Kamis, 16 Agustus 2018

Kemerdekaan dalam Perspektif Generasi Milenial (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Kamis, 16 Agustus 2018)

Tujuh puluh tiga tahun silam, para bapak bangsa (founding fathers) memancangkan tiang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan bangga dan berwibawa sebagai sumbangsih yang besar dan nyata bagi perjalanan bangsa ini. Berbagai macam pengorbanan ditempuh demi meraih impian bersama. Tercapainya kemerdekaan antara lain karena mereka dapat mengutamakan kepentingan rakyat sekaligus mengesampingkan kepentingan pribadi dan golongan.
17 Agustus 1945 menjadi salah satu tonggak bersejarah dalam riwayat berdirinya suatu bangsa. Peristiwa monumental ini merupakan realisasi keinginan dan harapan yang lama tersimpan dalam lubuk hati rakyat. Pada hari itu, segenap bangsa Indonesia merenungi indahnya kebersamaan dan harmoni dalam ikatan persaudaraan yang kokoh. Betapa individualisme dan fanatisme sempit dihilangkan demi mengatasi aneka perbedaan.
Proklamasi digelorakan sebagai penghargaan kepada para pahlawan dan semua orang yang berjibaku menentang segala bentuk penjajahan. Proklamasi menjadi titik balik terjungkalnya kolonialisme sekaligus bangkitnya bangsa Indonesia. Diiringi dengan pekik semangat, benteng kekuasaan kolonial yang berdiri kokoh selama ratusan tahun akhirnya berhasil dirobohkan.
Proklamasi membawa angin segar bagi terkuburnya benih-benih penindasan sekaligus bertunasnya biji-biji perdamaian. Bagaimanapun, kaum penjajah telah merusak nilai-nilai kebaikan, mencabik rasa kemanusiaan, serta memporakporandakan tatanan kehidupan yang genap diwariskan lintas generasi.
Proklamasi menjadi penanda lahirnya suatu bangsa yang bermartabat. Ia menjadi lambang kebesaran, keluhuran, serta kewibawaan NKRI. Teks Proklamasi bukan sekadar kata-kata yang tersusun tanpa makna. Di dalamnya terkandung filosofi yang luhur dan mulia sebagai cermin eksistensi bangsa Indonesia di panggung dunia. Ia berperan memupuk motivasi serta antusiasme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Celakanya, setelah sekian lama Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, gagasan perubahan yang diusung oleh para pendiri bangsa rupanya belum terwujud. Cita-cita pahlawan, tokoh bangsa, serta negarawan pada masa silam belum benar-benar diraih. Korupsi malah begitu marak sampai ke level akar rumput.
Desain desentralisasi yang belum memadai turut membawa gerbong koruptor dari tingkat nasional ke tingkat lokal. Dalam dasarwarsa terakhir, media massa rajin memberitakan kasus tertangkapnya politisi Senayan, kepala daerah, serta kepala desa akibat terbukti menggelapkan uang negara. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat 1.249 perkara korupsi yang melibatkan 1.381 terdakwa sepanjang 2017. Kerugian negara mencapai Rp 29,41 triliun.
Tak berlebihan apabila sejumlah kalangan kerap menyangsikan arti, urgensi, dan fungsi kemerdekaan, terutama bagi orang kecil (wong cilik). Apalagi, setiap hari rakyat masih dipusingkan dengan usaha memenuhi kebutuhan hidup. Adapun setiap lima tahun sekali, mereka siap dikecewakan oleh elite politik yang gemar mengumbar janji, tetapi “minus bukti”.
Oleh generasi milenial, rasa kecewa dan frustasi dilampiaskan dengan “nyinyir” melalui media sosial. Akun digital menjadi sarana menumpahkan kejengkelan, kemarahan, serta kebencian terhadap rezim yang berkuasa. Sayangnya, penilaian mereka terhadap kondisi dan realitas yang ada acapkali menihilkan kapasitas.
Bahkan, apa yang mereka lakukan seringkali terjebak pada penyebaran fitnah. Persepsi yang dibangun tidak merujuk pada referensi dan data yang valid, melainkan sekadar informasi abal-abal. Padahal, dalam buku Agama Digital: Pertalian Agama, Politik dan Teknologi di Indonesia, Andri Syah (2018: 194) mensinyalir bahwa menjamurnya hoax sebenarnya bukanlah fenomena baru. Akan tetapi, kehadiran media sosial telah menjadikan pengaruh hoax lebih dahsyat daripada sebelumnya.

National Solidarity
Kejayaan era digital didukung dengan globalisasi dan modernisasi yang membuat perangkat dunia maya bertebaran hingga wilayah perdesaan. Digitalisasi menjanjikan kemudahan bagi orang desa dalam mengakses jaringan internet. Sayang, dalam banyak kasus, laman virtual tak dimanfaatkan sebagai medium pelecut kreativitas, pemelihara kearifan lokal, serta pembangkit potensi desa. Warung kopi yang menyediakan layanan wifi justru lebih diberdayakan untuk menjaring like serta komentar. Dalam taraf tertentu, para pemuda bahkan menggunakannya untuk menabur benih-benih perpecahan dan permusuhan.
Dengan demikian, nilai-nilai positif yang semestinya dihadirkan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan, tergantikan oleh nilai-nilai negatif. Ketimbang optimisme, akhirnya mereka lebih suka menularkan pesimisme. Demokrasi diartikan sebatas pada kebebasan individu tanpa rambu-rambu etika dan ukuran estetika. Imbasnya, ingatan publik terhadap Proklamasi sekadar romantisme perjuangan masa silam. Padahal, selain beragam prinsip, nilai, dan etos kebangsaan, di dalamnya juga tersimpan mimpi tentang masa depan yang lebih baik.
Sikap di atas tentu menjauhkan generasi milenial dari capaian membanggakan. Sumbangsih mereka bagi bangsa dan negara belum sepenuhnya direalisasikan. Kontribusi mereka dalam mengisi kemerdekaan belum diwujudkan secara optimal. Atas dasar inilah, nasionalisme mesti dibuktikan dengan pandangan dan perilaku yang positif. Generasi milenial dituntut mampu memotret partisipasi kawula muda dalam mewujudkan cita-cita kebangsaan.
Berdirinya Budi Oetomo pada 1908 tak mungkin menafikan andil para pemuda yang menerapkan ide perjuangan melalui organisasi. Peristiwa Sumpah Pemuda pada 1928 menunjukkan, sejarah negeri ini mustahil terlepas dari peran pemuda. Kemerdekaan Indonesia pada 1945 bisa digapai antara lain lantaran aksi kaum muda dari perkumpulan Menteng 31 yang memaksa Soekarno dan Hatta untuk segera melaksanakan Proklamasi.
Adapun lahirnya era reformasi 1998 memperoleh jalan lempang dari gelombang aksi mahasiswa. Pemuda menginisiasi lengsernya Soeharto dan runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang militeristik-sentralistik. Begitu sentralnya posisi pemuda dalam suatu negara, tak ayal jika Soekarno pernah berkoar, “Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia”.
Upaya memaknai hari kemerdekaan sepatutnya dilakukan oleh generasi milenial dengan mengimitasi hasrat kaum muda dalam menggerakkan sejarah. Mereka bisa menunjukkannya dengan mendayagunakan perangkat virtual secara bertanggung jawab. Generasi muda masa kini seyogyanya memanfaatkan akun digital untuk menyatukan komunitas, menautkan emosionalitas, mendewasakan psikologi masyarakat, serta meredam problematika sosial. Virtualisasi menjadi sarana membumikan pluralisme dan toleransi.
Dengan demikian, di samping sebagai ekspresi kebanggaan warga negara, media sosial juga diberdayakan sebagai instrumen pembangkit solidaritas nasional (national solidarity). Dalam konteks inilah, generasi muda masa kini bisa turut ambil bagian, terutama dalam menabalkan resistensi budaya Indonesia di hadapan kultur global.

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar