Rabu, 22 Mei 2013

Maling Amnesia (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian “Suara Merdeka” edisi Minggu, 19 Mei 2013)

Pagi-pagi benar, perpustakaan kami sudah digaduhkan dengan kabar menyengat. Tari, perawan lapuk yang lebih dari tujuh tahun mengkhidmatkan diri demi kokohnya perpustakaan, berkoar bahwa telah terjadi pencurian besar-besaran terhadap barang berharga yang selama ini senantiasa kami bangga-banggakan: buku.
Kami benar-benar syok mendengar kabar tersebut. Terutama lagi Pak Munandar, lelaki yang jika boleh diibaratkan adalah hape butut karena fungsi pendengarannya nyaris hilang, yang pada awal berdirinya perpustakaan rela menggadaikan motor kesayangan, yang pulang larut malam setelah mencari sumbangan buku dari beberapa dermawan sebab kecintaannya terhadap loka penampung ilmu pengetahuan. Ya, ya, kurang tahu harus bagaimana kami menggambarkan perasaan lelaki bermisai abu-abu itu. Pasalnya, lantaran ditinggal kabur sang istri yang tak sanggup mewariskan keturunan, Pak Mun—begitu kami memanggil—melampiaskan kegalauan dengan menyulap garasinya menjadi perpustakaan mungil. Berpikir, paling tidak dengan membuka perpustakaan di rumahnya, setiap hari masih ada satu dua orang berkunjung, guna menyumpal hasrat mengetam beragam wawasan. (Maklum, waktu itu, di kampung kami, perpustakaan adalah tempat langka sebagaimana bioskop). Dengan demikian, ia berharap, kesunyian yang ia rasakan tidak begitu mendalam dibanding apabila harus menduda dengan cara nongkrong di perempatan, mengekor bokong perempuan yang berlalulalang sambil mengeremus dua bungkus kretek murah.
Gairah menumbuhkembangkan perpustakaan dipupuk dalam-dalam oleh Pak Mun. Atas dasar itulah, selain melengkapi koleksi perpustakaan dengan membeli bahan bacaan di luar kota dan mengajukan proposal ke sejumlah penerbit, ia pun merekrut dua karyawan guna membantu menarik minat pengunjung. Pilihan pertama jatuh pada Tari—lengkapnya Wina Suntari—bukan atas kecakapan yang dipunyai, akan tetapi lebih karena rasa iba Pak Mun kepadanya. Bagaimana tidak. Perempuan yang sudah berulang tahun ketigapuluh dua itu dari dulu berangan agar tahun depan seorang lelaki, entah jejaka maupun duda, mau meminangnya. Nyatanya, kucing pun enggan mendekat. Guna meringankan penderitaan batin Tari, Pak Mun menawarinya bergabung. Dan, perempuan berwajah awut-awutan yang mendapat sebutan Mak Lampir dari para tetangga itu mengangguk, tanda setuju. Adapun pilihan kedua jatuh pada saya, Milan Kundera.
Bohong!
Tentu, bukan nama sebenarnya. Siapa mau percaya bahwa saya adalah sastrawan Cekoslovakia, yang pernah didaulat sebagai salah satu novelis besar Eropa paska Perang Dunia II. Terdapat selusin alasan mengapa saya memakai nama samaran. Di antara yang paling penting yaitu saya merasa malu, apabila ada penjaga perpustakaan bernama Sutaji. Nama yang lebih tepat dan lebih cocok bertugas memelihara keamanan gudang tembakau ketimbang gudang ilmu. Kriteria Pak Mun jelas: saya adalah pemuda pengangguran setelah sekian lama mengantongi ijazah SMA.
Emmm…. Tunggu! Tunggu! Fokus pembicaraan kami bukanlah pada sejarah berdirinya perpustakaan. Sungguh. Bukan, bukan. Sebagaimana pada paragraf pertama cerita ini, kami tengah dikejutkan dengan kabar menggemparkan. Kabar mengenai pencurian berencana yang barangkali bertujuan menghina atau menyalakan api curiga atau menggelorakan siasat adu domba atau sama sekali tanpa maksud yang ringan dikunyah logika. 
Dan, ketahuilah! Sesungguhnya letak kegeraman kami bukan pada keberingasan pencuri yang nekat menyikat dua puluh buku sekaligus. Selama ini kami berslogan, “buku hilang, tersebar pengetahuan”, sehingga kami pastilah ikhlas—seikhlas-ikhlasnya—apabila ada beberapa buku raib. Kami berani bertaruh, jikalau bahan bacaan tidak kembali, itu berarti si pencuri memanfaatkan apa yang disikatnya untuk kebaikan. Toh, semua pembaca mengerti, Chairil Anwar mengembat buku demi membungkam nafsu kepenyairannya yang meraung-raung.
Kalian tahu? Kebencian yang terlanjur kami tancapkan di ubun-ubun lebih mengarah pada aksi bejat yang mengoyak buku-buku kami. Benar. Pagi itu, pagi dengan udara berlesatan ke sana kemari itu, Tari menemukan sobekan kertas memadati tempat sampah yang teronggok di depan pintu masuk perpustakaan.
Mendekat.
Terperanjat.
Menyadari bahwa sobekan tersebut adalah buku. Lebih terperanjat lagi, saat mendapati beberapa sampulnya dibiarkan utuh, sehingga Tari mengetahui, yang menjadi korban kekerasan tersebut adalah ‘warga’ perpustakaan. Apalagi, semua yang dicelakai adalah ‘anak-anak kesayangan’ pak Mun, semisal: Penyambung Lidah Rakyat, Di Bawah Bendera Revolusi, Madilog, Catatan Seorang Demonstran, Hujan Bulan Juni, dan lain-lain, yang setiap hari ditimang dan dirawat oleh Pak Mun seraya berkata, “dalam diri mereka tersimpan secuplik memori tentang belahan jiwa saya.”
Sengaja melumat buku tanpa perlu membumihanguskan dengan cara membakar misalnya, pencuri menghendaki penyesalan berlarut-larut dalam diri kami, khususnya Pak Mun, yang genap memperlakukan buku seperti anak kandung sendiri. 
Serampung rembuk bersama, mulailah kami menduga-duga otak siapa yang mereka-reka tindakan busuk ini. Sebagaimana Lombroso yang menggolongkan penjahat berlandaskan anatomi tubuh, kami pun bersyak-wasangka berdasarkan ciri-ciri fisik tiga orang yang kiranya pantas disebut pelaku nista, keji dan terkutuk dalam mayapada aksara.
Pertama, lelaki bongkok bermata juling. Hingga cerita ini diabadikan, namanya belum sempat terdaftar sebagai anggota perpustakaan. Tiga hari yang lalu, ia datang sekoteng tanpa menyapa seorang pun di antara kami. Perilakunya mencurigakan. Sebentar-sebentar memperhatikan sekeliling lalu memperbaiki posisi duduknya yang agak miring. Di punggungnya tergantung kantong putih kumal yang, rasa-rasanya cukup longgar untuk menampung tiga buah televisi sekalipun.
Sambil mencatat beberapa buku yang keluar, saya menguntit gerak-geriknya. Tingkah laku ganjil, membikin beda dengan yang lain. Didukung pula pakaian serba tambal di sana-sini. Tampang kumuh, amburadul. Bertelanjang kaki. Baunya mirip ikan tengiri membusuk berhari-hari.
Inilah pelakunya, saya berkeyakinan dalam hati. Namun, untuk lekas menghakimi, sepertinya bukanlah hal bijak. Ketika ratusan pertanyaan berdesakan di kepala, barulah saya mengorek keterangan dari Jono, pengunjung setia dari kampung sebelah.
Jono mengernyit. Rentetan gelombang berenang di dahinya. Rupanya aku salah. Sekali lagi, salah. Lelaki yang belum terdeteksi namanya itu adalah gembala yang berniat mencari pangan buat kerbaunya. Mampir sebentar, sekadar memastikan gerangan apakah yang kerap dirubung manusia. Makanya, geleng-geleng kepala ia ketika sepasang kakinya mulai menjauh dari perpustakaan. Kurang percaya, jika di dunia yang bising ini, buku justru menjadi magnet tersendiri. Dan, bukannya rumput yang rajin ia buru bersama para gembala lainnya, demi menghidupi nasib binatang asuhan.
Kedua, perempuan berbadan tambun dengan tujuh gelang melingkar di lengan. Senin, dua hari sebelum cerita ini singgah di telinga kalian, ketika ia menginjakkan kaki di perpustakaan, beberapa perempuan di dekatnya langsung menghindar, layaknya pembeli tiket kereta api kelas eksekutif yang direcoki calo bermuka garang dengan bekas bacokan di leher. Mulanya, Tari menyambutnya ramah dengan bertanya buku apa yang sedang dicari. Aneh. Perempuan itu malah berkacak pinggang, melengos, seraya menunjukkan tampang bersungut-sungut.
Dengan ciri-ciri demikian, akhirnya Tari berkesimpulan bahwa perempuan itulah pencurinya. Bersandar pada logika dan alur peristiwa, Tari menganggap, menyingkirnya para pengunjung disulut oleh kebencian begitu mendalam. Kebencian terhadap perempuan yang diam-diam telah mengutil perhiasan, celana dalam, bahkan harga diri mereka, sehingga para suami terlihat dingin ketika beradu paha melawan dingin malam. Tak ayal, apabila kebiasan buruk inilah yang mengantarkannya rentan tertuduh melakukan hal serupa, jika suatu saat terjadi pencurian, termasuk buku, misalnya.  
Namun, nyatanya dugaan Tari meleset. Sepenuhnya meleset. Perempuan yang pada daftar pengunjung menggoreskan nama Yatmi tersebut adalah pasien rumah sakit jiwa yang kabur dua bulan terakhir dan berkeliaran di kampung sekitar sebab ditinggal mati kekasihnya, padahal ia tengah bunting. Terbukti dengan munculnya tiga petugas kesehatan yang tanpa permisi tiba-tiba bertanya tentang perempuan berbadan tambun dengan tujuh gelang melingkar di lengan. Terang saja Tari terpingkal-pingkal. Bukan meladeni pertanyaan yang disodorkan dengan cara membabibuta itu, akan tetapi, tawanya meledak lantaran kengawurannya dalam berprasangka terhadap orang setengah waras. 
Ketiga, pemuda tanggung bermata sipit yang gemar menjemur liur di sudut bibir. Melihat tampangnya yang kerap memelas, kurang tega saya dan Tari menuduhnya pencuri. Namun, lain dengan Pak Mun. Penuh percaya diri dengan gaya bicara yang khas, ia bersikeras bahwa pemuda itulah penjahatnya. Sesuai pengakuannya, kemarin sore ia melihat pemuda bernama Toni tersebut mencongkel pintu perpustakaan memakai linggis.
Hampir saja saya dan Tari terkecoh, jika saja tidak ada ralat. Benar. Belum genap sepuluh menit, Pak Mun menarik kembali kata-katanya. Baru ingat, sebenarnya ialah yang memerintahkan Toni untuk membuka paksa perpustakaan, lantaran kuncinya hilang atau tercebur sumur atau tertinggal di kuburan saat mengantarkan kambingnya yang mati ditabrak tronton atau sebab lain yang luput dari otak Pak Mun. Kami didera khawatir, jika orang yang sering menadah pujian atas perjuangannya memerangi buta aksara tersebut mulai mengidap amnesia.
Kekhawatiran kami menebal, ketika Pak Mun nampak bingung mencari foto-foto Yunahar, mantan istrinya, yang dulu ia simpan di dalam buku-buku favoritnya. Tentulah kami tergeragap. Kami tahu, akhir-akhir ini, ingin sekali ia melenyapkan seluruh kenangan bersama sang istri. Hal ini mengindikasikan bahwa biang keladi di balik kejahatan terbesar yang melanda mayapada aksara adalah Pak Mun, si maling yang amnesia. 

Yogyakarta, 2013

Catatan:
Cesare Lombroso (1836-1903) adalah pakar kriminologi Italia yang pada tahun 1875 menuangkan gagasannya dalam buku I’Homo Delinquente (manusia kriminal). Teori Lombroso yang terkenal yaitu born criminal, insane criminals, dan criminoloids.

Al-Qur’an pun Membongkar Umur Bumi (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jogja" edisi Minggu, 19 Mei 2013)

Judul: History of Earth (Menyingkap Keajaiban Bumi dalam Al-Quran)
Penulis: Agus Haryo Sudarmojo
Terbit: Maret 2013
Penerbit: Bunyan (Bentang Pustaka)
Tebal: xvi + 220 halaman
ISBN: 9786027888180
Harga: Rp 42.000,-

Berbeda halnya dengan beberapa karya lain tentang sains yang melulu berbicara dalam kacamata ilmu pengetahuan, buku ini memiliki misi agung dalam upaya menghubungkan antara dua kutub yang bagi beberapa kalangan kerap dipertentangkan, yaitu sains dan agama.
Hingga detik ini, pertanyaan mengenai awal terbentuknya bumi sebagai pijakan dan loka bermukimnya manusia jarang berjodoh dengan jawaban memuaskan. Iniah titik pangkal kecemasan penulis yang lambat laun menjadi latar belakang mengapa timbul hasrat untuk menguak permasalahan yang masih diselimuti kabut misteri tersebut dengan jalan meneropongnya melalui lensa agama, khususnya Islam.
Ikhtiar menelanjangi sejarah terciptanya bumi sebagai salah satu fenomena sains dilakukan penulis dengan cara menggali khazanah yang berasal dari ayat-ayat Al-Quran. Hasilnya mencengangkan! Selain menghidangkan fakta-fakta yang sukar ditolak logika, apa yang dipetik dari Al-Quran mampu melengkapi perbendaharaan keilmuan yang tentu saja menghibahkan titik terang bagi para ilmuan. Bagi orang Islam, barang tentu hal ini dapat mempertebal keimanan. Mengingat, dalam Islam wahyu Tuhan (Al-Quran) mempunyai tempat khusus dalam diri para pemeluknya. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa Al-Quran merupakan sumber utama sekaligus pertama dalam agama Islam. Tak ayal, jika dalam mengarungi samudra kehidupan, Al-Quran senantiasa didaulat menjadi pedoman, demi menggapai kebahagiaan di dunia maupun di alam baka.
Sebagai misal, dengan menggabungkan informasi dari dua ayat, yaitu Surat As-Sajadah: 4 dan Surat Fushshilat: 9, serta data sains tentang umur bumi, penulis ingin mengetahui dapatkah sebuah analisis tentang umur langit dihasilkan? Berdasarkan Surat As-Sajadah: 4, Allah SWT. menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, sedangkan pada Surat Fushshilat: 9 disebutkan bahwa bumi diciptakan dalam dua masa. Sementara itu, berlandaskan pada umur meteorit tertua yang ditemukan, para ahli geologi menyatakan bahwa bumi berusia 4,56 x 109 tahun. (halaman 18)
Perbandingan umur bumi dan langit adalah 2 : 6 = 1 : 3, sehingga bisa dihitung umur langit 4,56 x 109 x 3 = 13,68 x 109 tahun atau 4,56 x 109 : 2 = 2,28 x 109 tahun. Jadi, umur alam semesta sejak pemisahan langit dan bumi versi al-Quran yaitu 6 x 2,28 x 109 tahun = 13,68 x 109 tahun. Jika dibandingkan dengan versi sains yang mengatakan bahwa umur alam semesta sejak peristiwa Big Bang adalah 13,7 x 109 tahun, maka terdapat selisih sekitar 20 juta tahun. Dalam ilmu kosmologi, perbedaan ini dapat ditoleransi. Berdasarkan perhitungan sederhana tersebut, penulis menyimpulkan bahwa peristiwa Big Bang jelas terkait dengan kehadiran planet bumi yang tercipta kurang lebih sembilan miliar tahun setelah ledakan dahsyat kosmis tersebut. Dengan demikian, firman-firman Allah SWT. dalam al-Quran menjelaskan umur langit dan bumi dengan cukup akurat. (halaman 19)
Di samping membidik fenomena terciptanya bumi, penulis juga mencermati munculnya makhluk-makhluk melata di planet bumi, yang merupakan bagian awal kehidupan kompleks di bumi. Kejadian ini oleh ahli paleontologi disebut sebuah “Ledakan Kehidupan Kambrium”. Secara tiba-tiba muncul jutaan makhluk, seperti trilobite dan mollusca yang tersebar di seluruh dasar lautan. Data-data sains telah menjelaskan bahwa proses ledakan kehidupan tersebut bukan berasal dari proses evolusi makhluk sebelumnya, dengan pertimbangan bahwa belum ditemukan makhluk multi-cell yang lahir sebelum planet bumi berumur kurang lebih 650-543 juta tahun. Yang ada hanyalah makhluk bersel tunggal atau disebut single cell yang selama miliaran tahun bertebaran di bumi.
Guna membandingkan fakta di atas, penulis mencuplik Surat Asy-Syura: 29, “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah menciptakan langit, bumi, dan makhluk-makhluknya yang melata yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia Mahakuasa mengumpulkan semuanya apabila Dia kehendaki.” (halaman 140)
Dapat dipahami bahwa ayat di atas menjelaskan penyebaran makhluk melata bersel tunggal maupun bersel banyak, sehingga dengan sendirinya memberi sangkalan terhadap Teori Evolusi Darwin yang pada intinya mengatakan kehidupan makhluk multiseluler berasal dari sebuah evolusi kehidupan makhluk bersel tunggal yang lahir sebelumnya. Suatu kejanggalan apabila dikatakan, binatang-binatang turunan dapat terus berevolusi menjadi ikan, amfibi, serangga, reptil, dinosaurus, mamalia, burung, dan sebagainya sampai pada primata dan manusia.
Sayangnya, buku yang pernah terbit dengan judul Menyibak Rahasia Sains Bumi dalam Al-Quran pada 2008 oleh Penerbit Mizania ini ditulis dalam corak perpaduan sains dan agama yang hanya mendasarkan pada logika, sehingga kerangka penafsiran yang dikembangkan oleh penulis mengesampingkan sejumlah karya tafsir yang telah ada. Apalagi, penulis bukanlah ahli agama—sebagaimana diakui dalam kata pengantarnya—yang memberanikan diri untuk menelaah ayat-ayat al-Quran dalam sudut pandang berbeda dengan memanfaatkan bahasa sains populer. Meskipun tidak serta merta menukil pendapat sejumlah ahli tafsir kontemporer, semisal Muhammad 'Abduh, Mahmud Syaltut, dan Ahmad Sayyid Al-Kumiy, seharusnya penulis mengadakan perbandingan dengan pendapat-pendapat yang telah mendahuluinya, demi memperkaya pengetahuan pembaca.

Yogyakarta, 2013

Negeri Fakir Kentut (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Banjarmasin Post" edisi Minggu, 12 Mei 2013)

Di negeri itu, kami tidak pernah kentut. Kentut dalam arti sebenar-benarnya. Senyata-nyatanya. Tuan percaya? Sesungguhnya kami sendiri ragu mengucapkannya. Namun, itu realita. Kami mengalaminya.
Dalam suatu masa, kentut pernah menjelma persoalan yang menentukan hidup dan matinya seseorang. Benar. Walaupun mengandung kedamaian, ia juga memuat kegetiran. Itulah sebabnya, kalau ingin kentut, seliat tenaga kami mencoba menahannya. Atau jika sudah tiada daya sekaligus upaya untuk bertahan, akan kami hembuskan gas alami itu dengan terlebih dahulu mengasing ke sebuah tempat. Mengapa? Agar tak seorang pun tahu bahwa kami menghunus kentut. Dan sebelum pergi, sudah kami siapkan beberapa lembar daun sarukai. Daun yang biasa digunakan untuk mengusir bau kentut. Tampak aneh memang. Manusia sesakti apapun mustahil terhindar dari kentut. Yohan, Kori, Marius, dan Gribto—ksatria-ksatria hebat yang cekatan dalam bertempur itu—juga pernah kentut. Paling tidak, sekali seumur hidup. Karena, jikalau tidak kentut, mereka bukanlah manusia.
Di negeri itu, raja kami melarang semua orang untuk kentut. Barang siapa berani kentut, batang kepalanya akan dipenggal. Bokongnya dicincang dan dijemur di keramaian. Tak terkecuali prajurit, dayang-dayang, bahkan permaisuri dan putra raja sekalipun. Yang bisa dan leluasa mengumbar kentut hanyalah raja. Ya. Cuma ia seorang yang boleh melakukannya. Seenak udelnya. Sekena gayanya; dengan moncong mendengus dan liang pantat menganga. Benar-benar egois! Tidak. Ia bukan egois. Ia menerbitkan larangan tersebut memang berdasar. Seorang peramal dari negeri seberang—seingat kami namanya Locce—suatu malam berkata, “singgasanamu bakal ditaklukkan oleh orang yang ahli kentut”. Ahli kentut? Memang Ada? Entahlah, telinga kami juga baru itu kali mengendusnya. Pasti Tuan juga mengerti, bahwa demi mempertahankan kekuasaan, tiada kata egois.
Entah berapa ratus orang mampus sia-sia hanya karena lalai, atau lebih tepatnya kurang sanggup menahan biji kentutnya. Atau, anggapan ini keliru. Boleh jadi, kematian—bagi mereka—menjadi alternatif terbaik. Daripada hidup kembung terus-terusan, lebih baik mencoba mengakrabi kematian. Siapa tahu hidup di alam baka lebih bebas ketimbang hidup di dunia. Siapa tahu di sana kentut tidak dilarang; bahkan dianjurkan. Karena bokong yang sehat adalah bokong yang rajin meluncurkan kentut. Jadi, mereka akan bersaing dalam memproduksi kentut. Setiap fajar, siang, senja, dan malam, mereka siap bersenang-senang dengan kentut. Tiap kali keluar rumah, mereka membawa banyak kentut yang manis dan penurut. Supaya nanti, bila bertemu teman juga sanak keluarga, kentut-kentut itu bisa dibagi-bagikan. Lumayan, buat oleh-oleh dari keluyuran. Atau bisa jadi, emmm… Sesiapa mengantongi kentut paling menawan, ia lekas mendapat penghargaan. Maka digelarlah perlombaan mengarang kentut; di tanah lapang. Dinikmati dan ditonton banyak orang.
Saban hari, di negeri itu, pembicaraan kami enggan melenceng jauh dari kentut. Seakan-akan obrolan kurang afdal jika mengabaikan kentut di dalamnya. Mulai dari siapa yang nekat terang-terangan kentut, ajal siapa yang raib karena kentut, hingga berapa kali bokong raja sudah kentut. Ahh.. kentut, kentut. Kau begitu mulia, hingga raja seorang yang berhak memelukmu.
***
Awalnya, kami kurang percaya jika ahli kentut itu ada. Apalagi, diceritakan, ia mampu memecundangi raja. Mana mungkin raja gagah perkasa, punya pasukan panah tangguh luar biasa, serta begitu disegani oleh musuhnya, bakal tunduk oleh ahli kentut. Ya. Seorang makhluk yang lihai dan cakap memainkan pantatnya. Cih… Atas dasar apa mulut peramal yang gelap identitas itu menebar lelucon paling bodoh sedunia. Kitab apa pula yang jadi rujukannya. Berulang kali kekhawatiran menyelimuti dada kami. Jangan-jangan ia orang kurang waras yang dengan kekurangwarasannya dapat mempengaruhi raja. Ahh… Sungguh sukar diterima logika!
Siksaan demi siksaan yang menimpa saudara-saudara kami jangkap meluluhlantakkan rasa hormat kami kepada raja. Dan, dalam perjalanannya, kebengisan rajalah yang pada akhirnya memaksa kami meyakini bualan peramal.
Meski menaruh benci setengah mati pada peramal gila itu, maka mau tak mau, kami layak mengamini apa yang muncrat dari lidahnya. Dengan demikian, kala kehidupan ini terlantas mesra dengan kesedihan, masih tersisa sepercik harapan. Harapan bahwa akan muncul seorang penyelamat. Penyelamat yang tiada lain pun tiada bukan adalah ahli kentut.
Inilah, Tuan.. Inilah yang menyebabkan kami tak segan-segan menaruh harap agar sang juru selamat lekas datang ke negeri mengerikan itu. Kami bosan menghirup nafas dengan perut kejang-kejang disertai lambung gemetaran—sebab menahan rintihan. Telah lama kami rindukan pahlawan yang mampu membebaskan kami dari beban derita. Kami akan sangat bergembira dan berterima kasih kepadanya apabila ia mau menggulingkan kekuasaan raja, menghapus larangannya, serta mengantar bokong kami bergetar semaunya. Tentu, jika semua itu terwujud, akan kami angkat ia sebagai raja baru. Petuahnya kami masukkan dalam sanubari. Titahnya selalu kami patuhi. Kalau perlu, kami bangun patung raksasa menyerupainya. Lalu kami dirikan tugu besar yang menopang batu hitam mirip bokongnya. Dan, di permukaan batu tersebut akan kami pahat sebulir kalimat: “inilah bokong yang berhasil menyelamatkan nenek moyang kalian”. Begitulah. Sehingga anak turun kami turut mengenangnya selaku seseorang yang genap memberangus kezaliman.
***
Suatu senja yang menggigil, lelaki asing berjanggut tebal menggelesot santai di bawah rindang pohon beringin. Penampilannya, gerak-geriknya, raut mukanya, rambutnya, bola matanya, dan yang terpenting bokongnya, mengindikasikan bahwa ia adalah ahli kentut yang disebut-sebut sebelas tahun silam. 
Seseorang di antara kami memekik renyai; mewartakan bahwa juru selamat telah tiba. Urita tersebut dengan sigap dan gesit merayap dari satu mulut ke mulut warga lainnya. Meski berupa kabar burung belaka, kepiluan kami meluap seketika.
Kesukacitaan yang kami peroleh ternyata menginap barang semalam. Esoknya, setelah berembuk dengan sesepuh, kami bermaksud mengunjungi orang asing itu di rumah kakek tua. Celaka! Orang yang terlanjur kami puja-puja itu buru-buru meninggalkan dunia. Dunia yang terlalu kejam bagi seorang musafir sepertinya.
Penyesalan tiba-tiba menyeruak. Mengapa, mengapa orang yang tidak tahu apa-apa itu kami anggap sebagai ahli kentut. Dan, sebab anggapan kami itulah, dengan segenap kuasa, raja memerintahkan prajurit untuk memburu dan menghabisi nyawanya.
Sejak itu, raja semakin membabibuta. Segenap orang asing yang singgah di negeri itu ia bunuh. Tak perduli siapa dirinya, dari mana asalnya, dan untuk keperluan apa ia berada di sana. Ketakutan kian mengancam. Kematian gemar bertandang kapan dan dimana ia berkehendak. Dalam hemat kami, jarak antara bokong dengan kematian amatlah dekat. Maka, banyak dari kami memutuskan untuk menggunting bokongnya, agar terjauh dari bau kematian. Karena, siapa pun mafhum, bahwa manusia yang masih memiliki pantat, ia tetap meniupkan kentut. Secerdik apapun kiat dan kilahnya.  
Bukan sampai situ kebiadaban raja, Tuan. Tatkala permaisuri sedang terlelap, ia memergoki daging subur yang teronggok di atas paha wanita cantik itu berasap. Tanpa ba bi bu, langsung ia tikam lehernya dengan parang yang tergolek di samping ranjang. Benar-benar raja edan, gendeng, miring, sinting!  
Mengetahui apa yang diperbuat sang ayah, putra raja memilih kabur dari istana dan menetapkan hutan Kobre selaku loka tinggalnya. Baginya, bersanding dengan auman macan dan lolongan serigala lebih menguntungkan dibanding hidup berlimpah kemewahan namun juga beradu kening dengan kematian. 
Sedangkan kami, hari demi hari, masih saja menanti kehadiran ahli kentut. Benar. Seseorang yang hendak mengentas kami dari keterpurukan. Sialnya, tanda-tanda kehadirannya tak jua tampak. Dan, seiring mengalirnya waktu, korban-korban kebrutalan raja terus berjatuhan. Bahkan, sesepuh kami, Mouyare, juga tergerus imbasnya. Dengan mangkatnya orang yang paling kami muliakan, hanguslah alasan untuk berdiam di negeri terkutuk itu.   
***
Begitulah latar belakang mengapa kami berlima nekat minggat dari negeri itu, Tuan. Satu-satunya tujuan kami datang kemari yaitu sekadar ingin menumpahkan kentut dengan nyaman. Tanpa gangguan. Tanpa hambatan. Tanpa seorang pun mengekang. Alangkah senangnya kentut kami meluncur ringan; menari-nari dan menyanyi dengan riang. Engkau tahu, Tuan? Hidup ini miskin arti, jika hanya demi kentut saja, kami harus pontang-panting bersembunyi. Padahal bagi kami, kentut adalah hak manusia paling asasi di muka bumi.

Yogyakarta, 2012

Puisi_Riza Multazam Luthfy (Terbit di majalah "Basis" edisi Mei-Juni 2013)


Pil buat Ibu (Pertiwi)

bulu paman terserang korupsi
sekarang sibuk dibasmi
besok pagi lebat kembali

lagi-lagi
gunung sakit gigi
paha matahari terbakar api
janda bulan menunggu mati

aduh, ibu kok jadi susah begini
kalau rajin makan hati
bisa-bisa muncul jerawat
beban wajah makin berat

ingat bu, urusan negara jangan dibikin repot
yang penting kerja tidak lemot, pikiran jarang kolot
gagal atau berhasil, pasti selalu ada yang sewot

untuk meringankan pikiran
sengaja saya bawakan
pil sakti dari negeri kebajikan
saya berani jamin, dalam sebulan:
                        tagihan janji terselesaikan
                        ekor mimpi mudah dijinakkan
                        utang suami lekas terlupakan

Malang, 2010


Gadis Politik

matanya agak sipit
otaknya agak sempit
lidahnya agak pahit
senyumnya agak irit
tangisnya agak pelit
pinggulnya agak genit
jalannya amit-amit

sekali lirik, pasti kau kena cubit

Kediri, 2010

Kicauan Durangpo (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di "radarseni.com" edisi Minggu, 28 April 2013)

Judul: Lupa Endonesa
Penulis: Sujiwo Tejo
Terbit: Cetakan Ketiga, Oktober 2012
Penerbit: Bentang
Tebal: xiv + 218 halaman
Harga: Rp. 44.000,-
Buku yang berada di genggaman pembaca ini merupakan kumpulan pedalangan Sujiwo Tejo saban hari Minggu di harian Jawa Pos dengan tajuk Wayang Durangpo. Dari tulisan-tulisannya itulah menunjukkan bahwa kemampuan Sujiwo Tejo mendalang di koran sebanding dengan keahliannya memainkan wayang di suatu pakeliran. Maklum, Sujiwo Tejo adalah wartawan tulis yang andal dan fenomenal. Kiprahnya selama sepuluh tahun menjadi kuli tinta di harian Kompas menjadi salah satu bukti kepiawaiannya dalam menulis.
Dalam kata pengantarnya, Dahlan Iskan sampai-sampai menyinggung ketertarikannya pada sosok Sujiwo Tejo yang begitu lincah menyajikan kisah pewayangan yang unik, keluar dari pakem dan mainstream. Menteri Negara BUMN tersebut mengaku terlarut ketika menyimak tulisan Sujiwo Tejo tentang Kurawa. Ini lantaran tulisannya cenderung “kurang ajar”. Dahlan Iskan terpancing untuk mencari tahu kenapa Kurawa menjadi keluarga yang jahat. Di akhir pencariannya, ia memilih bersimpati kepada orangtua Kurawa, sehingga dalam forum apa pun, tidak segan-segan ia mengatakan bahwa tokoh wayang idolanya adalah Dursasana! Bukan Bima, Prabu Kresna, ataupun Gatutkaca. Menurut Dahlan Iskan, Dursasana tidaklah jahat. Ia hanya bodoh dan mempunyai selera humor tinggi. Humornya ditunjukkan dengan cara mengejek diri sendiri. Padahal, sebaik-baik orang adalah orang yang masih mampu mengejek diri sendiri. Apalagi, ejekan terhadap diri sendiri itu dilakukan sebelum mengejek orang lain. (halaman viii-x)
Adapun dari prakatanya “Nglindur Bareng”, Sujiwo Tejo mengatakan bahwa Wayang Durangpo merupakan singkatan dari wayang ngelindur bareng Punokawan. Dari sini terkuak, bahwa yang namanya ngelindur (mengigau), tiada yang mustahil untuk dikatakan. Prabu Baladewa boleh tiba-tiba muncul di Jembatan Suramadu bersama Pak Sakerah dan rombongan Star Trek. Begitu juga Suster Ngesot dan penyair Kahlil Gibran, bisa tepergok Gareng, Petruk, dan Bagong dalam kisah Ramayana dan Mahabarata. Tak ada yang salah, namanya juga ngelindur. (halaman xi)
Dengan konsepnya tentang apa yang disebut ngelindur, sujiwo Tejo bisa dengan leluasa dan seenaknya mengomentari ketimpangan-ketimpangan yanga ada. Dia juga boleh mengkritisi berbagai kebijakan penguasa yang dinilai merugikan rakyat dan negara. Dalam ngelindur-nya, Sujiwo Tejo akan menyentil perilaku para aparat yang sama sekali tidak memiliki integritas. Pun juga menyelipkan pesan dan nasehat bagi pejabat, konglomerat maupun orang-orang yang berkategori melarat.
Mirip pengguna komputer yang menata file-filenya, Sujiwo Tejo menyimpan tulisan-tulisannya dalam beberapa folder. Sesuai tema yang diangkat, ia memberikan nama pada folder yang ia bagi menjadi enam. Pertama Cinta Tanah Air, kedua Dasar Manusia, ketiga Lupa-lupa Ingat, keempat Fulus, Oh, Fulus, kelima Kecanduan Berharap, serta yang terakhir Negeri Mimpi. Folder-folder tersebut memuat sejumlah tulisan yang mempunyai kedekatan bahkan kemiripan dasar berpikir, sehingga memudahkan para pembaca untuk melacak mana saja tulisan yang berada dalam satu alur dan tempat pijak yang sama.
“Lupa Endonesa” merupakan judul tulisan yang dipungut dari folder Cinta Tanah Air. Dalam tulisan tersebut, Sujiwo Tejo menyoroti kekurangwaspadaan penguasa terhadap iming-iming dari luar. Demi meraup keuntungan yang tidak seberapa, harga diri rakyat digadaikan bahkan diperjualbelikan. Kenikmatan akhirnya hanya boleh dirasakan oleh segelintir orang. Inilah yang dapat mengakibatkan negara terperosok dalam lubang hitam-pekat dan dikelilingi oleh hewan buas.
Dari percakapan antara Sariwati dan Gareng, Sujiwo Tejo menyisipkan masukan yang berarti bagi penguasa. Menurutnya, guna mensejahterakan rakyat, Indonesia tidak memerlukan campur tangan modal asing untuk membuka lapangan kerja. Alih-alih memberikan kedamaian dan kenyamanan, perusahaan asing atau organisasi multinasional hanya akan menghancurkan Indonesia secara perlahan. Bagaimana tidak, bila ditelisik lebih cermat, bantuan tersebut memiliki pamrih mengeruk kekayaan bumi Indonesia, termasuk yang paling vital, yaitu air. Ibarat gelas emas berisi racun, bantuan yang ditawarkan sebenarnya bersifat mematikan. Dari luar terlihat menyejukkan, namun tampak kejam dari dalam.
Dalam tulisan “Antara ‘Yayang’ dan ‘Yang Mulia’” Sujiwo Tejo mencibir bahwa peradilan di Indonesia tidak lebih dari aksi unjuk gigi bagi para sarjana hukum. Mereka dengan sebutan “Yang Mulia” lihai menyulap undang-undang demi beragam kepentingan. Sekadar formalitas belaka, syarat menjadi hakim yang utama adalah alumnus kampus hukum, bukan kredibitas dan kualitasnya. Sehingga perkara administratif-prosedural lebih tampak ketimbang muatan esensial dan vital. Karena masyarakat yang sudah tidak percaya dengan hakim-hakim bertipe seperti ini, akhirnya diangkatlah Gareng, Petruk dan Bagong. Akan tetapi, setelah dilantik, mereka bertiga merasa tidak nyaman dengan julukan “Yang Mulia” dan lebih suka dipanggil “Yang Reng”, “Yang Truk”, dan “Yang Gong”, yang didasarkan pada nama masing-masing. Adapun “Yang Mulia”, hanya akan menambah jarak antara sang hakim dengan para pihak yang menuntut keadilan.  
Adapun tulisan “Jejak Pendapat Para Dewa” memberikan komentar bahwa pendidikan suatu bangsa tidak bisa dinilai dari harga. Salah jika ada yang berpendapat bahwa semakin mahal sekolah, semakin bagus kualitasnya. Lebih salah lagi jika hal ini diyakini oleh pembesar negara. Suatu negeri antah berantah, melalui menteri pendidikannya, mengumumkan, “kalau sudah tahu biaya di sekolah tersebut mahal, ya, cari alternatif sekolah murah. Semua ada kastanya. Ada yang pakai mobil, ada yang pakai sepeda motor. Kastanisasi sifatnya tidak SARA atau diskriminatif. Itu sifatnya kompetitif…” (halaman 87)
Ucapan di atas menyiratkan adanya diskriminasi dalam bidang pendidikan. Jadi, hanya orang berduit yang bisa masuk sekolah berkualitas. Oleh sebab itulah, kepada stafnya, Batara Guru memerintahkan agar ucapan tersebut segera diralat, demi melindungi kepentingan bersama. Pendidikan harus bisa dinikmati oleh semua kalangan.
Percakapan antar tokoh, humor, dan plesetan cerdas Sujiwo Tejo dalam buku ini secara langsung maupun tidak sesungguhnya mengajak pembaca untuk berpikir sambil merenung dalam suasana gaduh dan riang.

Yogyakarta, 2012