Minggu, 01 Maret 2015

Polisi dalam Lirikan Puisi (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 22 Februari 2015)

Kronik Puisi, Kronik Polisi
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, sindrom kegalauan berhasil menyerang tubuh para penyair, sehingga mereka menulis puisi dengan nada kegelisahan yang tinggi. Sebaliknya, ulah oknum polisi yang kurang bertanggungjawab membuahkan kegelisahan-kegelisahan masyarakat. Oleh dasar itulah, jika dicermati, terdapat hubungan erat antara kronik riwayat puisi dengan kronik perjalanan polisi.
Pertama, kronik penulisan puisi di Indonesia menunjukkan bahwa tema sosial menduduki rating tinggi dan menjadi pilihan logis bagi kalangan penyair dalam mengelola imajinasi. Dengan menganggit puisi, mereka dengan lantang ingin meneriakkan bahwa di negeri ini masih banyak ketimpangan. Bermodal puisi, masyarakat diajak untuk mengkritisi disekuilibrium-disekuilibrium yang menyelinap dalam alur kehidupan. Dan, rupanya, pembicaraan latah mengenai polisi merupakan salah satunya.  
Kedua, kronik perjalanan polisi tidak bisa terlepas dari gejolak antara aparat dan rakyat kecil. Gejolak tersebut muncul di antaranya karena ketidakberdayaan rakyat kecil menghadapi kesewenang-wenangan polisi. Sistem yang berjalan di negeri ini sepertinya menempatkan rakyat kecil pada pihak ‘yang dikuasai’, sedangkan polisi selaku ‘yang menguasai’. Akibatnya, rakyat kecil mau tidak mau harus bersedia menjadi obyek kezaliman aparat. Terkait hal ini, ada tiga contoh kasus menarik.
Kasus pertama, pada tahun 1970-an Sengkon dan Karta terpaksa menjalani pidana penjara bertahun-tahun atas kejahatan pembunuhan yang tidak mereka kerjakan. Ternyata keduanya mendekam satu sel dengan pembunuh yang asli. Singkat cerita, saat Sengkon sekarat, seorang narapidana bernama Gunel menaruh kasihan. Merasa berdosa, Gunel meminta maaf kepada Sengkon lalu mengakui bahwa dirinya bersama teman-temannyalah yang telah membunuh Sulaiman dan Siti Haya. Hal ini terjadi lantaran ulah polisi yang salah tangkap.
Kasus kedua, penangkapan polisi atas Mbok Minah (55) asal Banyumas, hanya karena mencuri tiga buah kakao dengan harga tidak lebih dari Rp 10.000. Nenek tersebut akhirnya terkena vonis pada 2009.
Kasus ketiga, di akhir tahun 2011 kasus AAL mencuat karena dituduh oknum polisi mencuri sandal. Sesuai pasal 362 KUHP tentang pencurian, ia terancam kurungan maksimal lima tahun penjara. Lantas putusan hakim menyatakan AAL bersalah namun tidak dijatuhi hukuman. Akhirnya ia dikembalikan kepada orang tua. Putusan pengadilan ini dinilai Komnas Perlindungan Anak menciderai rasa keadilan.
Sebab keberingasan tersebutlah, tak ayal, jika rakyat kecil menganggap bahwa aparat tak ubahnya hantu bertampang seram sekaligus menakutkan.

Mencecar Polisi Melalui Puisi
Adanya hubungan antara dua kronik (kronik puisi-kronik polisi) di atas, ternyata memantik para penyair untuk mengambil jalan tengah. Kegelisahan-kegelisahan masyarakat atas tindakan polisi sebisanya ditampung dalam puisi.
Dengan semangat berlipat-lipat, para penyair menyuarakan kegelisahan tersebut ke ruang publik. Mereka menggunakan puisi dalam ikhtiar ‘mengingatkan’ polisi. Bagaimana pun juga, polisi membutuhkan entitas dari luar yang peduli terhadap masa depan polisi. Dalam peran inilah puisi memosisikan diri. Puisi menjadi alternatif terbaik dalam melancarkan kritik terhadap kinerja polisi.
Dengan tabiatnya yang lembut, diharapkan puisi mampu menyelipkan saran demi perbaikan kiprah penegak hukum di masa mendatang. Tak jarang, kritik yang disampaikan dengan cara lembut santun akan lebih mudah diterima dengan lapang dada.  
Kegelisahan-kegelisahan dalam puisi biasanya dibungkus dengan ungkapan yang tersirat. Akan tetapi, tak jarang juga ditampilkan secara terang-terangan. Misalnya puisi Sahlul Fuad berjudul Umrah dalam 33 Puisi Dusta (Miring, 2011): Tuhan, kami menang tender usaha/ Ke rumah-Mu kami bersilaturahmi/ Kami bawakan Engkau sekeranjang dosa/ Agar kami tak terendus polisi.
Dalam puisi di atas, penyair menempatkan polisi selaku pihak yang ditakuti. Saking takutnya, uang yang dihasilkan dari tender (diduga tender gelap) justru dipakai pergi ke rumah Tuhan—dalam bentuk ibadah Umrah—, demi menghindari kejaran polisi.
Meskipun bersifat parodi, pesan yang coba disampaikan puisi tersebut bisa ditangkap. Penyair ingin menegaskan bahwa terdapat ketakutan luar biasa yang menimpa rakyat kecil ketika menghadapi polisi, sehingga apabila bertemu dengan polisi, sama saja memergoki drakula dengan taring yang menyeringai.
Selain itu, polisi juga pernah digambarkan sebagai sosok yang lemah. Potongan puisi Jante Arkidam buah pena Ajip Rosidi (Tjari Muatan, 1959) menunjukkan hal tersebut: Mantri Polisi lihat kemari!/ Bakar meja judi dengan uangku sepenuh saku//. Kata Jante berapi-api. Seorang jagoan, buronan polisi, penjudi, peminum kelas berat, yang diangkat dari khasanah critera rakyat tersebut seenak perutnya menyuruh polisi untuk membakar meja judi. Padahal, umumnya seseorang yang tertangkap basah oleh polisi ketika berjudi, ia akan memilih lari terbirit-birit.
Tak berhenti di situ. Jante menantang, berkata lantang: ‘Aku, akulah Jante Arkidam/ Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya batang pisang/ Tajam tanganku lelancip gobang/ Telah kulipat ruji besi.
Sama sekali Jante tak gentar menghadapi polisi. Sambil bermaksud menghina, ia menenggak tuak, lalu mendengkur di depan polisi. Hal ini diungkapkan dalam tiga baris: Jante masih menari berselempang selendang/ Diteguknya sloki kesembilan likur/ Waktu mentari bangun, Jante tertidur.
Nyali Jante enggan surut ketika diancam bakal dijebloskan ke penjara Nusa Kambangan: ‘Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan!’//
Bahkan ketika mendengar gertakan, Jante malah menjawab sekenanya, dan kembali ia meluncurkan cemoohan: ‘Mantri polisi, tindakanmu betina punya!//
Akan tetapi, kenekatan Jante diimbangi dengan kemampuannya menundukkan polisi. Ketika jagoan dari daerah Sunda itu dibui, ternyata ia dapat dengan mudah merusak jeruji besi, kabur dan menghabisi polisi serta memebenamkan mayatnya ke dalam sungai: Sebelum habis hari pertama/ Jante pilin ruji penjara/ Dia minggat meniti cahya// Sebelum tiba malam pertama/ Terbenam tubuh mantra polisi di dasar kali//.
Melalui puisi, penyair menunjukkan ketidakberdayaan polisi dalam meringkus penjahat.
Namun demikian, ada juga puisi yang justru melekatkan image positif pada diri polisi. Bagaimana pun juga, polisi layak memperoleh apresiasi setinggi-tingginya atas segala usaha yang telah dilakukan. Dalam buku puisi Anak Mencari Tuhan, yang dikemas satu paket dengan Pertempuran Rahasia karangan Triyanto Triwikromo (Gramedia Pustaka Utama, 2010), Nugroho Suksmanto menaruh harapan besar kepada polisi. Hal itu dituturkannya dalam puisi bertajuk Pak Polisi:
Pak Polisi,/ Kaulah pahlawanku/ Mengatur lalu lintas di persimpangan/ Menuntun kawan-kawan menyeberang jalan/ Menangkap pencuri, menumpas perampokan/ Mengungkap pembunuhan, mengejar pelaku pengeboman/ Menjebak pengedar narkoba, membongkar penyelundupan//.
Bahkan, sampai dalam tataran tertentu, polisi tetap berhak memperoleh kepercayaan dari segenap masyarakat. Kepada polisi informasi mengenai profil penjahat bisa dilacak, sehingga seseorang bisa selalu mawas diri. Yudhistira ANM Massardi, dengan langgamnya yang mbeling dan ‘bermain-main’, menulisnya dalam puisi Biarin! (1974): Kalau kamu nggak suka kepadaku sebab itu aku rampok hati kamu./ Tokh nggak ada yang nggak perampok di dunia ini/ Iya nggak? Kalau nggak percaya, tanya saja sama polisi//.
Demikianlah. Dengan adanya kritik serta ‘pekik penyemangat’ yang digencarkan puisi, diharapkan polisi lekas berbenah diri, sehingga tiga tugas utama polisi: melayani masyarakat, melindungi masyarakat, serta menegakkan hukum, bisa terlaksana dengan baik. Semoga!

Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar