Rabu, 05 November 2014

Mat Codet (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Suara NTB" edisi Minggu, 27 September 2014)

Baiklah, para mustamik yang terhormat. Kami perkenalkan terlebih dahulu tokoh kita. Ia bernama Mat Codet. Kerjanya saban hari menjadi preman. Ya, tepatnya, seorang preman di pasar Sumber Arum. Pasar termegah di Surabaya. Ia berasal dari luar Jawa. Kami kurang tahu persisnya di mana. Yang kami mafhum, ia menggembalakan dua anak kembar dan satu istri.
Mata Codet terbilang preman tahan banting. Ia mengenyam sendiri beringasnya kehidupan. Ia melambangkan seorang preman bertipe pekerja keras. Pernah jadi tukang kebun, kuli bangunan, OB, penyedot WC, penjual bakso, satpam, dan masih banyak pekerjaan lain yang sudah dilakoninya.
Untuk memetik puncak karir, preman berambut kribo ini benar-benar merangkak dari nol. Ia merupakan contoh preman ideal. Punya pendirian. Siapa saja yang berhasrat mencapai taraf preman sejati, harus banyak mengutil ilmu darinya. Minimal, dengan meneladani narasi hidupnya.
Mat Codet terhitung orang berkepala batu dan tidak gampang dibujuk kerja sama. Ia juga tak doyan berada di bawah. Apalagi diperintah-perintah. Ia berberat siku jika ada preman lain menyuruhnya bertekuk lutut. Selamanya, ia tak sudi menjadi kaki preman senior. Lebih baik mampus, daripada menjadi budak. Itulah motto hayatnya.
Pernah suatu pagi, ketika Mat Codet mencari angin di pusat pasar, ada beberapa preman lewat. Mereka semua berambut gondrong, bertato kalajengking, dan berkalung rantai. Ia diminta minggir. Namun, dengan sigap, ia menggeleng. Dan seketika, gerombolan jaharu itu berang dan melunyahnya habis-habisan. Ia dikeroyok, digebuk, ditendang, dijotos, disikut, hingga berbilang giginya rontok. Hidungnya menghembuskan darah. Kakinya bengkak. Tiada perlawanan. Ia hanya mematung. Bukannya dengkik, ia sekadar berazam mengendus seberapa kuat preman-preman yang lazim beroprasi di kawasan tersebut.
Esok hari, ia mencongkong lagi di loka kemarin. Di depan toko emas “Arjuna”. Tempat dimana ia diganyang preman-preman yang nyenyai mandi itu. Ya, di situ ia sedang kangen. Ah, sahihnya merindukan para preman kelas kambing dan mudah naik pitam. Benar. Selingkar jam sembilan, mereka mendarat. Apesnya, jumlah mereka kian berlimpah. Mana membagul pentungan pula. Ia dipaksa menepi. Lagi-lagi ia menolak. Akhirnya, ia kembali meraup perlakuan istimewa; Dikeroyok, digebuki, ditendang, dijotos, disikut. Dan karena mereka membawa pentungan, ia juga dipentungi hingga bonyok. Tetapi tidak sampai berkalang tanah. Hanya terjengkang dan napasnya ngos-ngosan. Entah berapa lusin nyawanya! Preman-preman itu juga keheranan. Setelah kekeringan tenaga, mereka mencukupkan pelajaran. Sedang awak Mat Codet dibuang di selokan.
Betul-betul lanang edan. Lusanya, Mat Codet membikin ulah lagi. Ia sengaja menanti kehadiran preman-preman yang nekat menyentuh tubuhnya dan melemparnya ke dalam got yang rimbun kotoran. Kali ini, ia tak akan berdiam diri. Hendak ditunjukkan siapa ia sebenarnya.
Benar. Mereka datang. Tanpa ba, bi, bu, Mat Codet langsung menggocoh mereka satu persatu. Mereka meladeni. Tetapi percuma. Musuh yang satu ini bukan musuh sembarangan. Mereka semua kelabakan. Dan karena tersisih, akhirnya mereka kabur tunggang langgang.
Preman-preman tengik itu mengadukan kejadian memalukan yang menimpa mereka. Usai menyimak laporan, Sasmito, petinggi preman yang tersohor kejam dan tahan bacok itu, berniat menjajal kesaktian Mat Codet.
***
Di tanah lapang, keduanya bertempur layaknya pejantan; satu lawan satu. Sebelum bersabung, Mat Codet mengajukan usul: bila keok, maka ia dengan ringan hati akan meninggalkan pasar Sumber Arum. Sebaliknya, jika ia unggul, Sasmito kudu rela mengiklaskan tampuk kekuasaannya berpindah ke genggaman Mat Codet. Sasmito mengamini usul tersebut. Sesungguhnya, ia tampak gamang atas keputusannya. Walakin, ia masih mempunyai harga diri. Disaksikan semua anak buahnya, ia enggan bersikap pengecut.
Celaka dua belas. Mimpi apa Sasmito semalam. Duel maut itu dimenangkan oleh Mat Codet. Orang yang bertakhta di pasar Sumber Arum selama tujuh tahun itu dibuat kalang kabut. Badannya babak belur. Kepalanya bersimbah darah. Salah satu tulang rusuknya sempal. Ia menyerah. Dan tanpa jamak tanya, beberapa gelintir preman langsung menerbangkannya ke rumah sakit terdekat.
Memirsa keperkasaannya, alhasil, semua preman yang hadir mendaulatnya sebagai nahkoda baru. Pemimpin para preman yang sekian warsa ke depan akan mengatur sirkulasi kejahatan di pasar Sumber Arum.
***
Eit, jangan lekas memungut kesimpulan. Tiadalah preman kita satu ini serupa yang kalian kira. Ia sungguh berbeda dengan sebagian besar preman yang ada. Meskipun kerap memalak pedagang di pasar, nyatanya hanya pedagang besar yang ia bebani ‘uang keamanan’. Mat Codet tak tega berbuat kasar terhadap kaum pedagang kecil, apalagi mencaplok keringat mereka. Bahkan, karena menaruh kasihan, berulang kali ia mengulurkan bantuan.
Dalam masyarakat, Mat Codet bertabiat hangat. Takmir masjid menjulukinya Ahli Sedekah. Sebab, tak sunyi-sunyinya ia mendermakan harta ke kotak amal. Jika Idul Adha tiba, ia orang perdana yang mencatatkan diri untuk berkurban. Para warga kerap pula diuntungkan. Sebab, preman beralis kepak kelelawar itu gemar menggelar khitanan massal, pengajian, peringatan 17 Agustus, arisan, pertemuan ibu PKK, sampai pembagian sembako secara cuma-cuma.   
“Kok ada ya, preman kayak dia. Mat Codet rajin sekali berjamaah di musholla. Kalau ada hajatan, ia juga datang”.
Desis pak RT kala bercakap dengan salah seorang pamong desa.
***
Memang hidup melukiskan sebulir persaingan. Homo homini lupus. Siapa kuat, dialah yang menang. Dan tiadalah yang menang itu selalu menang. Bisa jadi suatu saat, dia juga mencicipi kekalahan. Sebagaimana yang dialami Mat Codet. Saking banyaknya preman yang menaruh hasad, hampir setiap usaha dilicinkan guna menggulingkan wibawanya.
Sampai suatu hari, terbitlah momentum tersebut. Sekitar jam satu siang, Kriwul menunggu Mirna, istri Mat Codet. Ia menggelesot di gang sempit menuju pasar Sumber Arum. Melihat preman ceking nongkrong di sana, orang-orang berberat pinggul menjemput masalah. Mereka memilih jalan lain, meski jaraknya lumayan jauh. Namun, dugaan mereka meleset. Hari itu Kriwul tak hendak menggarong. Ia hanya ingin membujuk Mirna. Bukan untuk melecehkan tubuhnya. Atau melucuti kalungnya. Ia paham betul siapa yang dihadapi kali ini. Kalau berani mencolek secuil saja tubuh Mirna, pasti ia akan pulang tinggal nama. Sebagai orang kepercayaan Boncu, juga anak buah Mat Codet yang berkhianat, Kriwul harus berhati-hati menunaikan misi berbahaya tersebut.
“Kriwul, awas kalau sampai kamu salah langkah. Bisa mampus kita semua”.
Pesan itu bertukas-tukas dilisankan teman-temannya sebelum angkat kaki menuju lokasi.
Yang menjadi incaran komplotan Boncu beserta anak buahnya adalah mengetahui letak kelemahan rival besarnya itu. Dan satu-satunya ikhtiar terbaik adalah melalui Mirna, orang yang paling rapat dengan Mat Codet. Mereka sudah kehabisan akal beradu kening dengan Mat Codet. Pasalnya, preman yang satu ini benar-benar sakti. Akan tetapi, mereka menanam keyakinan, bahwa sehebat-hebat manusia pasti tetap mengantongi titik kelemahan.
Tak tanggung-tanggung. Guna menyiasati Mirna, mereka nekat mencawiskan uang 10 milyar, yang baru digondol dari menjebol beberapa ATM. Mereka berani tidak mabuk-mabukan selama seminggu. Mereka rela berpuasa cinta di tempat bordil. Mereka ikhlas menyisihkan tabungan untuk menghidupi anak-istri. Preman-preman dungu itu hanya mengekor saja pada tetua. Boncu suksess mendoktrin mereka. Dan di balik itu semua, yang terpenting adalah sekutil fakta, bahwa ia menabung dendam pada Mat Codet—yang telah mendepak ayahnya dari kursi hangat bromocorah paling disegani, 12 tahun silam.
“10 juta ini sebagai pelicin saja. Sisanya akan kauterima bila berhasil merampungkan tugas dengan baik. Ingat, waktumu cuma seminggu!”
Kriwul yang terbiasa cengengesan itu sekonyong-konyong bersikap tegas. Ia tak mau misinya gagal. Ia berdiri di atas dua pilihan: diludahi para preman atau naik jabatan.
Sebenarnya, Mirna kurang tega melakukan tindakan konyol itu. Ia tahu, Mat Codet bukanlah lelaki banal. Meski bertampang preman, namun hatinya lembut dan sarat kasih sayang. Sampai hari keenam, Mirna beritikad mengenyahkan tawaran Kriwul. Namun, setelah hari ketujuh, otaknya luluh juga. Ternyata setan lebih cerdas, sehingga Mirna menyetujui niat licik tersebut.
Maklumlah. Sebagai istri preman kondang, Mirna belum pernah kecipratan uang sebesar itu dari suami. Apalagi sosok Mat Codet diarifi sebagai preman yang berjiwa pemimpin. Ia tak mau menimbun bergunduk-gunduk uang. Apa yang dipanen dari hasil memalak, pasti ia bagi rata dengan anak buah. Dan kalau ada sisa, tentu ia hibahkan kepada fakir miskin.
***
Para mustamik sekalian, tibalah kini saat-saat yang mendebarkan. Ketika rembulan sedang berayun di cakrawala, dan malam sedang bermain petak umpet, Mat Codet dan istrinya merebahkan badan di ranjang. Mat Codet begitu terlelap. Ia kelihatan sangat lelah. Sebab, siangnya, ia berjuang melawan satpol PP seorang diri. Sedang sorenya, ia harus memegang cempurit rapat preman di kolong jembatan Sebrang Lor.
Saat mendapati suami asyik dalam buaian mimpi, Mirna melancarkan aksi. Ia memangkas 7 helai bulu ketiak Mat codet; 4 dari ketiak kanan, dan 3 dari sebelah kiri. Setelah puas memotong bulu sakti Mat Codet, ia menelepon Kriwul. Dan seperti sudah dirancang sebelumnya, tiba-tiba sekitar seratus orang menyerbu rumah Mat Codet. Sebagai pemimpin, Boncu berlaku sok pemberani. Ia urai resleting celananya dan berkemih di moncong Mat Codet.
“Hei, bangun! Mau mampus gini, malah mendengkur”.
Preman bertato naga di punggung itu menyingkap kelopak matanya. Ia bersin-bersin dan merasa ada cairan asam di lidahnya. Sejurus kemudian, ia tercengang. Bukan karena banyaknya anak buah Boncu yang berjejalan di kamarnya. Namun sebab sejumlah bulu ketiaknya tengah tergolek di tangan kanan Mirna. Sedang tangan kiri istrinya itu memegang sebuah gunting. Mat Codet menjinjing suaranya keras-keras.
“Perempuan macam apa kau, Mirna!”
Pandangan Mirna tertunduk. Ia sadar, bahwa ia telah melakukan kesalahan fatal. Ia lebih memilih mengorbankan suami daripada harus kehilangan 10 milyar.
***
Para pedagang di pasar Sumber Arum sangat gelisah. Mereka kerap bersoal, kenapa tiba-tiba Boncu yang berkuasa. Mereka tahu, bahwa tiada preman yang lebih bijak dan santun kecuali Mat Codet. Pedagang kaya yang biasa menyetor upeti juga merasa kehilangan. Pasalnya, anak buah Boncu lebih bengis dan menarik uang seenak udelnya. Bahkan, sering kali bobot setoran kelewat batas. 
Hingga kini, para pedagang pasar Sumber Arum masih menunggu-nunggu kedatangan Mat Codet, yang dikira tengah menginap di bui. Atau berwisata keluar negeri. Atau berlibur di kampung halaman. Dan serba atau yang lainnya.  

Yogyakarta, 2011