Senin, 27 Agustus 2018

Elite Lokal vs Kritik Sosial (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Sindo" edisi Senin, 27 Agustus 2018)

Lantaran diduga melakukan penyimpangan terhadap dana desa dan alokasi dana desa, Kepala Desa (Kades) Doyong, Miri, Sragen, ditahan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Sragen. Penahanan terhadap pemimpin lokal tersebut dilakukan setelah ia dinilai genap menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 70 juta. Ia rupanya ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan aduan tokoh masyarakat setempat.
Fenomena di atas menggambarkan bahwa sebagian pamong desa bersifat pragmatis dan oportunis. Individualisme membimbing mereka dalam menjalankan fungsinya. Tak heran apabila mereka cenderung mementingkan diri sendiri ketimbang memperhatikan urusan publik. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat yang diusung oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Aji Mumpung
Tidak selalu orang-orang yang didapuk menjadi perangkat desa menjalankan perannya dengan baik. Ada yang justru menangkap peluang dengan menganggap bahwa posisinya dalam jejaring kekuasaan lokal merupakan aji mumpung. Di salah satu desa Bojonegoro, Jawa Timur, seorang modin memposisikan diri selaku makelar bagi warga yang ingin mendapat pelayanan. Ia menawarkan jasa membuat Kartu Tanda Pengenal (KTP), Kartu Keluarga (KK), dan sebagainya dengan harga yang telah dipatok. Celakanya, setelah menerima “komisi”, ia menikmati hasil tanpa mau memenuhi janji. Akhirnya, warga merasa dikhianati.
Carik di desa tersebut juga terbiasa memanfaatkan kedudukan guna mengelabui warga. Berdalih meringankan beban siapa saja yang membutuhkan, ia justru meminta upah dari apa yang telah diperbuat. Ketika mengulurkan pertolongan kepada warga, ia dikenal memiliki pamrih dan menyimpan maksud tersembunyi. Misalnya saat ia bermaksud membantu seseorang mengurus surat tanah. Di luar dugaan, surat yang dijanjikan ternyata tidak pernah diserahkan ke pemiliknya, meskipun ia genap menerima imbalan yang besar.
Track record-nya yang negatif diketahui oleh sebagian warga dan menyebabkan kewibawaannya merosot drastis. Tentu hal ini berimbas pada citra pamong desa lainnya yang meskipun jujur, tetapi dianggap suka menipu. Keberadaan orang-orang “bermasalah” dalam jajaran perangkat desa rentan menjadikan kinerja pemerintah di level lokal kurang maksimal. Tanpa mengantongi kepercayaan masyarakat, pemerintah desa kesulitan melaksanakan setiap program, terutama yang berhubungan dengan layanan publik. Padahal, dukungan semua stakeholder diperlukan agar setiap kebijakan di level lokal dapat terwujud.
Dalam taraf tertentu, muncul kecenderungan bahwa kinerja perangkat desa kurang transparan dan akuntabel. Terutama mengenai pemasukan dan pengeluaran desa, mereka cenderung kurang terbuka. Urusan keuangan membuat mereka selalu berhati-hati dan waspada. Lantaran khawatir direcoki oleh sejumlah pihak, mereka enggan menyajikan laporan keuangan pemerintahan desa. Sehingga, besarnya Anggaran Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) sekaligus penyalurannya tidak pernah diketahui oleh publik. Berbagai anggaran yang berasal dari pemerintah pusat juga seringkali akuntabel di atas kertas, tetapi manfaatnya kurang dirasakan oleh masyarakat.

Balance of Power
Saat elite lokal merasa “berada di atas angin”, publik tentu kehilangan akses dan kontrol. Keadaan ini menyebabkan pemerintahan desa berjalan sesuai hasrat para pemangkunya. Dengan demikian, kasus-kasus penyelewengan kerap bermula dari malpraktik pemerintahan desa. Dalam konteks inilah, perlawanan pasif maupun aktif menemukan relevansinya. Ikhtiar melawan superioritas dan dominasi elite lokal bisa dilakukan dengan melancarkan kritik sosial dalam berbagai bentuk.
Pada masyarakat Bali tradisional terdapat mekanisme kritik sosial yang cukup halus dan samar. Kritik biasanya disajikan oleh orang-orang Bali dalam wujud pertunjukan kesenian, semisal bondres, wayang kulit, atau drama gong. Selain terhindar dari kesan agresif, kritik mesti meniscayakan kesantunan, bersifat membangun, serta disampaikan dalam plesetan atau senda gurau yang menertawakan diri sendiri. Hanya saja, substansi kritik kurang berarti lantaran didominasi senda gurau (Heru Cahyono [Ed], 2005: 268).
Ada pula yang melempar kritik terhadap kinerja pemerintahan desa secara langsung, baik dengan mendekati perangkat desa maupun berbicara dalam forum publik. Kritik ini merupakan bentuk balance of power, meski dalam kenyataannya antara kekuatan pengkritik dan yang dikritik kurang seimbang. Terdapat kecenderungan bahwa elite lokal selalu mempunyai kekuatan lebih besar daripada siapa pun yang bermukim di desa. Meskipun demikian, apa yang dilakukannya bernilai positif sebab merupakan counter response terhadap kepemimpinan lokal. Sehingga, dalam kehidupan komunitas berbasis ruang tersebut berlangsung proses dialektika yang ditandai dengan adanya komunikasi dua arah yang bercorak populis dan demokratis.
Orang seperti ini biasanya memiliki tingkat keberanian yang tinggi dan menolak berbagai kompromi. Ia berani menghadapi risiko-risiko yang akan muncul di kemudian hari. Ia tidak khawatir jika kenekatannya membuat urusan yang berhubungan dengan “surat-menyurat” atau keperluan administratif lainnya dipersulit. Bagaimanapun, para elite lokal merupakan aktor politik yang kenyang dengan pengalaman. Dalam menjawab bermacam bentuk masukan, protes, atau perlawanan, mereka dibekali dengan beragam intrik. Bagi mereka, mendiamkan suara-suara kritis merupakan hal yang mudah. Selain menguasai berbagai resource di desa yang dapat dimanfaatkan setiap waktu, mereka juga mampu mengakses jaringan supra struktur dan para pemodal.

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar