Senin, 27 Agustus 2018

Elite Lokal vs Kritik Sosial (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Sindo" edisi Senin, 27 Agustus 2018)

Lantaran diduga melakukan penyimpangan terhadap dana desa dan alokasi dana desa, Kepala Desa (Kades) Doyong, Miri, Sragen, ditahan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Sragen. Penahanan terhadap pemimpin lokal tersebut dilakukan setelah ia dinilai genap menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 70 juta. Ia rupanya ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan aduan tokoh masyarakat setempat.
Fenomena di atas menggambarkan bahwa sebagian pamong desa bersifat pragmatis dan oportunis. Individualisme membimbing mereka dalam menjalankan fungsinya. Tak heran apabila mereka cenderung mementingkan diri sendiri ketimbang memperhatikan urusan publik. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat yang diusung oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Aji Mumpung
Tidak selalu orang-orang yang didapuk menjadi perangkat desa menjalankan perannya dengan baik. Ada yang justru menangkap peluang dengan menganggap bahwa posisinya dalam jejaring kekuasaan lokal merupakan aji mumpung. Di salah satu desa Bojonegoro, Jawa Timur, seorang modin memposisikan diri selaku makelar bagi warga yang ingin mendapat pelayanan. Ia menawarkan jasa membuat Kartu Tanda Pengenal (KTP), Kartu Keluarga (KK), dan sebagainya dengan harga yang telah dipatok. Celakanya, setelah menerima “komisi”, ia menikmati hasil tanpa mau memenuhi janji. Akhirnya, warga merasa dikhianati.
Carik di desa tersebut juga terbiasa memanfaatkan kedudukan guna mengelabui warga. Berdalih meringankan beban siapa saja yang membutuhkan, ia justru meminta upah dari apa yang telah diperbuat. Ketika mengulurkan pertolongan kepada warga, ia dikenal memiliki pamrih dan menyimpan maksud tersembunyi. Misalnya saat ia bermaksud membantu seseorang mengurus surat tanah. Di luar dugaan, surat yang dijanjikan ternyata tidak pernah diserahkan ke pemiliknya, meskipun ia genap menerima imbalan yang besar.
Track record-nya yang negatif diketahui oleh sebagian warga dan menyebabkan kewibawaannya merosot drastis. Tentu hal ini berimbas pada citra pamong desa lainnya yang meskipun jujur, tetapi dianggap suka menipu. Keberadaan orang-orang “bermasalah” dalam jajaran perangkat desa rentan menjadikan kinerja pemerintah di level lokal kurang maksimal. Tanpa mengantongi kepercayaan masyarakat, pemerintah desa kesulitan melaksanakan setiap program, terutama yang berhubungan dengan layanan publik. Padahal, dukungan semua stakeholder diperlukan agar setiap kebijakan di level lokal dapat terwujud.
Dalam taraf tertentu, muncul kecenderungan bahwa kinerja perangkat desa kurang transparan dan akuntabel. Terutama mengenai pemasukan dan pengeluaran desa, mereka cenderung kurang terbuka. Urusan keuangan membuat mereka selalu berhati-hati dan waspada. Lantaran khawatir direcoki oleh sejumlah pihak, mereka enggan menyajikan laporan keuangan pemerintahan desa. Sehingga, besarnya Anggaran Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) sekaligus penyalurannya tidak pernah diketahui oleh publik. Berbagai anggaran yang berasal dari pemerintah pusat juga seringkali akuntabel di atas kertas, tetapi manfaatnya kurang dirasakan oleh masyarakat.

Balance of Power
Saat elite lokal merasa “berada di atas angin”, publik tentu kehilangan akses dan kontrol. Keadaan ini menyebabkan pemerintahan desa berjalan sesuai hasrat para pemangkunya. Dengan demikian, kasus-kasus penyelewengan kerap bermula dari malpraktik pemerintahan desa. Dalam konteks inilah, perlawanan pasif maupun aktif menemukan relevansinya. Ikhtiar melawan superioritas dan dominasi elite lokal bisa dilakukan dengan melancarkan kritik sosial dalam berbagai bentuk.
Pada masyarakat Bali tradisional terdapat mekanisme kritik sosial yang cukup halus dan samar. Kritik biasanya disajikan oleh orang-orang Bali dalam wujud pertunjukan kesenian, semisal bondres, wayang kulit, atau drama gong. Selain terhindar dari kesan agresif, kritik mesti meniscayakan kesantunan, bersifat membangun, serta disampaikan dalam plesetan atau senda gurau yang menertawakan diri sendiri. Hanya saja, substansi kritik kurang berarti lantaran didominasi senda gurau (Heru Cahyono [Ed], 2005: 268).
Ada pula yang melempar kritik terhadap kinerja pemerintahan desa secara langsung, baik dengan mendekati perangkat desa maupun berbicara dalam forum publik. Kritik ini merupakan bentuk balance of power, meski dalam kenyataannya antara kekuatan pengkritik dan yang dikritik kurang seimbang. Terdapat kecenderungan bahwa elite lokal selalu mempunyai kekuatan lebih besar daripada siapa pun yang bermukim di desa. Meskipun demikian, apa yang dilakukannya bernilai positif sebab merupakan counter response terhadap kepemimpinan lokal. Sehingga, dalam kehidupan komunitas berbasis ruang tersebut berlangsung proses dialektika yang ditandai dengan adanya komunikasi dua arah yang bercorak populis dan demokratis.
Orang seperti ini biasanya memiliki tingkat keberanian yang tinggi dan menolak berbagai kompromi. Ia berani menghadapi risiko-risiko yang akan muncul di kemudian hari. Ia tidak khawatir jika kenekatannya membuat urusan yang berhubungan dengan “surat-menyurat” atau keperluan administratif lainnya dipersulit. Bagaimanapun, para elite lokal merupakan aktor politik yang kenyang dengan pengalaman. Dalam menjawab bermacam bentuk masukan, protes, atau perlawanan, mereka dibekali dengan beragam intrik. Bagi mereka, mendiamkan suara-suara kritis merupakan hal yang mudah. Selain menguasai berbagai resource di desa yang dapat dimanfaatkan setiap waktu, mereka juga mampu mengakses jaringan supra struktur dan para pemodal.

Bojonegoro, 2018

Minggu, 26 Agustus 2018

Wacana Desa Produktif (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Republika" edisi Sabtu, 25 Agustus 2018)


Persepsi bahwa kerja di perkotaan lebih variatif ketimbang wilayah perdesaan membuat orang desa nekat meninggalkan kampung halaman. Selama ini, derasnya arus urbanisasi tak mungkin terlepas dari fakta bahwa orang desa kerap disilaukan dengan daya tarik kawasan urban. Akibat minimnya keahlian orang desa yang berhijrah ke kota, angka pengangguran di kantong-kantong urban semakin meroket.
Pergeseran penduduk dari desa ke kota tidak pernah berimbang dengan tersedianya lapangan kerja. Kurang terserapnya tenaga kerja yang berasal dari desa membuat mereka frustasi. Kesejahteraan, kenyamanan, serta keberlimpahan yang dijanjikan kota hanyalah utopia. Impian mengatrol status sosial sekaligus membangkitkan gairah hidup sirna lantaran kota ternyata tak memberikan harapan. Terjadi kesenjangan antara realitas dan angan-angan yang genap dibangun sebelumnya.
Kekecewaan mendalam terhadap kota akhirnya dilampiaskan dengan melakukan berbagai aksi kejahatan. Dalam taraf tertentu, menjamurnya kasus kriminal memang mempunyai keterkaitan dengan membludaknya penduduk baru di kawasan urban. Namun demikian, tidak selamanya migrasi orang desa ke kota dihubungkan dengan penipuan, pencurian, perampokan, pemerasan atau tindak pidana lainnya. Bagaimanapun, pengambilan kesimpulan mesti berlandaskan data yang sahih. Analisis dan pendapat menyesatkan tentang dinamika urbanisasi menjadikan orang desa sekadar kambing hitam atas maraknya kriminalitas.

Keseimbangan Irasional
Proses urbanisasi bercorak global dan berkelanjutan telah mengirim penduduk dari desa ke kota. Hubungan yang relatif stabil antara kawasan urban dan wilayah rural di sekitarnya menciptakan hubungan asimetris yang pada akhirnya bergeser ke arah perluasan kawasan urban. Dalam kondisi demikian, semua pemikiran yang mengandaikan keseimbangan antara kota dan desa cenderung irasional. Sebagian ahli yang berpegang teguh pada tesis ini adalah Mumford. Ia genap menilai bahwa proses urbanisasi mustahil dicegah. Itulah mengapa, peneliti fenomena urban tersebut melontarkan kritik terhadap pendapat sejumlah ilmuwan yang kerap menghendaki terciptanya keseimbangan antara kota dan desa. (Jo Santoso, 2006: 37).
Bila ditelisik secara mendalam, ikhtiar mencapai keseimbangan antara kawasan urban dan wilayah rural memang bukan perkara mudah. Mengingat, selama ini, kota masih diyakini menduduki posisi urgen dan strategis. Merujuk buku Kelas Menengah di Kota-kota Menengah yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta (2016: 217), kota-kota di Indonesia berfungsi sebagai perantara antara pusat kosmopolitan dan wilayah pedalaman. Peran ini terbukti cukup menonjol dalam bidang politik, ekonomi, budaya, dan administrasi (pemerintahan). Bagaimanapun, kota-kota di Indonesia menjadi lokus perjumpaan sekaligus pengait antara budaya, lembaga, serta proses bertaraf nasional dan mayoritas desa agraris.
Signifikansi kota belum pernah dikejar, diimbangi, atau bahkan digeser oleh desa. Itulah mengapa, terdapat kecenderungan bertambahnya penduduk baru di kawasan urban. Di Jakarta, misalnya, jumlah pendatang baru dua tahun terakhir melonjak cukup pesat. Pada 2016, tercatat 68.763 orang yang menjadi pendatang baru. Adapun pada 2017, jumlah ini membengkak hingga 70.752 orang.

Pendirian BUMDes
Salah satu upaya membendung laju urbanisasi adalah mewujudkan desa produktif. Ini merupakan pendekatan struktural yang ditempuh agar hasrat orang desa meninggalkan tanah kelahirannya benar-benar ditekan. Kemiskinan di wilayah perdesaan mesti direspons dengan memperbaiki kondisi perekonomian lokal. Digagasnya desa produktif sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mendorong pemanfaatan potensi lokal sekaligus pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM). Dengan demikian, lapangan kerja terbuka lebar dan produktivitas masyarakat desa semakin tinggi.
Dalam tataran praktis, wacana pembentukan desa produktif diimplementasikan dengan pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Badan usaha yang bergerak di level lokal tersebut dipercaya mampu beradaptasi dengan preferensi, psikologi, serta sosiologi orang desa. Selaku lembaga pengembangan usaha perdesaan, BUMDes berperan mengelola kearifan lokal supaya manfaatnya dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Betapa taraf hidup orang desa mengalami peningkatan seiring dengan kehadiran BUMDes.
Kekayaan dikelola secara maksimal dengan adanya identifikasi dan inventarisasi beragam keunggulan desa. Aset yang dikelola oleh BUMDes dapat digunakan untuk membangkitkan sumber-sumber ekonomi dan menumbuhkan jiwa entrepreneurship. Dengan demikian, aset lokal mampu dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat desa. Pengelolaan berbagai bentuk aset melalui BUMDes mengutamakan kebersamaan dan gotong-royong di atas urusan pribadi, sehingga apa yang dihasilkan senantiasa berpihak pada kepentingan publik.
Bangkitnya perekonomian lokal melalui BUMDes mengindikasikan terbentuknya desa berdikari selaku penyokong tegaknya fondasi negara. Mengutip Prosiding Kongres Pancasila IV: Strategi Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia (2012: 336), kemandirian desa berdampak pada kokohnya perekonomian nasional karena ditopang oleh banyak lembaga perekonomian yang berlandaskan semangat gotong-royong. Sehingga, terciptanya keadilan sosial sebagai pengamalan Pancasila benar-benar dikonkretkan.

Bojonegoro, 2018

Kamis, 16 Agustus 2018

Kemerdekaan dalam Perspektif Generasi Milenial (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Kamis, 16 Agustus 2018)

Tujuh puluh tiga tahun silam, para bapak bangsa (founding fathers) memancangkan tiang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan bangga dan berwibawa sebagai sumbangsih yang besar dan nyata bagi perjalanan bangsa ini. Berbagai macam pengorbanan ditempuh demi meraih impian bersama. Tercapainya kemerdekaan antara lain karena mereka dapat mengutamakan kepentingan rakyat sekaligus mengesampingkan kepentingan pribadi dan golongan.
17 Agustus 1945 menjadi salah satu tonggak bersejarah dalam riwayat berdirinya suatu bangsa. Peristiwa monumental ini merupakan realisasi keinginan dan harapan yang lama tersimpan dalam lubuk hati rakyat. Pada hari itu, segenap bangsa Indonesia merenungi indahnya kebersamaan dan harmoni dalam ikatan persaudaraan yang kokoh. Betapa individualisme dan fanatisme sempit dihilangkan demi mengatasi aneka perbedaan.
Proklamasi digelorakan sebagai penghargaan kepada para pahlawan dan semua orang yang berjibaku menentang segala bentuk penjajahan. Proklamasi menjadi titik balik terjungkalnya kolonialisme sekaligus bangkitnya bangsa Indonesia. Diiringi dengan pekik semangat, benteng kekuasaan kolonial yang berdiri kokoh selama ratusan tahun akhirnya berhasil dirobohkan.
Proklamasi membawa angin segar bagi terkuburnya benih-benih penindasan sekaligus bertunasnya biji-biji perdamaian. Bagaimanapun, kaum penjajah telah merusak nilai-nilai kebaikan, mencabik rasa kemanusiaan, serta memporakporandakan tatanan kehidupan yang genap diwariskan lintas generasi.
Proklamasi menjadi penanda lahirnya suatu bangsa yang bermartabat. Ia menjadi lambang kebesaran, keluhuran, serta kewibawaan NKRI. Teks Proklamasi bukan sekadar kata-kata yang tersusun tanpa makna. Di dalamnya terkandung filosofi yang luhur dan mulia sebagai cermin eksistensi bangsa Indonesia di panggung dunia. Ia berperan memupuk motivasi serta antusiasme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Celakanya, setelah sekian lama Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, gagasan perubahan yang diusung oleh para pendiri bangsa rupanya belum terwujud. Cita-cita pahlawan, tokoh bangsa, serta negarawan pada masa silam belum benar-benar diraih. Korupsi malah begitu marak sampai ke level akar rumput.
Desain desentralisasi yang belum memadai turut membawa gerbong koruptor dari tingkat nasional ke tingkat lokal. Dalam dasarwarsa terakhir, media massa rajin memberitakan kasus tertangkapnya politisi Senayan, kepala daerah, serta kepala desa akibat terbukti menggelapkan uang negara. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat 1.249 perkara korupsi yang melibatkan 1.381 terdakwa sepanjang 2017. Kerugian negara mencapai Rp 29,41 triliun.
Tak berlebihan apabila sejumlah kalangan kerap menyangsikan arti, urgensi, dan fungsi kemerdekaan, terutama bagi orang kecil (wong cilik). Apalagi, setiap hari rakyat masih dipusingkan dengan usaha memenuhi kebutuhan hidup. Adapun setiap lima tahun sekali, mereka siap dikecewakan oleh elite politik yang gemar mengumbar janji, tetapi “minus bukti”.
Oleh generasi milenial, rasa kecewa dan frustasi dilampiaskan dengan “nyinyir” melalui media sosial. Akun digital menjadi sarana menumpahkan kejengkelan, kemarahan, serta kebencian terhadap rezim yang berkuasa. Sayangnya, penilaian mereka terhadap kondisi dan realitas yang ada acapkali menihilkan kapasitas.
Bahkan, apa yang mereka lakukan seringkali terjebak pada penyebaran fitnah. Persepsi yang dibangun tidak merujuk pada referensi dan data yang valid, melainkan sekadar informasi abal-abal. Padahal, dalam buku Agama Digital: Pertalian Agama, Politik dan Teknologi di Indonesia, Andri Syah (2018: 194) mensinyalir bahwa menjamurnya hoax sebenarnya bukanlah fenomena baru. Akan tetapi, kehadiran media sosial telah menjadikan pengaruh hoax lebih dahsyat daripada sebelumnya.

National Solidarity
Kejayaan era digital didukung dengan globalisasi dan modernisasi yang membuat perangkat dunia maya bertebaran hingga wilayah perdesaan. Digitalisasi menjanjikan kemudahan bagi orang desa dalam mengakses jaringan internet. Sayang, dalam banyak kasus, laman virtual tak dimanfaatkan sebagai medium pelecut kreativitas, pemelihara kearifan lokal, serta pembangkit potensi desa. Warung kopi yang menyediakan layanan wifi justru lebih diberdayakan untuk menjaring like serta komentar. Dalam taraf tertentu, para pemuda bahkan menggunakannya untuk menabur benih-benih perpecahan dan permusuhan.
Dengan demikian, nilai-nilai positif yang semestinya dihadirkan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan, tergantikan oleh nilai-nilai negatif. Ketimbang optimisme, akhirnya mereka lebih suka menularkan pesimisme. Demokrasi diartikan sebatas pada kebebasan individu tanpa rambu-rambu etika dan ukuran estetika. Imbasnya, ingatan publik terhadap Proklamasi sekadar romantisme perjuangan masa silam. Padahal, selain beragam prinsip, nilai, dan etos kebangsaan, di dalamnya juga tersimpan mimpi tentang masa depan yang lebih baik.
Sikap di atas tentu menjauhkan generasi milenial dari capaian membanggakan. Sumbangsih mereka bagi bangsa dan negara belum sepenuhnya direalisasikan. Kontribusi mereka dalam mengisi kemerdekaan belum diwujudkan secara optimal. Atas dasar inilah, nasionalisme mesti dibuktikan dengan pandangan dan perilaku yang positif. Generasi milenial dituntut mampu memotret partisipasi kawula muda dalam mewujudkan cita-cita kebangsaan.
Berdirinya Budi Oetomo pada 1908 tak mungkin menafikan andil para pemuda yang menerapkan ide perjuangan melalui organisasi. Peristiwa Sumpah Pemuda pada 1928 menunjukkan, sejarah negeri ini mustahil terlepas dari peran pemuda. Kemerdekaan Indonesia pada 1945 bisa digapai antara lain lantaran aksi kaum muda dari perkumpulan Menteng 31 yang memaksa Soekarno dan Hatta untuk segera melaksanakan Proklamasi.
Adapun lahirnya era reformasi 1998 memperoleh jalan lempang dari gelombang aksi mahasiswa. Pemuda menginisiasi lengsernya Soeharto dan runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang militeristik-sentralistik. Begitu sentralnya posisi pemuda dalam suatu negara, tak ayal jika Soekarno pernah berkoar, “Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia”.
Upaya memaknai hari kemerdekaan sepatutnya dilakukan oleh generasi milenial dengan mengimitasi hasrat kaum muda dalam menggerakkan sejarah. Mereka bisa menunjukkannya dengan mendayagunakan perangkat virtual secara bertanggung jawab. Generasi muda masa kini seyogyanya memanfaatkan akun digital untuk menyatukan komunitas, menautkan emosionalitas, mendewasakan psikologi masyarakat, serta meredam problematika sosial. Virtualisasi menjadi sarana membumikan pluralisme dan toleransi.
Dengan demikian, di samping sebagai ekspresi kebanggaan warga negara, media sosial juga diberdayakan sebagai instrumen pembangkit solidaritas nasional (national solidarity). Dalam konteks inilah, generasi muda masa kini bisa turut ambil bagian, terutama dalam menabalkan resistensi budaya Indonesia di hadapan kultur global.

Bojonegoro, 2018

Rabu, 15 Agustus 2018

Fenomena Duel ala Gladiator (Bunga Rampai_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Alif" edisi Selasa, 14 Agustus 2018)

Kita tersengat saat mendengar berita tentang kasus perkelahian ala gladiator di Desa Gobang, Kampung Leuwi Halang, Rumpin, Kabupaten Bogor, yang melibatkan para pelajar SMP. Setelah ditelusuri oleh aparat kepolisian, ternyata duel yang menewaskan satu orang berinisial ARS (16 tahun) tersebut bukan perkelahian biasa. Berdasarkan pengakuan pelaku, perkelahian bersenjata tajam digelar untuk mengadu ilmu kebal.
Di kawasan berpenduduk mayoritas anggota perguruan silat atau ilmu kebal, percekcokan sukar dihindarkan. Perkelahian antarpemuda merupakan pemandangan sehari-hari. Banyak tindakan kriminal lahir akibat perbedaan pendapat. Keselarasan, keteraturan, dan ketertiban hidup dikorbankan demi tercapainya hasrat individual. Setiap anggota perguruan disilaukan oleh kemenangan sesaat. Mereka menerima doktrin bahwa kelompok mereka paling benar. Sehingga, dengan mudahnya kesalahan ditimpakan kepada kelompok lain.
Ketika salah satu dari mereka diserang, suatu keharusan bagi setiap kolega untuk membalaskan dendam. Maka, kerap ditemukan bahwa perselisihan kelompok merupakan imbas dari problematika personal yang dibesar-besarkan. Parahnya, pertikaian semacam ini tak akan berhenti kecuali terlebih dahulu memakan korban. Boleh jadi, suatu peristiwa pembunuhan merupakan rantai perselisihan yang berkesinambungan.
Keberadaan para polisi tidak jauh berbeda dengan pemadam kebakaran yang baru bereaksi setelah menerima laporan warga. Apa yang dilakukan penegak hukum sekadar mengesankan aspek formal dan prosedural. Sehingga, bentrokan antarperguruan tidak benar-benar teratasi. Saat seperti inilah, negara seolah tak berfungsi. Negara terlihat lemah di hadapan warganya. Ketika mereka membutuhkan, negara tidak pernah hadir. Negara tidak mampu memberikan perlindungan dan keamanan. Dengan meningkatnya angka kasus kekerasan, hak warga negara terabaikan. Mereka yang tidak bersalah akhirnya terpaksa turut menanggung penderitaan.

Tokoh Agama
Ketika perselisihan yang berbuah permusuhan tidak bisa ditangani dengan upaya-upaya represif, maka agama merupakan solusi. Dalam konteks inilah, para tokoh agama berperan besar dalam upaya mencegah pertengkaran antarpemuda sekaligus mengampanyekan perdamaian. Sayangnya, di beberapa daerah, tokoh agama mulai kehilangan wibawa. Masyarakat akhirnya kehilangan figur yang selama ini dimintai pendapat. Dalam memutuskan sesuatu, mereka berpijak pada diri sendiri.
Hal ini diperparah dengan keengganan kaum muda untuk menjalankan agama secara hakiki. Di sejumlah tempat, para remaja lebih menyukai hiburan dengan mendatangkan artis lokal daripada aktivitas keagamaan. Pengajian selalu dihindari, adapun hajatan yang mengundang para biduan menjadi favorit mereka. Hiburan yang menarik banyak pengunjung tersebut dinilai lebih bermanfaat karena menyumbang kegembiraan, meskipun bersifat artifisial. Untuk sementara, mereka bisa melepaskan persoalan dan beban hidup. Berbeda dengan acara dakwah yang berisi ceramah dan nasehat tentang ancaman dan siksa neraka.
Apalagi, sebagian kaum remaja yang bekerja di luar kota seringkali membawa minuman keras saat pulang kampung. Mereka mengundang teman-temannya untuk berpesta di suatu tempat. Melalui momentum inilah, mereka ingin berbagi kesuksesan. Cara menikmati hasil kerja diwujudkan dengan bersenang-senang. Iklim perkotaan berpengaruh terhadap pembentukan sikap hedonistis. Mabuk dan berfoya-foya menjadi gaya hidup orang desa yang mulai mengenal budaya urban. Mereka enggan menimbang dampak dari apa yang diperbuat. Mereka hanya memikirkan sekarang tanpa memusingkan hari esok. Imbasnya, masa depan tergadaikan hanya oleh botol-botol minuman keras.
Keadaan kian miris setelah belakangan ini terjadi “perkawinan” antara wilayah perdesaan dan perkotaan dengan iklim urban yang lebih dominan. Di sini, ciri-ciri pedesaaan semakin sulit ditemukan. Ia menampilkan ciri desa di satu sisi dan ciri kota di sisi lain. Dalam sejumlah segi kehidupan, ia merupakan gabungan dari desa dan kota. Beragam nilai masuk dan menciptakan psikologi, sosiologi, serta gaya hidup masyarakat. Para pendatang hadir dengan berbagai maksud dan tujuan, baik bekerja, bertugas, maupun berpelesir. Manusia dengan berbagai latar belakang dan profesi bermukim di sini.

Multikulturalisme
Di desa-desa dengan nilai-nilai urban yang kental, setiap orang memiliki cara hidup, pola pikir, dan adat-istiadat yang bisa dipertukarkan atau dibandingkan satu sama lain. Masing-masing menawarkan prinsip, karakter, serta kecenderungan yang berbeda. Dalam perjalanannya, budaya yang kuat selalu menunjukkan dominasi atas lainnya. Dalam kawasan-kawasan inilah, tersimpan beberapa unsur kehidupan sekaligus. Di sinilah sering terjadi hubungan antarumat beragama.
Banyaknya agama dan aliran kepercayaan mengakibatkan terjadinya perebutan kuasa dan pengaruh antarelit religius. Namun demikian, saat setiap umat menjalankan ibadah, mereka jauh dari gejala fanatisme. Militansi keagamaan yang bercorak magis, teologis, dan ideologis tidak mengotori jalinan interaksi antarumat beragama. Tokoh-tokoh dengan cakrawala pengetahuan yang luas tentang agama enggan memaksakan kehendak. Meskipun berbeda keyakinan, mereka tetap menjunjung tinggi toleransi dan kebersamaan. Dalam dunia mereka ada way of life yang harus ditaati dan dijunjung tinggi.
Keadaan demikian menyuburkan multikulturalisme. Silang pendapat bukan merupakan hal yang tabu. Perbedaan keyakinan bukanlah hal yang layak diperselisihkan namun berusaha untuk diharmoniskan. Jalannya interaksi antarwarga lebih diarahkan untuk mencari jalan tengah daripada memperkeruh keadaan. Inilah di antara nilai lebih multikulturalisme. Kondisi masyarakat yang plural dapat menumbuhkan benih-benih toleransi. Sehingga, gejala-gejala percekcokan dapat segera diantisipasi. Dengan demikian, ketimbang menularkan virus-virus permusuhan, lebih baik multikulturalisme dimanfaatkan sebagai sarana pengukuh persatuan.

Bojonegoro, 2017

Minggu, 12 Agustus 2018

Desa dalam Logika Pemerintahan Feodal (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Sindo" edisi Minggu, 12 Agustus 2018)



Judul: Desa Baru, Negara Lama
Penulis: Sutoro Eko, M. Barori, Hastowiyono
Terbit: Desember 2017
Penerbit: Pascasarjana STPMD “APMD” Yogyakarta
ISBN: 978-979-981826-3
Tebal: viii + 218

Dari judulnya bisa diterka bahwa buku ini bertekad menawarkan pola pikir dan paradigma baru tentang desa. Hal ini berangkat dari pandangan bahwa terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ingin mewujudkan sekaligus menyelaraskan dua wajah desa, yaitu pemerintahan dan masyarakat, melalui asas utama rekognisi-subsidiaritas.
Dengan perpaduan desain self governing community dan local self government, desa diharapkan berfungsi sebagai pemerintahan dan sarana mewujudkan civil society di aras lokal. Konsep desa hibrida inilah yang membedakan antara muatan undang-undang tersebut dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa sebelumnya.

Kedudukan Istimewa
Desa Baru, Negara Lama memuat hasrat memantapkan rancang bangun yang baru bagi desa dalam konstruksi pemerintahan yang usang. Desa ingin diberdayakan selaku komunitas masyarakat hukum dengan ide, semangat, dan gagasan baru, walaupun berada dalam lingkup negara masa silam. Hal ini mengandung pengertian bahwa meski acap kali terkungkung dalam naungan negara yang feodalistis, otoriter, serta bercorak top-down, desa diupayakan berkarakter egaliter, demokratis, serta mengutamakan pranata lokal.
Keberadaan negara sebagai warisan kolonial tidak terlepas dari sejarah kedatangan penjajah Belanda yang menjadi cikal-bakal lahirnya negara modern di Indonesia. Guna menguasai tanah jajahan, penguasa kolonial menempuh teritorialisasi, modernisasi, sentralisasi, birokratisasi, bahkan kapitalisasi. Oleh kaum penjajah, pemimpin-pemimpin lokal ditarik menjadi birokrasi (pangreh praja). Anehnya, langkah ini disertai kebijakan kontradiktif dengan  mempertahankan struktur asli desa.
Desa akhirnya memperoleh pengakuan dan otonomi, meski kepala desa dimobilisasi untuk penarikan pajak dan pengerahan tenaga kerja. Itulah mengapa, sepanjang sejarah Indonesia, desa selalu dipahami dalam kerangka pemerintahan birokratik, patrimonial, dan despotik. (hlm. 25)
Pemahaman “menyesatkan” mengenai desa inilah yang sebenarnya ingin diluruskan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Desa memiliki kedudukan istimewa lantaran kehadirannya mendahului negara. Berdasarkan alasan inilah, pemerintahan desa tidak bisa disamakan begitu saja dengan pemerintahan daerah. Apabila desentralisasi merupakan sumber wewenang pemerintah daerah, maka tidak demikian dengan pemerintah desa. Otonomi pemerintahan daerah merupakan uluran tangan pemerintahan pusat, sedangkan otonomi yang melekat pada pemerintahan desa bersifat asli.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa hendak memulihkan krisis sosial-budaya akibat derasnya globalisasi, modernisasi, dan birokratisasi. Bercita rasa komunitarianisme, undang-undang ini hendak menggelorakan ketahanan sosial-budaya melalui revitalisasi budaya lokal, kearifan lokal, serta modal sosial. Harapannya, ketahanan tersebut menjadi fondasi bagi kokohnya ketahanan nasional. (hlm. 73).

Harmonisasi
Buku ini mengantongi sejumlah kelebihan. Salah satunya, perdebatan seputar desa yang pernah dikemukakan oleh founding fathers disuguhkan dengan rapi dan terstruktur. Pemetaan mengenai konsep desa yang dilakukan secara sistematis bertujuan agar pembaca lebih mudah menyerap pokok pikiran Soekarno, Sjahrir, Hatta, dan Soepomo. Tak berhenti sampai sini. Penulis cukup jeli memunculkan kategorisasi atas pemikiran masing-masing. Soekarno mewakili pihak strukturalis-radikalis, Sjahrir merupakan cerminan dari kubu orientalis-modernis, adapun Hatta dan Soepomo merepresentasikan kelompok lokalis-eksistensialis.
Berbekal keberanian, penulis melontarkan kritik tajam terhadap pemikiran-pemikiran tentang desa yang dinilai mengingkari catatan historis. Dalam konteks inilah kredibilitas penulis teruji. Penulis tidak hanya mendeskripsikan pendapat para tokoh bangsa secara padat dan ringkas, melainkan juga menyelipkan catatan-catan kritis dengan data valid, referensi yang dapat diandalkan, serta argumen yang meyakinkan.
Lebih dari itu, sikap penulis ditunjukkan dengan keberpihakannya terhadap pemikiran yang dianggap paling relevan. Bermodal pengalaman panjang meneliti, mengadovaksi, serta merumuskan perencanaan program-program pemerintahan lokal, penulis mampu memilah mana pemikiran yang “harus dibela” dan mana yang “mesti dikesampingkan”. Meskipun demikian, penulis berhasil menghindarkan diri dari segala bentuk “cacat logika” karena senantiasa berpijak pada aspek sosiologis, politis, dan yuridis konstitusional.
Buku ini juga mengandung harmonisasi sebagai ikhtiar memangkas kesenjangan antara tataran teoritis dengan tataran praktis dalam jagat keilmuan. Bagaimanapun, tercapaianya keselarasan antara keduanya, terutama dalam menggambarkan desa, merupakan capaian luar biasa. Selama ini, desa cenderung diasumsikan secara berat sebelah oleh beberapa kalangan.
Orang-orang yang melihat desa dengan lensa teori terkesan kurang membumi dengan realitas. Kelompok ini menjadikan pandangan pakar pemerintahan dan tata negara yang sangat kaku selaku tolok ukur berpikir. Padahal, dalam taraf tertentu, basis keilmuannya berwatak formalistis lantaran menihilkan ranah politis-sosiologis. Orientasi inilah yang menyebabkan mereka mengantongi stereotip negatif: “kaum pemuja menara gading”.
Begitu pula sebaliknya. Orang-orang yang merekam desa menggunakan kenyataan faktual belaka kerap terjebak pada kesimpulan yang kurang filosofis, bahkan agak dangkal. Mereka rentan “terbius” oleh tampilan fisik yang tampak di permukaan. Sehingga, penilaian mereka sekadar menunjukkan gambaran artifisial dari fakta-fakta yang diperoleh dari lapangan, bukan nilai, prinsip, serta etos yang berada di baliknya. Di sinilah kapasitas menggabungkan kebenaran indrawi serta rasionalisasi menemukan relevansinya.
Namun demikian, buku ini juga memuat kekurangan. Pada sejumlah halaman, pembaca tentu mengernyitkan dahi ketika menemukan kata atau frasa yang semestinya tak disajikan. Betapa tidak? Penulis tak segan “menghakimi” pemerintah dengan kalimat yang kasar. Padahal, sekeras apa pun, kritik selayaknya disampaikan secara santun dan bijak. Inilah yang membuat kenyamanan pembaca sedikit terganggu. Jika dalam cetakan berikutnya kekurangan tersebut genap dihilangkan, maka alangkah senangnya pegiat desa, akademisi, atau khalayak umum memelototi baris demi baris buku ini seraya menikmati hangatnya secangkir kopi.

Bojonegoro, 2018