Selasa, 31 Maret 2015

Buku dan Radikalisme Agama (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 29 Maret 2015)

Materi kontroversial dalam buku Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Budi Pekerti kelas XI tingkat SMA perlu dikaji ulang. Pasalnya, pada halaman 78, buku terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tersebut menyatakan bahwa pembunuhan terhadap orang yang menyembah selain Allah, atau musyrik, boleh dilakukan.
Fakta di atas mengindikasikan bahwa kampanye anti radikalisme agama yang tengah didengung-dengungkan oleh pemerintah dan sebagian besar masyarakat mengalami anti-klimaks. Hal ini dikarenakan upaya serius dalam membendung ideologi berbasis kekerasan sedang mengalami penggembosan.
Ditinjau dari sisi historisnya, radikalisme agama merupakan kelanjutan dari menguatnya fundamentalisme. Dalam konteks ini, gerakan keagamaan yang terjadi di Indonesia merupakan realisasi dari sikap fanatisme, yang mencerminkan rasa kebersamaan dan solidaritas kelompok sebagai pemeluk suatu agama. Pada akhirnya, ketika berhadapan dengan kelompok lain, sikap ini bergeser ke dalam bentuk radikalisme dan militanisme (LIPI, 2005).
Di Indonesia, radikalisme dan militanisme diwujudkan dengan beragam tindakan. Di antaranya dengan merobohkan rumah-rumah peribadatan agama lain; membubarkan sejumlah kegiatan yang terindikasi maksiat; serta merampas brendi, cognac, wiski, vodka, liquer, wine, sampanye, bir, atau miras oplosan di kafe-kafe dan warung remang-remang.
Sebab mengalami kejenuhan dengan cara-cara yang dianggap ‘mainstream’ inilah, kelompok fundamentalis-radikal mulai menempuh cara baru, yaitu dengan menyisipkan teks-teks dalam buku. Bagi mereka, buku menjadi sarana efektif dalam meluapkan beragam ekspresi.
Pertama, buku menjadi ekspresi ketidakpuasan terhadap sistem demokrasi yang bersifat sekuler, di mana dalam penyelenggaraan negara, agama tidak mendapatkan ruang. Mengutip Rumadi (2006), demokrasi yang menempatkan suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei) dianggap telah mensubsordinasi Tuhan. Ketidakpuasan inilah yang menyebabkan kelompok fundamentalis-radikal memanfaatkan buku sebagai sarana memperjuangkan aspirasi politik mereka.
Kedua, buku merupakan ekspresi dari kekecewaan terhadap kebobrokan sistem sosial akibat ketidakmampuan negara dalam mengatur kehidupan masyarakat secara religius. Fakta ini menginisiasi kelompok fundamentalis-radikal untuk melakukan upaya islamisasi buku, baik yang dikonsumsi oleh siswa, mahasiswa, mapun masyarakat umum. Jika sementara ini, upaya radikalisme agama baru ditemukan dalam buku Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Budi Pekerti kelas XI tingkat SMA, maka bisa jadi upaya tersebut juga ditemukan di buku-buku lainnya.
Ketiga, buku mewakili ekspresi atas ketidakadilan politik. Di Indonesia, perbedaan sering kali dipolitisir, sehingga suatu kelompok merasakan adanya perlakuan tidak adil oleh kelompok lain. Perlakuan diskriminatif seperti ini memunculkan primordialisme yang ditampilkan secara vulgar menjadi suatu identitas. Dalam konteks inilah, kelompok fundamentalis-radikal menghalalkan gerakan pemberontakan dan perlawanan atas nama agama, salah satunya dengan buku.
Fenomena buku sebagai bagian dari strategi para fundamentalis-radikal harus mendapat perhatian, sebab ancaman pendangkalan agama berada di depan mata. Apalagi, mengutip Jawa Pos (22/03), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mendeteksi adanya sembilan ribu situs yang mengandung paham radikal. Oleh dasar itulah, sudah semestinya penangkalan terhadap bahaya radikalisme menjadi materi yang diajarkan kepada para siswa. Para siswa harus paham bahwa radikalisme tidak menjadikan agama semakin digandrungi, melainkan justru ditakuti. Dengan radikalisme, orang-orang tidak akan berduyun-duyun memeluk agama Islam, bahkan menjauhinya. Bagaimana pun juga, kekerasan atas nama agama tidak akan memunculkan simpati, melainkan fobia.
Sebagai pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, guru harus memosisikan diri sebagai tameng terhadap ‘tombak radikalisme’ yang tengah dilesatkan oleh kelompok tertentu. Para siswa harus diberitahu bahwa gerakan terorisme yang akhir-akhir ini kian meresahkan merupakan aksi orang-orang yang belum mengerti sepenuhnya tentang hakikat agama Islam. Siswa harus dipahamkan bahwa ulah ISIS yang memenggal leher manusia tanpa rasa penyesalan sedikit pun adalah penyimpangan yang tentu saja tidak boleh dibenarkan.
Kepada para siswa, guru harus menyampaikan bahwa konsep rahmatan lil ‘alamin tidak mungkin terwujud jika kasus-kasus kekerasan atas nama agama masih menjamur. Dengan demikian, radikalisme hanya akan menjadi bumerang bagi agama Islam yang senantiasa memerintahkan umatnya untuk menyebarkan ‘virus’ kasih sayang.
Di samping itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga dituntut lebih selektif terhadap naskah dan materi yang diajarkan kepada para siswa. Jangan sampai buku menjadi senjata mematikan bagi para militan, sehingga sekolah sebagai tempat penyemaian benih-benih pendidikan berkarakter berubah menjadi sarang radikalisme agama.


Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar