Minggu, 01 Maret 2015

Lisa (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Merapi" edisi Minggu, 1 Maret 2015)

Dewi menghisap rokok dalam-dalam. Sepemakan sirih kemudian dari lubang mulutnya mengepul asap bulat. Hari itu ia merayakan keberhasilannya sehabis membuat orang yang paling dekat di hatinya menaruh bangga atas apa yang dikerjakan.
Ayahnya, Lasdi, tukang becak yang sakit-sakitan itu, tidak perlu capai-capai mencari uang. Ya, ia menggelesot santai di kolong pohon nangka, setelah diberi tujuh lembar rupiah berwarna merah menyala oleh Dewi. Seharusnya pada saat seperti itu, ia duduk berselonjor sambil menikmati kretek murah yang disambar dari toko Mbok Ijah. Tapi, tidak. Beberapa bulan lalu, Dewi menyuruhnya berhenti dari kebiasaan itu ketika berhari-hari batuknya membabibuta dan dikhawatirkan mengidap penyakit paru-paru.  
Ketika menerima uang, ia tak mengucapkan apa-apa, kecuali terima kasih karena Dewi telah memperhatikan dirinya yang semakin uzur.
Cuma terima kasih?
Benar. Sama sekali ia tak pernah mempermasalahkan Dewi yang kerap pulang larut malam dan gemar menyulut rokok untuk dijepit di bibirnya. Dan, waktu itu, Lasdi tahu bahwa asap bulat yang menyembul dari jendela itu berasal dari bibir anaknya. Ia juga paham, jika menyemburkan asap, itu berarti hati Dewi tengah mengayuh gembira.
***
Tengah malam, Lasdi memandangi Dewi yang terlelap di depan televisi. Mengamati wajahnya, otaknya memutar potret Wardah seketika. Saat itulah dua matanya berkaca-kaca. Selalu saja ia meratap, kenapa sepuluh tahun silam, ia mengizinkan istrinya merantau ke Malaysia, guna berburu uang.
Tak bosan-bosannya ia berpesan pada Dewi untuk tetap tinggal di desa, separah apa pun kondisi ekonominya. Anak satu-satunya itu boleh bekerja apa saja, asal tidak merantau ke kota, atau malah ke luar negeri. Lasdi tidak ingin kehilangan untuk kedua kali setelah istrinya raib. Menyikapi penderitaan ini, ia hanya melanting senyum ketika teman-teman atau tetangganya bersoal mengenai Wardah, seolah-olah tidak terjadi apa-apa pada istrinya itu. Ia selalu menutupi agar berita hilangnya Wardah tidak diendus oleh orang lain selain Dewi, juga beberapa kerabat dekatnya. Itulah mengapa, ketika didesak menggelar hajatan, mengirim doa bersama supaya Wardah kembali pulang, ia menolak. Yakin, kalau menelan kabar itu, pastilah teman-temannya mengimbuhi dengan omongan miring yang mudah membikin panas telinga.
Genap sebulan ia tidak lagi bekerja. Genap sebulan pula, Dewilah yang menggantikan posisinya dalam mencari nafkah. Lasdi membayangkan, alangkah payahnya anaknya itu, yang telah memeras peluh seharian; berangkat pagi buta dan pulang ketika langit berganti muka. Sebenarnya ingin sekali ia memijit punggung Dewi; hal serupa yang dulu diperbuat Wardah kepadanya ketika ia pulang dari bekerja. Namun, terpaksa ia tahan. Ia tak mau lantaran sentuhan jari-jarinya, Dewi lantas terbangun dari dengkurnya.
Di hadapan Dewi yang tidur, Lasdi berjanji akan menggunakan uang pemberian itu dengan sebaik-baiknya. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk menghindarkan diri dari judi buntut, yang rutin diikuti oleh teman-temannya sesama tukang becak. Juga tuak, minuman favorit para kuli bangunan yang baru mendapat bayaran.
***
Dewi dan Lasdi, keduanya, keluar rumah bersama. Sengaja Lasdi mengantar anaknya dengan becak. Lasdi mengotot agar anaknya bersedia diantar. Dewi menyanggupi dengan syarat ayahnya lain kali tidak melakukan hal yang sama. Ia lebih suka memanfaatkan jasa tukang ojek, agar ayahnya bisa istirahat saja di rumah.
Pagi dengan matahari yang malu-malu, masih bersembunyi itu, selain menemani anaknya sampai stasiun, Lasdi juga bermaksud menyambangi teman-temannya yang mangkal tidak jauh dari sana. Terus terang, ia kangen berat dengan mereka. Ingin sekali mendengarkan ocehan dan bahan tertawaan khas tukang becak, yang langka diperoleh di mana pun dan kapan pun.
Ketika lewat di depan kerumunan tukang becak, Lasdi menyapa mereka sambil menyunggingkan senyum. Mendapati Lasdi bersama gadis cantik, mereka langsung memanggil-manggil Dewi, tanpa menghiraukan sedikit pun sapaan Lasdi. Juga ada yang bersiul-siul dan bertepuk tangan. Sebagian lainnya memilih memandangi anaknya dengan pandangan penuh nafsu.
