Selasa, 07 November 2017

Merosotnya Wibawa Kepala Desa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Duta Masyarakat" edisi Senin, 6 November 2017)


Citra sebagai figur teladan dan pemimpin masyarakat kerap dikorbankan lantaran banyak kepala desa tersandung korupsi dana desa. Fenomena ini tentu berbeda dengan masa silam, di mana selain dianggap selaku “bapak” yang mengayomi semua warganya, kepala desa juga mampu menjunjung tinggi kehormatannya.
Saat cara berpikir masyarakat masih konservatif, kepala desa bahkan didaulat selaku hakim perdamaian. Kharisma, kebijakan dan kewibawaan yang dimiliki kepala desa menimbulkan kepercayaan besar terhadap dirinya. Tak heran jika ia dipercaya mampu menyelesaikan sejumlah persengketaan warga. Masyarakat meyakini bahwa kepala desa sanggup meredam ketegangan sosial dan gejala perpecahan. Dalam hal ini, ia memosisikan diri sebagai penengah dan mediator. Ia memberikan saran, masukan, bahkan keputusan terhadap mereka yang bersengketa. Solusi yang ditawarkan seringkali mencegah agar persoalan tidak meluber.
Tampaknya, corak kehidupan masyarakat perdesaan turut menentukan posisi kepala desa. Semakin primitif suatu masyarakat, maka semakin pula mereka membutuhkan figur kepala desa. Dalam kondisi demikian, kepala desa mengemban amanat mengatasi problematika masyarakat. Semua keputusannya dijunjung tinggi dan dihormati.
Kini, saat masyarakat kian progresif, kebijakan kepala desa seakan tak berarti. Orang desa mulai dibekali kemampuan menyelesaikan beragam permasalahan. Kemandirian sebagai salah satu tanda masyarakat modern mengurangi kemungkinan adanya pelibatan pihak lain dalam pengambilan keputusan. Untuk mengurai “benang kusut”, mereka sering kali mengesampingkan bantuan. Jadi, selama persengketaan bisa diselesaikan dengan cara sendiri, petuah kepala desa tidak diperlukan.
Bagi sebagian orang, membawa persengketaan ke hadapan kepala desa justru membuat persengketaan tersebut semakin membesar. Akhir-akhir ini, kepala desa yang cenderung birokratis dan formal kurang mampu memberikan nasehat dan solusi perdamaian atas mereka yang berselisih.

Hajatan Demokrasi
Dalam taraf tertentu, image positif kepala desa ternyata juga secara perlahan diruntuhkan oleh terselenggaranya Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) yang jauh dari nuansa “kebaikan”. Beberapa temuan di lapangan menunjukkan, hingar-bingar politik lokal lebih merefleksikan upaya memenuhi kebutuhan sementara daripada mengangkat pemimpin.
Pilkades menjadi sarana pertaruhan nasib orang-orang desa. Tingginya angka pengangguran, rendahnya pendapatan, serta sempitnya lahan pekerjaan membuat mereka tergiur untuk bergabung di meja judi. Bersamaan dengan digelarnya Pilkades, mereka mengadu peruntungan lewat jalan haram. Bentuk pelarian dari realitas diwujudkan dengan berjudi. Bermodal rupiah, mereka bermaksud mengubah nasib dengan cara instan. Perjudian menjanjikan bahwa angan dan impian mereka dapat segera terwujud. Maraknya kasus perjudian dilatarbelakangi oleh alasan sosiologis dan pragmatis. Betapa di balik agenda pemilihan pemimpin desa tersimpan ekses negatif. Citra Pilkades dinodai oleh ulah oknum yang bernafsu menambah pundi-pundi keuangan serta merusak generasi muda.
Pilkades merupakan ajang persaingan tokoh lokal yang selalu menarik perhatian. Bukan hanya bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya, namun juga mereka yang ingin memanfaatkannya sebagai lahan bisnis. Pilkades bukan hanya milik panitia, tim sukses, serta simpatisan, akan tetapi juga mereka yang menyimpan beragam kepentingan. Oleh bandar judi, Pilkades dianggap mendatangkan omset besar, sehingga sayang jika terlewat begitu saja. Maka, perjudian sengaja digelar di titik strategis. Di sinilah bandar judi mengambil peran. Semaraknya Pilkades berutang pada “jerih payah” bandar judi.

Peran Bandar Judi
Sepak terjang bandar judi tidak hanya menyentuh tataran sosial, budaya, dan ekonomi, melainkan juga politik. Terjadi perluasan segmentasi aktivitas perjudian. Aktor-aktor judi begitu peka memperhatikan realitas. Bandar judi mampu melihat bahwa di balik panggung politik lokal tersimpan peluang berburu rupiah. Mereka berusaha mengawinkan antara pesta demokrasi dengan pasar taruhan. Fakta ini menggambarkan sosiologi politik pedesaan. Pilkades yang diwarnai oleh aksi bandar judi tentu memiliki corak, pola, dan bentuk tersendiri dibanding dengan Pilkades tanpa aktivitas perjudian. Betapa kegiatan berjudi menyumbang keunikan, kekhasan, dan keberagaman politik lokal.
Di Desa Pakandangan Barat Bluto, Sumenep, Madura, bandar atau pemain judi dianggap sebagai aktor yang menempatkan uang sebagai dorongan penentu pilihan pemilih. Mereka menggelontorkan uang untuk pemenangan calon kepala desa yang terpilih dalam aktivitas perjudian. Mereka berani mengeluarkan uang untuk memastikan kemenangannya dalam maen, selama masih dalam rasio costs-benefits di baliknya (Halili, 2009: 103).
Di sinilah letak anomali judi. Di satu sisi, judi selalu identik dengan kebiasaan buruk yang mengundang sanksi hukum dan reaksi sosial. Sebagian masyarakat menganggap bahwa aktivitas perjudian merupakan jalan pintas menuju kesuksesan. Namun, di sisi lain, judi membawa berkah bagi orang-orang yang mendaftarkan diri sebagai calon kepala desa. Mereka merasa diuntungkan dengan kesibukan bandar dan pemain judi meramaikan Pilkades. Maraknya aktivitas perjudian di sela-sela pelaksanaan pesta demokrasi dimanfaatkan untuk memecah suara.
Keberpihakan masyarakat terhadap salah satu calon bisa goyah sebab pengaruh bandar judi. Desas-desus yang mereka sebarkan turut menentukan ke arah siapa suara berpihak. Padahal, untuk menentukan siapa yang pantas mendapat dukungan, bandar judi tentu tidak berkompeten. Mereka tidak dibekali dengan kapasitas, kapabilitas, serta rasionalisasi memilih pemimpin.
Preferensi politik warga ikut ditentukan oleh jalannya perjudian. Besarnya uang taruhan berbanding lurus dengan kuatnya calon kepala desa. Semakin banyak dukungan kepada seorang calon semakin besar pula taruhan yang ditujukan padanya.

Yogyakarta, 2017