Selasa, 31 Maret 2015

Buku dan Radikalisme Agama (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 29 Maret 2015)

Materi kontroversial dalam buku Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Budi Pekerti kelas XI tingkat SMA perlu dikaji ulang. Pasalnya, pada halaman 78, buku terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tersebut menyatakan bahwa pembunuhan terhadap orang yang menyembah selain Allah, atau musyrik, boleh dilakukan.
Fakta di atas mengindikasikan bahwa kampanye anti radikalisme agama yang tengah didengung-dengungkan oleh pemerintah dan sebagian besar masyarakat mengalami anti-klimaks. Hal ini dikarenakan upaya serius dalam membendung ideologi berbasis kekerasan sedang mengalami penggembosan.
Ditinjau dari sisi historisnya, radikalisme agama merupakan kelanjutan dari menguatnya fundamentalisme. Dalam konteks ini, gerakan keagamaan yang terjadi di Indonesia merupakan realisasi dari sikap fanatisme, yang mencerminkan rasa kebersamaan dan solidaritas kelompok sebagai pemeluk suatu agama. Pada akhirnya, ketika berhadapan dengan kelompok lain, sikap ini bergeser ke dalam bentuk radikalisme dan militanisme (LIPI, 2005).
Di Indonesia, radikalisme dan militanisme diwujudkan dengan beragam tindakan. Di antaranya dengan merobohkan rumah-rumah peribadatan agama lain; membubarkan sejumlah kegiatan yang terindikasi maksiat; serta merampas brendi, cognac, wiski, vodka, liquer, wine, sampanye, bir, atau miras oplosan di kafe-kafe dan warung remang-remang.
Sebab mengalami kejenuhan dengan cara-cara yang dianggap ‘mainstream’ inilah, kelompok fundamentalis-radikal mulai menempuh cara baru, yaitu dengan menyisipkan teks-teks dalam buku. Bagi mereka, buku menjadi sarana efektif dalam meluapkan beragam ekspresi.
Pertama, buku menjadi ekspresi ketidakpuasan terhadap sistem demokrasi yang bersifat sekuler, di mana dalam penyelenggaraan negara, agama tidak mendapatkan ruang. Mengutip Rumadi (2006), demokrasi yang menempatkan suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei) dianggap telah mensubsordinasi Tuhan. Ketidakpuasan inilah yang menyebabkan kelompok fundamentalis-radikal memanfaatkan buku sebagai sarana memperjuangkan aspirasi politik mereka.
Kedua, buku merupakan ekspresi dari kekecewaan terhadap kebobrokan sistem sosial akibat ketidakmampuan negara dalam mengatur kehidupan masyarakat secara religius. Fakta ini menginisiasi kelompok fundamentalis-radikal untuk melakukan upaya islamisasi buku, baik yang dikonsumsi oleh siswa, mahasiswa, mapun masyarakat umum. Jika sementara ini, upaya radikalisme agama baru ditemukan dalam buku Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Budi Pekerti kelas XI tingkat SMA, maka bisa jadi upaya tersebut juga ditemukan di buku-buku lainnya.
Ketiga, buku mewakili ekspresi atas ketidakadilan politik. Di Indonesia, perbedaan sering kali dipolitisir, sehingga suatu kelompok merasakan adanya perlakuan tidak adil oleh kelompok lain. Perlakuan diskriminatif seperti ini memunculkan primordialisme yang ditampilkan secara vulgar menjadi suatu identitas. Dalam konteks inilah, kelompok fundamentalis-radikal menghalalkan gerakan pemberontakan dan perlawanan atas nama agama, salah satunya dengan buku.
Fenomena buku sebagai bagian dari strategi para fundamentalis-radikal harus mendapat perhatian, sebab ancaman pendangkalan agama berada di depan mata. Apalagi, mengutip Jawa Pos (22/03), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mendeteksi adanya sembilan ribu situs yang mengandung paham radikal. Oleh dasar itulah, sudah semestinya penangkalan terhadap bahaya radikalisme menjadi materi yang diajarkan kepada para siswa. Para siswa harus paham bahwa radikalisme tidak menjadikan agama semakin digandrungi, melainkan justru ditakuti. Dengan radikalisme, orang-orang tidak akan berduyun-duyun memeluk agama Islam, bahkan menjauhinya. Bagaimana pun juga, kekerasan atas nama agama tidak akan memunculkan simpati, melainkan fobia.
Sebagai pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, guru harus memosisikan diri sebagai tameng terhadap ‘tombak radikalisme’ yang tengah dilesatkan oleh kelompok tertentu. Para siswa harus diberitahu bahwa gerakan terorisme yang akhir-akhir ini kian meresahkan merupakan aksi orang-orang yang belum mengerti sepenuhnya tentang hakikat agama Islam. Siswa harus dipahamkan bahwa ulah ISIS yang memenggal leher manusia tanpa rasa penyesalan sedikit pun adalah penyimpangan yang tentu saja tidak boleh dibenarkan.
Kepada para siswa, guru harus menyampaikan bahwa konsep rahmatan lil ‘alamin tidak mungkin terwujud jika kasus-kasus kekerasan atas nama agama masih menjamur. Dengan demikian, radikalisme hanya akan menjadi bumerang bagi agama Islam yang senantiasa memerintahkan umatnya untuk menyebarkan ‘virus’ kasih sayang.
Di samping itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga dituntut lebih selektif terhadap naskah dan materi yang diajarkan kepada para siswa. Jangan sampai buku menjadi senjata mematikan bagi para militan, sehingga sekolah sebagai tempat penyemaian benih-benih pendidikan berkarakter berubah menjadi sarang radikalisme agama.


Bojonegoro, 2015

Minggu, 01 Maret 2015

Lisa (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Merapi" edisi Minggu, 1 Maret 2015)

Dewi menghisap rokok dalam-dalam. Sepemakan sirih kemudian dari lubang mulutnya mengepul asap bulat. Hari itu ia merayakan keberhasilannya sehabis membuat orang yang paling dekat di hatinya menaruh bangga atas apa yang dikerjakan.
Ayahnya, Lasdi, tukang becak yang sakit-sakitan itu, tidak perlu capai-capai mencari uang. Ya, ia menggelesot santai di kolong pohon nangka, setelah diberi tujuh lembar rupiah berwarna merah menyala oleh Dewi. Seharusnya pada saat seperti itu, ia duduk berselonjor sambil menikmati kretek murah yang disambar dari toko Mbok Ijah. Tapi, tidak. Beberapa bulan lalu, Dewi menyuruhnya berhenti dari kebiasaan itu ketika berhari-hari batuknya membabibuta dan dikhawatirkan mengidap penyakit paru-paru.  
Ketika menerima uang, ia tak mengucapkan apa-apa, kecuali terima kasih karena Dewi telah memperhatikan dirinya yang semakin uzur.
Cuma terima kasih?
Benar. Sama sekali ia tak pernah mempermasalahkan Dewi yang kerap pulang larut malam dan gemar menyulut rokok untuk dijepit di bibirnya. Dan, waktu itu, Lasdi tahu bahwa asap bulat yang menyembul dari jendela itu berasal dari bibir anaknya. Ia juga paham, jika menyemburkan asap, itu berarti hati Dewi tengah mengayuh gembira.
***
Tengah malam, Lasdi memandangi Dewi yang terlelap di depan televisi. Mengamati wajahnya, otaknya memutar potret Wardah seketika. Saat itulah dua matanya berkaca-kaca. Selalu saja ia meratap, kenapa sepuluh tahun silam, ia mengizinkan istrinya merantau ke Malaysia, guna berburu uang.
Tak bosan-bosannya ia berpesan pada Dewi untuk tetap tinggal di desa, separah apa pun kondisi ekonominya. Anak satu-satunya itu boleh bekerja apa saja, asal tidak merantau ke kota, atau malah ke luar negeri. Lasdi tidak ingin kehilangan untuk kedua kali setelah istrinya raib. Menyikapi penderitaan ini, ia hanya melanting senyum ketika teman-teman atau tetangganya bersoal mengenai Wardah, seolah-olah tidak terjadi apa-apa pada istrinya itu. Ia selalu menutupi agar berita hilangnya Wardah tidak diendus oleh orang lain selain Dewi, juga beberapa kerabat dekatnya. Itulah mengapa, ketika didesak menggelar hajatan, mengirim doa bersama supaya Wardah kembali pulang, ia menolak. Yakin, kalau menelan kabar itu, pastilah teman-temannya mengimbuhi dengan omongan miring yang mudah membikin panas telinga.
Genap sebulan ia tidak lagi bekerja. Genap sebulan pula, Dewilah yang menggantikan posisinya dalam mencari nafkah. Lasdi membayangkan, alangkah payahnya anaknya itu, yang telah memeras peluh seharian; berangkat pagi buta dan pulang ketika langit berganti muka. Sebenarnya ingin sekali ia memijit punggung Dewi; hal serupa yang dulu diperbuat Wardah kepadanya ketika ia pulang dari bekerja. Namun, terpaksa ia tahan. Ia tak mau lantaran sentuhan jari-jarinya, Dewi lantas terbangun dari dengkurnya.
Di hadapan Dewi yang tidur, Lasdi berjanji akan menggunakan uang pemberian itu dengan sebaik-baiknya. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk menghindarkan diri dari judi buntut, yang rutin diikuti oleh teman-temannya sesama tukang becak. Juga tuak, minuman favorit para kuli bangunan yang baru mendapat bayaran.
***
Dewi dan Lasdi, keduanya, keluar rumah bersama. Sengaja Lasdi mengantar anaknya dengan becak. Lasdi mengotot agar anaknya bersedia diantar. Dewi menyanggupi dengan syarat ayahnya lain kali tidak melakukan hal yang sama. Ia lebih suka memanfaatkan jasa tukang ojek, agar ayahnya bisa istirahat saja di rumah.
Pagi dengan matahari yang malu-malu, masih bersembunyi itu, selain menemani anaknya sampai stasiun, Lasdi juga bermaksud menyambangi teman-temannya yang mangkal tidak jauh dari sana. Terus terang, ia kangen berat dengan mereka. Ingin sekali mendengarkan ocehan dan bahan tertawaan khas tukang becak, yang langka diperoleh di mana pun dan kapan pun.
Ketika lewat di depan kerumunan tukang becak, Lasdi menyapa mereka sambil menyunggingkan senyum. Mendapati Lasdi bersama gadis cantik, mereka langsung memanggil-manggil Dewi, tanpa menghiraukan sedikit pun sapaan Lasdi. Juga ada yang bersiul-siul dan bertepuk tangan. Sebagian lainnya memilih memandangi anaknya dengan pandangan penuh nafsu.
Wajah Lasdi mengerut. Sebetulnya ia agak tersinggung melihat ulah mereka. Apakah seperti halnya dirinya, segerombolan orang itu juga tidak pernah mengenyam pendidikan, hingga tingkah laku mereka jauh dari sopan. Apalagi, Dimo, salah satu temannya, sempat berkata jorok pada Dewi.
Lasdi juga geram, kenapa perhatian teman-temannya hanya tertuju pada anaknya. Adakah bini-bini mereka sudah beberapa bulan malas memberikan belaian, hingga perilaku mereka seperti cacing kepanasan. Tidak hanya itu. Ia bingung bercampur heran, ketika anaknya dipanggil dengan sebutan Lisa.
Seusai punggung tangannya dikecup oleh Dewi, sebagai tanda pamit anak kepada ayahnya, Lasdi buru-buru menggenjot becaknya, kembali menuju tempat di mana ia dulu menunggu penumpang. Dari tadi kepalanya digedor-gedor sebongkah pertanyaan yang terus-terusan mengganggu, “kenapa anakku dipanggil Lisa?”. Meski ada perasaan jengkel setengah mati sebab kekurangajaran teman-temannya, pikirannya lebih terbebani dengan satu nama yang begitu asing didengarnya itu.
“Hai Lasdi, lama kau tidak ke sini. Ke mana saja?”
Jupri menyapanya lebih dulu, sebelum Lasdi mencongkel pertanyaan yang mengendap di batok kepalanya.
“Di rumah. Tadi……”
Belum sempat Lasdi menggenapi kalimatnya, tiba-tiba dipotong seenaknya oleh Yanto, tanpa menunjukkan rasa salah sedikit pun, “kau dapat pekerjaan baru? Hei, ngomong-ngomong, kok bisa-bisanya kau merayu Lisa naik becakmu?”
Sepasang alis Lasdi mengait. Berang, sehabis ia menangkap ucapan lelaki paruh baya yang di matanya berubah menjadi kera itu. Tapi, ia masih punya cukup kekuatan guna mengontrol dirinya yang terlihat limbung. Dan, pertanyaan di otaknya kian berganda.
“Maksudmu?” Lasdi balik menginterogasi.
“Ya, Lisa. Kau belum mengenalnya? O, ya aku lupa. Kau sudah tidak di sini ketika pertama kali Lisa bekerja. Ia primadona para pejabat, lho. Makanya, kita tak pernah bisa membujuknya naik becak. Ia lebih suka pulang pakai ojek atau taksi. Katanya gengsi naik becak.”
Lasdi semakin karut dengan ucapan Yanto. Ketika lipatan di keningnya bertambah, Hari menimbrung, “Lisa memang jadi pilihan orang-orang yang punya uang. Mustahil, ia mau melayani tukang becak kayak kita, kecuali kita mampu membayarnya.”
“Jadi Lisa itu……”
“Pelacur! Ibunya dulu pergi ke Malaysia, tapi tak pulang-pulang. Ia sekarang jadi begitu, mungkin lantaran tak ada uang buat makan. Kalau ayahnya, e… ke mana ya? Kasihan gadis cantik sepertinya harus jadi….”
“Sudah, sudah!” Lasdi enggan memperpanjang pembicaraan. Menggenjot becaknya, ia ngacir pulang.
Teman-temannya menatapnya keheranan.
***
Dua minggu Lasdi memendam gelisah. Terlanjur ia mempersilakan anaknya mengais rezeki dengan cara apa saja, asalkan tetap bertahan di desa. Ia menyesal. Sungguh menyesal. Barang tentu ini bukan kabar baik yang jika Wardah mengetahui, orang pertama kali yang berhak disalahkan yaitu Lasdi; ayah yang kurang mengerti bagaimana cara mendidik anak. Meskipun demikian, ia tetap menunjukkan perangai seperti sedia kala.
Dua minggu pula Dewi menjauhi rokok. Itu artinya, Dewi tidak sedang gembira. Atau lebih tepatnya, ia tengah bersedih. Rupanya, ia mampu membaca kegelisahan yang hinggap di hati sang ayah. Akan tetapi, perihal mengapa perasaan ayahnya bisa demikian, ia tidak pernah tahu, dan enggan menanyakan langsung.
Setelah beberapa lama menahan gejolak jiwanya, akhirnya pendirian Lasdi goyah. Ini kali ia melanggar janjinya kepada Dewi; uang simpanan yang sudah mencapai empat juta lebih digunakannya berjudi dan membeli empat botol tuak. Malam itu, ia teler bersama Gimin, Karjo dan Diran. Tak lupa pula ia mampir ke losmen mungil dekat stasiun. Di sanalah tempat para lelaki membunuh sepi.
Menanti antrian hampir satu jam, tibalah kini giliran Lasdi. Dibukanya pintu kamar perlahan-lahan. Dan, di atas ranjang tergolek gadis berambut sebahu dengan sehelai kain menempel di dada dan pangkal pahanya tengah siap mengalirkan sentuhan hangat kepadanya.
Gadis itu tertegun hingga tiada sepatah kata pun merembes dari katup mulutnya. Adapun Lasdi, lelaki dengan beberapa uban di atas kupingnya itu, membisikkan kalimat sok mesra, “Lisa, temani aku semalam saja…..”


Yogyakarta, 2012

Polisi dalam Lirikan Puisi (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 22 Februari 2015)

Kronik Puisi, Kronik Polisi
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, sindrom kegalauan berhasil menyerang tubuh para penyair, sehingga mereka menulis puisi dengan nada kegelisahan yang tinggi. Sebaliknya, ulah oknum polisi yang kurang bertanggungjawab membuahkan kegelisahan-kegelisahan masyarakat. Oleh dasar itulah, jika dicermati, terdapat hubungan erat antara kronik riwayat puisi dengan kronik perjalanan polisi.
Pertama, kronik penulisan puisi di Indonesia menunjukkan bahwa tema sosial menduduki rating tinggi dan menjadi pilihan logis bagi kalangan penyair dalam mengelola imajinasi. Dengan menganggit puisi, mereka dengan lantang ingin meneriakkan bahwa di negeri ini masih banyak ketimpangan. Bermodal puisi, masyarakat diajak untuk mengkritisi disekuilibrium-disekuilibrium yang menyelinap dalam alur kehidupan. Dan, rupanya, pembicaraan latah mengenai polisi merupakan salah satunya.  
Kedua, kronik perjalanan polisi tidak bisa terlepas dari gejolak antara aparat dan rakyat kecil. Gejolak tersebut muncul di antaranya karena ketidakberdayaan rakyat kecil menghadapi kesewenang-wenangan polisi. Sistem yang berjalan di negeri ini sepertinya menempatkan rakyat kecil pada pihak ‘yang dikuasai’, sedangkan polisi selaku ‘yang menguasai’. Akibatnya, rakyat kecil mau tidak mau harus bersedia menjadi obyek kezaliman aparat. Terkait hal ini, ada tiga contoh kasus menarik.
Kasus pertama, pada tahun 1970-an Sengkon dan Karta terpaksa menjalani pidana penjara bertahun-tahun atas kejahatan pembunuhan yang tidak mereka kerjakan. Ternyata keduanya mendekam satu sel dengan pembunuh yang asli. Singkat cerita, saat Sengkon sekarat, seorang narapidana bernama Gunel menaruh kasihan. Merasa berdosa, Gunel meminta maaf kepada Sengkon lalu mengakui bahwa dirinya bersama teman-temannyalah yang telah membunuh Sulaiman dan Siti Haya. Hal ini terjadi lantaran ulah polisi yang salah tangkap.
Kasus kedua, penangkapan polisi atas Mbok Minah (55) asal Banyumas, hanya karena mencuri tiga buah kakao dengan harga tidak lebih dari Rp 10.000. Nenek tersebut akhirnya terkena vonis pada 2009.
Kasus ketiga, di akhir tahun 2011 kasus AAL mencuat karena dituduh oknum polisi mencuri sandal. Sesuai pasal 362 KUHP tentang pencurian, ia terancam kurungan maksimal lima tahun penjara. Lantas putusan hakim menyatakan AAL bersalah namun tidak dijatuhi hukuman. Akhirnya ia dikembalikan kepada orang tua. Putusan pengadilan ini dinilai Komnas Perlindungan Anak menciderai rasa keadilan.
Sebab keberingasan tersebutlah, tak ayal, jika rakyat kecil menganggap bahwa aparat tak ubahnya hantu bertampang seram sekaligus menakutkan.

Mencecar Polisi Melalui Puisi
Adanya hubungan antara dua kronik (kronik puisi-kronik polisi) di atas, ternyata memantik para penyair untuk mengambil jalan tengah. Kegelisahan-kegelisahan masyarakat atas tindakan polisi sebisanya ditampung dalam puisi.
Dengan semangat berlipat-lipat, para penyair menyuarakan kegelisahan tersebut ke ruang publik. Mereka menggunakan puisi dalam ikhtiar ‘mengingatkan’ polisi. Bagaimana pun juga, polisi membutuhkan entitas dari luar yang peduli terhadap masa depan polisi. Dalam peran inilah puisi memosisikan diri. Puisi menjadi alternatif terbaik dalam melancarkan kritik terhadap kinerja polisi.
Dengan tabiatnya yang lembut, diharapkan puisi mampu menyelipkan saran demi perbaikan kiprah penegak hukum di masa mendatang. Tak jarang, kritik yang disampaikan dengan cara lembut santun akan lebih mudah diterima dengan lapang dada.  
Kegelisahan-kegelisahan dalam puisi biasanya dibungkus dengan ungkapan yang tersirat. Akan tetapi, tak jarang juga ditampilkan secara terang-terangan. Misalnya puisi Sahlul Fuad berjudul Umrah dalam 33 Puisi Dusta (Miring, 2011): Tuhan, kami menang tender usaha/ Ke rumah-Mu kami bersilaturahmi/ Kami bawakan Engkau sekeranjang dosa/ Agar kami tak terendus polisi.
Dalam puisi di atas, penyair menempatkan polisi selaku pihak yang ditakuti. Saking takutnya, uang yang dihasilkan dari tender (diduga tender gelap) justru dipakai pergi ke rumah Tuhan—dalam bentuk ibadah Umrah—, demi menghindari kejaran polisi.
Meskipun bersifat parodi, pesan yang coba disampaikan puisi tersebut bisa ditangkap. Penyair ingin menegaskan bahwa terdapat ketakutan luar biasa yang menimpa rakyat kecil ketika menghadapi polisi, sehingga apabila bertemu dengan polisi, sama saja memergoki drakula dengan taring yang menyeringai.
Selain itu, polisi juga pernah digambarkan sebagai sosok yang lemah. Potongan puisi Jante Arkidam buah pena Ajip Rosidi (Tjari Muatan, 1959) menunjukkan hal tersebut: Mantri Polisi lihat kemari!/ Bakar meja judi dengan uangku sepenuh saku//. Kata Jante berapi-api. Seorang jagoan, buronan polisi, penjudi, peminum kelas berat, yang diangkat dari khasanah critera rakyat tersebut seenak perutnya menyuruh polisi untuk membakar meja judi. Padahal, umumnya seseorang yang tertangkap basah oleh polisi ketika berjudi, ia akan memilih lari terbirit-birit.
Tak berhenti di situ. Jante menantang, berkata lantang: ‘Aku, akulah Jante Arkidam/ Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya batang pisang/ Tajam tanganku lelancip gobang/ Telah kulipat ruji besi.
Sama sekali Jante tak gentar menghadapi polisi. Sambil bermaksud menghina, ia menenggak tuak, lalu mendengkur di depan polisi. Hal ini diungkapkan dalam tiga baris: Jante masih menari berselempang selendang/ Diteguknya sloki kesembilan likur/ Waktu mentari bangun, Jante tertidur.
Nyali Jante enggan surut ketika diancam bakal dijebloskan ke penjara Nusa Kambangan: ‘Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan!’//
Bahkan ketika mendengar gertakan, Jante malah menjawab sekenanya, dan kembali ia meluncurkan cemoohan: ‘Mantri polisi, tindakanmu betina punya!//
Akan tetapi, kenekatan Jante diimbangi dengan kemampuannya menundukkan polisi. Ketika jagoan dari daerah Sunda itu dibui, ternyata ia dapat dengan mudah merusak jeruji besi, kabur dan menghabisi polisi serta memebenamkan mayatnya ke dalam sungai: Sebelum habis hari pertama/ Jante pilin ruji penjara/ Dia minggat meniti cahya// Sebelum tiba malam pertama/ Terbenam tubuh mantra polisi di dasar kali//.
Melalui puisi, penyair menunjukkan ketidakberdayaan polisi dalam meringkus penjahat.
Namun demikian, ada juga puisi yang justru melekatkan image positif pada diri polisi. Bagaimana pun juga, polisi layak memperoleh apresiasi setinggi-tingginya atas segala usaha yang telah dilakukan. Dalam buku puisi Anak Mencari Tuhan, yang dikemas satu paket dengan Pertempuran Rahasia karangan Triyanto Triwikromo (Gramedia Pustaka Utama, 2010), Nugroho Suksmanto menaruh harapan besar kepada polisi. Hal itu dituturkannya dalam puisi bertajuk Pak Polisi:
Pak Polisi,/ Kaulah pahlawanku/ Mengatur lalu lintas di persimpangan/ Menuntun kawan-kawan menyeberang jalan/ Menangkap pencuri, menumpas perampokan/ Mengungkap pembunuhan, mengejar pelaku pengeboman/ Menjebak pengedar narkoba, membongkar penyelundupan//.
Bahkan, sampai dalam tataran tertentu, polisi tetap berhak memperoleh kepercayaan dari segenap masyarakat. Kepada polisi informasi mengenai profil penjahat bisa dilacak, sehingga seseorang bisa selalu mawas diri. Yudhistira ANM Massardi, dengan langgamnya yang mbeling dan ‘bermain-main’, menulisnya dalam puisi Biarin! (1974): Kalau kamu nggak suka kepadaku sebab itu aku rampok hati kamu./ Tokh nggak ada yang nggak perampok di dunia ini/ Iya nggak? Kalau nggak percaya, tanya saja sama polisi//.
Demikianlah. Dengan adanya kritik serta ‘pekik penyemangat’ yang digencarkan puisi, diharapkan polisi lekas berbenah diri, sehingga tiga tugas utama polisi: melayani masyarakat, melindungi masyarakat, serta menegakkan hukum, bisa terlaksana dengan baik. Semoga!

Yogyakarta, 2012