Wajah Lasdi mengerut. Sebetulnya ia agak tersinggung melihat ulah mereka. Apakah seperti halnya dirinya, segerombolan orang itu juga tidak pernah mengenyam pendidikan, hingga tingkah laku mereka jauh dari sopan. Apalagi, Dimo, salah satu temannya, sempat berkata jorok pada Dewi.
Lasdi juga geram, kenapa perhatian teman-temannya hanya tertuju pada anaknya. Adakah bini-bini mereka sudah beberapa bulan malas memberikan belaian, hingga perilaku mereka seperti cacing kepanasan. Tidak hanya itu. Ia bingung bercampur heran, ketika anaknya dipanggil dengan sebutan Lisa.
Seusai punggung tangannya dikecup oleh Dewi, sebagai tanda pamit anak kepada ayahnya, Lasdi buru-buru menggenjot becaknya, kembali menuju tempat di mana ia dulu menunggu penumpang. Dari tadi kepalanya digedor-gedor sebongkah pertanyaan yang terus-terusan mengganggu, “kenapa anakku dipanggil Lisa?”. Meski ada perasaan jengkel setengah mati sebab kekurangajaran teman-temannya, pikirannya lebih terbebani dengan satu nama yang begitu asing didengarnya itu.
“Hai Lasdi, lama kau tidak ke sini. Ke mana saja?”
Jupri menyapanya lebih dulu, sebelum Lasdi mencongkel pertanyaan yang mengendap di batok kepalanya.
“Di rumah. Tadi……”
Belum sempat Lasdi menggenapi kalimatnya, tiba-tiba dipotong seenaknya oleh Yanto, tanpa menunjukkan rasa salah sedikit pun, “kau dapat pekerjaan baru? Hei, ngomong-ngomong, kok bisa-bisanya kau merayu Lisa naik becakmu?”
Sepasang alis Lasdi mengait. Berang, sehabis ia menangkap ucapan lelaki paruh baya yang di matanya berubah menjadi kera itu. Tapi, ia masih punya cukup kekuatan guna mengontrol dirinya yang terlihat limbung. Dan, pertanyaan di otaknya kian berganda.
“Maksudmu?” Lasdi balik menginterogasi.
“Ya, Lisa. Kau belum mengenalnya? O, ya aku lupa. Kau sudah tidak di sini ketika pertama kali Lisa bekerja. Ia primadona para pejabat, lho. Makanya, kita tak pernah bisa membujuknya naik becak. Ia lebih suka pulang pakai ojek atau taksi. Katanya gengsi naik becak.”
Lasdi semakin karut dengan ucapan Yanto. Ketika lipatan di keningnya bertambah, Hari menimbrung, “Lisa memang jadi pilihan orang-orang yang punya uang. Mustahil, ia mau melayani tukang becak kayak kita, kecuali kita mampu membayarnya.”
“Jadi Lisa itu……”
“Pelacur! Ibunya dulu pergi ke Malaysia, tapi tak pulang-pulang. Ia sekarang jadi begitu, mungkin lantaran tak ada uang buat makan. Kalau ayahnya, e… ke mana ya? Kasihan gadis cantik sepertinya harus jadi….”
“Sudah, sudah!” Lasdi enggan memperpanjang pembicaraan. Menggenjot becaknya, ia ngacir pulang.
Teman-temannya menatapnya keheranan.
***
Dua minggu Lasdi memendam gelisah. Terlanjur ia mempersilakan anaknya mengais rezeki dengan cara apa saja, asalkan tetap bertahan di desa. Ia menyesal. Sungguh menyesal. Barang tentu ini bukan kabar baik yang jika Wardah mengetahui, orang pertama kali yang berhak disalahkan yaitu Lasdi; ayah yang kurang mengerti bagaimana cara mendidik anak. Meskipun demikian, ia tetap menunjukkan perangai seperti sedia kala.
Dua minggu pula Dewi menjauhi rokok. Itu artinya, Dewi tidak sedang gembira. Atau lebih tepatnya, ia tengah bersedih. Rupanya, ia mampu membaca kegelisahan yang hinggap di hati sang ayah. Akan tetapi, perihal mengapa perasaan ayahnya bisa demikian, ia tidak pernah tahu, dan enggan menanyakan langsung.
Setelah beberapa lama menahan gejolak jiwanya, akhirnya pendirian Lasdi goyah. Ini kali ia melanggar janjinya kepada Dewi; uang simpanan yang sudah mencapai empat juta lebih digunakannya berjudi dan membeli empat botol tuak. Malam itu, ia teler bersama Gimin, Karjo dan Diran. Tak lupa pula ia mampir ke losmen mungil dekat stasiun. Di sanalah tempat para lelaki membunuh sepi.
Menanti antrian hampir satu jam, tibalah kini giliran Lasdi. Dibukanya pintu kamar perlahan-lahan. Dan, di atas ranjang tergolek gadis berambut sebahu dengan sehelai kain menempel di dada dan pangkal pahanya tengah siap mengalirkan sentuhan hangat kepadanya.
Gadis itu tertegun hingga tiada sepatah kata pun merembes dari katup mulutnya. Adapun Lasdi, lelaki dengan beberapa uban di atas kupingnya itu, membisikkan kalimat sok mesra, “Lisa, temani aku semalam saja…..”


Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar