Sabtu, 07 Januari 2017

Revitalisasi BUMDes (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jateng" edisi Jumat, 6 Januari 2017)


Di sejumlah tempat, terjadi perebutan akses, sarana, sumber ekonomi antar individu dan golongan. Tak heran jika desa menjadi ajang pertarungan antara mereka yang kuat dan lemah. Celakanya, tolok ukur segala bentuk persaingan berangkat dari asumsi bahwa The Have (pemilik uang) sebagai pemenang. Realitas ini mengakibatkan timbulnya kedengkian wong cilik terhadap orang kaya. Modernisasi, globalisasi, serta industrialisasi telah mengabaikan hak-hak sebagian orang desa dan membiarkan mereka hidup terkatung-katung.
Berbagai kebijakan pemerintah, terutama mengenai tanah, justru terkesan pro-pemodal. Surat izin pemerintah menjadi modal bagi siapa saja yang ingin mengeruk kekayaan dengan menyulap tanah orang desa sebagai lahan bisnis. Meskipun bercorak legal-formal, surat izin tersebut nyatanya justru menutup ruang ekonomi, merampas modal sosial, menyulut disintegrasi sosial, serta menghancurkan sendi-sendi demokrasi lokal. Surat izin pemanfaatan lahan terbit atas inisiatif politikus dan birokrat nakal, sehingga nasib rakyat digadaikan.

Hilangnya Tanah
Produk legal telah dikondisikan oleh para pemodal, pebisnis dan kapitalis. Kehormatan, kewibawaan, dan harga diri para legislator yang bertugas mengawal amanat rakyat seolah ditukar dengan fasilitas, layanan, akses, serta berbagai ragam kenikmatan sesaat. Gratifikasi muncul dalam beragam varian, mulai uang, tiket pesawat, hingga pijat plus. 
Perangkat yuridis yang selayaknya menjadi sarana keadilan sosial malah dipakai sebagai senjata ampuh demi menggasak ribuan hektar tanah di pelosok desa. Tanah yang digunakan masyarakat perdesaan untuk bertani dan berkebun dirampas oleh pemerintah dengan label Tanah Negara. Akhirnya, hilanglah apa yang disebut dengan hak ulayat. Dengan demikian, mendapat stempel dari negara, peraturan perundang-undangan telah berubah menjadi alat eksploitasi.
Dalam posisi tertekan, penduduk desa terpaksa melepaskan tanah dengan harga yang kurang sebanding dengan nilai sebenarnya. Uang yang mereka terima hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padahal, sejak dulu kala, tanah bukan hanya difungsikan sebagai sumber penghasilan, melainkan juga ruang menimba ilmu dan kebajikan. Dari sebidang tanah, mereka dapat mempelajari apa yang diwariskan nenek moyang: betapa alam merupakan sahabat yang harus dipelihara dan dijaga kelestariannya.
Selama ratusan tahun, alam memberikan kedamaian, keharmonisan, dan keseimbangan hidup. Terhindarnya orang-orang desa dari sikap materialistis disebabkan oleh intensitas pertautan dan pergumulan mereka dengan alam. Jauh berbeda dengan kaum hedonis yang berhasrat meraup untung sebesar-besarnya, mereka memanfaatkan alam sekadarnya, hanya demi mengganjal perut.

Potensi Desa
Dalam konteks inilah, pengelolaan potensi desa menemukan relevansinya. Perekonomian masyarakat desa harus ditata kembali demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Jika tanah tidak lagi bisa diandalkan, desa dituntut sanggup mengelola sumber daya yang tersisa dengan sebaik-baiknya. Desa harus dijauhkan dari segala bentuk diskriminasi supaya sumber ekonomi tidak hanya dikuasi oleh elite-elite lokal. Roda perputaran ekonomi di tingkat desa juga harus menyentuh rakyat jelata.
Melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), pengelolaan sumber daya desa dapat dikelola secara profesional. Dibentuk melalui musyawarah dengan melibatkan pemerintah desa bersama seluruh unsur masyarakat desa, BUMDes menjanjikan manfaat dan keuntungan luar biasa. Keberadaan  BUMDes menjadikan masyarakat memiliki tanggung jawab kolektif. Dengan rasa memiliki yang kuat, mereka mesti mampu menjaga aset desa. Dengan demikian, ruang interaksi dan harmoni yang terbentuk mampu mengesampingkan kepentingan individu dan mengutamakan kemaslahatan bersama.
Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 87 tentang Desa disebutkan, BUMDes dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Badan usaha ini dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum. Pasal 89 menyebutkan bahwa hasil usaha BUMDes dimanfaatkan untuk pengembangan usaha, pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat desa, serta pemberian bantuan bagi masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
Dengan revitalisasi BUMDes, diharapkan sumber daya desa, baik sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA) bisa lebih dioptimalkan. BUMDes berperan penting dalam mengefektifkan ekonomi perdesaan secara merata, berkeadilan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam BUMDes terkandung dimensi kepentingan publik berupa transparansi, akuntabilitas, serta orientasi kebersamaan. Itulah sebabnya, BUMDes seyogyanya dimanfaatkan secara jujur, terbuka, serta mengutamakan kepentingan umum.
Dalam rangka mengembangkan potensi desa, dana desa dapat digunakan untuk membentuk ataupun mengaktifkan kembali BUMDes. Apalagi, pada tahun 2017, dana desa genap dialokasikan sebesar 60 triliun rupiah. Oleh sejumlah pihak, dana yang bersumber dari APBN tersebut dianggap mampu memberikan efek berantai terhadap pertumbuhan perekonomian masyarakat desa.

Yogyakarta, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar