barang dagangan sebelum transaksi jual-beli dilaksanakan.
Bagi masyarakat perdesaan, dokar merupakan salah satu sarana yang sangat penting dalam upaya mengokohkan bangunan harmoni. Dikukuhkannya ikatan sosial lantaran seringnya tetangga naik dokar bersama. Dalam taraf tertentu, alat transportasi yang memanfaatkan tenaga kuda tersebut turut menggerus ketimpangan sosial akibat munculnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat.

Kemiskinan Akut
Meski akhir-akhir ini berjumlah terbatas, nyatanya keberadaan dokar justru menjadi daya tarik tersendiri. Bagi wisatawan lokal, dokar menjadi pemantik kenangan masa silam yang penuh gairah dan kegembiraan. Adapun bagi turis mancanegara, dokar mengandung nilai-nilai kehidupan pribumi serta kearifan lokal yang barangkali tidak ditemukan di negara asal. Itulah mengapa, di beberapa kawasan wisata, dokar sengaja disediakan guna menambah pundi-pundi pendapatan pemerintahan daerah dari sektor pariwisata.
Fakta di atas menunjukkan betapa dalam kehidupan sehari-hari orang desa membutuhkan sarana transportasi. Tak berlebihan jika keberadaannya membantu kepala desa dalam menjalankan salah satu tugasnya “mengembangkan perekonomian masyarakat desa” sebagaimana digariskan dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.
Ilustrasi mengenai urgensi media transportasi ditunjukkan oleh realitas sosial di desa-desa yang terletak di kawasan perbatasan di Kabupaten Entikong yang menunjukkan pemandangan ‘mengerikan’. Didahului oleh proses-proses tertentu, orang-orang yang hidup di sana mengalami kemiskinan akut. Hal ini antara lain disebabkan oleh minimnya jalan dan alat transportasi yang membuat desa-desa tersebut menjadi daerah terpencil dan jauh dari pusat kegiatan di Indonesia.
Desa-desa di Provinsi Kalimantan Barat yang terisolasi ternyata berdekatan dengan desa-desa di Sarawak yang terbilang makmur. Kemiskinan akut yang menimpa penduduk di desa-desa perbatasan ini menjadi absolut ketika disandingkan dengan kemakmuran orang-orang yang bermukim di desa-desa yang menjadi bagian dari Sarawak. Dalam Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di Indonesia: Sebuah Tantangan (2011: 19) disebutkan bahwa kenyataan inilah yang menyebabkan alasan seseorang untuk berpindah ke desa-desa tetangga sekaligus beralih kewarganegaraan menjadi warga Negara Malaysia semakin kuat.

Image Positif
Kemiskinan dan keterbelakangan desa bercorak struktural. Bagaimanapun, problematika kemiskinan terbelenggu dalam struktur ekonomi, sosial serta kebudayaan masyarakat desa. Tak heran jika upaya mengentaskan kemiskinan tidak dapat dicapai dengan langkah-langkah instan. Bagaimanapan, tanpa perombakan dan penyesuaian berbagai struktur kehidupan, problematika kemiskinan tak mungkin teratasi. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan bidang transportasi sebagaimana gagasan Sarbini Sumawinata.
Dalam buku Politik Ekonomi Kerakyatan, ia menyatakan bahwa semua usaha yang berlaku di bidang industri manufaktur sebenarnya dapat diterapkan dalam bidang transportasi. Kegiatan-kegiatan ekonomi, baik di dalam desa maupun antardesa, hendaknya menghindari motorisasi. Meskipun demikian, di wilayah perdesaan diperlukan rancangan angkutan yang memaksimalkan fungsi roda dan kemudi. Dengan demikian, angkutan tersebut memiliki tingkat efìsiensi yang cukup tinggi. Dalam konteks inilah, perlu rancangan alat transportasi berupa gerobak modern yang ditarik dengan kuda.
Rancangan ini menjanjikan beberapa keuntungan. Pertama, menghemat energi. Kedua, menghindari polusi udara. Ketiga, meningkatkan produktivitas. Tersedianya alat pengangkut yang dihela oleh kuda tentu dinilai secara teknis lebih baik dibandingkan dengan cara dan alat transportasi berupa pikulan yang memakai tenaga manusia. Angkutan yang dirancang tersebut dipastikan bisa menambah produktivitas yang berlipat ganda. Di samping itu, sarana transportasi tersebut sudah cukup memadai dengan kebutuhan-kebutuhan suatu desa serta menjangkau jarak yang tidak terlalu jauh yang menghubungkan antara desa satu dengan desa lainnya. Dengan peralatan demikian, pengusahaan transportasi merupakan usaha kolektif dan kooperatif yang diusahakan oleh tenaga terlatih dari orang desa serta tetap berada dalam jangkauan kemampuan orang-orang desa (Sarbini Sumawinata. 2004: 204).
Munculnya wacana di atas mengindikasikan betapa dokar sejak lama memiliki image positif. Oleh karena itu, citra yang selama ini genap menempel pada dokar jangan sampai hilang tergantikan citra negatif lantaran menjadi unsur pemenangan bakal calon kepala daerah. Dengan ditariknya sarana tradisional tersebut dalam jagat politik, diharapkan dokar tetap identik dengan simbol harmoni dan peranti pengatrol ekonomi ketimbang media kampanye yang digunakan oleh elite politik untuk menyembunyikan jatidiri sekaligus merendahkan harga diri.

Bojonegoro, 2018

Rabu, 10 Januari 2018

Miras dan Stratifikasi Sosial (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kedaulatan Rakyat" edisi Rabu, 10 Januari 2018)


Korban minuman keras (miras) oplosan kembali terjadi di DIY. Korban sia-sia yang membuat Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X kembali mengimbau masyarakat senantiasa mengendalikan diri dan menjauhi miras. Imbauan bermakna filosofis: bahwa segala sesuatu yang rentan meluluhlantakkan masa depan anak bangsa layak dihindari. Bagaimanapun, kemajuan negara tidak mungkin diraih jika masyarakatnya dalam kondisi teler.
Menurut catatan historis, orang-orang yang gemar mabuk selalu mengantongi stereotip negatif, baik di mata rakyat maupun penguasa. Muncul asumsi bahwa mereka yang kerap berbuat onar dengan mengonsumsi miras rentan dijauhi masyarakat. Mereka dinilai menerabas norma hukum, agama serta susila. Betapa ketenteraman, kenyamanan serta keamanan masyarakat terganggu oleh kehadiran mereka. Siapa saja yang nekat menenggak miras dinilai bukan hanya merusak diri sendiri, melainkan juga menghancurkan sendi-sendi peradaban yang dibangun nenek moyang selama berabad silam.

Kerajaan
Pada zamannya, kerajaan enggan memberikan peluang bagi pecandu miras untuk tampil di depan publik. Formalisasi dan legalisasi melalui peraturan perundang-undangan dilakukan demi menghindarkan kekuasaan desa dari tangan mereka. Dicegahnya para peminum dari jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan lokal bermaksud agar desa dapat senantiasa dijauhkan dari gejala-gejala kehancuran. Bagaimana mungkin orang yang telah teracuni minuman memabukkan mampu memikirkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Itulah mengapa, kursi kepemimpinan lokal hanya boleh diduduki oleh orang-orang berpikir sehat yang senantiasa berjarak dengan miras.
Dalam karya Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Wasino (2008: 131) mencatat bahwa pecandu merupakan salah satu golongan yang dilarang dikukuhkan menjadi kepala desa. Rijksblad Mangkunegaran nomor 10 tahun 1917 menggariskan, orang-orang yang tidak bisa diangkat menjadi kepala desa yaitu: 1). Perempuan. 2). Orang yang belum dewasa. 3). Mantan kepala desa dan pejabat yang diberhentikan tidak hormat. 4). Para penggemar judi, pamadad, atau pecandu minuman keras. 5). Orang-orang yang dianggap tidak mampu atau kurang layak menjadi pemimpin desa lantaran sakit, berusia tua, lemah fisik atau mental. 6). Orang-orang yang pernah dikenai sanksi pidana dan tidak mengantongi ampunan. 7). Orang yang tidak tinggal di desa setempat.
Berdasarkan penelitiannya, Mohammad Sobary (2007: 120-121) menunjukkan bahwa di suatu desa tercatat unsur pembeda antara ‘orang alim’, ‘orang nakal’ serta ‘kelompok menengah’. Ulama, haji dan kaum fanatik beragama (Islam) dikategorikan selaku orang alim. Orang-orang yang suka melanggar larangan-larangan agama digolongkan sebagai orang nakal. Adapun di antara keduanya terdapat kelompok menengah, yaitu siapa saja yang memiliki prinsip keagamaan kurang kuat. Dalam kehidupan sehari-hari, ketiga kelompok tersebut saling menyindir dan melontarkan hujatan. Mereka mempertahankan sikap dan pendirian masing-masing dengan didukung oleh pengikut-pengikut setia.

Tingkat Kesalehan
Dalam praktiknya, kategorisasi di atas seringkali melahirkan problematika akut. Munculnya masalah-masalah sosial di beberapa daerah antara lain merupakan imbas dari pengelompokan masyarakat berdasarkan tingkat kesalehan. Dalam tataran tertentu, sebutan-sebutan negatif yang disematkan kepada seseorang menjadikannya pesimistis. Motivasi hidup dan optimisme sulit dibangkitkan lantaran sebagian masyarakat genap menjulukinya kaum terlaknat. Hal ini diperparah dengan kegemaran sebagian organisasi masyarakat (ormas) bertindak sewenang-wenang. Tanpa melibatkan pihak berwajib, golongan beraliran radikal tersebut menghakimi mereka secara sepihak. Tak jarang, aksi tersebut diwarnai dengan kekerasan.
Persekusi ditempuh demi menegakkan kebenaran dan perintah Tuhan. Menurut ormas ini, orang-orang yang terjerumus dalam aktivitas mabuk-mabukan harus memperoleh peringatan sekaligus ganjaran setimpal. Mereka yang terlanjur dicap sebagai pemabuk dianggap tidak berhak menerima rahmat Tuhan. Klaim demikian mengukuhkan persepsi bahwa surga seolah diciptakan hanya bagi kalangan tertentu. Padahal, adanya stratifikasi sosial pemilah ‘yang baik’ dan ‘yang buruk’ semestinya tidak lantas membuat psikologi peminum dan pecandu semakin terperosok.
Bagaimanapun, sejumlah faktor acap mendahului terjebaknya seseorang dalam lubang kemaksiatan. Dalam konteks inilah, diperlukan pendekatan multidisipliner guna menyelamatkan generasi bangsa dari kejamnya ‘minuman setan’. 

Bojonegoro, 2017

Selasa, 02 Januari 2018

Desa dan Etnis Tionghoa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bhirawa" edisi Kamis, 28 Desember 2017)


Persekusi massa baru-baru ini terjadi di Kampung Kadu, Kelurahan Sukamulya, Kecamatan Cikupa, Tangerang. Rasa curiga berlebihan membuat warga setempat melakukan perbuatan brutal dengan mempermalukan sekaligus menganiaya sejoli berinisial R (28) dan M (20). Lantaran berada dalam kontrakan, keduanya dituduh sebagai pasangan kumpul kebo. Tanpa diklarifikasi terlebih dahulu, pasangan muda-mudi tersebut langsung digerebek, diarak, dan ditelanjangi.
Video viral yang beredar menunjukkan bahwa Ketua RT sempat mengeluarkan kalimat bercorak rasisme, “buat contoh orang Cina di wilayah kita”. Kebetulan, korban persekusi merupakan keturunan Tionghoa. Boleh dibilang, aksi sepihak ini menggambarkan besarnya kecurigaan dan rasa benci terhadap siapa saja yang berdarah Tionghoa. 
Di negeri ini, sinisme terhadap segala hal yang berbau Chinese senantiasa dirawat dan diwariskan lintas generasi. Bukan hanya di area perkotaan, sinisme juga merasuk hingga wilayah perdesaan. Dari masa ke masa, orang desa meluapkan sentimen ini dengan sebutan berkonotasi negatif bagi “individu bermata sipit”. Padahal, boleh jadi, kebencian terutama disebabkan tingginya rasa iri terhadap kesuksesan Tionghoa serta rendahnya mentalitas bertarung pada diri mereka. Persaingan, bagi orang desa, merupakan hal yang “tabu” dan layak dihindari. Mereka lebih gemar memelihara keharmonisan dibanding menabuh genderang persaingan. Selama ratusan tahun, budaya agraris membimbing mereka untuk mengekalkan kebersamaan sekaligus menjauhi berbagai kompetisi dan rivalitas.
Ada kecenderungan bahwa ketika menghadapi orang Tionghoa, orang desa merasa berkecil hati. Dalam urusan ekonomi, keberuntungan seolah berpihak pada orang Tionghoa. Di mall dan pasar tradisional, orang desa menjadi buruh bagi para majikan Tionghoa. Dari pencapaian inilah, psikologi etnis dengan leluhur asli Tiongkok tersebut semakin terbentuk. Adapun rasa percaya diri orang desa merosot sedemikian rupa. Tanpa disadari, fakta ini seringkali ditepis. Enggan mengakui kekalahan, akhirnya mereka menaruh kecurigaan terhadap Tionghoa berikut anasirnya. Keberhasilan dan kemajuan yang diraih etnis Tionghoa dianggap melalui “jalan kotor”. Julukan “konglomerat hitam” disematkan bagi para penguras kekayaan Indonesia. Dengan kata lain, selalu ada kambing hitam di balik melesatnya perekonomian Tionghoa.
Sejak masa silam, etnis Tionghoa genap menunjukkan kejayaannya. Mereka mengukir prestasi dan kinerja dengan tinta emas. Dalam jagat bisnis, eksistensi mereka benar-benar diakui oleh dunia internasional. Muncul kesadaran bahwa mereka adalah bangsa petarung yang tercipta untuk menguasai diri sekaligus keadaan. Sebagai misal, saat orang desa didera kelaparan, mereka justru menimbun bahan makanan.
Pasca Perang Dunia I, lesunya pasar hasil bumi dan tambang di Eropa mengakibatkan krisis ekonomi melanda Indonesia. Pemecatan para buruh melahirkan pengangguran yang dalam perkembangannya meningkatkan angka kerusuhan dan kejahatan di berbagai tempat. Sebagian besar hasil panen yang dipungut dari sawah dilepas untuk membayar pajak. Sisanya tentu tidak cukup untuk keperluan konsumsi kecuali dengan menunggu hasil panen berikutnya. Imbasnya, di mana-mana kelaparan merajalela. Beras lebih banyak dijual untuk ditukar gaplek atau gabul, yakni ketela kering tanpa gizi yang diperoleh dari gudang-gudang pedagang Tionghoa (Slamet Muljana, 2008: 145-148).
Etnis Tionghoa juga membuktikan kepiawaiannya dalam berdagang. Mereka selalu menjunjung tinggi etos dan semangat entrepreneurship. Pada tahun 1930, mereka membuka kedai di lokasi yang agak ramai untuk melayani konsumen. Lantaran menyediakan segala macam keperluan orang desa, warung-warung bumiputera tidak pernah berkembang dan mampu menyainginya. Orang Tionghoa pandai melihat tempat strategis untuk berjualan. Biasanya mereka memilih tepi jalan besar bersinggungan dengan jalan desa yang mesti dilalui oleh orang desa, baik yang akan pergi maupun yang pulang dari kota. Dengan menawarkan barang dagangan secara eceran atau kredit, mereka mengantongi kepercayaan orang desa yang segera menjadi pelanggannya. Orang Tionghoa yang bermukim di kota-kota kecil atau desa-desa bisa mengakrabi kondisi dan adat kebiasaan serta berkomunikasi dengan bahasa setempat. Kepandaian menyesuaikan diri menjadi modal guna menguasai ekonomi perdesaan.
Slamet Muljana (2008: 118) menyebutkan bahwa para penjual bahan pakaian Tionghoa bertebaran ke sejumlah kampung seraya meminjamkan uang. Dengan berjalan kaki, sekali sepekan mereka berkunjung ke daerah yang ditandai sebagai kawasannya. Bahan pakaian dilepas secara angsuran dengan harga lumayan mahal. Namun demikian, angsuran tidak terlalu memberatkan, sebab orang desa melunasinya lima sampai enam kali. Jika orang desa memerlukan uang untuk acara pesta, orang Tionghoa siap memberikan pinjaman dengan bunga 2 sen setiap rupiah dengan jangka waktu sepekan. Dalam setahun, uang serupiah tersebut kembali 2 rupiah 44 sen. Banyak orang desa mengambil kesempatan itu. Untuk membayar utang, orang desa terpaksa menjual hasil bumi di pasar kepada pedagang kecil yang memperoleh bantuan modal dari pedagang Tionghoa. Hasil bumi berupa beras, kedelai, jagung, kacang tanah, tembakau, dan lain-lain akhirnya jatuh ke tangan para tengkulak Tionghoa.
Dalam gelanggang perniagaan, etnis Tionghoa melesat jauh di depan. Fakta inilah yang semestinya disadari oleh orang desa. Itulah mengapa, daripada sibuk menebar kecurigaan dan memproduksi kebencian lebih baik membekali diri dengan berbagai kiat mengejar ketertinggalan. Keberadaan Etnis Tionghoa di negeri ini bukan ancaman melainkan pesaing yang layak ditumbangkan. Generasi muda harus diajak memupuk jiwa kewirausahaan dengan senantiasa mengembangkan potensi dan motivasi berbisnis. Mentalitas dan pemikiran priayi yang menyingkirkan diri dari panggung entrepreneurship mulai ditinggalkan. Kemunduran bangsa ini antara lain dikarenakan aktivitas menuding dan mencari kambing hitam lebih menyenangkan dibanding merenungi kesalahan.


Bojonegoro, 2017