Rabu, 15 Februari 2017

Makam Tan Malaka dan Kesadaran Historis (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di "Indonesiana Tempo" edisi Selasa, 14 Februari 2017)



Berdasarkan pemberitaan Koran Tempo pada 23 Januari 2017, penolakan atas pemindahan makam Tan Malaka oleh warga Kabupaten Kediri kian menguat. Sikap ini diambil setelah Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, bermaksud memboyong makam pahlawan nasional tersebut ke tanah kelahirannya.
Apalagi, Pemerintah Kabupaten Kediri tengah memperbaiki makam Tan Malaka di lereng Gunung Wilis. Baru-baru ini, disediakan sebuah anak tangga berbahan semen guna memudahkan peziarah saat berkunjung ke makam yang berada di Desa Selopanggung tersebut. Pembangunan anak tangga ini menggantikan jalan setapak yang terjal dan licin yang menghubungkan jalan desa dengan makam.
Sambutan hangat, atensi, dan simpati ditunjukkan Warga Desa Selopanggung atas kegiatan renovasi. Bahkan, sebagai bentuk keseriusan merawat makam Tan Malaka, mereka berencana memperbaiki jalan desa yang masih becek bercampur tanah liat. Karena makamnya bersanding dengan punden pendiri desa sejak puluhan tahun silam, muncul kesadaran bahwa salah satu pencetus Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) tersebut merupakan leluhur desa.

Pahlawan Semi-Mitologis
Sikap Warga Desa Selopanggung menunjukkan bahwa Tan Malaka diyakini sebagai pahlawan semi-mitologis. Pahlawan ini selalu tersimpan di lubuk hati masyarakat dan tak pernah tergantikan. Menurut Mark R. Woodward (2008: 12), tokoh-tokoh utama dalam agama peribadatan Jawa adalah para raja dan pahlawan-pahlawan semi-mitologis masa silam. Kebanyakan ruh penjaga desa diyakini merupakan jiwa para raja, pangeran, dan wali-wali lokal.
Boleh jadi, sosok ini menggantikan tuan-tuan feodal sebagai fokus identitas desa tradisional. Pada era kerajaan dan pra-kolonial, masyarakat Jawa memandang prestise sosial melekat pada golongan feodal. Lantaran mewarisi gelar bangsawan atau menguasai tanah yang luas, mereka dianggap berstatus sosial tinggi dan layak dihormati. Faktor keturunan (gen) dan kepemilikan dijadikan sebagai dasar pembeda posisi sosial setiap orang di desa. Saat stratifikasi masyarakat Jawa yang cenderung feodalistis tidak lagi relevan, muncul sosok semi-mitologis ke permukaan.
Pemeliharaan makam Tan Malaka adalah wujud penghormatan dan pengabdian diri masyarakat kepada revolusioner yang gugur di Desa Selopanggung tersebut. Ia genap dikukuhkan sebagai bagian dari leluhur, nenek moyang, atau bahkan danyang (pendiri desa) yang dipercaya mengawasi sekaligus melindungi seluruh masyarakat yang bermukim di desa. Berdasarkan pendapat Soetarman Soediman Partonadi (2001: 14), komunitas desa tradisional kerap memunculkan mitos atau legenda yang mengisahkan sejarah para pendiri desa. Mereka adalah anggota keluarga kerajaan kuno yang genap meninggalkan kerajaan demi berkelana sebagai ksatria atau pertapa dan selanjutnya menetap di desa.

Wisata Sejarah
Melihat perhatian besar yang ditampilkan warga Desa Selopanggung atas kelestarian makam Tan Malaka, semestinya pemerintah desa segera merespons dengan meresmikannya sebagai kawasan wisata sejarah. Apalagi, sejak lokasi peristirahatan terakhir pejuang kemerdekaan tersebut dibuka untuk publik, sejumlah peziarah dari berbagai penjuru mulai berdatangan. Dalam konteks inilah, pemerintah desa berperan meneguhkan makam selaku lokus yang mengekalkan sumbangsih penggagas fondasi kebangsaan.
Barangkali, secara arsitektural, bangunan makam seseorang yang bernama lengkap Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka tersebut kurang istimewa. Akan tetapi, ia menjadi  “tinta emas” yang mengabadikan riwayat panjang perjalanan bangsa. Dalam taraf tertentu, makam pahlawan merupakan simbol kebudayaan, sendi peradaban, serta lambang kebesaran negeri ini di hadapan dunia internasional. Ia merekam jejak nasionalis dan patriotis sejati dalam upaya mengusir kaum penjajah. Makam pahlawan juga berkontribusi dalam perkembangan sejarah dan ilmu pengetahuan. Dari makam inilah, puing-puing peradaban nenek moyang bisa ditelusuri.
Bagi orang desa, makam pahlawan menjadi medium transformasi nilai-nilai luhur sekaligus penguat komunikasi dan interaksi sosial. Tradisi nyekar yang digelar di makam pahlawan dapat mempererat ikatan emosional warga desa, sehingga dalam perjalanannya, semua lapisan masyarakat mempunyai pola pikir historis (berkesadaran sejarah). Bagaimanapun, suksesnya penyelenggaraan pemerintahan desa tidak hanya diukur dari sejauh mana perangkat desa menjalankan tugas administratif serta memberikan pelayanan kepada masyarakat secara maksimal, melainkan juga prakarsanya dalam mengintrodusir nilai dan etos sejarah.
Menjadikan makam Tan Malaka sebagai kawasan wisata sejarah merupakan langkah strategis dalam memperluas cakrawala pengetahuan generasi muda tentang jasa para pahlawan. Upaya ini penting dilakukan demi menghindarkan mereka dari penyakit “buta sejarah”, di mana sejarah diandaikan sekadar bagian dari masa lalu (a thing of the past) yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan saat ini. Kawula muda seolah tidak membutuhkan “pengetahuan usang” yang menampung beragam kenangan dan romantisme masa silam. Akhirnya, sejarah hanya berada dalam domain peneliti, akademisi, dan sejarawan. Para mahasiswa bersedia mengorek sejarah saat mengerjakan tugas perkuliahan. Setelah kewajiban tersebut berhasil dirampungkan, mereka kembali meninggalkan dan mencampakkannya.
Padahal, dengan “melek sejarah”, niscaya karakter kebangsaan dalam diri warga negara mudah terbentuk. Dengan demikian, peluang ditegakkannya tiang negara-bangsa (nation-state) semakin terbuka lebar. Sebuah bangsa yang besar, mengutip Endang Suryadinata (2013), senantiasa mencurahkan apresiasi terhadap warisan sejarahnya. Kesadaran sejarah bangsa terbentuk dari ruang dan waktu, di mana pemahaman hakiki mengenai masa lalu berperan membangun titian masa depan.

Yogyakarta, 2017

Sabtu, 11 Februari 2017

Berburu Pemimpin Ideal (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Sabtu, 11 Februari 2017)



Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak digelar pada 15 Februari 2017. Pilkada gelombang kedua ini akan diikuti oleh 101 daerah yang terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota.
Saat pemilihan gubernur, bupati, dan walikota semakin dekat, masyarakat dituntut lebih cermat. Mereka harus mampu membedakan mana calon pemimpin yang bernafsu meraih popularitas sesaat dan mana yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Dalam menjatuhkan pilihan, mereka semestinya mengikuti rasionalitas. Menanggapi visi dan misi yang diusung, masyarakat mesti berpikir logis. Apakah target yang dijanjikan oleh calon pemimpin cukup realistis atau hanya isapan jempol belaka. Bagaimanapun, target yang terlalu tinggi berpeluang gagal diwujudkan.
Beberapa pakar kepemimpinan (leadership) berpandangan, kemunculan pemimpin besar adalah akumulasi dari waktu, tempat, dan situasi sesaat. Mumford (1909) menyatakan bahwa pemimpin lahir atas kemampuan dan keterampilan yang memungkinkannya memecahkan masalah sosial dalam keadaan tertekan, perubahan, dan adaptasi.

Kualitas Pengertian
Dalam “The 21 Indispensable Qualities of a Leader”, Maxwell (2000) menyebutkan, pemimpin besar mempunyai 21 kualitas. Salah satunya pengertian, kemampuan seorang pemimpin untuk menemukan akar persoalan berdasarkan intuisi serta nalar. Pengertian merupakan kualitas paling utama bagi pemimpin mana pun yang ingin memaksimalkan efektivitas dan kredibilitasnya.
Kualitas ini dapat membantu seorang pemimpin mengerjakan hal-hal penting. Pertama, menemukan akar persoalan. Pemimpin besar selalu mengatasi kekacauan serta kerumitan yang ada. Dengan mengandalkan pengertian, ia mengumpulkan banyak informasi guna memperoleh gambaran yang lengkap dan utuh tentang situasi sebenarnya. Sebagai contoh, dari data yang terkumpul, ia melihat bahwa sumber rendahnya produktivitas masyarakat adalah kemiskinan.
Kedua, meningkatkan kemampuan dalam mengatasi persoalan. Setelah mengetahui serta mengantisipasi persoalan yang dihadapi, pemimpin harus senantiasa mengasah potensinya. Ketika berhasil menekan angka kemiskinan, ia tidak boleh berpuas diri. Sebab, belum tentu cara yang dipakai bisa diterapkan pada keadaan yang lain. Menemukan beberapa “format” dapat membantunya dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan secara umum dan kontekstual. Situasi yang kerap berubah menuntut seorang pemimpin mencari berbagai alternatif guna memecahkan persoalan yang lebih variatif.
Ketiga, mengevaluasi berbagai pilihan demi memetik hasil yang maksimal. Dengan keberhasilannya menggali sejumlah solusi atas problem kemiskinan, pemimpin masih dibebani untuk mempertimbangkan segala risiko dan konsekuensi. Apakah yang ia tempuh menambah daya vitalitas masyarakat, atau justru membelenggu mereka dalam bayang-bayang status quo. Evaluasi sangat penting guna menunjukkan kinerja yang memuaskan.
Keempat, melipatgandakan kesempatan. Di tengah-tengah kesibukannya, seorang pemimpin seyogyanya berusaha memperoleh “suplemen” penguat perekonomian rakyat. Selain itu, ia juga harus berjiwa besar. Dalam menghadapi realitas, seorang pemimpin tidak boleh lengah sedikit pun. Ia dituntut selalu siaga dan waspada, karena seringkali cobaan datang secara tiba-tiba.

Tipologi Pemimpin
Sebelum menentukan pilihan, masyarakat selayaknya meraba apakah calon pemimpin genap memiliki kualitas pengertian dan terhindar dari kualitas kepahlawanan. Hal ini dikarenakan, kualitas pengertian mendambakan ketulusan. Sebaliknya, kualitas yang disebut terakhir menuntut timbal-balik. Pemimpin yang baik adalah mereka yang bersikap tulus dan menjauhkan diri dari sebutan pahlawan.
Atas dasar itulah, masyarakat harus mampu membedakan tipologi pemimpin dari segi kualitasnya. Pertama, pahlawan yang pengertian. Pemimpin tipe ini sanggup menghadapi segala bentuk problematika masyarakat. Akan tetapi, yang tidak disukai darinya adalah prinsip bahwa tak ada yang gratis di dunia ini. Semua perilaku dan perbuatannya meniscayakan imbalan. Baginya, teori balas jasa menjadi prioritas utama.
Kedua, pahlawan yang tidak pengertian. Pemimpin macam ini ingin menyelesaikan permasalahan publik sebaik mungkin. Sayangnya, kinerjanya kurang menyentuh akar persoalan, sehingga dampak yang dirasakan berjangka sementara. Selain itu, ia juga tak ingin usahanya bertepuk sebelah tangan. Atensi, simpati, serta apresiasi dari berbagai pihak senantiasa ia dambakan.
Ketiga, tidak pengertian dan tidak berjiwa pahlawan. Dalam taraf tertentu, ia cukup dicintai oleh rakyatnya. Pekerjaannya tulus demi mengabdikan diri pada kepentingan publik. Pemimpin bertipologi seperti ini tidak berharap balasan. Ia berkuasa demi dan hanya untuk rakyat. Ia berpendirian bahwa pemimpin adalah pelayan rakyat. Akan tetapi, kerja kerasnya kurang diimbangi dengan hasil yang dicapai karena jauh dari sumber persoalan.
Keempat, pengertian dan tidak berjiwa pahlawan. Dalam realitasnya, pemimpin ini sangat jarang ditemukan. Selain mengabaikan imbalan, ia juga dibekali kemampuan untuk menggali inti permasalahan yang membelit masyarakat.
Dari keempat tipologi di atas, yang tersebut terakhir sangat dinantikan oleh rakyat. Mereka merindukan pemimpin berkualitas pengertian dan mengesampingkan kepahlawanan. Dalam faktanya, betapa pun hebat seorang pahlawan, identitas yang terlanjur disematkan kepadanya sulit dibuktikan ketika ia berhasil menduduki kursi kekuasaan. Oleh karena itu, tak selayaknya jabatan gubernur, bupati, dan walikota diserahkan kepada pahlawan instan tak berkualitas pengertian.

Yogyakarta, 2017

Selasa, 07 Februari 2017

Nasionalisme Orang Desa (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Selasa, 7 Februari 2017)


Orang desa begitu menghormati dan menjunjung tinggi harkat martabat negara. Loyalitas terhadap hukum dan pemerintah tercermin dalam idiom desa mawa cara negara mawa tata (desa berjalan dengan adat istiadat, negara diatur dengan undang-undang). Demi negara, apa pun mereka korbankan.
Meskipun secara material mereka kerap dirugikan, tetapi rela karena kagem negara (untuk negara). Mereka yakin, kesetiaan terhadap pemerintah atau pamong praja bakal mengundang berkah. Pemerintah dianggap lembaga yang mampu memelihara dan mewujudkan tatanan sosial gemah ripah loh jinawi karta raharja (HM Nasruddin Anshoriy Ch, 2008: 31).
Muncul kebanggan tak terkira ketika orang desa mampu menyumbang tenaga, pikiran, bahkan materi. Perasaan inilah yang membuat mereka berlomba-lomba berderma demi kepentingan bersama. Sebaliknya, jika tak sanggup menghormat, penyesalan seakan tak pernah hilang. Dalam taraf tertentu, cita-cita dan kehendak kolektif melampui kemampuan orang-orang pedalaman. Mereka tetap berupaya menunjukkan dedikasi, meski terbatas.
Saat wilayah perdesaan masih dikungkung prinsip-prinsip kolektivitas, kepuasan spiritual kerap mengalahkan hasrat individual, sehingga perilaku orang desa jauh dari pamrih dan jumawa. Setiap berbuat baik, mereka tak mengharap balasan. Pikirannya fokus demi negara. Dengan demikian, sumbangsih dan jerih payah orang desa lebih diarahkan untuk meraih kebahagiaan hakiki. Mereka lebih ingin memberi daripada menerima. Prioritas utama bukanlah hak, tapi kewajiban selaku warga negara. Sikap seperti ini senantiasa diwariskan lintas generasi.
Dalam lakon pewayangan Sumantri Ngenger digambarkan loyalitas orang desa ke negara. Lakon ini mengisahkan Sumantri, seorang anak desa, berhasrat mengabdikan diri pada Keraton Maespati di bawah pemerintahan Prabu Arjuna Sasrabahu. Dia menghadapi dilema saat harus memilih berkhidmat pada negara atau mengorbankan sang adik, Sukrosono. Dia memutuskan memilih Negara dan merelakan nyawa saudaranya. Sumantri Ngenger membawa pengaruh luar biasa bagi jalan pikiran sebagian besar orang desa. Urusan negara lebih penting dari keluarga (HM Nasruddin Anshoriy Ch, 2008: 32).
Sejak masa kerajaan, loyalitas orang desa terhadap negara tak diragukan. Mereka tidak pernah membangkang titah raja. Wujud berbakti sebagai rakyat ditunjukkan dengan cara mengindahkan instruksi keraton. Bagi orang desa, pemegang kekuasaan adalah pengayom dan pelindung. Dominasi kedudukan raja berimplikasi luas terhadap perkembangan pola berpikir masyarakat. Sikap mematuhi raja merupakan realisasi dari kewajiban utama yang harus selalu mereka perhatikan.
Memang di satu sisi, kepatuhan membabi-buta terbukti memperkokoh akar feodalisme. Akan tetapi, di sisi lain, sikap ini membuktikan orang desa memiliki kepedulian luar biasa good governance. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka berusaha menjunjung tinggi harmonisasi. Kepatuhan menggambarkan implementasi keinginan untuk menciptakan keteraturan dan menghindari chaos. Ketaatan juga membuktikan “balas jasa” kepada raja yang melindungi. Orang desa merasa aib bila tidak membalas kebaikan. Ini akan membebani secara sosial. Boleh dibilang, ketundukan terhadap beragam peraturan kerajaan sebagai wujud harmonisasi dan balas jasa.
Pada masa kolonial, nasionalisme orang desa pun sudah terlihat. Dengan segenap tenaga, mereka mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi. Mereka menyiapkan logistik para pejuang. Perempuan-perempuan desa menyiapkan hidangan pejuang.
Akhir-akhir ini, banyak kalangan pesimistis terhadap nasionalisme orang desa. Tingkat kecintaan mereka terhadap Tanah Air merosot drastis. Namun demikian, sikap ini lahir bukan tanpa sebab. Jika ditelusuri, apatisme orang desa terhadap hukum dan kebijakan pemerintah terutama munculnya benih-benih pragmatisme.
Kala modernisasi menyentuh perdesaan, warga cenderung apatis. Merosotnya kepedulian terhadap kepentingan publik antara lain karena budaya urban merecoki cara berpikir mereka. Akhirnya, kebersamaan tergerus prinsip hidup perkotaan yang cenderung individualistis. Prinsip hidup modern membuat beragam nilai dari luar masuk desa dan membentuk psikologi masyarakat.

Sosiologis
Lantaran mempunyai akar historis kokoh, etos nasionalisme tidak mungkin hilang dari desa. Prinsip-prinsip nasionalisme telah menancap erat. Hanya, mereka kerap dipusingkan dengan kebutuhan sehari-hari. Tak bisa dimungkiri, waktu mereka tersita untuk menyumpal perut. Realitas ini menimbulkan kesan menepikan tuntutan negara.
Padahal, tuduhan apatisme terhadap masa depan bangsa tak sepenuhnya benar. Dengan demikian, kurang pantas jika label tak acuh, masa bodoh, atau predikat negatif lain dilekatkan pada penduduk desa. Mereka tetap peduli pada problematika bangsa dan negara.
Dalam berbagai kesempatan, daya kritisnya muncul. Di sela-sela menggarap sawah atau bersantai di warung kopi, mereka membicarakan perilaku elite politik yang jauh dari norma dan etika. Harga cabai yang melonjak dengan leluasa. Pupuk yang susah didapat, kecuali bermodal kongkalikong dengan perangkat desa. Sensitivitas orang desa inilah yang semestinya disentuh.
Maka, dalam upaya mewujudkan kesadaran berbangsa, diperlukan pendekatan sosiologis. Apalagi terdapat tendensi kurang seimbangnya tuntutan dan harapan. Di satu sisi, negara gemar menuntut rakyat menaati hukum. Akan tetapi, kesejahteraan rakyat tak dipenuhi. Kesejahteraan hanya ada di lidah calon pemimpin.
Setelah mereka menyelonjorkan kaki di kursi kekuasaan, janji menguap dengan sendirinya. Tiada yang tersisa bagi rakyat, kecuali kekecewaan dan penderitaan. Padahal, apabila pemerintah ingin warga mendukung, kesejahteraan haraus diprioritaskan. Negara tegak karena warga mendukung dan hormat terhadap hukum serta kebijakan pemerintah.
Di samping itu, konsep nasionalisme juga harus dirombak. Bagi orang desa, bentuk kecintaan terhadap negara bisa diwujudkan dengan bermukim dan bersiaga di tanah kelahiran. Laju urbanisasi semestinya ditekan demi mempertahankan figur-figur potensial. Mengingat, pada tahun 2035, diperkirakan hanya 35 persen penduduk desa.
Sebagai wujud pembentukan kader bela negara, semestinya pemuda desa senantiasa dibekali wawasan kebangsaan agar militan dan siap melindungi negara dari segala ancaman. Apalagi, kasus-kasus kekerasan di berbagai daerah menunjukkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya paham mengenai konsep, prinsip, dan nilai-nilai nasionalisme sehingga mudah terpancing aksi provokator yang bernafsu memecah belah persatuan.
Dalam rangka merevitalisasi patriotisme, generasi muda dapat diberdayakan untuk senantiasa menyukseskan program bela negara di kawasan pinggiran. Mereka dibekali pengertian bahwa pengorbanan merupakan wujud rasa cinta terhadap Tanah Air. Sebagai orang yang bermukim di suatu wilayah, mereka berkewajiban memuliakan tanah kelahiran.
Pemuda desa merupakan ujung tombak perjuangan rakyat. Urgensi mereka dalam mengukuhkan fondasi kewibawaan dan kedaulatan negara harus ditonjolkan. Perangkat desa harus mampu memberdayakan potensinya dalam bidang pertahanan dan keamanan. Dengan political will yang kuat, niscaya “nasionalisme perdesaan” tumbuh kembali.

Yogyakarta, 1 Februari 2017

Kegagalan Menteri Dalam Negeri (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bernas" edisi Jumat, 3 Februari 2017)


Pembuatan Peraturan Daerah (Perda) merupakan langkah awal dari agenda perencanaan suatu daerah. Kedudukannya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sangatlah urgen. Di dalamnya memuat peraturan dan ketentuan yang berkontribusi besar dalam menentukan masa depan daerah.
Sayangnya, belum lama ini sekitar 3.143 Perda dianggap bermasalah dan dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. Berdasarkan pendapat Pengamat Hukum Tata Negara dari Sinergi Masyarakat Indonesia untuk Demokrasi (SIGMA), Iman Nasef, banyaknya Perda yang dibatalkan menunjukan kegagalan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dalam melaksanakan fungsi executive preview.
Padahal, UU Pemerintah Daerah (Pemda) menyebutkan bahwa Mendagri dibekali kewenangan mengevaluasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda). Kementerian ini dapat memeriksa terlebih dahulu isi dan materi Raperda sebelum diloloskan.
Rata-rata Perda yang dianggap bermasalah tersebut mengatur pajak, retribusi, dan aturan lain yang melemahkan daya saing dan memperumit birokrasi bisnis. Dibanding sebelumnya, jumlah Perda belakangan ini yang dibatalkan Pemerintah Pusat dinilai paling tinggi sejak era otonomi daerah. Dari tahun 2002 hingga 2009, sebanyak 2.246 Perda dibatalkan. Pada 2010 hingga 2014, sebanyak 1.501 Perda dibatalkan. Adapun pada November 2015 hingga Mei 2016, sebanyak 139 Perda telah dibatalkan.
Berbicara tentang Perda, banyak hal menarik yang perlu disimak. Selain terjadi di tingkat kementerian, belum maksimalnya pelaksanaan prosedur dan mekanisme pembuatan Perda juga terjadi di beberapa daerah. Sejumlah Perda belum bisa berfungsi sebagaimana mestinya, karena proses pembuatannya mengandung banyak permasalahan. Sebelum Perda dikeluarkan, ada tahap-tahap yang semestinya ditempuh, namun ternyata dilalui. Inilah yang disebut “Perda prematur”, sebab lahir sebelum waktunya.
Munculnya Perda bermasalah sebenarnya bukan hanya kesalahan Mendagri, Pemda dan DPRD semata. Banyak faktor penyebab mengapa Perda dinyatakan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, antara lain kurangnya partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan.

Penyusunan Prolegda
Tahap perencanaan memegang peranan penting dalam proses pembentuk Perda. Tahap ini menentukan Perda apa saja yang menjadi prioritas untuk dibahas. Tahap perencanaan ini menghasilkan suatu produk yang disebut sebagai Program Legislasi Daerah (Prolegda). Prolegda merupakan instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.
Penyusunan Prolegda mengacu pada penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Secara operasional, Prolegnas memuat daftar rancangan undang-undang (RUU) yang disusun berdasarkan metode dan parameter tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan hukum nasional. Dalam tataran konkrit, sasaran politik hukum nasional mesti mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM).
Mengutip R. Siti Zuhro, dkk (2010: 28), ada prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam  penyusunan Prolegda. Pertama, dilaksanakan secara berencana. Kedua, ditetapkan skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Ketiga, memuat program legislasi jangka panjang, menengah atau tahunan. Keempat, disusun secara terkoordinasi, terarah dan terpadu oleh DPRD dan Pemda.

Empat Tingkat
Pembahasan Raperda dilaksanakan dalam empat tingkat pembicaraan. Pada tingkat pertama, terkait dengan Perda yang berasal dari lingkungan Pemda, Kepala Daerah memberikan penjelasan terlebih dahulu tentang Raperda yang diusulkannya pada Sidang Paripurna DPRD. Di sisi lain apabila Raperda yang dibahas berasal dari DPRD, Pimpinan Komisi/Gabungan Komisi/Pimpinan Pansus yang memberikan usul prakarsa Raperda memberikan penjelasan tentang Raperda tersebut kepada Kepala Daerah pada Sidang Paripurna DPRD.
Pada pembicaraan tingkat kedua, apabila Raperda yang dibahas berasal dari inisiatif Kepala Daerah, agenda sidang adalah pemandangan umum dari fraksi-fraksi terhadap Raperda yang berasal dari Kepala Daerah dan jawaban Kepala Daerah terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi. Dalam hal Raperda atas usul DPRD, agenda sidang adalah pendapat Kepala Daerah terhadap Raperda atas usul DPRD dan dilanjutkan dengan jawaban dari fraksi-fraksi terhadap pendapat Kepala Daerah.
Selanjutnya, pembicaraan tingkat tiga meliputi pembahasan dalam Rapat Komisi/Gabungan Komisi/Rapat Pansus dilakukan bersama-sama dengan Kepala Daerah. Pembicaraan terakhir, yaitu pembicaraan tingkat keempat, meliputi dua agenda, yaitu: pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna yang didahului dengan laporan hasil pembicaraan tingkat ketiga, pendapat akhir fraksi dan pengambilan keputusan serta penyampaian sambutan Kepala Daerah terhadap pengambilan keputusan yang disetujui DPRD.

Perda Aspiratif
Ke depan, jangan sampai munculnya Perda bermasalah kembali terulang. Guna menghasilkan Perda yang “bermutu”, tahap-tahap dalam prosedur penetapan Raperda harus ditempuh. Ini menghindari adanya kerancuan dalam hal teknis. Dalam pembentukan Raperda, DPRD seyogyanya membuka ruang publik selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk ikut serta memberikan sumbangan pikiran.
Sebenarnya pembentukan Perda yang baik harus berdasarkan pada asas keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
Perda harus berangkat dari permasalahan masyarakat. Atas dasar inilah, masyarakat harus lebih aktif dalam memberikan masukan. Harapannya, Perda yang dilahirkan lebih aspiratif dan partisipatif.
Selain itu, pengawasan dari Mendagri harus ditingkatkan. Menkumham juga dituntut berperan dalam menjaga agar muatan Perda lebih adil, konsisten, tidak diskriminatif, serta memerhatikan hak asasi manusia (HAM).

Bojonegoro, 2016