Rabu, 22 Mei 2013

Kicauan Durangpo (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di "radarseni.com" edisi Minggu, 28 April 2013)

Judul: Lupa Endonesa
Penulis: Sujiwo Tejo
Terbit: Cetakan Ketiga, Oktober 2012
Penerbit: Bentang
Tebal: xiv + 218 halaman
Harga: Rp. 44.000,-
Buku yang berada di genggaman pembaca ini merupakan kumpulan pedalangan Sujiwo Tejo saban hari Minggu di harian Jawa Pos dengan tajuk Wayang Durangpo. Dari tulisan-tulisannya itulah menunjukkan bahwa kemampuan Sujiwo Tejo mendalang di koran sebanding dengan keahliannya memainkan wayang di suatu pakeliran. Maklum, Sujiwo Tejo adalah wartawan tulis yang andal dan fenomenal. Kiprahnya selama sepuluh tahun menjadi kuli tinta di harian Kompas menjadi salah satu bukti kepiawaiannya dalam menulis.
Dalam kata pengantarnya, Dahlan Iskan sampai-sampai menyinggung ketertarikannya pada sosok Sujiwo Tejo yang begitu lincah menyajikan kisah pewayangan yang unik, keluar dari pakem dan mainstream. Menteri Negara BUMN tersebut mengaku terlarut ketika menyimak tulisan Sujiwo Tejo tentang Kurawa. Ini lantaran tulisannya cenderung “kurang ajar”. Dahlan Iskan terpancing untuk mencari tahu kenapa Kurawa menjadi keluarga yang jahat. Di akhir pencariannya, ia memilih bersimpati kepada orangtua Kurawa, sehingga dalam forum apa pun, tidak segan-segan ia mengatakan bahwa tokoh wayang idolanya adalah Dursasana! Bukan Bima, Prabu Kresna, ataupun Gatutkaca. Menurut Dahlan Iskan, Dursasana tidaklah jahat. Ia hanya bodoh dan mempunyai selera humor tinggi. Humornya ditunjukkan dengan cara mengejek diri sendiri. Padahal, sebaik-baik orang adalah orang yang masih mampu mengejek diri sendiri. Apalagi, ejekan terhadap diri sendiri itu dilakukan sebelum mengejek orang lain. (halaman viii-x)
Adapun dari prakatanya “Nglindur Bareng”, Sujiwo Tejo mengatakan bahwa Wayang Durangpo merupakan singkatan dari wayang ngelindur bareng Punokawan. Dari sini terkuak, bahwa yang namanya ngelindur (mengigau), tiada yang mustahil untuk dikatakan. Prabu Baladewa boleh tiba-tiba muncul di Jembatan Suramadu bersama Pak Sakerah dan rombongan Star Trek. Begitu juga Suster Ngesot dan penyair Kahlil Gibran, bisa tepergok Gareng, Petruk, dan Bagong dalam kisah Ramayana dan Mahabarata. Tak ada yang salah, namanya juga ngelindur. (halaman xi)
Dengan konsepnya tentang apa yang disebut ngelindur, sujiwo Tejo bisa dengan leluasa dan seenaknya mengomentari ketimpangan-ketimpangan yanga ada. Dia juga boleh mengkritisi berbagai kebijakan penguasa yang dinilai merugikan rakyat dan negara. Dalam ngelindur-nya, Sujiwo Tejo akan menyentil perilaku para aparat yang sama sekali tidak memiliki integritas. Pun juga menyelipkan pesan dan nasehat bagi pejabat, konglomerat maupun orang-orang yang berkategori melarat.
Mirip pengguna komputer yang menata file-filenya, Sujiwo Tejo menyimpan tulisan-tulisannya dalam beberapa folder. Sesuai tema yang diangkat, ia memberikan nama pada folder yang ia bagi menjadi enam. Pertama Cinta Tanah Air, kedua Dasar Manusia, ketiga Lupa-lupa Ingat, keempat Fulus, Oh, Fulus, kelima Kecanduan Berharap, serta yang terakhir Negeri Mimpi. Folder-folder tersebut memuat sejumlah tulisan yang mempunyai kedekatan bahkan kemiripan dasar berpikir, sehingga memudahkan para pembaca untuk melacak mana saja tulisan yang berada dalam satu alur dan tempat pijak yang sama.
“Lupa Endonesa” merupakan judul tulisan yang dipungut dari folder Cinta Tanah Air. Dalam tulisan tersebut, Sujiwo Tejo menyoroti kekurangwaspadaan penguasa terhadap iming-iming dari luar. Demi meraup keuntungan yang tidak seberapa, harga diri rakyat digadaikan bahkan diperjualbelikan. Kenikmatan akhirnya hanya boleh dirasakan oleh segelintir orang. Inilah yang dapat mengakibatkan negara terperosok dalam lubang hitam-pekat dan dikelilingi oleh hewan buas.
Dari percakapan antara Sariwati dan Gareng, Sujiwo Tejo menyisipkan masukan yang berarti bagi penguasa. Menurutnya, guna mensejahterakan rakyat, Indonesia tidak memerlukan campur tangan modal asing untuk membuka lapangan kerja. Alih-alih memberikan kedamaian dan kenyamanan, perusahaan asing atau organisasi multinasional hanya akan menghancurkan Indonesia secara perlahan. Bagaimana tidak, bila ditelisik lebih cermat, bantuan tersebut memiliki pamrih mengeruk kekayaan bumi Indonesia, termasuk yang paling vital, yaitu air. Ibarat gelas emas berisi racun, bantuan yang ditawarkan sebenarnya bersifat mematikan. Dari luar terlihat menyejukkan, namun tampak kejam dari dalam.
Dalam tulisan “Antara ‘Yayang’ dan ‘Yang Mulia’” Sujiwo Tejo mencibir bahwa peradilan di Indonesia tidak lebih dari aksi unjuk gigi bagi para sarjana hukum. Mereka dengan sebutan “Yang Mulia” lihai menyulap undang-undang demi beragam kepentingan. Sekadar formalitas belaka, syarat menjadi hakim yang utama adalah alumnus kampus hukum, bukan kredibitas dan kualitasnya. Sehingga perkara administratif-prosedural lebih tampak ketimbang muatan esensial dan vital. Karena masyarakat yang sudah tidak percaya dengan hakim-hakim bertipe seperti ini, akhirnya diangkatlah Gareng, Petruk dan Bagong. Akan tetapi, setelah dilantik, mereka bertiga merasa tidak nyaman dengan julukan “Yang Mulia” dan lebih suka dipanggil “Yang Reng”, “Yang Truk”, dan “Yang Gong”, yang didasarkan pada nama masing-masing. Adapun “Yang Mulia”, hanya akan menambah jarak antara sang hakim dengan para pihak yang menuntut keadilan.  
Adapun tulisan “Jejak Pendapat Para Dewa” memberikan komentar bahwa pendidikan suatu bangsa tidak bisa dinilai dari harga. Salah jika ada yang berpendapat bahwa semakin mahal sekolah, semakin bagus kualitasnya. Lebih salah lagi jika hal ini diyakini oleh pembesar negara. Suatu negeri antah berantah, melalui menteri pendidikannya, mengumumkan, “kalau sudah tahu biaya di sekolah tersebut mahal, ya, cari alternatif sekolah murah. Semua ada kastanya. Ada yang pakai mobil, ada yang pakai sepeda motor. Kastanisasi sifatnya tidak SARA atau diskriminatif. Itu sifatnya kompetitif…” (halaman 87)
Ucapan di atas menyiratkan adanya diskriminasi dalam bidang pendidikan. Jadi, hanya orang berduit yang bisa masuk sekolah berkualitas. Oleh sebab itulah, kepada stafnya, Batara Guru memerintahkan agar ucapan tersebut segera diralat, demi melindungi kepentingan bersama. Pendidikan harus bisa dinikmati oleh semua kalangan.
Percakapan antar tokoh, humor, dan plesetan cerdas Sujiwo Tejo dalam buku ini secara langsung maupun tidak sesungguhnya mengajak pembaca untuk berpikir sambil merenung dalam suasana gaduh dan riang.

Yogyakarta, 2012

1 komentar:

  1. Keren wayangnya. Udah baca semua di sujiwotejo.com. Jadi ndak usah beli bukunya. Paling sama-kan isinya?

    BalasHapus