Selasa, 21 Mei 2019

Otoritarianisme Elite Lokal (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kedaulatan Rakyat" edisi Kamis, 9 Mei 2019)


Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 menyisakan kisah-kisah miris dan duka. Salah satunya, akibat menentang arus, beberapa perangkat desa diberhentikan secara tidak hormat oleh kepala desa. Mereka dianggap telah melawan titah atasan yang mesti dihargai dan dipatuhi.
Fenomena di atas menunjukkan kuatnya egosentrisme dalam diri sebagian kepala desa. Dengan berbagai alasan, mereka menginginkan agar publik memiliki pandangan serupa, terutama dalam menentukan siapa yang akan mengemudikan gerbong bangsa lima tahun ke depan. Riwayat panjang dan pengalaman sebagai bangsa yang plural ternyata tidak lantas memunculkan kearifan dan kebijaksanaan dalam mengelola riak-riak perbedaan.

Kultur Feodal
Pemaksaan kehendak pribadi kepada orang lain mengindikasikan cara berpikir yang sempit dan dangkal. Saat beragam informasi cukup dipetik dengan jari, “pengkultusan” terhadap elite lokal kurang menemukan relevansinya. Penekanan pandangan pribadi sebagai wacana paling dominan dalam rimba komunikasi mengingkari semangat zaman dan kondisi masyarakat yang semakin cerdas.
Seiring berputarnya roda waktu, kultus individu kian ditinggalkan. Kekeramatan yang sejak lama dimiliki sejumlah orang di desa mulai memudar. Kewibawaan dan kharisma yang melekat pada diri mereka juga merosot sedemikian rupa akibat ulah oknum yang berperangai kasar dan culas serta gemar merendahkan diri.
Hasrat memaksakan kehendak mengindikasikan kokohnya kultur feodal. Feodalisme yang genap mengakar dalam diri elite lokal menyebabkan mereka kerap memandang remeh pendapat dan pendirian wong cilik (orang kecil). Betapa daya berpikir masyarakat awam acap direndahkan. Apa yang diyakini oleh masyarakat sebagai kebenaran rentan dikesampingkan. Tafsir terhadap kebenaran berada dalam domain orang-orang yang duduk di lingkar kekuasaan.
Ketika nilai-nilai globalisasi dan modernisasi merangsek ke hampir semua lini kehidupan, pemikiran manusia yang bersifat tradisional bergerak menuju corak yang rasional. Kepercayaan tidak lagi disandarkan pada ketokohan, melainkan pada rasionalitas. Berkembangnya pemikiran manusia menjadikan mitos seolah “barang rongsokan”.
Padahal, pemikiran manusia sejak lama dikendalikan oleh mitos-mitos kuno yang diwariskan lintas generasi. Betapa corak pandang manusia sering diwarnai dengan beberapa mitos yang bertebaran di kalangan masyarakat. Peralihan zaman menyebabkan mitos pada akhirnya tersungkur di hadapan etos dan sarana modern.

Hak Konstitusional
Otoritarianisme di level lokal antara lain semakin melembaga seiring dengan munculnya perilaku egois-individual kepala desa. Perasaan selaku “orang terpilih” cenderung memicu seseorang untuk berbuat dan bertindak semena-mena. Kaum elite lokal barangkali abai bahwa segala bentuk kesewenangan turut mengorbankan hak konstitusional warga negara. Dalam suasana dan iklim demokratis, tentu sikap demikian menciderai Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945.
Sebaliknya, sikap menghormati pilihan orang lain merupakan bagian dari ikhtiar meneguhkan fondasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sikap menghargai perbedaan antarwarga menjadi hal yang tak terpisahkan dari proses pendewasaan diri.
Penyelenggaraan Pemilu dengan memegang teguh prinsip kebersamaan sekaligus menghindari bermacam perilaku intoleran merupakan implementasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika yang akarnya telah ditancapkan oleh para bapak bangsa (the founding fathers) puluhan tahun silam. Bagaimanapun, kebebasan warga negara dalam menjatuhkan pilihan, baik pada presiden maupun anggota legislatif, merupakan salah satu indikator terwujudnya pesta demokrasi yang adil, jujur dan bersih.
Atas dasar itulah, kepala desa seharusnya mampu menempatkan diri sebagaimana ketentuan yang genap digariskan dalam peraturan perundang-undangan. Menurut fakta sejarah, kedudukan kepala desa dari masa ke masa senantiasa mengalami perubahan. Berbeda dengan UU 5/1979 yang mendudukkan kepala desa selaku aktor sentral, peraturan perundang-undangan yang mengatur desa setelahnya meletakkan pemimpin lokal tersebut dalam posisi yang lebih proporsional.
Setelah reformasi, kekuasaan lokal tidak lagi dipusatkan pada jabatan kepala desa. Jika pada UU 22/1999 dan UU 32/2004 kepala desa harus berbagi kekuasaan dengan Badan Perwakilan Desa (BPD) dan Badan Permusyawaratan Desa (Bamusdes), maka pada UU 6/2014 jabatan kepala desa berada dalam mekanisme check and balances. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang desa terbaru tersebut, Musyawarah Desa (Musdes) menjadi forum tertinggi di tingkat lokal yang harus senantiasa dimuliakan oleh semua pihak.

Bojonegoro, 2019

Ikhtiar Memberdayakan Sarjana (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Suara NTB" edisi Kamis, 2 Mei 2019)


Desa merindukan para pemuda dengan skill dan potensi memadai. Desa membutuhkan kawula muda dengan pemikiran kritis, inovatif, serta adaptif terhadap perkembangan zaman. Atas dasar pemikiran inilah, mereka yang mengantongi pendidikan tinggi selayaknya turut berperan aktif membangun desa. Bagaimanapun, para sarjana dituntut mampu mengembangkan ilmunya di tanah kelahiran.
Berdasarkan catatan historis, sejak lama jumlah lulusan perguruan tinggi di desa sangat kecil. Mahalnya biaya perkuliahan membuat orang desa enggan melanjutkan studi hingga jenjang perguruan tinggi. Dahulu kala, merupakan suatu kebanggaan apabila seseorang mengantongi ijazah sekolah dasar. Betapa keseharian mereka dipusingkan dengan beratnya tuntutan hidup. Akhirnya, berdirinya lembaga pendidikan formal seakan hanya diperuntukkan bagi orang-orang berstatus sosial tinggi sekaligus mempunyai kesadaran tentang urgensi pendidikan.

Gegap Gempita Modernisasi
Yang patut dibanggakan yaitu adanya beberapa desa dengan banyak sarjana. Barang tentu keberadaan desa seperti ini pada masa silam terbilang langka. Tak berlebihan apabila Kompas edisi 26 Agustus 1966 menurunkan berita mengenai Desa Pekajangan yang memiliki 57 orang sarjana (27 sarjana dan 30 sarjana muda). Menurut keterangan kepala desa setempat, para sarjana itu akan bekerja keras memajukan desa sekaligus mewujudkan “pembangunan semesta berencana”. Apalagi, desa yang terletak 8 kilometer sebelah selatan Pekalongan tersebut sedang getol-getolnya melakukan pembangunan dengan mendirikan stadion dan kolam renang.
Berdasarkan pemberitaan di atas, apa yang ditunjukkan oleh “sarjana desa” patut memperoleh apresiasi sebesar-besarnya. Mereka telah mendedikasikan diri bagi perbaikan nasib warga dan terciptanya kemaslahatan bersama. Dalam diri mereka tersimpan etos dan angan meraih kehidupan yang lebih baik. Hasrat membangun desa inilah yang belum sepenuhnya dimiliki oleh generasi muda masa kini yang mudah disilaukan dengan cahaya urban. Hidup di kawasan perkotaan dianggap lebih menjanjikan kenyamanan. Bekerja di wilayah perkotaan dinilai lebih mendatangkan kesejahteraan. Citra atau gambaran positif kehidupan urban kerap dikukuhkan oleh persepsi sebagian orang yang menyambut gegap gempita modernisasi.
Modernisasi genap menelusup pada kehidupan perdesaan melalui pendidikan. Tak heran apabila banyak anak desa yang merantau ke kota dengan tujuan menimba ilmu pengetahuan di berbagai lembaga pendidikan modern. Sayangnya, hal ini tidak lantas menjadikan kondisi perekonomian lokal mengalami perubahan signifikan. Mengingat, anak-anak desa yang berhasil meraih gelar sarjana enggan kembali ke desa. Mereka justru lebih suka bekerja di sejumlah lembaga modern di kota atau pinggiran kota. Itulah mengapa, modernisasi di level lokal berjalan sangat lambat. (Abdul Munir Mulkhan, 2009: 94-95).

Sumber Daya Manusia
Padahal, desa memerlukan sumber daya manusia yang mumpuni. Kesediaan lulusan perguruan tinggi untuk kembali ke tanah kelahiran berkontribusi dalam mengembangkan desa. Berbekal ilmu pengetahuan yang ditimba dari bangku kuliah, sarjana menjadi aktor penggerak desa yang dipercaya mampu membawa perubahan.
Apa yang ditunjukkan oleh Kepala Desa Hadakewa, Lebatukan, Lembata, Nusa Tenggara Timur, merupakan bukti bahwa sarjana berperan besar dalam upaya memperbaiki nasib desa dan kualitas warganya. Sarjana teknik kelistrikan tersebut berhasil mengelola keuangan desa melalui pendekatan teknologi. Sejak menjabat selaku kepala desa pada 2016, ia meletakkan dasar pengelolaan pemerintahan secara jujur dan bebas dari korupsi.
Atas inisiatifnya, berdasarkan pemberitaan Media Indonesia edisi 22 November 2017, teknologi dimanfaatkan semaksimal mungkin sebagai sarana penekan angka korupsi. Ia genap menggagas website desa yang memuat penetapan Anggaran Pembangunan dan Belanja Desa (APB-Des) tahun 2017. Menggunakan sistem sederhana, website bernama hadakewa.desa.id tersebut menampilkan fitur-fitur yang mudah dipahami. Uniknya, website itu juga membuka beragam layanan masyarakat, salah satunya pengurusan surat kelakuan baik.

Kontribusi Perguruan Tinggi
Pemberdayaan orang asli desa dalam ikhtiar meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat desa bisa berjalan maksimal dengan keterlibatan pihak lain. Di sinilah perguruan tinggi dapat menyumbangkan sumbangsihnya. Peran nyata perguruan tinggi dalam memajukan desa bisa dilakukan dengan menggandeng “sarjana desa” antara lain dalam pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Melalui program-program yang dicanangkan, para pemuda yang mengantongi ijazah perguruan tinggi dapat bersinergi dengan peserta KKN.
Bersama dosen dan mahasiswa, sarjana yang tinggal di desa diharapkan mampu mengembangkan teknologi tepat guna sekaligus mengajarkannya kepada masyarakat. Dengan rencana dan strategi yang telah disusun sebelumnya, mereka bisa memilih beberapa desa sebagai prototipe dalam usaha menerapkan teknologi tepat guna. Pelatihan terlebih dahulu diadakan dengan memberdayakan para kader, stakeholder, dan kaum miskin. Mereka inilah yang kelak menjadi penggerak desa dalam rangka memperbarui diri, meningkatkan pendapatan, mengatrol kreativitas, serta memperkuat semangat kemandirian.

Bojonegoro, 2018

Rabu, 01 Mei 2019

Folklor dan Sakralitas Danyang (Blog_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Alif" edisi Minggu, 28 April 2019)



Sejak dahulu kala, folklor berperan dalam membentuk identitas dan jatidiri suatu bangsa. Munculnya folklor turut menandai bahwa peradaban besar bermula dari kisah-kisah kecil yang diturunkan lintas generasi. Riwayat perjalanan manusia tak pernah kering dari beragam cerita yang dibumbui dengan legenda dan mitos. Seiring dengan semakin gencarnya misi dan hasrat kaum modernis, folklor tetap bertahan. Keberadaannya dirasakan, dihayati, bahkan tersimpan di hati rakyat, meskipun roda globalisasi berputar kian cepat. 
Di antara folklor yang kerap mendapat atensi sejarawan, antropolog, serta peminat kajian lokal yaitu hikayat berdirinya desa. Sebelum dipersembahkan untuk negara, nasionalisme kebangsaan yang tertanam dalam jiwa rakyat tertuju kepada desa. Dalam sejarah Indonesia, rasa cinta terhadap desa mengawali tumbuhnya benih-benih patriotisme. Bagaimanapun, desa menjadi cikal-bakal sebuah negara. Lantaran kehadirannya mendahului negara, eksistensi desa menggambarkan karakter, sikap, serta semangat siapa saja yang bermukim di dalamnya.
Bagi orang desa, hikayat di atas mengandung sakralitas tak tergoyahkan sepanjang masa. Betapa para sesepuh selalu memberikan wejangan kepada kawula muda untuk senantiasa menjunjung tinggi “sejarah desa”. Dalam berbagai kesempatan, mereka berusaha meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menelaah warisan historis nenek moyang. Agenda publik menjadi momentum berharga untuk menyelipkan pesan bahwa ikhtiar penggalian jejak kehidupan para leluhur merupakan keniscayaan.

Sumber Cahaya
Folklor yang disajikan dalam tulisan ini berasal dari Sidobandung, salah satu desa di Bojonegoro, Jawa Timur. Awal mula lahirnya desa ini terkait erat dengan sejarah Dusun Mekarah. Berdasarkan cerita yang disampaikan oleh sesepuh desa, Dusun Mekarah pada masa silam berupa belantara dengan cahaya yang menyebar ke empat penjuru: utara menuju Alas Purwo (Banyuwangi), selatan menuju Gunung Wilis (perbatasan Nganjuk-Kediri), barat menuju Gowongan (Yogyakarta), serta timur menuju Awar-Awar.
Dahulu kala, ketika melihat empat cahaya tersebut, seorang raja berniat menelusuri sumbernya. Akan tetapi, putrinya, Sulastri, melarang kepergian sang ayah dan menawarkan diri untuk mencari titik permulaan cahaya. Mengantongi izin dari baginda, ia meninggalkan kerajaan bersama Kiai Macan Putih. Ia berjalan ke Desa Sobontoro usai beristirahat sejenak di Desa Kapas. Sesaat kemudian langkahnya terhenti di tanah gersang yang hanya ditumbuhi iles-iles.
Sulastri lantas memanggil empat cahaya yang meruap. Cahaya pertama datang bersama cantrik bernama Raden Leksono. Cahaya kedua hadir bersama utusan bernama Kertodono. Munculnya cahaya ketiga dari Kedaten Kidul bersama Lembu Suro serta dari Kedaten Lor bersama Mahesa Suro. Adapun cahaya keempat diiringi oleh Ki Dermo. Anehnya, setelah semua cahaya terhimpun, Sulastri menerima lamaran dari Lembu Suro dan Mahesa Suro secara bersamaan. Sebelum putri raja berhasil menjatuhkan pilihan, berlangsung pertempuran dahsyat antara delegasi Kedaten Kidul dan Kedaten Lor tersebut, sehingga menyebabkan taring keduanya patah. Oleh Sulastri, taring Lembu Suro ditanam di tengah sawah, sedangkan taring Mahesa Suro ditaruh di pohon-pohon.
Sulastri menyatukan cahaya-cahaya di atas ke cungkup Mbah Pendem dengan maksud membentuk dusun. Penentuan arah dusun ditempuh dengan memanfaatkan batang bekas empat cahaya. Sulastri berucap bahwa saat bumi semakin padat, dusun tempat berkumpulnya cahaya kelak bernama Mekarah. Ketika menimbang nama desa bagi keempat dusun tersebut, ia terdiam dan berpikir lama. Mengetahui Sulastri kebingungan, Mbah Sutoberok mengulurkan tangan. Delegasi dari Pajang tersebut mengusulkan nama Bandung. Sayangnya, Sulastri merasa kurang puas dengan nama ini. Akhirnya, Ki Dermo menyarankan nama Sidobandung, yang hingga sekarang masih diabadikan oleh warga.
Setiap dusun di Sidobandung mempunyai leluhur yang begitu dihormati dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Selain Mbah Pendem, ternyata Mbah Jogo Leksono, Mbah Sangin, serta Mbah Kamandatu juga sangat dimuliakan lantaran dianggap sebagai pelopor atau pemuka. Mereka dipercaya telah melakukan babat alas (membuka hutan untuk dijadikan permukiman). Bagi masyarakat setempat, figur-figur ini sungguh berwibawa, sehingga layak dikenang sepanjang masa. Tak heran jika hari kematian mereka selalu diperingati setiap tahun oleh warga. Momentum ini sekaligus digunakan untuk mementaskan kesenian dan tradisi lokal yang masih terpelihara.

Tokoh Sentral
Awal mula terbentuknya desa tak pernah terlepas dari pencetus, tetua, atau aktor intelektualnya. Mereka berhak mengenakan “lencana kebesaran” lantaran jasa-jasanya selama hidup. Setiap desa menahbiskan figur masing-masing selaku pembesar taraf lokal yang dinilai genap meletakkan fondasi pemikiran masyarakat. Tokoh-tokoh sentral yang menginisiasi tumbuh dan berkembangnya desa lambat laun menjadi ikon lokalitas.
Sebagian tokoh sentral yang telah meninggal dunia dikukuhkan sebagai danyang (roh pelindung desa). Sebagaimana ketika masih bernafas, sosok gaib tersebut memperoleh penghormatan luar biasa. Dalam upacara ritual bersih desa, yang biasanya dipimpin oleh seorang dukun atau tokoh agama, beragam persembahan ditujukan kepada danyang. Pada waktu perayaan-perayaan besar, masyarakat lokal berkumpul di kuburan untuk menggelar sembahyang dan menghidangkan sesajen. Makam sebagai pusat kegiatan religius desa memiliki ciri keramat yang diduga berakar dari beringin-beringin besar di sekitarnya yang turut menciptakan suasana angker.
Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot (ed) dalam Ziarah dan Wali di Dunia Islam (2007: 340) mencatat bahwa dalam konteks demikian, terjadi pengislaman atas pengeramatan pendiri desa yang hampir selalu dipadukan dengan “penguasa gaib” setempat. Betapa makam yang disakralkan kerap ditemukan di lingkungan perdesaan. Hal ini dikarenakan, mentalitas orang desa lebih terikat pada tradisi dan rasa kebersamaannya juga lebih besar ketimbang orang kota.

Yogyakarta, 2017

Optimalisasi Destinasi Wisata Lokal (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kontan" edisi Selasa, 2 April 2019)



Bagi sebagian orang, berkunjung ke tempat wisata merupakan kegiatan yang menandai libur akhir pekan atau Hari Besar Nasional. Rasanya ada yang kurang apabila waktu tersebut dilalui tanpa berlibur ke sana. Itulah mengapa, sebelum hari libur tiba, para wisatawan genap menentukan sejumlah lokasi wisata yang akan dikunjungi bersama anggota keluarga.
Menariknya, di antara mereka lebih suka memilih destinasi wisata yang terletak di wilayah pedalaman. Beberapa destinasi wisata lokal menjadi incaran pengunjung lantaran jauh dari ingar-bingar dan segala bentuk kebisingan, menyajikan pemandangan eksotis dan mengagumkan, serta memuat beraneka ragam kearifan lokal. Kecenderungan di atas mengakibatkan beberapa desa wisata di seluruh pelosok negeri segera populer di mata publik. Sebut saja Desa Sungai Nyalo (Painan, Pesisir Selatan), Desa Madobak (Siberut Selatan, Mentawai), Desa Taman Sari (Licin, Banyuwangi), Desa Pujon Kidul (Malang), Desa Seigentung (Gunungkidul), Desa Ubud (Gianyar), Desa Waturaka (Kelimutu, Ende), Desa Ponggok (Polanharjo, Klaten), Desa Teluk Meranti (Pelalawan), serta Desa Bontagula (Bontang).

Faktor Pendukung
Bila ditinjau secara mendalam, sebenarnya kehadiran destinasi wisata berbasis lokal tidak tumbuh dengan sendirinya. Di luar faktor internal, terdapat pula faktor eksternal pendukung lahirnya desa wisata, antara lain kondisi sosial dan psikologi masyarakat. Di Bali, tingginya etos kerja masyarakat setempat turut menumbuhkan desa wisata dengan karakter yang kuat.
Dalam bukunya berjudul Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, Michel Picard (2006: 99) menyebutkan bahwa salah satu tradisi yang bergulir pada komunitas pedesaan Bali yaitu memfokuskan diri pada upaya menciptakan produksi kerajinan tertentu, semisal membuat alat musik dan menatah tempayan perak, mengukir batu dan kayu, atau menyuling minyak kelapa dan tuak. Sebagian desa pengrajin tersebut berhasil menyesuaikan diri dengan pasar. Adapun lantaran tergiur oleh kesuksesan sejumlah desa, desa-desa lainnya juga mengembangkan produksi kerajinan yang diarahkan pada terpenuhinya minat wisatawan.
Dalam perjalanannya, apa yang terjadi di Pulau Dewata genap memantik lahirnya lokasi wisata berkarakter, antara lain wisata budaya, wisata agraris, wisata bahari, wisata alam, wisata rimba, wisata olahraga, wisata konvensi, wisata spiritual, dan pelbagai bentuk wisata lainnya. Dengan demikian, selain memudahkan para wisatawan memilih tempat mana yang akan dituju, keberadaan lokasi wisata berkarakter juga memberikan corak tersendiri bagi pariwisata Indonesia di kancah internasional. Apalagi, dalam taraf tertentu, citra Indonesia di mata dunia bisa dilihat dari sektor pariwisata.

Ikon Lokal
Berkecambahnya destinasi wisata bertaraf lokal di beberapa kawasan tentu memberikan kontribusi positif bagi orang desa. Ikon-ikon lokal yang mengundang atensi wisatawan berperan besar bagi terdongkraknya kesejahteraan di level lokal. Bagaimanapun, kehadiran desa wisata yang digerakkan oleh karang taruna, organisasi pemuda, atau aktor lokal lainnya terbukti mampu mengatrol tingkat perekonomian masyarakat.
Sehingga, nilai-nilai yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bisa terwujud. Sebagaimana diketahui, Pasal 4 peraturan perundang-undangan ini mencantumkan bahwa termasuk tujuan pengaturan desa yaitu “memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional.”
Namun demikian, pesatnya desa wisata di daerah-daerah tertentu selalu menuntut perhatian lebih. Keberadaan lokasi-lokasi strategis yang menyimpan daya tarik menjadi tantangan tersendiri bagi orang desa untuk senantiasa memeliharanya. Jangan sampai ‘masa keemasannya’ tergerus seiring berjalannya waktu.
Berdasarkan data di lapangan, sudah tak terhitung banyaknya lokasi wisata yang terbengkalai gara-gara kurang diperhatikan, baik oleh masyarakat setempat, pemerintah desa, maupun semua stakeholder. Keindahan, keunikan, serta keistimewaan desa wisata seringkali luntur seiring dengan munculnya destinasi wisata baru. Tak heran apabila destinasi wisata yang awalnya memperoleh animo besar banyak kalangan akhirnya terpaksa mangkrak.

Perlu Inovasi
Atas dasar inilah, perlu adanya inovasi dalam ikhtiar mengembangkan desa wisata sesuai ciri khas masyarakat dan lingkungannya. Bagaimanapun, perkembangan zaman menuntut kreativitas orang desa dalam memaksimalkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Bermacam tantangan harus dijawab oleh orang desa dengan memanfaatkan potensi lokal. Optimalisasi desa wisata ditempuh dengan menonjolkan kelebihan desa.
Dalam konteks ini, Andri Kurniawan dan M. Isnaini Sadali (2018: 208) merekomendasikan inovasi pengelolaan desa wisata meliputi pemasaran, promosi, revitalisasi organisasi, serta penguatan visi dan misi. Termasuk usaha mempromosikan desa wisata yaitu penyediaan paket wisata dengan mengusung tema berdasarkan potensi lokal.
Guna mewujudkan desa wisata berkualitas, seluruh elemen masyarakat mesti saling mendukung. Kerja sama pihak-pihak yang terkait menjadi keniscayaan. Sosialisasi kepada semua lapisan masyarakat dibutuhkan demi mencapai pemahaman seragam dalam memberdayakan desa serta apa yang tersimpan di dalamnya.  
Yang tak kalah penting, pembentukan destinasi wisata lokal selaku badan hukum menemukan relevansinya. Langkah ini penting ditempuh terutama demi mengukuhkannya dalam ranah legal, melindungi hak konsumen, sekaligus menarik kepercayaan publik.

Bojonegoro, 2019