Selasa, 10 Januari 2017

Tragedi Rohingya dan Wajah Desa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Selasa, 10 Januari 2017)


Awal tahun 2017, sebuah video viral menunjukan puluhan warga Rohingya mengalami penyiksaan. Dalam kondisi tertekan, mereka dipaksa duduk di tanah dengan todongan senjata. Berita ini menambah daftar pilu penderitaan minoritas muslim Rohingya. Dua bulan yang lalu, sejumlah media menampilkan foto-foto tragis Desa Kyet Yoe Pyin yang dihuni oleh mereka. Akibat dibombardir oleh helikopter militer Myanmar, wajah desa yang penuh daya tarik berubah mengerikan. Banyak penduduk desa kehilangan tempat tinggal. Berdasarkan pernyataan Human Rights Watch, sejumlah 820 bangunan di distrik Maungdaw luluh lantak.
Sayangnya, Pemerintah Myanmar berusaha mengelak. Mereka enggan mengakui bahwa di Myanmar telah berlangsung tragedi kemanusiaan. Berbagai pihak melontarkan kritik tajam terhadap Penerima Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi. Kepala Pemerintahan (State of Chancellor) Myanmar tersebut dianggap ‘masa bodoh’ lantaran selalu diam saat ditanya mengenai nasib suku Rohingya. Ia dinilai gagal menjaga ‘gawang perdamaian’ Myanmar. Sehingga, banjir tuntutan agar penghargaan nobel yang genap diterima segera dicabut.

Minim Toleransi
Pembantaian yang menimpa kaum Muslim di Myanmar merupakan gambaran nyata bahwa desa di sana tidak selamanya menjanjikan kenyamanan, keamanan, dan perlindungan. Berbagai bentuk ancaman, baik fisik maupun psikis, dapat ditemukan di desa. Orang desa menerima tekanan mental, psikologis, serta emosional. Untuk sekadar menunaikan ibadah, umat Islam yang bermukim di desa harus berjuang mati-matian. Tak jarang upaya mengokohkan fondasi agama memperoleh rongrongan dan gangguan dari berbagai pihak, salah satunya militer.
Demi mempertahankan eksistensi dan harga diri, mereka menghadapi brutalnya para pemanggul senjata. Dalam posisi terjepit, kaum Muslim menghadapi kekejaman para tentara yang bertugas membungkam siapa saja yang dalam dirinya tersimpan semangat jihad li i’lai kalimatillah (menegakkan agama Allah). Pada saat inilah, keimanan pemeluk Islam benar-benar sedang diuji.
Para biksu yang seyogyanya memberikan pembelaan bagi orang-orang Islam justru memperparah keadaan. Dengan melancarkan kampanye provokatif, mereka menghendaki agar minoritas Muslim Rohingya diusir. Dari seruan ini, lahirlah berbagai macam sinisme terhadap Islam. Padahal, kaum agamawan tersebut seharusnya memosisikan diri sebagai figur dan teladan. Bagaimanapun, agama Budha mengajarkan kedamaian dan kasih sayang. Mereka semestinya menampilkan sikap, karakter, serta perilaku terpuji dalam melindungi siapa saja yang terzalimi.
Fakta di atas menunjukkan betapa tingkat toleransi antar umat beragama di Myanmar sangat rendah. Interaksi lintas agama selalu dalam kondisi ‘mengkhawatirkan’. Dalam menjalin hubungan dengan umat Islam, pemeluk Budha diliputi dengan kebencian. Mereka tidak ingin orang-orang Islam memperoleh tempat di Myanmar. Akibatnya, perilaku demikian berimplikasi negatif bagi desa. Dalam taraf tertentu, desa menampilkan wajah seram. Desa yang selayaknya identik dengan keramahan dan kelembutan, justru terkesan menghadirkan teror dan penderitaan. Apa yang diperbuat oleh para biksu Myanmar mengakibatkan nuansa kesejukan di desa tergantikan oleh kegelisahan dan kecemasan.

Kearifan Lokal
Berlainan dengan realitas di Myanmar, harmoni, keseimbangan, dan keselarasan hidup tercipta di desa-desa Indonesia. Desa senantiasa memberikan kehangatan bagi mereka yang membutuhkan. Segala macam perbedaan dihadapi dengan arif dan bijak. Dhurorudin Mashad (2014: 267) mencatat bahwa di Desa Bualu, Denpasar, Bali, terdapat sebuah komplek Puja Mandala yang memuat lima rumah ibadah sekaligus. Penduduk desa acapkali menyaksikan kegiatan keagamaan Islam, Katolik, Protestan, Budha, serta Hindu digelar secara bersamaan. Setiap pemeluk agama berusaha saling menghormati agar kerukunan tetap terpelihara. Sebelum menyelenggarakan acara, mereka bahkan meminta izin terlebih dahulu pada pihak agama lain.
Efektivitas desa juga terbukti terutama dalam mengatasi ketegangan sosial. Beragam pergolakan seringkali cukup diselesaikan pada tingkat desa (tanpa campur tangan negara). Dengan menjunjung tinggi kearifan lokal, kasus-kasus kekerasan mudah diredam. Dalam konteks inilah, pemimpin lokal menjadi mediator bagi siapa saja yang berselisih.
Ada peristiwa menarik tentang bagaimana perselisihan ditangani dengan kearifan lokal. Di sebuah desa di Bojonegoro, Jawa Timur, dari tahun ke tahun, kasus perkelahian antarkelompok merupakan hal yang lumrah. Bagi kawula muda, tawuran merupakan sarana perebutan wibawa sekaligus kuasa. Kaum pemuda disibukkan dengan kecurigaan terhadap kelompok lain lantaran tersebar asumsi bahwa kelompok mereka paling benar. Kerap tindak kekerasan bermula dari persoalan sepele yang berujung adu kekuatan dan menelan korban.
Demi meredam perselisihan, seorang kepala desa menempuh cara unik. Bermodal ‘insting kepemimpinan’, ia nekat memberikan sebagian bengkok kepada ketiga kelompok yang berselisih. Ia berargumen bahwa dengan pemberian ini, niscaya masing-masing kelompok dapat senantiasa eksis tanpa berniat menggeser kelompok lain. Sebagai imbalannya, mereka dituntut menjaga keamanan desa.
Ketiga kelompok akhirnya bersepakat. Pada awalnya, kesepakatan ini sukar terwujud. Bagaimanapun, dendam terlanjur diwariskan lintas generasi. Namun demikian, mereka tetap menahan diri dari egosentrisme dengan menjunjung tinggi kepentingan publik. Kini, mereka mampu hidup secara berdampingan.
Di sinilah arti penting peran pemimpin lokal dalam menyikapi problem sosial. Solusi atas chaos tidak ditemukan dalam produk perundang-undangan, melainkan dari imajinasi dan kreativitas. Demi mensinergikan beberapa kepentingan, kepala desa mengambil inisiatif mengurangi bengkok yang semestinya bisa dinikmati sendiri. Ini merupakan bentuk kearifan lokal yang barangkali sukar ditemukan di desa-desa Myanmar.

Yogyakarta, 2017

Sabtu, 07 Januari 2017

Revitalisasi BUMDes (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jateng" edisi Jumat, 6 Januari 2017)


Di sejumlah tempat, terjadi perebutan akses, sarana, sumber ekonomi antar individu dan golongan. Tak heran jika desa menjadi ajang pertarungan antara mereka yang kuat dan lemah. Celakanya, tolok ukur segala bentuk persaingan berangkat dari asumsi bahwa The Have (pemilik uang) sebagai pemenang. Realitas ini mengakibatkan timbulnya kedengkian wong cilik terhadap orang kaya. Modernisasi, globalisasi, serta industrialisasi telah mengabaikan hak-hak sebagian orang desa dan membiarkan mereka hidup terkatung-katung.
Berbagai kebijakan pemerintah, terutama mengenai tanah, justru terkesan pro-pemodal. Surat izin pemerintah menjadi modal bagi siapa saja yang ingin mengeruk kekayaan dengan menyulap tanah orang desa sebagai lahan bisnis. Meskipun bercorak legal-formal, surat izin tersebut nyatanya justru menutup ruang ekonomi, merampas modal sosial, menyulut disintegrasi sosial, serta menghancurkan sendi-sendi demokrasi lokal. Surat izin pemanfaatan lahan terbit atas inisiatif politikus dan birokrat nakal, sehingga nasib rakyat digadaikan.

Hilangnya Tanah
Produk legal telah dikondisikan oleh para pemodal, pebisnis dan kapitalis. Kehormatan, kewibawaan, dan harga diri para legislator yang bertugas mengawal amanat rakyat seolah ditukar dengan fasilitas, layanan, akses, serta berbagai ragam kenikmatan sesaat. Gratifikasi muncul dalam beragam varian, mulai uang, tiket pesawat, hingga pijat plus. 
Perangkat yuridis yang selayaknya menjadi sarana keadilan sosial malah dipakai sebagai senjata ampuh demi menggasak ribuan hektar tanah di pelosok desa. Tanah yang digunakan masyarakat perdesaan untuk bertani dan berkebun dirampas oleh pemerintah dengan label Tanah Negara. Akhirnya, hilanglah apa yang disebut dengan hak ulayat. Dengan demikian, mendapat stempel dari negara, peraturan perundang-undangan telah berubah menjadi alat eksploitasi.
Dalam posisi tertekan, penduduk desa terpaksa melepaskan tanah dengan harga yang kurang sebanding dengan nilai sebenarnya. Uang yang mereka terima hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padahal, sejak dulu kala, tanah bukan hanya difungsikan sebagai sumber penghasilan, melainkan juga ruang menimba ilmu dan kebajikan. Dari sebidang tanah, mereka dapat mempelajari apa yang diwariskan nenek moyang: betapa alam merupakan sahabat yang harus dipelihara dan dijaga kelestariannya.
Selama ratusan tahun, alam memberikan kedamaian, keharmonisan, dan keseimbangan hidup. Terhindarnya orang-orang desa dari sikap materialistis disebabkan oleh intensitas pertautan dan pergumulan mereka dengan alam. Jauh berbeda dengan kaum hedonis yang berhasrat meraup untung sebesar-besarnya, mereka memanfaatkan alam sekadarnya, hanya demi mengganjal perut.

Potensi Desa
Dalam konteks inilah, pengelolaan potensi desa menemukan relevansinya. Perekonomian masyarakat desa harus ditata kembali demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Jika tanah tidak lagi bisa diandalkan, desa dituntut sanggup mengelola sumber daya yang tersisa dengan sebaik-baiknya. Desa harus dijauhkan dari segala bentuk diskriminasi supaya sumber ekonomi tidak hanya dikuasi oleh elite-elite lokal. Roda perputaran ekonomi di tingkat desa juga harus menyentuh rakyat jelata.
Melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), pengelolaan sumber daya desa dapat dikelola secara profesional. Dibentuk melalui musyawarah dengan melibatkan pemerintah desa bersama seluruh unsur masyarakat desa, BUMDes menjanjikan manfaat dan keuntungan luar biasa. Keberadaan  BUMDes menjadikan masyarakat memiliki tanggung jawab kolektif. Dengan rasa memiliki yang kuat, mereka mesti mampu menjaga aset desa. Dengan demikian, ruang interaksi dan harmoni yang terbentuk mampu mengesampingkan kepentingan individu dan mengutamakan kemaslahatan bersama.
Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 87 tentang Desa disebutkan, BUMDes dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Badan usaha ini dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum. Pasal 89 menyebutkan bahwa hasil usaha BUMDes dimanfaatkan untuk pengembangan usaha, pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat desa, serta pemberian bantuan bagi masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
Dengan revitalisasi BUMDes, diharapkan sumber daya desa, baik sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA) bisa lebih dioptimalkan. BUMDes berperan penting dalam mengefektifkan ekonomi perdesaan secara merata, berkeadilan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam BUMDes terkandung dimensi kepentingan publik berupa transparansi, akuntabilitas, serta orientasi kebersamaan. Itulah sebabnya, BUMDes seyogyanya dimanfaatkan secara jujur, terbuka, serta mengutamakan kepentingan umum.
Dalam rangka mengembangkan potensi desa, dana desa dapat digunakan untuk membentuk ataupun mengaktifkan kembali BUMDes. Apalagi, pada tahun 2017, dana desa genap dialokasikan sebesar 60 triliun rupiah. Oleh sejumlah pihak, dana yang bersumber dari APBN tersebut dianggap mampu memberikan efek berantai terhadap pertumbuhan perekonomian masyarakat desa.

Yogyakarta, 2017

Kamis, 05 Januari 2017

Mencegah Terorisme dari Desa (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Suara Merdeka" edisi Kamis, 5 Januari 2017)


Para pelaku teror berusaha membangun kekuatan di wilayah pedalaman. Mereka menjadikan desa sebagai markas untuk melancarkan konsolidasi, menyiapkan amunisi, serta membangun strategi.
Penggerebekan rumah terduga teroris di Desa Ajibaho, Biru-Biru, Deliserdang, Sumatera Utara, oleh personel Densus 88 Antiteror merupakan salah satu bukti bahwa desa merupakan lokasi strategis bagi teroris guna menghilangkan jejak sekaligus menyusun rencana matang sebelum beraksi. Terpilihnya desa selaku basis aktivitas teror bukan tanpa dasar. Mereka memahami sosiologi perdesaan yang genap mengalami pergeseran.
Dahulu kala, orang desa selalu menunjukkan kecurigaan terhadap orang asing. Mereka menampilkan ekspresi “tidak suka” saat melihat orang luar datang ke wilayahnya. Muncul ketidaknyamanan ketika loka mukim mereka tiba-tiba dikunjungi oleh orang atau kelompok tak dikenal. Meskipun terkesan negatif, sebenarnya kecurigaan merupakan wujud perhatian lebih terhadap kehidupan orang lain. Sikap ini menjadi modal besar bagi negara dalam menguak kasus-kasus terorisme. Berbekal kecurigaan, keberadaan para teroris yang lari ke pedalaman bisa terlacak. Orang desa dapat berperan dalam mengendus siapa saja yang berusaha menggalang aksi terorisme.

Geliat Modernisasi
Kala modernisasi mulai menyentuh wilayah perdesaan, kecurigaan ini semakin lama semakin luntur. Merosotnya kecurigaan orang desa lantaran budaya urban mempengaruhi pola dan cara berpikir mereka. Kecurigaan perlahan tergerus oleh prinsip hidup perkotaan yang cenderung egoistis. Kepedulian yang awalnya juga mencakup kehidupan orang lain, akhirnya dicurahkan kepada diri sendiri. Globalisasi membuat beragam nilai dari luar masuk ke desa dan menciptakan psikologi, sosiologi, serta gaya hidup masyarakat.
Gejala menguatnya nilai-nilai urban pada diri orang desa dikokohkan oleh pendidikan. Abdul Munir Mulkhan (2009: 94) melihat bahwa melalui pendidikan, modernisasi menelusup pada kehidupan perdesaan. Banyak anak desa yang merantau ke kota demi memasuki berbagai lembaga pendidikan modern. Saat menempuh jenjang pendidikan inilah, mereka bersentuhan dengan prinsip hidup orang kota.
Bersarangnya budaya urban ke wilayah perdesaan juga dipengaruhi oleh gelombang urbanisasi. “Hasrat urban” membimbing pemuda desa untuk berburu rupiah ke kota. Daripada menjadi petani, anak muda masa kini lebih terobsesi sebagai buruh. Muncul kepuasan tersendiri ketika mereka melepaskan identitas tradisional dan mulai disebut “orang kota”.
Pertukaran antara nilai-nilai desa dengan kota berlangsung pada waktu mereka bekerja. Saat mereka kembali ke tanah kelahiran, nilai inilah yang ditularkan kepada warga desa lainnya.
Pendidikan dan urbanisasi seolah berorientasi pada pembentukan manusia egoistis. Kultur urban yang diselipkan lewat keduanya cenderung membentuk kepribadian keras, kasar, dan sukar diatur. Akibatnya, semangat dan etos kerja orang desa yang dihiasi dengan komunalisme hilang tergantikan individualisme. Padahal, selama komunalisme masih dipegang teguh oleh orang desa, kepedulian terhadap sesama akan tetap terpelihara. Begitu pula sebaliknya.
Pemerintah desa semestinya lebih selektif saat menerima orang luar. Ketua RT dituntut mengetahui latar belakang dan sepak terjang siapa saja yang menjadi tamu dan warga baru. Di sinilah urgensi buku induk desa yang memuat sejumlah data penting, termasuk identitas penduduk tetap dan sementara. Selain merealisasikan tertib administrasi pemerintahan, langkah ini juga merupakan upaya menjauhkan desa dari anasir terorisme.
Untuk menanggulangi aksi terorisme, kepala desa beserta pamong lainnya harus menggandeng semua lapisan masyarakat. Egosentrisme dan individualisme yang terlanjur meracuni kawula muda diatasi dengan cara melibatkan mereka dalam ruang publik. Motivasi gotong royong yang dimiliki golongan tua diarahkan pada usaha mewujudkan good governance di desa. Sebagai upaya memutus jaringan terorisme, para warga diajak untuk aktif dalam melakukan kontrol sosial. Jika ada hal-hal yang mencurigakan, mereka dapat segera melaporkannya kepada aparatur desa. Dalam konteks inilah, berlangsung apa yang disebut dengan “demokrasi deliberatif”, di mana demokrasi tidak hanya dijalankan oleh kaum elite (pemimpin dan tokoh desa), melainkan juga warga desa. 
Kontrol sosial merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat desa. Said (dalam Samsul Komar, 2003) menjelaskan bahwa kontrol sosial dalam khasanah perdesaan merupakan alat pengawasan warga desa terhadap segala bentuk interaksi dan hubungan sosial. Di sinilah pentingnya meletakkan desa sebagai benteng sosial pencegahan terorisme.

Yogyakarta, 2016