Senin, 15 Agustus 2016

Sekolah Sepanjang Hari (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Jumat, 12 Agustus 2016)

Setelah dilantik sebagai Mendikbud, Muhajir Effendy melempar wacana perpanjangan jam sekolah dengan mewujudkan full day school agar menghasilkan out put lebih berkualitas. Yang mendukung percaya, berada di ruang kelas lebih lama, cakrawala ilmu pengetahuan siswa semakin terbuka. Sedangkan mereka yang menolak menganggap belajar dari pagi sampai sore dapat mengganggu psikologis anak. Meski dikaji lebih dulu sebelum diterapkan.
Dikisahkan, Sabur, seorang petani biasa menjual sebidang kebun kelapa sawit untuk mendirikan sekolah tingkat SLTP. Dengan segenap keterbatasannya, Warga Desa Aur Cina, Bengkulu tersebut juga menyusun silabus pendidikan lingkungan hidup yang kini menjadi referensi sekolah-sekolah di Provinsi Bengkulu.
Dia menitikberatkan pada kehidupan siswa di rumah dan sekolah. Sejak dini, mereka diajak mengenali kerusakan lingkungan dan dampaknya. Lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia beserta perilakunya, sudah selayaknya mendapat porsi lebih dalam kurikulum pendidikan. Sayangnya, sebagai negara dengan kekayaan lingkungan hidup melimpah, Indonesia justru kerap dihantui persoalan lingkungan hidup (Henry R Somba, 2014).
Akar permasalahan kerusakan lingkungan berelasi kuat dengan kebijakan pemerintah. Selama ini, pendidikan didesain tidak untuk mendekatkan, melainkan menjauhkan siswa dengan alam. Dalam catatan sejarah, pemikiran berbasis sumber daya lokal merupakan unsur yang mampu memelihara lingkungan. Sayang, kearifan yang diwariskan para leluhur telah digadaikan para politikus, pejabat, dan pemodal.
Mereka menjual “apa saja yang menguntungkan” kepada negara-negara penganut paham ekonomi neoliberal. Kampanye masif pemikiran-pemikiran barat berhasil menggeser kearifan lokal. Akibatnya, sistem pendidikan global yang belum tentu sesuai dengan psikologi dan sosio-kultur masyarakat menjadi panutan.
Atas dasar inilah, sekolah-sekolah di seluruh pelosok negeri dituntut melakukan transformasi, namun tidak dengan memperpanjang jam belajar. Akan tetapi lebih pada upaya menerapkan pendidikan berkarakter. Salah satunya, senantiasa mendorong agenda pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.
Dengan kurikulum sekolah dapat membangun tonggak konsolidasi antara gerakan lingkungan hidup dan perilaku manusia. Dengan demikian, pendidikan sanggup membentuk jati diri sebagai bangsa yang mandiri, berdaulat, dan berkepribadian.
Pada tahun 1912, berdiri Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB), sebuah organisasi beranggotakan guru dengan semangat perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Pasca kemerdekaan, melalui Kongres Guru Indonesia 24-25 November 1945 di Surakarta, segala perserikatan guru yang didasarkan atas perbedaan politik, agama, dan etnik, dihapuskan. Kemudian dibentuklah PGRI dengan tujuan: mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia, mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan, serta membela hak-hak guru.
PGRI dituntut kritis terhadap segala fenomena dan problematika dunia pendidikan. Para guru, melalui organisasi ini, dituntut mampu melontarkan kritik tajam atas berbagai bentuk kesalahan ataupun kesewenangan pemerintah seperti kebijakan propemodal. Selain itu, mentalitas priayi harus dihindarkan. Menyikapi wacana yang dicetuskan Mendikbud, PGRI harus bersikap. Bagaimanapun, kebijakan sang menteri berpengaruh besar terhadap perkembangan pendidikan.
Begitu pentingnya PGRI, jangan sampai organisasi ini mengalami penyempitan dan pengerdilan identitas. Sebisa mungkin berbagai kepentingan dan muatan politis dijauhkan dari tubuh PGRI. Meskipun dirancang sebagai organisasi yang bersifat netral dan tidak berafiliasi, posisi dan kedudukannya yang begitu signifikan membuat sejumlah pihak bermaksud memperalatnya sebagai alat legitimasi.
Di balik arus demokratisasi dan otonomi yang begitu deras, organisasi ini kerap dibayangi otoritarianisme. Boleh dibilang, eksistensi PGRI mengandung anomali dan kontradiksi. Di satu sisi, ciri fisiknya mendekati organisasi modern yang mengakomodasi hak kebebasan berekspresi. Namun, di sisi lain, keberadaannya rentan bercorak konservatif dengan konsep pembangunan ala Soeharto selaku kiblatnya.

Panggilan Jiwa
Kepercayaan masyarakat terhadap guru tidak boleh dirusak segelintir kepentingan. Guru dituntut menjaga kredibilitas dan independensinya sebagai pendidik. Dia harus menjauhkan diri dari arus politik yang semakin tak tentu arahnya. Hingar-bingar politik hanya akan menyebabkan guru melupakan kewajiban.
Yang berlaku dalam jagat politik hanyalah kepentingan. Logika “jika-maka” menjadi pijakan utama para elite politik dalam memuluskan aksi. Segala pertimbangan berdasar pada hukum kausalitas. Materialisme, positivisme, dan hedonisme merupakan ideologi kaum politik. Untung-rugi menjadi faktor penentu suatu langkah diambil. Tak ayal, mereka mengupayakan segala menjadi ajang transaksional.
Prioritas sebuah agenda politik bukan inisiasi merealisasikan cita-cita mulia, harapan rakyat, dan idealisme, tapi ikhtiar mencetuskan gejala-gejala simbiosis mutualisme yang menguntungkan beberapa pihak sekaligus. Orientasi kepahlawanan guru tidak boleh tercemar godaan duniawi dan hasrat materialistis. Di sinilah profesionalitas dan dedikasi guru diuji. Jika terpukau oleh silau uang dan jabatan, mereka akan mengorbankan harga diri demi menangguk keuntungan. Namun, jika mampu mengelak dari berbagai jebakan, mereka tentu layak menyandang predikat “pahlawan tanpa tanda jasa.”
Dalam rangka mengantisipasi gencarnya politisasi, guru dituntut berkomitmen untuk menjaga netralitasnya. Atas dasar inilah, PGRI harus sanggup membangun mindset bahwa profesi pendidik merupakan panggilan jiwa yang tak pernah dapat ditukar dengan imbalan materi, berapa pun besarnya.
Di samping membangun mindset, PGRI harus menyuarakan kepada pemerintah bahwa di dalam pendidikan terdapat proses humanisasi. Sekolah sebagai “tangan kanan” pendidikan harus sanggup membebaskan manusia dari cengkeraman positivisme dan dogmatisme. Dengan nalar konstruktif, sekolah semestinya dapat melahirkan makhuk-makhluk kreatif dan inovatif yang mampu mengaktualisasikan kebebasan. Wacana full day school, tanpa melihat situasi dan kondisi masyarakat setempat, hanya melahirkan robot-robot yang kurang peka terhadap sekitar.

Bojonegoro, 2016