Minggu, 13 Desember 2015

Estetika Kampung dan Gagasan Pascatradisional (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 13 Desember 2015)


Melalui buku kumpulan cerpen Anak-anak Masa Lalu (Marjin Kiri, Juni 2015), Damhuri Muhammad (DM) mengurai kegelisahannya sebagai manusia kontemporer. DM berada dalam garis demarkasi antara eksotisme masa lalu dan kegenitan masa depan. Hal ini berlatar belakang bahwa di satu sisi, ia sukar melepaskan diri dari tradisi, mitos, warisan pemikiran, dan cengkeraman sejarah kampung yang begitu kuat. Namun di sisi lain, ia juga menyadari bahwa psikologi manusia masa kini tidak dapat mengelak dari nilai, prinsip, dan etos modernitas.
Lewat karyanya, sastrawan asal Minangkabau setelah generasi Gus tf Sakai tersebut seolah berkoar bahwa orang-orang kampung tengah mengantongi julukan kaum semi-urban. Mereka bergaya, berperilaku, dan bercorak pikir layaknya orang kota. Berpenampilan modis dan trendy, digenapi dengan gadget canggih, mereka menampakkan diri sebagai orang kota. Sayangnya, tampilan serba urban kurang diimbangi dengan matangnya pola berpikir.
Cerpen “Orang-orang Larenjang” mengisahkan Julfahri yang kehilangan identitas sebagai orang kampung. Etos urbanisme telah menggerogoti cara pandangnya terhadap kehidupan. Nilai, prinsip, dan kearifan nenek moyang telah tergerus oleh arus modernitas yang menawarkan segala bentuk kemewahan, kemudahan, dan kenyamanan yang banal dan dangkal makna. Beberapa tahun kuliah di kota membuatnya tidak lagi percaya pada nasihat pengulu Bandara Gemuk yang cenderung konservatif dan ketinggalan zaman. Julfahri nekat mempersunting Nurhusni, seorang sanak dekat yang berada dalam satu rumpun dengannya. Padahal pernikahan semacam ini ditolak oleh “rambu-rambu adat”. Julfahri menerobos larangan dengan risiko kehilangan istri dan dua anaknya.
Adapun cerpen “Ambai-ambai” memperlihatkan kegigihan seseorang meminang pelacur. Walaupun konvensi sosial tak mengizinkannya, ia tetap bersikeras melangsungkan pernikahan. Bertahun-tahun mengarungi samudera rumah tangga, beragam hinaan harus diterima bukan hanya olehnya, namun juga anak-anaknya. Meski alur cerita tidak memperlihatkan adanya pengaruh urbanisme secara langsung, tetapi egoisme kaum urban ternyata sudah jauh merasuk dalam diri kaum udik, sehingga mereka berani menihilkan kultur lokal.  
Menjamurnya efek modernitas yang menimpa masyarakat dewasa ini tidak membuat DM berpikir untuk meninggalkan dan mengubur dalam-dalam kultur tradisional. Sebagai perantau yang bermukim di kota besar Jakarta, ia justru berusaha memungut kearifan-kearifan lokal yang diwariskan para pendahulu. Baginya, modernitas merupakan fakta yang harus diterima, disikapi, dan diharmonisasikan dengan tradisi lama.
Penulis yang pernah menjadi Ketua Tim Juri Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun 2008 dan 2013 tersebut menyadari bahwa meminjam corak berpikir para pendahulu sama saja mengundang romantisme yang begitu melenakan. Akan tetapi, ia juga mafhum bahwa pelbagai produk modernitas tidak selayaknya disikapi dengan serampangan. Tarik-menarik inilah yang terjadi dalam diri DM. Namun demikian, ia tidak lantas terjebak dalam lubang kegamangan.
DM mampu bersikap dengan mengolah gagasan-gagasan usang yang tentu masih relevan hingga sekarang. Tak ayal, warisan ide masyarakat “tempo doeloe” menempati porsi besar dalam cerita-ceritanya. Dengan demikian, apa yang disajikan DM dalam bukunya lebih bercorak pascatradisional. Buah penanya banyak mendapat pengaruh dari pelbagai nilai, norma, perilaku, cara pandang, dan ingatan kolektif yang berorientasi ke belakang. Hal ini terutama sangat menonjol dalam cerpen “Tembiluk”, “Banun”, “Bayang-bayang Tujuh”, “Badar Besi”, “Anak-anak Masa Lalu”, dan “Kepala Air”.
Dengan cara di atas, DM dapat dengan leluasa melontarkan kritik sosialnya, meski dengan mengaburkan arah kritik yang dituju. Pembaca cerdas tentu mengetahui, orang-orang kampunglah yang menelan kritik tersebut. Bahwa kemudian mereka masih terninabobokkan oleh gegap gempita yang ditawarkan modernitas, itu persoalan lain.
Kumpulan cerpen yang sebagian besar telah terbit di media-media nasional ini berupaya menghadirkan nuansa masa silam. Pembaca diajak merangkai kepingan nostalgia yang tercecer. Lahir di kampung kecil di Taram, Payakumbuh, Sumatera Barat, memudahkan DM “memprovokasi” pembaca untuk memungut sisa-sisa ingatan tentang indahnya kehidupan perkampungan.
Dalam epilognya, ia mengaku, “Dunia cerita yang saya rancang senantiasa bermula dari kenangan tentang kampung halaman. Mungkin itu sebabnya, dalam pergaulan dengan sejawat-sejawat pengarang, saya kerap disebut kampungan, lantaran cara berpikir saya yang udik … Alih-alih bergerak maju dan gemilang, saya malah merasa semakin terbelakang, semakin ndeso, meski belum jatuh ke level kolot.”
Bagaimana pun, serpihan memori merupakan wujud kesenangan yang menancap pada pikiran. Oleh sebab itulah, setiap manusia membutuhkan klangenan, hiburan ringan sesaat, di tengah peliknya problematika kehidupan. Dalam pandangan DM, geliat menyajikan nostalgia mengandung ikhtiar pelarian psikologis manusia dari segala realitas yang kian menindas. Kredo semacam inilah yang direpresentasikan dengan baik dalam sejumlah cerpennya.
Sayangnya, dalam berkarya, DM cenderung “memaksakan” kehendak agar buah pikirannya dapat diterima publik. Ia cenderung menempatkan diri sebagai penyampai aspirasi orang-orang yang terluka oleh sejarah. Bagaimana tidak? Kebudayaan kampung genap dicampakkan oleh orang kampung sendiri. Dengan caranya sendiri, ia begitu getol memanfaatkan karya sastra sebagai penyusup ideologi dan misi budaya. Hal ini menjadikan kedewasaan pembaca dikorbankan. Dalam taraf tertentu, pembaca tidak ditempatkan sebagai pribadi otonom dengan otoritas penuh. Pembaca hanya diberi hak untuk sekadar mengamini apa yang disuguhkan dalam balutan cerita-ceritanya.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar