Minggu, 27 Desember 2015

Kuburan Mbah Nggo (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Banjarmasin Post" edisi Minggu, 27 Desember 2015)

Suti membaringkan anak kecil itu di depan pintu. Hari itu ia bolos kerja. Ajakan Sumiarti untuk berangkat bersama menuju pabrik rokok di samping kantor kecamatan terpaksa ditolak. Lagi-lagi ia harus merelakan upahnya dipotong berpuluh ribu. Wahyu, anak keduanya yang berusia 4 tahun, meraung kesakitan. Perutnya seperti ditusuk ribuan paku, beling, dan jarum. Lidahnya menjulur-julur mirip anjing memergoki maling.
Suti hanya memandangi anaknya dengan sabar. Meskipun semalam ia telah membawa Wahyu ke rumah Mbah Tugiyo, keadaan anak kurus itu tak kunjung membaik. Sebenarnya Surti sendiri agak ragu mengadukan penyakit anaknya kepada dukun yang selama ini dipercaya masyarakat mampu mengusir roh-roh halus tersebut. Namun, apalah daya. Tak ada jalan lain. Ia, seperti halnya warga Desa Pohbogo lainnya, lebih memilih kiai, dukun, atau pemilik kekuatan kasat mata, dibanding dokter.
Memegangi leher dan punggung Wahyu, Suti hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Ia menunggu Kamis Kliwon lekas tiba. Di hari itulah, ia akan mengadukan keluh-kesahnya kepada Mbah Nggo, danyang desa yang genap ratusan tahun meninggal.
***
Seorang pemuda kelahiran desa terpencil menggerakkan budaya literasi di kota Yogyakarta. Sebagai mahasiswa, ia terpanggil untuk mengajak teman-temannya membentuk kelas diskusi filsafat, sosial, dan budaya. Berbekal buku dan berbagai referensi, baik pinjaman dari perpustakaan kampus maupun koleksi pribadi, mereka getol melakukan tukar wacana, membaca, dan menulis. Dari kelas itulah lahir gagasan pemikiran yang dilempar ke media massa atau ide demonstrasi besar-besaran di depan rektorat atau gedung DPRD.
Pemuda berkepala plontos itu selalu kritis terhadap segala kebijakan kampus yang dinilai kurang relevan dan merugikan mahasiswa. Sebagai contoh terakhir, ia mempertanyakan ke mana perginya uang yang dibayarkan mahasiswa semester tiga. Padahal, di slip pembayaran, jelas-jelas tertera biaya praktikum. Anehnya, para mahasiswa tidak pernah sekalipun menerima fasilitas praktikum.
“Mau dibawa ke mana kampus ini?” Suatu hari, saat menyetir demonstrasi, ia bernada lantang, berdiri di depan para birokrat kampus yang tampil arogan dengan telinga tertutup.
Dalam memimpin massa dan pergerakan, ia tidak asal-asalan. Ia tidak ingin dianggap sebagai mahasiswa ngawur yang mencetuskan wacana penggembosan birokrasi. Ia menggunakan buku sebagai pijakan. Maka, tak ayal, uang beasiswanya sebagai aktivis dari bank ternama selalu dihabiskan di toko buku. 
“Demonstrasi harus punya misi dan arah yang jelas. Kalau tidak, kau hanyalah kerbau yang berteriak di padang gersang.” Wejangannya pada salah satu junior, sesaat sebelum demonstrasi digelar.
Adapun tulisannya yang bernas dan tajam selalu digunakan untuk menghantam perilaku anggota legislatif daerah yang makin hari makin memprihatinkan. Mereka seakan berlomba menghabiskan uang rakyat dengan cara elegan dan terhormat. Sudah tidak terhitung betapa kerapnya mereka melakukan kunjungan ke luar negeri dengan dalih studi banding. Padahal, sebenarnya para cecunguk itu hanya ingin berfantasi ria dan menikmati sejumlah loka wisata bertarif ribuan dolar. Tak heran jika sehari setelah artikel pemuda itu dimuat di koran, ia harus menerima teror, baik berupa pesan pendek, telepon, maupun gertakan preman pasar bertato besar di lengan.
***
“Apa yang dapat mereka petik dari mitos dan tahayul?”
“Orang-orang desa hanya takut terjadi sesuatu, jika mereka tidak percaya kepada nenek moyang.”
“Mereka itu bodoh!”
“Kitalah yang bertugas memberikan pencerahan.”
Diskusi antara pemuda itu dengan ketua himpunan mahasiswa daerah begitu hangat. Nada bicaranya yang agak meninggi sebenarnya lebih karena kecemasan yang disimpan dalam lubuk hatinya. Ia tidak habis berpikir, mengapa warga desa susah diajak berkembang. Pikiran mereka begitu kolot dan sukar menerima modernitas. Mereka selalu saja menghubungkan apa yang terjadi dengan kekuatan para leluhur yang tentu saja tidak dapat dikunyah logika.
Kini, tekadnya membulat. Ia merasa terpanggil untuk mengubah cara pandang orang-orang desa terhadap kehidupan. Mereka harus diajak membangun sendi-sendi peradaban, tidak melulu terjebak pada kebiasan-kebiasaan jahiliyah yang rentan menumpulkan akal, semisal manganan di bawah pohon rindang, adu ayam di lapangan, dan menaruh sesajen di kuburan pendiri desa.
Jika selama ini, kritiknya hanya ditujukan untuk meluruskan kebijakan kampus dan menyentil ulah anggota legislatif daerah, ia bermaksud memperluas jangkauan. Ia tidak berhasrat menunjukkan diri sebagai tokoh perubahan, akan tetapi lebih pada upaya mengabdikan diri bagi tanah kelahiran.
***
Ingatan Wahyu terbang ke masa kecilnya. Bersusah payah, ibunya berusaha menjauhkannya dari kematian. Ia masih ingat betul, saat ajal hampir mencapai ubun-ubun, sang ibu membopongnya ke kuburan Mbah Nggo. Di tempat keramat itulah, ibunya menyebut-nyebut Mbah Nggo, memohon kepadanya, dengan mencabik-cabik pakaiannya. Ia tak bisa memungkiri bahwa beberapa menit setelah itu ia bisa bernapas lega dengan kondisi tubuh yang berangsur membaik.
Ia terserang gamang, antara menghantamkan linggis ke arah kuburan Mbah Nggo atau melepaskan benda keras yang dari tadi dipegangnya itu ke tanah.

Bojonegoro, 2015

Buku dan Warung Kopi (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Jawa Pos" edisi Minggu, 27 Desember 2015)

Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan sesama guna membangun interaksi dan komunikasi. Di sinilah arti penting warung kopi. Ia tak hanya menyajikan kehangatan, keharmonisan, dan kebersamaan. Tetapi, itu juga memberi kesempatan bagi para pengunjung untuk membangun akses, jaringan, dan relasi.
Semua orang lebur di dalamnya. Karena itu, tidak berlebihan jika ada seloroh bahwa dari warung kopi lahir “masyarakat tanpa kelas”. Karena dikunjungi oleh beragam kalangan dan lapisan masyarakat, warung kopi dilegitimasi sebagai ruang publik yang mampu menawarkan ide demokratisasi. Wacana dan gagasan besar yang meliputi hajat hidup orang banyak bisa muncul di sini.
Bahkan, tokoh sekaliber Soekarno pernah memanfaatkan warung kopi demi mengakrabkan diri dengan Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon. Dalam catatan sejarah, keduanya pernah menyeruput kopi di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.
Peristiwa unik ini berawal dari kunjungan Richard Nixon ke Indonesia guna memastikan situasi politik Indonesia yang mengkhawatirkan. Sebelumnya, sang proklamator ingin mengajak Nixon berkunjung langsung ke Istana Negara.
Tetapi, di tengah perjalanan, tanpa direncanakan, keduanya mampir di sebuah warung kopi (Andika, 2015). Tokoh bangsa tersebut seolah mengajarkan bahwa memanasnya suhu politik tidak harus dihadapi dengan “kepala mengepul”.

Pemantik Inspirasi
Warung kopi mengandung anomali. Di satu sisi, ia menjembatani perjumpaan manusia dalam suasana guyub, santai, dan penuh canda. Di sisi lain, ia dianggap sebagai pangkalan bagi kumpulan orang tanpa pekerjaan dan kehormatan.
Ia menampung pecundang, pengangguran dan mereka yang kalah dalam persaingan. Tingkat produktifitas manusia, terutama dalam bekerja, berkurang karena banyak waktu lenyap hanya gara-gara secangkir kopi.
Namun, tidak demikian bagi para penyair. Lokasi dan suasana yang jauh dari kesan formal membuat warung kopi kerap mengundang inspirasi dan imajinasi. Ribuan puisi lahir di meja warung kopi. Bersama indahnya pagi dan hangatnya sinar mentari, mereka memanfaatkan kopi dalam ritual penyelamatan puisi.
Warung kopi bahkan diangkat menjadi judul antologi puisi, semisal Republik Warung Kopi: Antologi Puisi Delapan Penyair Kalbar. Buku ini memuat sejumlah puisi bergaya segar, dengan ironi yang tajam, serta spirit mempermainkan konsep yang serius. Dalam kata pengantarnya, Hanna Fransisca (2011) menyebutkan bahwa beberapa penyair berhasil menggarap tema kenegaraan dari sebuah warung kopi.
Dari bangku warung kopi, Pay Jarot Sujarwo meneropong potret beragam manusia. Dalam puisi “Warung Kopi Winny, Jalan Gajahmada”, warung kopi digambarkan sebagai representasi nasib sebuah negara: //kau akan mendengar suara lebah di sini/ bahkan lebih pikuk dari suara lebah//.
Adapun Ety Syaifurohyani, dalam puisi bertajuk “Kopitiam” berseloroh: kalau pejabat ingin mendengar keluhan dan jeritan rakyat/ duduklah di kopitiam/ para pejabat yang terhormat akan mendengar jeritan rakyat…//. Menggunakan logika “warung kopi”, tema-tema besar ke-Indonesia-an ditulis penuh genit tanpa berhasrat menggurui.
Banyak novel dan buku populer bermunculan setelah para penulis memikirkan urgensi, fungsi, dan filosofi warung kopi. Sebut saja Mencari Tuhan di Warung Kopi (Mizan Pustaka, 2004), Lawak Warung Kopi (M&C, 2012), dan Surga di Warung Kopi (Bhuana Sastra, 2014).

Perpustakaan ala Warung Kopi
Mengingat pentingnya warung kopi sebagai basis pengembangan budaya literasi, pada tahun 2014, Pemerintah Daerah Pontianak meluncurkan program Perpustakaan Berbasis Warung Kopi dan Komunitas. Program ini berhasil terselenggara setelah diadakan focus group discussion (FGD) dengan mengundang pemilik warung kopi, komunitas baca tulis, lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, budayawan, serta masyarakat awam.
Pemerintah setempat berinisiatif menyulap warung kopi menjadi medium berbagi informasi dan pengetahuan. Tersedianya sejumlah buku di warung kopi diyakini mampu mengatrol minat baca masyarakat. Ini juga merupakan langkah konkret menghadirkan buku di ruang publik dalam upaya “jemput bola” penikmat buku dan pembaca pemula.

Bojonegoro, 2015

Minggu, 13 Desember 2015

Estetika Kampung dan Gagasan Pascatradisional (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 13 Desember 2015)


Melalui buku kumpulan cerpen Anak-anak Masa Lalu (Marjin Kiri, Juni 2015), Damhuri Muhammad (DM) mengurai kegelisahannya sebagai manusia kontemporer. DM berada dalam garis demarkasi antara eksotisme masa lalu dan kegenitan masa depan. Hal ini berlatar belakang bahwa di satu sisi, ia sukar melepaskan diri dari tradisi, mitos, warisan pemikiran, dan cengkeraman sejarah kampung yang begitu kuat. Namun di sisi lain, ia juga menyadari bahwa psikologi manusia masa kini tidak dapat mengelak dari nilai, prinsip, dan etos modernitas.
Lewat karyanya, sastrawan asal Minangkabau setelah generasi Gus tf Sakai tersebut seolah berkoar bahwa orang-orang kampung tengah mengantongi julukan kaum semi-urban. Mereka bergaya, berperilaku, dan bercorak pikir layaknya orang kota. Berpenampilan modis dan trendy, digenapi dengan gadget canggih, mereka menampakkan diri sebagai orang kota. Sayangnya, tampilan serba urban kurang diimbangi dengan matangnya pola berpikir.
Cerpen “Orang-orang Larenjang” mengisahkan Julfahri yang kehilangan identitas sebagai orang kampung. Etos urbanisme telah menggerogoti cara pandangnya terhadap kehidupan. Nilai, prinsip, dan kearifan nenek moyang telah tergerus oleh arus modernitas yang menawarkan segala bentuk kemewahan, kemudahan, dan kenyamanan yang banal dan dangkal makna. Beberapa tahun kuliah di kota membuatnya tidak lagi percaya pada nasihat pengulu Bandara Gemuk yang cenderung konservatif dan ketinggalan zaman. Julfahri nekat mempersunting Nurhusni, seorang sanak dekat yang berada dalam satu rumpun dengannya. Padahal pernikahan semacam ini ditolak oleh “rambu-rambu adat”. Julfahri menerobos larangan dengan risiko kehilangan istri dan dua anaknya.
Adapun cerpen “Ambai-ambai” memperlihatkan kegigihan seseorang meminang pelacur. Walaupun konvensi sosial tak mengizinkannya, ia tetap bersikeras melangsungkan pernikahan. Bertahun-tahun mengarungi samudera rumah tangga, beragam hinaan harus diterima bukan hanya olehnya, namun juga anak-anaknya. Meski alur cerita tidak memperlihatkan adanya pengaruh urbanisme secara langsung, tetapi egoisme kaum urban ternyata sudah jauh merasuk dalam diri kaum udik, sehingga mereka berani menihilkan kultur lokal.  
Menjamurnya efek modernitas yang menimpa masyarakat dewasa ini tidak membuat DM berpikir untuk meninggalkan dan mengubur dalam-dalam kultur tradisional. Sebagai perantau yang bermukim di kota besar Jakarta, ia justru berusaha memungut kearifan-kearifan lokal yang diwariskan para pendahulu. Baginya, modernitas merupakan fakta yang harus diterima, disikapi, dan diharmonisasikan dengan tradisi lama.
Penulis yang pernah menjadi Ketua Tim Juri Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun 2008 dan 2013 tersebut menyadari bahwa meminjam corak berpikir para pendahulu sama saja mengundang romantisme yang begitu melenakan. Akan tetapi, ia juga mafhum bahwa pelbagai produk modernitas tidak selayaknya disikapi dengan serampangan. Tarik-menarik inilah yang terjadi dalam diri DM. Namun demikian, ia tidak lantas terjebak dalam lubang kegamangan.
DM mampu bersikap dengan mengolah gagasan-gagasan usang yang tentu masih relevan hingga sekarang. Tak ayal, warisan ide masyarakat “tempo doeloe” menempati porsi besar dalam cerita-ceritanya. Dengan demikian, apa yang disajikan DM dalam bukunya lebih bercorak pascatradisional. Buah penanya banyak mendapat pengaruh dari pelbagai nilai, norma, perilaku, cara pandang, dan ingatan kolektif yang berorientasi ke belakang. Hal ini terutama sangat menonjol dalam cerpen “Tembiluk”, “Banun”, “Bayang-bayang Tujuh”, “Badar Besi”, “Anak-anak Masa Lalu”, dan “Kepala Air”.
Dengan cara di atas, DM dapat dengan leluasa melontarkan kritik sosialnya, meski dengan mengaburkan arah kritik yang dituju. Pembaca cerdas tentu mengetahui, orang-orang kampunglah yang menelan kritik tersebut. Bahwa kemudian mereka masih terninabobokkan oleh gegap gempita yang ditawarkan modernitas, itu persoalan lain.
Kumpulan cerpen yang sebagian besar telah terbit di media-media nasional ini berupaya menghadirkan nuansa masa silam. Pembaca diajak merangkai kepingan nostalgia yang tercecer. Lahir di kampung kecil di Taram, Payakumbuh, Sumatera Barat, memudahkan DM “memprovokasi” pembaca untuk memungut sisa-sisa ingatan tentang indahnya kehidupan perkampungan.
Dalam epilognya, ia mengaku, “Dunia cerita yang saya rancang senantiasa bermula dari kenangan tentang kampung halaman. Mungkin itu sebabnya, dalam pergaulan dengan sejawat-sejawat pengarang, saya kerap disebut kampungan, lantaran cara berpikir saya yang udik … Alih-alih bergerak maju dan gemilang, saya malah merasa semakin terbelakang, semakin ndeso, meski belum jatuh ke level kolot.”
Bagaimana pun, serpihan memori merupakan wujud kesenangan yang menancap pada pikiran. Oleh sebab itulah, setiap manusia membutuhkan klangenan, hiburan ringan sesaat, di tengah peliknya problematika kehidupan. Dalam pandangan DM, geliat menyajikan nostalgia mengandung ikhtiar pelarian psikologis manusia dari segala realitas yang kian menindas. Kredo semacam inilah yang direpresentasikan dengan baik dalam sejumlah cerpennya.
Sayangnya, dalam berkarya, DM cenderung “memaksakan” kehendak agar buah pikirannya dapat diterima publik. Ia cenderung menempatkan diri sebagai penyampai aspirasi orang-orang yang terluka oleh sejarah. Bagaimana tidak? Kebudayaan kampung genap dicampakkan oleh orang kampung sendiri. Dengan caranya sendiri, ia begitu getol memanfaatkan karya sastra sebagai penyusup ideologi dan misi budaya. Hal ini menjadikan kedewasaan pembaca dikorbankan. Dalam taraf tertentu, pembaca tidak ditempatkan sebagai pribadi otonom dengan otoritas penuh. Pembaca hanya diberi hak untuk sekadar mengamini apa yang disuguhkan dalam balutan cerita-ceritanya.

Bojonegoro, 2015

Selasa, 08 Desember 2015

Revitalisasi BUMDes (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Selasa, 8 Desember 2015)

Menurut rencana, penyaluran Dana Desa tahap III sebesar Rp 4,2 triliun akan dicairkan akhir bulan Nopember 2015. Lebih dari 80 persen dari total pagu berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 sebesar Rp 20,8 triliun telah disalurkan ke kas kabupaten/kota untuk diteruskan ke rekening desa-desa. Sayangnya, penyerapan Dana Desa masih sangat rendah. Banyak Bupati atau Walikota yang belum menyalurkannya ke desa.

Katalisator Perekonomian
Penyaluran Dana Desa sejalan dengan target pemerintah mempercepat pembangunan desa dalam upaya meningkatkan laju perkembangan ekonomi nasional. Dana Desa bisa difungsikan sebagai penguat sektor badan usaha milik desa (BUMDes) yang merupakan salah satu opsi sektoral dalam tubuh kelembagaan desa. Selain menjadi katalisator pertumbuhan produktivitas kolektif masyarakat desa, BUMDes juga dapat menggerakkan perekonomian masyarakat desa. Lahirnya UU No 6/2014 tentang Desa yang ditunjang dengan PP No 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 6/2014 mengandung harapan agar kontribusi BUMDes bagi perekonomian lokal lebih optimal. (Chusainuddin, 2015)
Atas dasar inilah, pemerintah pusat seharusnya memberi sanksi tegas kepada kabupaten/kota yang terlambat menyalurkan dana tersebut ke desa. Jangan sampai, nasib desa terkatung-katung hanya lantaran kesalahan pemerintah di atasnya.
Dengan dana tersebut, pemerintah desa dapat mendirikan serta merevitalisasi BUMDes. Apalagi, mayoritas jumlah penduduk miskin yang tersebar di negeri ini berada di kawasan perdesaan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Maret 2015, jumlah penduduk miskin mencapai 28,59 juta orang (11,22 persen). Data ini menunjukkan, kaum miskin di negeri ini mengalami peningkatan sebesar 860.000 orang ketimbang September 2014 sebanyak 27,73 juta orang (10,96 persen).
Kabar tentang ekonomi kawasan perdesaan tidak begitu menggembirakan. Peningkatan ekonomi hanya berlangsung di tataran individual dan personal. Selama ini, belum ada upaya serius memberdayakan perekonomian warga desa secara komunal. Bila pun pemerintah daerah telah mencanangkan program kesejahteraan warga desa, itu hanya formalitas dan seremonial yang nihil aksi. Inilah yang menjadi faktor mengapa ketimpangan ekonomi dan sosial belum dapat teratasi dengan baik. Akibatnya, kemiskinan menjadi problematika usang dan klise yang berulang-ulang.
Orang-orang desa masa kini lebih bangga menjadi buruh di kota daripada bertani di desa. Mereka memilih bekerja di perusahaan atau serabutan dibanding mencangkul di ladang. Di samping menyebabkan jumlah petani merosot drastis, realitas ini rentan menyebabkan regenerasi petani terancam.
Jika BUMDes berhasil diberdayakan, niscaya keinginan orang-orang desa berburu rupiah di kota dapat diminimalisir. Eksistensi BUMDes dapat membuka lahan pekerjaan dan mengurangi angka pengangguran. Dengan demikian, laju kemiskinan bisa ditekan. Yang tidak kalah penting, hasil pertanian masyarakat desa bisa diakomodir oleh BUMDes. Adapun keuntungan yang didapat BUMDES dimanfaatkan sebagai modal pembangunan pertanian desa.

Perlu Campur Tangan
Untuk merealisasikan hal di atas, perlu adanya “campur tangan” dari pemerintah pusat. Meskipun Dana Desa diperuntukkan membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa, legalitas mengatur bahwa pencairannya ditransfer melalui anggaran belanja daerah kabupaten/kota. Aturan inilah yang membuat dana yang bersumber dari APBN tersebut rentan diselewengkan. Pejabat pemerintahan daerah kabupaten/kota berpotensi besar terjerumus dalam praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Dengan alokasi Dana Desa yang begitu besar, dikhawatirkan jumlah calon kepala daerah yang menyelewengkannya juga besar. Dana Desa bisa dimanfaatkan layaknya dana bakti sosial (baksos) dan dana bantuan sosial (bansos). Petahana atau incumbent memiliki kuasa dalam menyulap Dana Desa menjadi alat politik.
Petahana bisa saja menahan Dana Desa dan membagikannya di saat yang tepat. Dengan dalih tak semua desa memiliki kreativitas dan inovasi dalam mengelola anggaran tersebut, petahana berpura-pura menunggu kesiapan SDM desa. Dana Desa akan dicairkan menjelang pilkada. Dengan demikian, saat kampanye, ia bisa mengatakan bahwa Dana Desa merupakan kemurahan hati, sehingga mampu menyedot perhatian dan dukungan masyarakat. Apalagi, APBN 2015 merupakan tahun pertama dialokasikannya Dana Desa. Fenomena ini seolah merefleksikan doktrin Lord Acton (1834-1902) yang menyebut power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut cenderung menjadikan seseorang korup pula). 
Digelontorkannya Dana Desa adalah dalam rangka mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam Dana Desa terdapat dimensi kepentingan publik berupa transparansi, akuntabilitas, serta orientasi pada kepentingan masyarakat. Itulah sebabnya, Dana Desa harus dialokasikan secara jujur, terbuka dan berprinsip pada kepentingan umum. Pengelolalaan Dana Desa pada hakikatnya bersinergi dengan hak setiap warga negara. Dengan demikian, jangan sampai dana ini dimanfaatkan oleh para elite demi menuruti syahwat politik.
Seyogyanya pemerintah melakukan pendampingan bagi para petahana yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah dalam mengelola Dana Desa. Tenaga pendamping yang dimaksud berasal dari BPK, BPKP, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), perguruan tinggi, atau organisasi kemasyarakatan yang memiliki kompetensi di bidangnya.

Bojonegoro, 2015

Rabu, 25 November 2015

Mendesain Bela Negara (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Rabu, 25 November 2015)

Kementerian Pertahanan menginisiasi program bela negara. Demi mewujudkannya, kementerian ini berencana merekrut 100 juta kader dari seluruh wilayah di Indonesia. Keberadaan kader bela negara dinilai sangat penting dan mendesak, di samping untuk memperkuat wawasan kebangsaan warga negara, juga berupaya menjadikan suatu negara lebih kuat dan disegani.
Sebagaimana diketahui, pembentukan kader bela negara dilaksanakan melalui program ketahanan negara di setiap kabupaten/kota. Pada tahun ini, 47 kabupaten/kota yang berada di 11 Kodam akan menjadi saksi bahwa pemerintah serius dalam mencetak kader-kader militan yang siap melindungi negara dari segala bahaya yang mengancam.
Program ini menampilkan sesuatu yang paradoks. Di satu sisi, program bela negara memang sangat dibutuhkan. Belakangan ini, kasus-kasus kekerasan yang terjadi di berbagai daerah menunjukkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya paham mengenai konsep, prinsip, dan nilai-nilai nasionalisme. Akibat pemahaman yang masih dangkal inilah, masyarakat kerap terpancing oleh aksi provokator yang bermaksud memecah-belah persatuan.
Belum lagi isu-isu sensitif berbau SARA yang sengaja diterbangkan oleh mereka yang kurang bertanggung jawab. Jika tidak disikapi secara kritis, barang tentu hal ini dapat menyebabkan munculnya dendam sosial dan kultural antar warga negara. Padahal, sebenarnya di balik ulah provokatif tersebut, sejumlah oknum hanya ingin memetik beragam keuntungan, baik politis, sosial, maupun finansial.
Adapun di sisi lain, program ini seolah dicetuskan dengan maksud untuk membungkam suara-suara kritis. Pemerintah ingin menangkis “tombak kritik” yang dilesatkan masyarakat. Tujuan diadakannya program bela negara dengan pelatihan ala militerisme lebih pada upaya mendoktrin warga negara agar siap bertempur di medan laga.
Dalam pandangan Mufti Makarim (2015), pelatihan yang dimaksud rentan mengubah cara pandang dan pola berpikir warga negara. Orang yang melontarkan kritik terhadap kebijakan pemerintah justru dianggap melawan negara. Padahal, program ini memiliki konsep yang luas, tak hanya berkaitan dengan militerisme. Kritik terhadap maraknya korupsi dan penyalahgunaan wewenang juga disebut bela negara. Pengamat militer dari Institute for Defense and Peace Studies (IDPS) tersebut berpendapat, bela negara seharusnya lebih ditekankan untuk memompa kedisiplinan, membangkitkan etos, dan membentuk karakter.
Meskipun dicetuskannya program bela negara didasari atas motivasi menjadikan Indonesia dalam kemasan nasionalisme dan patriotisme, boleh jadi, program ini memendam semangat militeristik yang meluap-luap. Beberapa pihak berhasrat menegakkan kembali kejayaan militer masa silam. Padahal, petualangan militerisme Indonesia, terutama masa Orde Baru, dipenuhi dengan sikap egoistis dan individualistis yang menindas rakyat kecil.

Budaya Konstruktif
Digulirkannya program bela negara oleh Kementerian Pertahanan tidak seharusnya disikapi dengan antipati dan sinis. Apalagi, sejumlah materi bela negara meliputi pemahaman empat pilar negara, sistem pertahanan semesta, dan pengenalan alutsista. Ditambah lagi dengan lima nilai cinta tanah air, sadar bangsa, rela berkorban, dan pancasila sebagai dasar negara.
Namun demikian, agar program ini tidak mengalami penyimpangan, perlu dibentuk budaya konstruktif yang mengutamakan etika kepedulian (ethics of care) terhadap keberlangsungan sebuah negara. Dalam program bela negara, perlu dibangun sebuah sistem yang menumbuhkan paralelisme antara kekuatan fisik sebagai bagian dari ciri militerisme dengan etika yang menjunjung tinggi harkat dan harga diri manusia. Dalam banyak kasus, antara sikap militeristik dengan kehalusan budi memang sukar disatukan. Akan tetapi, jika pemerintah serius dan konsisten mewujudkannya, dapat dipastikan keduanya bisa berjalan secara bersamaan.
Harus ada rambu-rambu agar program bela negara tidak mengintervensi ruang-ruang privat dan publik. Hal ini perlu diperhatikan, mengingat militerisme pernah disalahgunakan untuk melancarkan reorganisasi kekuasaan dalam jaringan oligarki. Bermodal produk legislasi yang memberi batasan bagi kalangan militer dalam peran sosial dan politik, jangan sampai gejala oligarki dan warisan otoriterisme menyelusup dalam transformasi institusi di era demokrasi.
Sebagai catatan, jika unsur-unsur kekerasan sebagai unikum dalam militerisme semakin menguat, bukan tidak mungkin Indonesia di masa yang akan datang lebih condong ke paham totaliterisme. Padahal, dalam sejarah umat manusia, totaliterisme yang genap didengungkan oleh Nasional-Sosialisme Jerman, Komunisme Uni Soviet, ataupun Khmer Merah di Kamboja telah memakan jutaan korban. Ditambah lagi, rezim totaliter memiliki kecenderungan mendukung berkuasanya partai monopolistik yang membekali para perwira dengan komando eksklusif, distingtif, dan menonjol.
Budaya konstruktif juga bisa diwujudkan melalui jalur pendidikan. Ke depan, program bela negara harus dijauhkan dari kesan formalistik yang dangkal makna. Militerisasi dalam dunia pendidikan tidak boleh sekadar menampilkan nuansa militer yang begitu kental tetapi serba banal, seperti standardisasi potongan rambut untuk pelajar tingkat dasar dan menengah, serta penggunaan seragam tertentu untuk level pendidikan tinggi. Belum lagi legitimasi institusi pendidikan dan pembenaran-pembenaran moralis yang menghalalkan segala bentuk perploncoan tidak manusiawi.
Seharusnya pemerintah dapat mengintegrasikan prinsip dan nilai program bela negara yang esensial ke dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Guna merealisasikannya, pemerintah dapat menggandeng pakar pendidikan, akademisi, peneliti, dan psikolog dalam penyusunan kurikulum. Dengan demikian, baik di sekolah maupun kampus, para pelajar dan mahasiswa tidak hanya mempunyai jiwa ksatria dan cinta Tanah Air, melainkan juga peka terhadap problematika bangsa.

Bojonegoro, 2015

Senin, 16 November 2015

Merebaknya Gejala Narsisme (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Senin, 16 November 2015)

Dalam dasawarsa terakhir, gejala-gejala narsisme mudah ditemukan dalam kehidupan artis, politikus, dan dai selebritis. Dengan cara dan pola masing-masing, mereka ingin menampilkan segi positif-materialistis dari diri manusia. Mereka berhasrat menunjukkan sisi-sisi kesempurnaan di balik sosok makhluk yang tidak pernah sempurna (nobody perfect).
Ciri khas narsisme yang seringkali tampak yaitu terlalu percaya diri. Atas dasar inilah, bagi sebagian orang, narsisme berdampak positif. Namun demikian, tidak semua yang diasumsikan publik tentang narsisme bisa dibenarkan.
Tanpa pertimbangan logis, para artis gemar menyajikan keglamoran. Bagi mereka, ada semacam konsensus tak tertulis, “uang bisa membeli segalanya”. Dengan konsensus ini, mereka sibuk menampilkan capaian duniawi yang profan, meskipun banyak orang yang saban hari makan nasi aking.
Aksi mereka mendapat sambutan dari para pemodal bermental kapitalis, yang dengan senang hati, menyulap televisi menjadi panggung artis. Akibat godaan konsumerisme materialistis dan rasionalisme sekularistis, para artis rela menukar harga diri mereka dengan uang. Sistem kapitalistik telah membuka ruang yang demikian lebar, sehingga manusia dianggap aset dan komoditas empuk. Barang tentu persepsi seperti ini berpotensi mereduksi hak manusia. Segala macam bentuk diskriminasi dihalalkan, asal mendatangkan keuntungan politis, sosial, serta finansial.
Dari iklan, sinetron, infotainment, bahkan hot news tampak kemewahan yang sengaja dihidangkan. Mulai wajah yang dipermak, mobil mewah, hingga busana berlabel ratusan juta rupiah. Padahal, ragam acara yang menyajikan life style para penjunjung tinggi hedonisme tersebut dapat membunuh karakter anak bangsa secara perlahan.
Narsisme juga mendapat ‘restu’ dari aktor-aktor politik, terutama menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada). Mereka menyemarakkan narsisme dengan politik selfie. Dalam pandangan Fuadi, Peneliti Monash Institute Semarang, selama ini cara kandidat “mempromosikan diri” hanya berkutat pada kampanye narsisme dan janji-janji politik yang dianggap sebagai alat legitimasi untuk merebut kekuasaan.
Dalam menggaet pendukung, para kandidat memanfaatkan dakwah visual dengan menonjolkan catatan kesuksesan yang pernah mereka raih, baik gelar kebangsawanan, akademis, keagamaan, maupun hubungan baik dengan tokoh yang dianggap berpengaruh.
Mengutip Musyafak (2014), “penampakan iklan-iklan politik atau alat peraga kampanye, baik dalam bentuk visual maupun audio-visual, menjadi penanda berlangsungnya politik selfie. Kondisi ruang-ruang publik kita hari ini yang tidak kalis dari serangan iklan politik adalah representasi dari politik selfie yang mementingkan diri sendiri.”
Narsisme semakin meriah dengan hadirnya dai-dai selebritis. Sambil menabur ayat Tuhan, para pegiat dakwah tersebut menebar senyum dan menggelorakan citra. Tak segan-segan, harta mereka umbar demi sederet pujian. Padahal, sesungguhnya, mereka tidak pernah mendapat kemuliaan, sebab harga diri mereka pertaruhkan demi kepentingan segelintir orang dan ‘makelar’ iklan. Mereka hanya bersedia menyampaikan ajaran agama, jika tarif sesuai dengan permintaan.
Dari apa yang dilakukan oleh figur-figur ‘representatif-ideal’ di atas, perilaku narsisme mulai menular. Publik menangkap bahwa duplikasi atas aksi mereka merupakan sebuah kebanggaan. Tak ayal, kini, anak kecil, remaja dan orang tua saling berlomba mematut-matut tubuhnya di depan ponsel dan kamera untuk kemudian memajang foto mereka di media sosial (medsos). Bagaimana pun juga, narsisme adalah sebuah keniscayaan, kebutuhan sekaligus peneguhan diri. Konsekuensinya, selfie menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar.
Selfie juga menjadi sarana pengganti hiburan tradisional yang selama ini diperankan oleh keluarga dan lingkungan. Dengan demikian, produser-produser selfie yang pornograf cultural memiliki keuntungan kompetitif terhadap mereka yang tidak memilikinya. Munculnya pornograf culutural ini memantik kegelisahan nurani, seperti Rosihan Anwar (2004) yang mengeluhkan bahwa imbas dari pornograf cultural yaitu kecenderungan televisi pada hal-hal sensual, seksual, dan sensasional.
Penyalahgunaan selfie oleh pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab melahirkan suatu budaya massal dari pengeruk keuntungan yang mengeksploitasi vulgaritas dan pornografi. Imbasnya serius. Video-video porno, dengan artis, anggota DPR, dan tokoh agama sebagai aktornya, diproduksi besar-besaran. Barang tentu hal ini memancing adrenalin ‘petualang cinta’. Dengan merekam dan menyebarkan kemesraan bersama pasangannya, ia meneguhkan eksistensi. Ia ingin menunjukkan bahwa adegan ranjang yang dilakukan lebih ‘gila’ dan layak dibanggakan.
Betapa narsisme juga berhasil menjangkiti anak-anak. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka seolah tidak terlepas dari aktivitas selfie. Dengan kemampuan berpikir yang masih terbatas, mereka seringkali terjebak pada perilaku “unjuk diri” yang banal dan dangkal makna. Keluguan anak-anak dimanfaatkan oleh sejumlah oknum dengan memproduksi video esek-esek dengan anak di bawah umur selaku aktornya.
Pengeksploitasian anak-anak merupakan upaya merenggut hak mereka demi segelintir kepentingan. Sayangnya, pendidikan kurang mampu menjadi benteng pertahanan dan keamanan bagi anak kecil. Sekolah tidak lagi berfungsi sebagai institusi yang dapat menangkis ekses-ekses modernisasi dan globalisasi dengan sajian kekerasan yang sewaktu-waktu dapat menimpa anak-anak, baik kekerasan emosional, verbal, fisik, maupun seksual.
Segala bentuk kekerasan terhadap anak-anak seolah dilegalkan oleh carut-marutnya sistem pendidikan. Kondisi seperti ini rentan menyebabkan anak-anak mengalami kekerasan simbolik. Dalam pandangan Pierre Bourdieu, kekerasan simbolik (la violence symbolique) merupakan kekerasan tidak kasat mata yang tidak akan tampak tanpa adanya pemahaman kritis. Pada dasarnya, para korban menganggap apa yang menimpa mereka bersifat alamiah dan wajar. Tak heran jika kekerasan semacam ini dipelihara sampai dewasa dan berkeluarga.


Bojonegoro, 2015

Minggu, 15 November 2015

Nostalgia, Literasi, dan Emansipasi (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 15 November 2015)

Jagat perbukuan tak ubahnya bidang industri lainnya. Para pelakunya dituntut memahami betul fungsi-fungsi marketing. Penerbit Bilik Literasi justru melawan arus dengan meluncurkan buku dengan desain, ilustrasi, dan kover yang terbilang “kurang menjual”.
Namun demikian, bagus tidaknya sebuah karya tidak bisa diukur dari segi fisik semata. Nyatanya, di balik bungkus yang kurang memenuhi unsur estetika, buku ini menyajikan sejumlah tulisan yang layak dinikmati para pembaca.
Ditilik dari tampilan, buku Melulu Buku (Bilik Literasi, 2015) berupaya menghadirkan nuansa masa silam. Pembaca diajak merangkai kepingan nostalgia yang tercecer. Kover dengan foto lawas serta kertas berwarna buram mengajak pembaca untuk memungut sisa-sisa ingatan dan kenangan era 80 hingga 90-an.
Serpihan memori merupakan wujud kesenangan yang menancap pada pikiran. Oleh sebab itulah, setiap manusia membutuhkan klangenan, hiburan ringan sesaat, di tengah peliknya problematika kehidupan. Boleh dibilang, apa yang dimunculkan buku ini mengandung ikhtiar pelarian psikologis manusia dari segala realitas yang kian menindas.
Perhatian penulisnya, Setyaningsih, pada jagat literasi mengakibatkan kerapnya penggunaan kata buku, perpustakaan, menulis, dan membaca dalam esainya. Dalam batas tertentu, ia mencoba untuk mengakrabi literasi dengan logika anak kecil. Ia memposisikan diri sebagai anak yang ingin menautkan masa kecil dengan buku. Betapa ia selalu berusaha memupuk rasa penasaran (curiosity) terhadap sisi gelap buku.
Di sela-sela kesibukannya bermain dan belajar, si kecil begitu kangen memeluk dan mencium buku. Buku, baginya, merupakan sebuah kesenangan sekaligus candu dalam kehidupan. Buku diposisikan sebagai permen dan coklat yang mempermanis kisah kehidupan.
Sebagai bentuk kekhawatiran terhadap nasib perempuan yang begitu tragis, Setyaningsih membangkitkan motivasi kaum Hawa dalam berliterasi. Esainya memuat rasa geram terhadap ketidakadilan biologis, sosiologis, dan struktural yang menimpa para perempuan. Ini terutama bisa dirasakan dalam esai “Perempuan: Biografi dan Otobiografi” dan “Perempuan dan Literasi”.
Hal di atas berlatar belakang kecemasannya terhadap orang tua, terutama golongan priayi, yang merasa bahwa anak perempuan lebih patut berada di rumah. Perempuan dikondisikan agar tidak terlalu menampakkan diri atau dilarang bertingkah terlalu ekspresif.
Di balik esai-esai Setyaningsih terkandung misi persamaan gender dan emansipasi perempuan. Ia begitu teguh memperjuangkan hak-hak perempuan (terutama hak literasi) untuk dapat bersanding dengan kaum Adam. Bagaimana pun, perempuan berhak mengakrabi koran, majalah, buku, serta literatur lainnya sebagai cara memperoleh ilmu pengetahuan.
Ada beban psikologis dan sosial yang melingkupi kehidupan perempuan. Kemunculan mereka di muka publik kurang memiliki efek atau kontribusi. Apalagi, mereka kerap disibukkan dengan peran, tugas, dan fungsi dalam rumah tangga sekaligus bidang keahliannya.
Dalam pandangannya, menokohkan perempuan melalui buku memang penuh risiko. Akan tetapi, ini juga menjadi bukti bahwa perempuan telah berkontribusi di dunia keluarga, politik, kebudayaan, ekonomi, kesehatan, pers, dan kemanusiaan. Sehingga, mereka berani memunculkan narasi diri.
Tampaknya, Setyaningsih memupuk kecurigaan yang berlebihan terhadap politisasi peran perempuan dalam ranah publik. Sayangnya, kebencian yang mendalam justru mengorbankan kelembutan tulisan. Tentu ini patut disayangkan. Esai yang “manis dan penurut” tiba-tiba berubah “penuh kebencian”. Imbasnya, sejumlah kosa kata menyebabkan esainya yang halus menjadi kasar.
Dalam menulis, esais harus mampu menjaga diri dari kemarahan membabibuta. Ia dituntut memiliki tingkat kematangan emosi yang terjaga. Tentu berbeda hasilnya, saat esais berkarya dalam kondisi bersungut-sungut dengan memoles tulisannya dalam keadaan tenang. Bagaimana pun, kuatnya perasaan esais berpengaruh besar terhadap kualitas esainya.
Ini bukan berarti karya Setyaningsih mengalami “kegagalan”. Emosionalitas dalam esai-esainya justru menguraikan kekuatan individu penulis yang merupakan karakter sebuah esai. Apa yang dikatakan Setyaningsih dalam karyanya merupakan bayangan kepribadiannya. Tentu hal ini tidak perlu digugat, mengingat yang terpenting dari sebuah esai yaitu cara pandang penulis dalam mengemukakan persoalan, bukan pada persoalan itu sendiri.
Meskipun demikian, harus ada batasan seberapa besar ia memanfaatkan perasaan dalam menyemai gagasan. Ketika sedang diliputi rasa berang dan dongkol, seyogyanya ia menjaga jarak dengan tulisan. Terlebih dahulu ia harus mendinginkan kepala. Dalam bahasa agama, “Jika kau dalam kondisi marah, maka berwudulah!”.
Selama ini, buku-buku yang diterbitkan oleh sejumlah pihak ingin merengkuh pengakuan publik dengan diselipkannya beberapa atribut, sehingga membuat visualitas buku lebih prestisius, ambisius, dan arogan. Atribut-atribut ini merefleksikan testimoni mengenai kualitas buku maupun kapasitas penulis. Legalitas, pendapat pakar, dan komentar public figure seolah meneguhkan keadiluhungan tulisan. Bercorak promosional, ini semua dalam rangka mengangkat brand karya beserta harga diri penulisnya. Dengan demikian, untuk dikatakan “baik”, sebuah karya harus mendapat stempel dari institusi dan tokoh yang memiliki otoritas literal.
Terbitnya Melulu Buku menunjukkan gelagat menjauhi mainstream. Tanpa epilog serta endorsement, ia hadir menyapa pembaca. Dengan caranya sendiri, buku ini berusaha menghindar dari mitos, efek formalitas, serta konvensi. Ia merupakan antitesis terhadap “standar baku” karya cetak, terutama buku.
Karya yang bernas mampu meneguhkan eksistensi, meski nihil pengakuan (recognition), penghormatan (tribute), dan perayaan (celebration). Di sinilah letak buku ini dalam kancah literasi Indonesia. Ia tak perlu dipuji, karena sanggup menumbuhkan motivasi dan impuls bagi diri sendiri.

Bojonegoro, 2015

Jumat, 13 November 2015

Beras (Teroka_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kompas" edisi Jumat, 13 November 2015)

Belum lama ini, program kampanye “One Day No Rice” (sehari tanpa nasi) diluncurkan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Dalam penjelasannya, kampanye ini untuk mengubah kultur pangan masyarakat di tengah produksi beras yang memprihatinkan. Ia menganjurkan masyarakat membiasakan diri mengonsumsi jagung, ubi, atau singkong sebagai pengganti beras. Ini ikhtiar mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras.
Di negeri ini, beras memiliki posisi vital dalam kehidupan kuliner, bahkan sebagian menganggap tak tergantikan. Dalam sejarahnya, beras pun ternyata turut menentukan perkembangan sosio-kultur masyarakat. Beras membentuk sikap, perilaku, dan pola pikir kita dari dahulu hingga sekarang. Bahkan juga bagi bangsa lain.
Oleh masyarakat Tionghoa, misalnya, beras dianggap sebagai bibit kebaikan. Pernikahan terasa belum lengkap jika beras tidak disajikan. Betapa imaji kesuburan dan kedamaian hidup tersimpan dalam beras. Beras dipercaya membuat pasangan suami-istri lebih harmonis.
Adat pernikahan masyarakat Tionghoa menyebutkan, pesta bujang digelar setelah lamaran dan seserahan. Acara di rumah kedua mempelai pengantin ini begitu unik, ditandai dengan duduknya mempelai wanita di atas tampah atau karpet bundar. Di hadapannya terletak sebuah gentong berisi beras. Sebagai bahan makanan yang dipersiapkan istri dalam keluarga, beras merepresentasikan kesejahteraan dan kemakmuran.
Begitu pun beras berperan penting dalam memelihara ekosistem perekonomian masyarakat Jawa. Beras membangun fondasi perekonomian desa yang berporos pada perdagangan tradisional. Hasil bumi berupa beras digelar di pasar untuk ditawarkan kepada mereka yang membutuhkan. Oleh para pejuang ekonomi kerakyatan ini, beras dibawa dengan cara digendong, dipikul, dengan obor sebagai penerang jalan (Anshoriy Ch, 2008: 8).
Beras mengukuhkan sistem pedagang bakulan yang merupakan saka guru perekonomian Jawa. Hari pasaran Pon, Wage, Kliwon, Legi, serta Pahing menjadi waktu bagi penjual dan pembeli melakukan transaksi.

Superioritas Beras
Dalam pandangan masyarakat, beras memiliki citra superior ketimbang sumber karbohidrat lainnya. Beras menjadi “primadona” lantaran kontinuitas ketersediaan terjaga, mudah dimasak, serta nyaman di lidah. Dibandingkan pangan lokal lain, gizi dan nutrisi beras bisa diunggulkan. Ditambah lagi, tersebar mitos bahwa meski kenyang menyantap hidangan, seseorang belum merasa makan jika perutnya tidak berisi nasi. Beras telah membentuk cara pandang dan pola pikir sebuah bangsa.
Sayangnya, superioritas beras semakin pudar akibat ulah mafia beras yang menyalahgunakan peran pertanian industrial kapitalistik yang membuat sentra produksi petani lokal kurang produktif. Petani lokal dan pasar tradisional terdesak akibat produk lokal kurang diminati konsumen. Apalagi, pemerintah kerap membuka keran impor saat harga beras melambung. Imbasnya, kesejahteraan petani terancam. Menjamurnya produk-produk pertanian dari negeri tetangga membuat mereka merugi. Peluang pasar dan daya saing petani lokal kerap dikebiri kebijakan pemerintah yang kurang memihak produk lokal.
Padahal, Kerajaan Majapahit merupakan pemasok beras di sejumlah wilayah Asia Tenggara. Beras salah satu komoditas utama Nusantara sejak kerajaan ini berjaya pada abad ke-14. Kudus, Jember, dan Pati merupakan di antara sentra utama beras masa itu. Raja memonitor dan menjaga lancarnya perdagangan beras dikarenakan usaha ini menghasilkan untung berlipat. Nilai ekonomis pada beras membuat penguasa memberikan perhatian serius terhadap pengembangan produksi beras.

Muatan Politis
Beras tidak sekadar bernilai ekonomis, tapi juga bermuatan politis. Oleh para penguasa negeri ini, beras difungsikan sebagai komoditas politik. Mengutip Djafar (2015), politisasi beras berlangsung sejak bercokolnya kaum kolonial yang berkepentingan memperoleh tenaga buruh murah. Guna menyerap tenaga masyarakat dalam sentra perkebunan, harga beras senantiasa ditekan. Bahkan, saat terjadi krisis beras pada 1863, sebagai upaya menjaga ketersediaan tenaga buruh murah, pemerintah kolonial meniadakan bea masuk impor beras. Ketika tongkat estafet kolonialisme berada di tangan Jepang, intensifikasi pertanian beras dilakukan dengan memperkenalkan varietas padi baru guna memenuhi kebutuhan perang militer Jepang.
Saat pekik kemerdekaan berkumandang, politisasi beras tetap memiliki keterkaitan dengan kebijakan penguasa. Kekuasaan sanggup menentukan “nasib” beras. Orde Lama menjadikan beras sebagai pendukung visi-misinya. Sebagai solusi pemenuhan pangan masyarakat, Soekarno sengaja memilih beras sebagai komponen gaji angkatan bersenjata dan pegawai negeri.  
Adapun Orde Baru memanfaatkan beras dalam “bungkus” Revolusi Hijau untuk meningkatkan produksi pangan, terutama swasembada beras. Celakanya, Revolusi Hijau tidak mampu mengantarkan Indonesia menjadi negara berswasembada pangan secara tetap (hanya lima tahun, 1984-1989). Selain itu, Revolusi Hijau juga menciptakan jurang pemisah orang-orang pedesaan. Kesenjangan ekonomi dan sosial membuat kehidupan masyarakat semakin timpang. Yang diuntungkan gerakan ini hanyalah petani kaya dan aparatur negara.
Gejala-gejala politisasi beras juga dapat ditemukan pada era reformasi. Betapa mudahnya seorang kandidat presiden memilih beras sebagai bagian dari kampanye. Revitalisasi pertanian dijadikan agenda utama pemerintahan. Namun, saat ia menapaki kursi kepresidenan, kinerja dan produktivitas sektor pertanian sedemikian rendah. Petani sebagai tulang punggung ketahanan pangan kerap diabaikan. Jika ini yang terjadi, swasembada beras hanya sebatas janji, bahkan ilusi.

Bojonegoro, 2015

Selasa, 03 November 2015

Peran Pendamping Dana Desa (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Selasa, 3 November 2015)

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sedang menyeleksi pendamping dana desa (PDD) yang akan membantu penyusunan laporan keuangan dana desa (DD) serta penggunaannya. Mereka wajib mengawal kepala desa beserta aparatur desa lainnya dalam menggunakan anggaran (Koran Jakarta, 02/11).
PDD dipercaya memfasilitasi aparatur desa agar DD dibelanjakan sesuai keperluan. Jangan sampai DD justru menimbulkan masalah hukum di kemudian hari. Proses rekruitmennya harus akuntabel dan transparan. Publik harus dapat secara leluasa memantau proses seleksi PDD. Keterbukaannya penting  karena termasuk  informasi publik. Masyarakat sepatutnya memperoleh kemudahan  mengikuti proses dan hasilnya.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Jafar menyebutkan bahwa PDD untuk meneguhkan komitmen pelaksanaan UU Desa, pendampingan aparatur desa, serta pengawasan penggunaan DD. PDD  membantu kepala desa dan  aparaturnya, terutama dalam laporan keuangan DD. Program ini relevan karena akhir-akhir ini timbul kekhawatiran terjadi penyimpangan DD. Kepala daerah  takut terjebak dalam tindak pidana korupsi dan dipenjara.
Mekanisme dan persyaratan  selayaknya dapat diakses secara luas. Peraturan Menteri No 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Dana Desa tidak semestinya berhenti pada tataran legal-formal, tapi juga dijalankan secara konsisten. Harapannya, setiap orang memiliki peluang sama menjadi PDD. 

Transparansi
Masyarakat berhak berpartisipasi bagi perkembangan dan kemajuan desa. Penentu kelolosan seseorang menjadi PDD jangan lagi primordial atau  relasi dengan aktor politik dan pejabat publik, tapi kompetensi dan kualitas. Semua berhak menjadi PDD, termasuk anggoa lembaga sosial masyarakat. Mereka berkesempatan mengajak masyarakat desa lebih mandiri dan tidak bergantung pada arus kekuasaan  di atasnya.
Di samping itu, terbukanya akses informasi menjadikan masyarakat lebih peka terhadap kebijakan pemerintah. Mereka bisa melontarkan kritik dan evaluasi, apakah dalam pemilihan PDD ada  kongkalikong,  diskriminatif, dan manipulatif. Hal ini penting, mengingat wacana dan praktik PDD  sangat rentan dipolitisasi. PDD yang bercorak independen, kritis, dan transformatif tidak boleh dimanfaatkan  oknum tidak  bertanggung jawab.
Dalam tataran teoritis, prinsip transparansi dan keterbukaan dalam rekruitmen PDD  dilakukan sejak tes administrasi, tertulis, sampai wawancara. Setiap tahapan  dirancang untuk melahirkan para penyokong kebangkitan pemerintahan desa. Pemerintah tengah mengutamakan pembangunan daerah pinggiran yang selama ini diasumsikan tertinggal dan terbelakang. Dengan DD, diharapkan potensi sumber daya desa, baik SDM maupun SDA bisa dioptimalkan. Disparitas pembangunan antarwilayah bisa diminimalisir dan angka kemiskinan ditekan.
DD berperan penting dalam mengefektifkan program perdesaan secara merata,  berkeadilan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam DD terdapat dimensi kepentingan publik berupa transparansi, akuntabilitas, serta orientasi  kepentingan masyarakat. Itulah sebabnya, DD  harus dialokasikan secara jujur, terbuka dan berprinsip demi kepentingan umum.
Akan tetapi, boleh jadi, dalam tataran praktis, “proses pencomotan” PDD dikotori mereka  yang menyimpan beragam kepentingan. Akibatnya, agenda membangun desa malah dijadikan ajang transaksional.
Berdasarkan laporan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), muncul dugaan politisasi posisi PDD sejumlah daerah. Gaji PDD untuk kepentingan salah satu partai politik. Dokumen mirip kontrak antara PDD dan partai menunjukkan adanya perjanjian yang mewajibkan PDD menjadi kader. Konsekuensinya, potongan gaji disetorkan untuk partai. PDD juga bisa dimanfaatkan untuk  corong kepentingan partai.

BPMD
Program pendampingan desa on the right track atau diselewengkan bisa dicek melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD). Peran BPMD dalam mendampingi masyarakat desa untuk mengokohkan prinsip good governance. Yang   dirugikan bisa memanfaatkan BPMD mencari solusi.
 BPMD  untuk  memberdayakan masyarakat desa. Dengan pendekatan komprehensif dan holistik, badan ini berusaha memposisikan masyarakat sebagai subyek pembangunan. Ini berbeda jauh dengan dinas, badan, atau lembaga lainnya, yang mengagendakan pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan sektoral.
BPMD merupakan  penggerak pembangunan kawasan perdesaan yang dapat mendorong dan memotivasi aparatur desa dalam mendongkrak profesionalisme, konsistensi kinerja, serta pelayanan. Kedekatan BPMD dengan para stakeholder desa membuatnya mempunyai langkah inovatif, dinamis, sistematis, terencana, dan berkelanjutan dalam memberdayakan masyarakat desa. BPMD mengupayakan  masyarakat desa mampu memenuhi kebutuhan hidup.
Secara konseptual, pendampingan menempatkan pendamping dan masyarakat sebagai dwi subjek. Sementara DD sebagai objeknya. Atas dasar inilah, secara teknis, PDD  lebih bersifat politis dan strategis. Dalam pendampingan terkandung upaya mengatasi kesulitan  masyarakat desa dan  tersimpan ikhtiar memenuhi kebutuhan warga (Firmansyah, 2015).
Lebih lanjut, Firmansyah berpandangan, “Pendampingan merupakan sebuah proses pengorganisasian orang (masyarakat), ide dan gagasan untuk menjawab berbagai permasalahan manusia secara multidimensional. Pendampingan dalam konteks pemberdayaan masyarakat tidak hanya tampil sebagai model dan sistem atau alat, tapi juga sebagai kaidah untuk mengkaji berbagai dimensi kehidupan manusia dari berbagai aspek.”
Proses pendampingan mengupayakan pembangunan kawasan perdesaan dapat berjalan maksimal, sehingga membawa banyak manfaat bagi masyarakat. Adanya PDD harus berdampak serius terhadap masalah ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Yang tidak kalah penting, PDD dituntut sanggup menciptakan desa mandiri yang mengokohkan prinsip, nilai, dan harmoni sosial. Jika desa mandiri berhasil terbentuk, hubungan masyarakat berdasarkan prinsip kesukarelaan, kebersamaan, dan gotong-royong akan terbangun dengan sendirinya. Sehingga, solidaritas sosial menjadi ciri utama dalam pola hubungan antar individu, keluarga dan masyarakat di dalamnya.
Pendampingan mengandung upaya pengorganisasian terus menerus agar masyarakat desa mampu memenuhi kebutuhanya, mengatasi permasalahannya, mengartikulasikan pandangannya, serta meningkatkan kemandirian (self reliance). Dengan kedewasaan berpikir, masyarakat desa senantiasa didorong untuk berpartisipasi aktif dalam mengambil keputusan, mengolah kreativitas sosial, memanfaatkan sumber daya, dan mengatasi keberagaman identitas. Boleh dibilang, diberdayakannya energi, pikiran, dan potensi PDD sebenarnya lebih bersifat idealis daripada pragmatis.

Bojonegoro, 2015