Selasa, 30 Januari 2018

Vandalisme Situs Majapahit (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bhirawa" edisi Selasa, 30 Januari 2018)


Belakangan ini, publik dihebohkan dengan insiden vandalisme situs Majapahit. Melalui media sosial, seorang warga Mojokerto mengunggah sebuah foto yang menunjukkan aktivitas penjarahan batu bata dari struktur bangunan bersejarah di Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto.
Kegiatan destruktif ini merupakan pelanggaran hukum yang dapat dikenai sanksi pidana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Pasal 66 Ayat (1), “Setiap orang dilarang merusak cagar budaya baik seluruh maupun bagian-bagiannya”. Adapun Pasal 105 undang-undang ini menuturkan, “Pelaku perusakan terancam hukuman penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 15 tahun dan/atau denda sebesar 500 juta rupiah hingga 5 miliar rupiah”.
Ironisnya, meski pengambilan batubata kuno secara ilegal telah berlangsung sejak lama, namun pemerintah setempat mengaku tidak mengetahuinya. Hal ini mengindikasikan bahwa perhatian terhadap keberadaan desa sangat rendah. Padahal, rusaknya situs purbakala dalam suatu desa rentan meluluhlantakkan semangat hidup warga desa. Betapa warisan historis turut melekatkan identitas kultural bagi orang desa yang terkenal ulet dan tangguh. Dari satu generasi ke generasi selanjutnya, situs purbakala mampu menularkan kepribadian dan keperkasaan para leluhur pada masa silam. Itulah mengapa, meski kerap terbelit dengan urusan perut, mereka tetap mampu menjalani hidup dengan tegar.

Kesadaran Berdesa
Saat Majapahit masih berjaya, pemerintah memiliki perhatian besar terhadap eksistensi desa beserta kekayaan kultural di dalamnya. Sikap ini berangkat dari fakta bahwa desa merupakan embrio negara. Cikal-bakal Majapahit bermula dari sebuah desa di sebelah timur Sungai Brantas yang pada tahun 1292 mengalami pembangunan. Dengan pembukaan hutan Tarik oleh Nararya Sanggramawijaya, desa yang telah direnovasi diberi nama Majapahit. Para penduduknya adalah orang-orang Madura dan Singasari yang menaruh simpati kepada Nararya Sanggramawijaya selaku kepala desa. Menurut Tafsir Sejarah Nagarakretagama, setelah nekat memecundangi Raja Jayakatwang serta berhasil mengusir tentara Tartar, Nararya Sanggramawijaya mengambil alih kekuasaan Kediri. Ia kemudian mengatrol “status” Majapahit menjadi ibu kota kerajaan dengan terlebih dahulu memperluas wilayahnya. Pada saat inilah, Majapahit berubah dari desa menjadi negara sekaligus pusat kerajaan.
Kesadaran berdesa dipegang teguh oleh raja-raja Majapahit. Dengan mendaulat beberapa orang menjadi buyut, raja melimpahkan tanggung jawab penuh bagi para pemimpin lokal tersebut dalam mengurus kesejahteraan masyarakat di wilayah pedalaman. Undang-undang pratigundala dijadikan pedoman untuk mengatur pemerintahan dan kehidupan desa. Perhatian para pembesar kerajaan terhadap keamanan desa antara lain ditunjukkan oleh Hayam Wuruk yang percaya bahwa demi membentuk negara yang digdaya, kelestarian desa merupakan prasyarat utama. Lebih jauh, ia meyakini bahwa kerusakan desa berarti kerusakan negara.
Perjalanan Hayam Wuruk ke sejumlah daerah menggambarkan rasa simpati terhadap desa serta bangunan suci di dalamnya. Di samping memeriksa realisasi tugas pejabat pemerintahan pusat, lawatan sang prabu yang disambut hangat oleh para warga tersebut juga dimaksudkan untuk menyaksikan kondisi kehidupan rakyat di desa-desa kekuasaan Majapahit. Tentu ia belum merasa puas dengan cukup mendengar laporan bawahannya tentang nasib wong cilik. Tujuan lain perjalanan Hayam Wuruk yaitu supaya semua durjana lenyap dari wilayah kerajaan. Itulah sebabnya semua desa dikunjungi, ditelusuri, diteliti, meski berada di tepi pantai laut (Slamet Muljana, 2005: 96). Fakta ini menunjukkan, penguasa berupaya menjauhkan desa dari segala bentuk kriminalitas dan aksi vandalisme.

Primary Actor
Penyelamatan nasib desa beserta apa yang dikandungnya merupakan hal yang urgen dan mendesak. Insiden perusakan situs purbakala di Mojokerto harus segera ditangani secara serius. Seiring dengan semakin tergerusnya bukti kebesaran nenek moyang, masa depan bangsa seolah tergadaikan. Guna mengatasi vandalisme batubata bersejarah, dua langkah berikut mesti segera ditempuh.
Pertama, aparat kepolisian bergerak cepat dengan mengusut tuntas insiden tersebut. Demi memberikan efek jera, mereka yang terbukti sebagai pelaku layak menerima hukuman setimpal. Ringannya sanksi pidana hanya akan memancing tindakan serupa di masa mendatang. Apalagi, kasus semacam ini genap terjadi berulang kali. Betapa tahun demi tahun menjadi saksi atas keberingasan para penjarah benda-benda bernilai historis. Pengusutan meniscayakan penggalian informasi secara mendalam terhadap kemungkinan adanya “otak” di balik tindakan perusakan situs kuno. Sehingga, sanksi hukum bukan saja menjerat oknum lokal, melainkan juga jaringan regional dan nasional.
Kedua, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur meminta bantuan pemerintah desa dalam upaya menguak vandalisme. Selama ini, muncul asumsi bahwa para elite lokal jarang dilibatkan dalam menyelesaikan kriminalitas dengan aset historis sebagai sasarannya. Lemahnya pengawasan terhadap peninggalan purbakala antara lain dikarenakan minimnya kontribusi pemerintah desa. Padahal, semestinya mereka menjadi primary actor (aktor utama) yang senantiasa memelihara, mempertahankan, serta menjunjung tinggi warisan bersejarah. Ketetapan mengenai hal ini terpampang dengan jelas dalam peraturan legislasi. Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Pasal 26 Ayat (2) menyebutkan bahwa aparatur desa berwenang mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat desa.

Yogyakarta, 2017

1 komentar: