Senin, 27 Maret 2017

Desa Sadar Hukum (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bernas" edisi Kamis, 23 Maret 2017)


Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi akhir-akhir ini getol memberikan akses bantuan hukum kepada orang-orang desa melalui pembentukan kelompok masyarakat desa sadar hukum. Komitmen ini ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Dirjen PPMD) Ahmad Erani Yustika. Bersama Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), ia siap melakukan pembinaan, pelatihan, serta penyuluhan paralegal di kawasan perdesaan. Harapannya, tercipta keluarga sadar hukum menuju masyarakat desa sadar hukum.
Dalam penjelasannya, Erani menyatakan bahwa paralegal di desa merupakan aspek penting dalam mewujudkan desa sadar hukum secara berkelanjutan. Paralegal didesain untuk dapat memberikan pendampingan (advokasi) dan membekali pemahaman kepada masyarakat desa tentang fungsi hukum. Saking pentingnya, tak heran jika kebijakan ini diklaim termasuk daftar prioritas perubahan Rencana Kerja tahun anggaran 2016 sampai 2019.
Barang tentu langkah di atas layak mendapat dukungan dari semua pihak. Saat hukum seolah berada di titik nadir, gebrakan ini patut diapresiasi. Namun, bukankah terbitnya kebijakan tanpa pertimbangan yang memadai hanya akan menuai kegagalan? Pemerintah tampaknya abai terhadap realitas yang terjadi. Bagi orang desa, khususnya orang-orang kecil, hukum bukanlah “sesuatu” yang berhak dihargai, meskipun sewajarnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hukum senantiasa dijunjung tinggi.

Apatisme Orang Desa
Tingginya apatisme dan pesimisme orang desa terhadap hukum disebabkan terutama oleh beberapa faktor. Pertama, para penegak hukum sangat rentan suap. Begitu mudah keadilan ditukar dengan sejumput uang. Dalam kondisi seperti ini, kaum konglomerat diuntungkan, sedangkan kaum papa merasa disingkirkan.
Akhirnya, desa menjadi ajang pembuktian bagi mereka yang kuat dan lemah (dari sisi finansial). Hukum rimba yang menetapkan bahwa the have (pemilik uang) sebagai pemenang menjadi pegangan dan tolok ukur persaingan di mata hukum. Apa yang digaungkan filusuf Inggris Thomas Hobbes dalam karyanya De Cive (1651) “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi sesamanya) tak dapat disangkal.
Kedua, para anggota legislatif terlibat dalam kasus korupsi. Maka, bagaimana mungkin pemerintah menyadarkan orang desa terhadap hukum, jika mereka yang dipercaya mengemban amanat rakyat justru menciderai hukum?
Ketiga, keengganan bermasalah. Guna mengatasi dua pihak yang bersengketa, masyarakat desa sengaja menghindari pengadilan dan memilih jalan musyawarah. Sebab, kehadiran hakim dan jaksa hanya bakal menambah pengeluaran dan membikin runyam permasalahan. Ditinjau dari sisi sosiologisnya, orang desa selalu berusaha menjauhkan diri dari masalah. Betapa harmonisme dan keselarasan mendapat tempat terhormat dalam kehidupan desa.
Keempat, tumbuhnya benih-benih pragmatisme. Dalam persepsi sebagian orang desa, mematuhi hukum tidak mengubah kehidupan mereka sedikit pun. Bahkan, dalam kadar tertentu, hukum menjadi beban bagi orang-orang kecil.
Antara tuntutan dengan harapan kurang seimbang. Di satu sisi, negara gemar menuntut rakyat untuk menaati hukum. Akan tetapi, di sisi lain, kesejahteraan rakyat kurang terpenuhi. Kesejahteraan rakyat hanya ada di lidah calon pemimpin. Setelah mereka menyelonjorkan kaki di kursi kekuasaan, janji yang dilontarkan menguap dengan sendirinya. Tiada yang tersisa bagi rakyat, kecuali kekecewaan dan penderitaan.

Membangun Kepercayaan
Kesadaran hukum orang desa belum bisa terbentuk, jika selama ini, tingkat kepercayaan mereka terhadap penegak hukum masih rendah. Oleh karena itu, kepercayaan inilah yang harus dibangun. Para penegak hukum dan anggota legislatif yang kontraproduktif dengan misi pemerintah mesti ditindak tegas. Dipertahankannya jabatan segaris dengan kesanggupan mereka menjadi teladan bagi masyarakat. Pengadilan juga harus dapat memberikan upaya solutif bagi setiap permasalahan, bukannya menjadi “ladang bisnis”.
Tak bisa dimungkiri, waktu orang desa lebih banyak tersita untuk mengejar kebutuhan hidup. Daripada memenuhi tuntutan negara, mereka lebih disibukkan dengan aktifitas berburu rizki. Perlu dicatat bahwa fakta ini tidak lantas menempelkan label “acuh tak acuh” bagi orang desa. Mereka sebenarnya memiliki tingkat kekritisan yang tinggi terhadap problematika bangsa dan negara. Di sela-sela menggarap sawah atau bersantai di warung kopi, mereka membicarakan perilaku politikus Senayan yang jauh dari norma dan etika, harga cabai yang melonjak dengan leluasa, serta pupuk yang susah didapat kecuali bermodal kongkalikong dengan para perangkat desa.
Sensitivitas orang desa inilah yang semestinya disentuh. Dalam mewujudkan desa sadar hukum, diperlukan pendekatan sosiologis. Apabila pemerintah ingin seluruh warga mengindahkan misinya, maka tentu saja kesejahteraan rakyat layak menjadi prioritas utama. Tegaknya suatu negara terutama disokong oleh penghormatan warganya terhadap hukum. Jika negara memuliakan orang desa, niscaya mereka juga akan menghargai hukum.

Yogyakarta, 2017

Kamis, 23 Maret 2017

Hoax dan Rerasan Virtual (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kedaulatan Rakyat" edisi Kamis, 23 Maret 2017)

Digitalisasi dan virtualisasi membuat informasi bertebaran ke berbagai penjuru. Perangkat dunia maya menjanjikan kemudahan dalam mengakses informasi, baik dari dalam maupun luar negeri. Kini, manusia tidak lagi dihadapkan dengan kompleksitas dan kerumitan dalam berburu berita. Dengan “sekali klik”, dalam hitungan detik, ribuan bahkan jutaan informasi terpapar di depan mata.  
Kejayaan era digital didukung dengan menjamurnya media sosial (medsos) yang lahir sebagai respons atas bergairahnya pasar virtual akhir-akhir ini. Keaktifan dan keterlibatan di medsos antara lain ditandai dengan seberapa sering mereka mengunggah suatu berita. Dengan atau tanpa pretensi, mereka seolah mengantongi kepercayaan untuk menyebarkan informasi tersebut kepada orang lain. Mereka begitu bangga setelah menyampaikan “amanah virtual”. Dengan demikian, eksistensi manusia modern dimaknai sebatas pada pencitraan pegiat virtual yang genap mengakses informasi, membacanya, kemudian melemparnya ke ruang publik.
Sayangnya, acapkali mereka melakukannya tanpa meneliti kadar kesahihannya. Akhirnya, kualitas isi berita diragukan dan dipertanyakan. Pada saat inilah tercipta ketimpangan antara cara pemerolehan informasi dengan usaha membumikannya. Padahal, guna memperoleh data yang akurat, diperlukan pencermatan, pengendapan, serta kontemplasi. Warta yang menyeruak ke permukaan tidak boleh diterima begitu saja, melainkan harus melewati seleksi dan filter yang ketat.  

Paradoks
Saat dunia menapaki era borderless society, pemilahan antara kaum urban dengan wong ndesa, terutama dalam arus teknologi informasi, kurang lagi relevan. Digitalisasi dan virtualisasi menyerang siapa saja yang tergiur oleh gegap gempita teknologi. Warung-warung kopi di pelosok desa yang awalnya hanya menyajikan jajanan tradisional, kini mulai menyediakan layanan wifi. Sehingga, tidak hanya orang kota, orang desa pun menikmati membludaknya informasi dari beragam sumber. Asalkan gadget dan laptop tersambung dengan jaringan internet, mereka dapat mengunduh apa pun yang termuat pada laman virtual.
Tersebarnya wifi di wilayah pedalaman menimbulkan anomali dan paradoks. Di satu sisi, berpredikat “melek tenologi”, orang desa leluasa memasarkan produk dan hasil kreativitasnya ke berbagai tempat. Batas geografi dan teritorial tidak lagi menghalangi siapa saja untuk mendatangkan pemasukan dari luar. Kala modernisasi dan globalisasi semakin tak terbendung, mereka juga dapat memosisikan diri dalam memaknai perubahan zaman.
Di sisi lain, orang menjadi rentan terjebak pada pemberitaan abal-abal (hoax). Jika kurang berhati-hati, apa yang di-share oleh pengguna medsos bakal berbuntut panjang. Dalam konteks inilah, demokrasi digerogoti oleh aksi pegiat virtual yang sekadar ingin menjaring like serta komentar. Demokrasi dibajak oleh penyebar hoax yang bernafsu merekrut follower sebanyak mungkin.

Kontrol Sosial
Pada dasarnya, Pasal 28 Konstitusi melindungi hak setiap warga negara dalam melontarkan pikiran. Dengan terbitnya aturan ini, sebagian orang mengartikan kebebasan berpendapat boleh dilakukan, meski tanpa dibekali kapasitas dan kredibilitas. Mereka menyamakan suara profesor dengan orang yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Akibat persepsi tersebut, belakangan muncul problematika bangsa yang akut. Berjibunnya kicauan ngawur lewat medsos memantik perselisihan antarumat. Mereka lihai memanfaatkan perangkat teknologi, namun gagap ketika mencerna konten informasi. Padahal, supaya demokrasi berjalan pada relnya, harus ada kearifan, kesadaran, serta mawas diri.
Selama ratusan tahun, harmoni terutama di pedesaan tercipta antara lain karena adanya rerasan. Mekanisme ini melindungi warga dari segala anasir hoax. Di samping menjadi alat kontrol sosial yang mengekang setiap individu dari pelanggaran norma, rerasan juga berfungsi menepis berita sesat. Lantaran dilakukan secara berkelompok, rerasan selalu diuji validitas dan keabsahannya. Apalagi, dekatnya objek pemberitaan memudahkan masyarakat untuk memeriksa ketepatan muatan berita.
Demi membentuk generasi virtual yang cerdas, penggunaan rerasan dalam “bungkus” lama memang kurang relevan. Akan tetapi, rerasan dapat dihidupkan kembali dengan format baru dan ideal. Kontrol sosial dalam dunia maya, khususnya medsos, dapat dijalankan dengan menampilkan rerasan virtual. Sebelum menyebarkan berita, pengguna medsos dituntut untuk meninjau terlebih dahulu kebenarannya lewat sumber-sumber terpercaya. Ketika berdebat tentang tema-tema yang butuh pendalaman, lebih baik mereka menggandeng para pakar. Jika wacana ini terwujud, niscaya semua orang bisa berteriak lantang: “Selamat tinggal hoax!”

Yogyakarta, 2017

Selasa, 14 Maret 2017

Anomali Buruh (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Waktu" edisi Selasa, 14 Maret 2017)




Belakangan, para buruh di berbagai daerah kerap menggelar demonstrasi. Dalam aksi tersebut, mereka menuntut pemerintah untuk segera mencabut PP No. 78/2015 tentang Upah. Mereka menilai bahwa selama ini, kerja buruh “dihargai” sangat murah.
Hal ini menggambarkan bahwa ruang dan tata kota tidak mendukung eksistensi para buruh, terutama buruh informal. Regulasi, kebijakan pemerintah, dan konstruksi sosial seolah mengerdilkan peran orang-orang dengan skill dan pendidikan yang rendah. Mereka yang disebut unskilled worker sebab miskin kapabilitas dan pengetahuan tersebut selalu berupaya menyesuaikan diri dengan kehidupan urban yang serbakeras. Saat proses involusi beragam sektor membuat lapangan kerja menyempit, sektor informal adalah pilihan paling logis dan realistis.
Ironisnya, banyak oknum justru memanfaatkan keadaan. Akibat godaan konsumerisme materialistis dan rasionalisme sekularistis, mereka rela mempekerjakan orang-orang dengan upah yang sangat rendah, bahkan tidak manusiawi. Sistem kapitalistik telah membuka ruang yang demikian lebar, sehingga manusia dianggap aset dan komoditas empuk. Barang tentu persepsi seperti ini berpotensi mereduksi hak manusia. Segala macam bentuk diskriminasi dihalalkan, asal mendatangkan keuntungan politis, sosial, serta finansial.
Ini menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu menciptakan mekanisme pengamanan dalam rangka menjamin buruh informal supaya terbebas dari berbagai bentuk kezaliman. Seiring ketidakberdayaan menghentikan berbagai perilaku yang merusak mental dan masa depan anak bangsa, pemerintah justru memperkeruh suasana dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang merugikan buruh informal.
Padahal, berdasarkan konsep demokrasi, pemerintah dituntut berperan aktif dalam menjaga ruang publik yang sehat dengan menghormati hak buruh informal dan tidak membiarkan mereka terombang-ambing dalam permainan politik identitas.

Klasifikasi Hart
Munculnya pendekatan dualistik terhadap profesi manusia merupakan prakarsa Keith Hart pada permulaan tahun 1970-an yang menjadi dasar teoritis sebagian besar literatur. Dalam analisa liberal dan neo-klasik ekonomi dunia ketiga, terminologi sektor formal dan informal berhasil dilembagakan. 
Sektor formal menampung seluruh kegiatan perekonomian yang terorganisir, terdaftar, dan terlindungi oleh hukum. Adapun yang tidak memenuhi kriteria ini termasuk sektor informal. Batasan ini memunculkan penafsiran bahwa pegawai, PNS, TNI, dan Polisi berada di sektor formal. Sedangkan pedagang kaki lima (PKL), penarik becak, tukang parkir, pengamen, pedagang pasar, tukang ojek, buruh tani, buruh bangunan, dan pelacur dapat masukkan dalam sektor informal.
Distingsi di atas turut menentukan prasyarat bekerja di kota-kota besar. Ijazah dan gelar akademik menjadi kunci kesuksesan seseorang. Di luar sistem formal sekolah, profesi bergengsi dan menjanjikan tidak mungkin terjangkau. Akibatnya, kota menutup akses bagi orang-orang kecil.
Kota merepresentasikan logika sepihak yang mengukuhkan stigma berdasarkan latar belakang akademis, sosial, dan kultural. Di lingkungan perkotaan, interaksi sosial terjalin dalam konsep opisisi biner: kekalahan dan kemenangan, sehingga basis sosial masyarakat menjadi rapuh.
Selama ini, kota menunjukkan minimnya kondisi kerja yang adil dan memuaskan bagi dua-pertiga tenaga kerja di Indonesia yang bekerja di sektor informal. Dengan cakupan skema jaminan sosial yang sangat terbatas, kota kurang mampu menjanjikan kenyamanan bagi mereka dalam berburu rupiah.
Para buruh informal bagaikan “sepah pembangunan”. Di balik megahnya kota-kota besar, sumbangsih mereka sering kali dikesampingkan. Pekerjaan mereka diganjar dengan upah rendah, berubah-ubah, dan ilegal (tidak sah). Majikan kerap menghindari keterikatan, baik personal, emosional, maupun profesional, sehingga jaminan kerja dan upah minimum bukan termasuk muatan perjanjian kedua belah pihak. Dengan demikian, selain sosial, para buruh informal juga mengalami penderitaan psikologis serta finansial.
Padahal, tidak selamanya stereotip negatif melekat pada diri mereka. Pembangunan perkotaan ditopang oleh bekerjanya masyarakat kelas bawah, sehingga problem pengangguran di perkotaan bisa diminimalisir. Barang tentu realitas ini memperlihatkan anomali. Di satu sisi, peran dan fungsi mereka tidak bisa diabaikan. Namun di sisi lain, keberadaan mereka hanya dipandang sebelah mata.
Sebenarnya apa yang dilakukan Hart telah melahirkan anggapan bahwa mereka yang bekerja di sektor informal tidak memiliki masa depan dan identik dengan “urban poor”. Klasifikasi Hart terlalu simplistis, seolah sektor formal dan informal terpisah dan mandiri. Padahal dalam realitasnya, terjadi interaksi yang intens antara keduanya, di mana salah satu bagian dalam sebuah sektor tercipta dan tumbuh dari sektor lain.
Oleh karena itu, daripada menerbitkan PP yang cenderung berpotensi “mengebiri” hak buruh informal, lebih baik pemerintah mengembangkan logika kreatif. Problem-problem sosial yang melilit mereka dapat diurai dengan memperluas peluang kerja, memberikan perlindungan serta meningkatkan kesejahteraan.
Guna memformulasikan langkah strategis, taktis, dan kontekstual dalam menghadapi dinamika sosial masyarakat, kota perlu mendapat redefinisi dan reinterpretasi. Bagaimana pun juga, kota merupakan jejaring logika simbolis yang memuat identitas sosial, kultural, juga politis. Hal ini dilakukan sebagai penegasan bahwa sektor formal dan informal saling mengisi dan melengkapi.

Yogyakarta, 2017

Si Buta dan Si Pura-pura Buta (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Waktu" edisi Jumat, 3 Maret 2017)




Ini kali para mustamik akan kami suguhi sepenggal hikayat dua orang cacat netra; sama-sama buta. Ah, bukan. Tepatnya yang satu benar-benar buta. Yang lain pura-pura buta. Ialah Pak Karmiji, seseorang yang selusin tahun silam kehilangan mata gara-gara dicongkel adiknya ketika teler. Juga Pak Sadik, bujang lapuk yang tak pernah mencium bau sekolah, pengangguran, dan suka membikin sesetel indra penglihatannya seolah-olah buta.
Guna merengkuh efek cerita, orang pertama kami sebut Si Buta, sedang orang kedua kami panggil Si Pura-pura Buta.
Bukan segelintir kebetulan jika pilihan jatuh pada kisah, yang sebetulnya sudah mangkrak berbulan-bulan dan nyaris jamuran. Berdasar banyak pertimbangan, cerita ini akhirnya kami sajikan. Tentu dengan harapan lekas memberikan pencerahan atau sesuap hiburan bagi manusia yang bernafas di jaman serba runyam. Jaman yang mesra dengan dusta, kelicikan, serta kemunafikan. Jaman yang bisa jadi pas dan tepat digambarkan dengan tema yang kami angkat.
Aih, aih, aih. Mohon maaf, sekiranya hadirin keberatan dengan pernyataan kami, sehingga menerka bahwa apa yang menyembul dari katup mulut kami hanyalah sebutir alibi, apologi atau bahkan promosi. Mengingat bahwa Grup Pencerita ini tergolong masih hijau. Hijau yang meski berarti amatiran, akan tetapi senantiasa meniupkan ruh kesuburan bagi kehidupan yang kian gersang dan penuh kerontang.
Kurang pantas apabila kami memperpanjang kalam. Langsung saja. Mewakili Grup Pencerita, kami ucapkan: Selamat menikmati!
***
Selembar pagi yang usang, Si Buta keluar rumah dengan membagul beberapa biji sapu. Seperti biasa, hendak ia tawarkan perkakas-perkakas kebersihan itu kepada sesiapa yang membutuhkan. Sungguhpun disergap keterbatasan, tetap ia berteguh usaha demi melacak nafkah buat bini dan empat anaknya. Berbekal bimbingan tongkat, ia mengayunkan langkah; berharap keberuntungan berpihak pada nasibnya.
Itu hari Si Buta berangkat lebih awal; sebelum embun melesat ke angkasa dan surya kelihatan tanduknya. Bersandar pada pesan Mbok Mirah, sang bunda, ia berkeyakinan bahwa bekerja pagi buta ringan mendatangkan rejeki. Ia begitu percaya dengan kemampuannya, walau kerap para tetangga serta kerabat lebih memercayai kelemahannya.
“Sapu. Sapu. Sapu. Sapu, Mbak?”
Ucapan itulah yang ia teriakkan tiap melewati perkampungan. Sebab tak mengerti situasi sekitar, sering ia merapal mantra pengundang pembeli itu secara lantang. Padahal di sekelilingnya sedang sepi orang. Apa yang terjadi kemudian? Hal tersebut rupanya mengantar orang-orang menaruh iba. Namun, celakanya, lebih banyak lagi yang justru tertawa, menikmati ulahnya. Tak heran, ketika rehat di kolong pohon beringin besar dekat kediaman Pak Sugiya, anak-anak kecil yang pulang dari sekolah iseng mengerjainya.
***
Si Pura-pura Buta tertatih-tatih karena kejaran anjing. Nafasnya ngos-ngosan. Dadanya berdentum tidak beraturan. Raut mukanya acak-acakan. Mulutnya mengatup-menganga, tanda ia kehabisan tenaga. Terpaksa ia berlari sekencang mungkin, layaknya orang yang sehat mata. Enyah dengan kondisi selingkarnya. Barangkali orang-orang yang melihat aksinya—yang mirip adegan Jackie Chan saat shooting di film laga—berkecek dingin, “kalau lagi buntung, matanya bisa kembali pulih. Dasar wong edan!”
“Asu! Masa binatang bodoh itu tahu kalau aku buta bohong-bohongan.”
Meneruskan perjalanan, ia mengumpat habis-habisan sambil melanting kutukan agar anjing yang mengubernya masuk neraka lebih dini, mengungguli kaum penggandrung korupsi. Kendati gemar mengganyang uang negara, menurutnya, koruptor tidak pernah menyusahkannya. Apalagi membuatnya terengah-engah, hampir meregang nyawa. Berbeda halnya dengan Doberman Pinschers. Menggonggong lantam, satwa yang termasuk anjing paling galak di dunia itu mengancam keamanan raga, jiwa, serta martabatnya. Ia berjanji, tidak akan pernah lagi melintasi rumah Michael, bule Australia yang jangkap bertahun-tahun tinggal di Indonesia.  
Setiba di depan sebuah mall, wajahnya memelas. Langkahnya tergagap, mengekor arahan tongkat. Berbaju compang-camping dengan celana jebol belakang nyatanya sanggup menyulut perhatian.
“Berhasil”. Hatinya memekik riang.
Di hadapan seseorang berjas abu-abu yang baru turun dari mobil Aston Martin One-77, Si Pura-pura Buta menjulurkan tangan; berhajat menjemput belas kasihan. Insting pengemisnya mampu membedakan mana makhluk bertampang kaya, mana pula makhluk yang kaya tampang belaka.
Si konglomerat terpancing. Enggan mengantongi julukan kikir, lelaki berambut klimis itu mengulurkan sekoin kuning lusuh dan berujar lirih, “bapak doakan semoga saya makin sukses, ya!”
Si Pura-pura Buta mengangguk, seakan mengiyakan apa yang dituturkan oleh sang korban. Padahal, batinnya meradang, “mana ada orang ingin sukses sedekahnya cuma lima ratus perak.”
***
Si Buta meneguk air dalam botol yang ia bawa dari rumah. Hari beranjak siang. Barang dagangan belum satu pun terlego. Warung nasi di seberang jalan melambaikan tangan. Perutnya menggeleng. Syukurlah. Nasi sisa kemarin yang dilahap sehabis subuh tadi agaknya cukup mengganjal rasa lapar dan mengakibatkan lambungnya kebal.  
Diberondong panas luar biasa, ia lelang kembali sapu-sapunya, “Sapu. Sapu. Sapu. Sapu, Mbak?”
Tiada isyarat seseorang tertarik dengan sapunya.
“Sapu. Sapu. Sapu. Sapu, Mbak?” Tanpa mengeluh dan putus asa, Si Buta lagi-lagi membocorkan moncongnya.  
“Pak. Sini, Pak.” Suara perempuan paruh baya terdengar memanggilnya.
Hatinya bungah. Bunga harapannya terlihat merekah.
“Harganya berapa, Pak?”
“Lima belas ribu, Bu.”
Kok mahal banget. Tujuh ribu, ya.”
Segitu belum dapat, Bu. Ambilnya saja sepuluh ribu.”
“Kalau boleh tujuh ribu, saya ambil dua. Bagaimana, Pak?”
“Maaf, Bu. Benar, belum bisa. Sebelas ribu, bagaimana? Saya cuma untung seribu.”
“Kalau gitu, gak jadi beli, deh.”
Si Buta menarik nafas dalam-dalam. Sekonyong-konyong merembes buih peluh dari lubang-lubang tubuh. Di kepalanya muncul sosok bini yang menunggu kedatangannya membawa sejumput rupiah, supaya dapur segera mengepul.
***
Si Pura-pura Buta mengayuh kaki, mendekati warung hijau di sebelah toko buku. Denyut semangatnya meningkat. Senyum tipisnya mengembang. Mengemis di loka pemicu kenyang merupakan babak paling diidolakan oleh lelaki yang rajin nongkrong di terminal itu. Mengapa? Karena ketika asyik makan, seseorang urung kabur, jikalau kebetulan dipergoki pengemis menagih recehan. Sayang, bila hanya demi menghindari pengemis, makanan yang didapat dengan mengeluarkan uang harus ditinggalkan begitu saja lalu segesit kilat menghadap ke penjual guna melunasi tanggungan. Atau malah mengacir lintang-pukang sebelum membayar apa yang terlanjur ditelan. Bisa-bisa diburu orang sekampung dan diteriaki maling. Wah, pastilah urusan tambah kusut.
Sesampai di lokasi, Si Pura-pura Buta terperanjat. Dua alisnya mengait, kala mengetahui bahwa di tempat penyedia berbagai lauk dan sayuran itu tersua segerombolan pengemis menggelar makan siang bersama. Alangkah nyaman dan lezatnya. Mereka menyantap hidangan sambil mengangkat kaki ke punggung kursi. Menunya menu istimewa. Takah-takahnya mereka tengah merayakan penderitaan. Penderitaan selaku manusia yang selalu mengalah, berada di bawah juga berstatus sosial rendah.
Mengulum ujung jakun, Si Pura-pura Buta membatalkan hasrat. Malas ia meminta-minta kepada kaum senasib seperjuangan. Dalam kamus hidupnya, meronta-ronta kepada mereka sama saja dengan menginjak harga diri sendiri. Waktu badannya berbalik, tiba-tiba lengan kanannya ditarik dari belakang. Lantas seorang pemuda kerempyeng menampakkan gigi dan mendermakan uang.
Antara ragu dan bimbang, Si Pura-pura Buta menerima pemberian. Hampir saja ia menolak, bila mana otak warasnya membiarkan. Penolakan adalah penghinaan. Ungkapan itulah yang bertukas-tukas membuntang dari pikiran.
Usai berterima kasih, ia langsung lunglai. Ia sangat terpukul dengan peristiwa memalukan tersebut. Rasanya, baru kali itu kehormatannya dicabik-cabik oleh sesama pengemis.
Di atas trotoar sempit, ia membuka telapak tangan yang masih mengepal. Di dalamnya bercokol rupiah yang turut serta menurunkan derajatnya sebagai pengemis. Ia terperangah, sebab kertas bernilai yang digenggam adalah uang dua puluh ribu rupiah.
Ia tidak habis pikir, kenapa kini dunia amat sukar ditebak. Jutaan pengalaman mengemis yang ditenggak Si Pura-pura Buta ternyata bukanlah jaminan untuk leluasa menggali profil korban. Di balik kejadian janggal itu, ia memetik banyak hikmah dan pelajaran. Di antaranya yaitu: “jangan menilai orang dari fisiknya!”  
***
Si Buta dan Si Pura-pura Buta menggelesot santai di serambi masjid Bait al-Qohhar. Sial! Si Pura-pura Buta begitu benci dengan situasi demikian. Situasi serupa dengan beberapa minggu sebelumnya. Situasi di mana ada dua orang buta dalam satu masa. Masa yang menunjukkan orang buta satu kelelahan sehabis kerja, sedang orang buta lainnya capai setelah meminta-minta. Dalam situasi tersebut, niscaya orang paling gila pun bakal menanam simpati pada yang pertama.
Benar. Tanpa meminta, beberapa orang yang hendak shalat Ashar mengulurkan rupiah kepada Si Buta. Dalam waktu relatif singkat, kantong Si Buta disesaki uang. Adapun Si Pura-pura Buta hanya memandangi saingannya itu. Lalu-lalang orang sama sekali tidak memperhatikan keberadaannya.
Usai shalat berjamaah, Si Buta tertidur di barisan belakang. Kesempatan langka yang amat baik untuk dimanfaatkan. Waktu paling telak guna melampiaskan dendam. Si Pura-pura Buta merogoh dompet Si Buta yang berlimpah uang. Dan, klek! Dompet hitam sudah beralih ke tangan.
Genap melancarkan niat, Si Pura-pura Buta turun dari masjid lalu berjalan gontai. Merasa aman, ia melucuti hasil curian. Matanya memicing saat mendapati foto kusam keluarga Si Buta: wanita renta dengan empat anak mengapitnya. Hatinya bergetar. Ia membayangkan, keringat Si Buta tengah dinanti-nanti untuk sekadar ditukar nasi.  
Angin berkesiur. Ubun-ubun Senja mulai tampak di cakrawala. Si Pura-pura Buta terjerat gamang: dompet dikembalikan ataukah berpuluh lembar uang bakal diketam.

Yogyakarta, 2012

Jumat, 03 Maret 2017

Primbon yang Subversif (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di jurnal "Basabasi" edisi Kamis, 2 Maret 2017)

Bagi generasi masa kini, menghayati primbon tak ubahnya berburu risiko. Di balik gemerlapnya dunia, suatu masyarakat yang mengamini primbon terbebani dengan julukan tradisional, konservatif, dan terbelakang. Modernitas seakan membelakangi segala hal yang berbau takhayul dan irasional. Maka, daripada mengantongi julukan “kampungan”, lebih baik mereka menjauhinya.
Padahal, dulu kala, primbon bak primadona. Ia memiliki tempat di hati masyarakat, sebab berfungsi sebagai pedoman perhitungan waktu baik maupun buruk dalam melaksanakan perhelatan serta upacara. Bahkan, masyarakat tradisional menaruh keyakinan bahwa di dalamnya terdapat power yang mampu menggalakkan perlawanan kepada kolonialisme. Buku primbon menyimpan energi besar yang sanggup menggerus kaum penjajah. Apa yang ditawarkannya mengandung ikhtiar dalam memaksa Wong Londo untuk hengkang dari bumi pertiwi.
Catatan sejarah menyebutkan, pemerintah kolonial pernah melakukan sensor ketat terhadap bacaan penduduk desa. Buku primbon yang disembunyikan para petani, terutama yang berisi kumpulan ramalan, jampi dan rajah, harus diserahkan kepada pemerintah kolonial untuk diteliti. Jika terbukti memuat ramalan tentang datangnya Ratu Adil atau Imam Mahdi, barang tentu buku tersebut disita dan dilenyapkan. Dianggap berbahaya, buku jenis ini rentan mewariskan sikap subversif kalangan pribumi.
Pada abad ke-19, wilayah perdesaan masih kental dengan sejumlah ideologi tradisional, seperti Ratu Adilisme (mesianisme), milenarisme, nativisme, revivalisme, dan lain sebagainya. Dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan, Denys Lombard (1996) mensinyalir bahwa ideologi-ideologi tersebut sangat potensial menjiwai petani dalam melancarkan aksi protes melawan modernisasi serta dampak penetrasi rezim kolonial Belanda.
Kekhawatiran pihak kolonial terhadap ideologi-ideologi di atas memang beralasan. Berkobarnya Perang Jawa yang memakan korban 200.000 jiwa, misalnya, memperoleh dorongan kuat dari mitos Ratu Adil yang melebur dalam alam pikiran masyarakat Jawa. Betapa mesianisme mampu mengobarkan semangat juang kaum pribumi untuk segera mengakhiri pendudukan kolonial.
Dwi Eriska Agustin (2009), dalam penelitiannya berjudul Pengaruh Mitos Ratu Adil dalam Perang Jawa (1825-1830), menyebutkan bahwa Mayarakat Jawa kerap mengaitkan mitos Ratu Adil dengan ramalan Prabu Jayabaya. Dalam karya-karyanya, sastrawan Jawa tersebut menganggap bahwa penderitaan yang dialami rakyat, semisal beratnya beban pajak, merosotnya hasil bumi, timpangnya hukum, tidak berjalannya syariat Tuhan, berkuasanya orang zalim, buruknya pemerintahan, terjadinya bencana alam, serta menjamurnya krisis sosial, akan hilang dengan datangnya Ratu Adil. Mitos Ratu Adil terwujud dalam tampilnya seorang pemimpin yang menyelesaikan berbagai permasalahan atau krisis yang melanda.
Lebih lanjut, Dwi mengatakan, perubahan zaman meniscayakan suatu gerakan yang ditopang oleh kekuatan seorang pemimpin sebagai Ratu Adil. Dalam konteks Perang Jawa, mitos Ratu Adil dapat dilihat dari munculnya tokoh karismatik yaitu Pangeran Diponegoro (1785-1855). Sosok yang dianggap sebagai “wali Tuhan” ini dipercaya mampu menangkap seluruh penderitaan dan kesengsaraan rakyat. Melalui wibawanya, ia memosisikan diri sebagai pemikat massa, katalisator keluhan rakyat, penampung ide-ide komunal, serta pemupuk harapan terciptanya kehidupan yang adil dan sejahtera.
Boleh dibilang, materialisme, pragmatisme, dan hedonisme yang menjadi dasar pijakan bercokolnya imperialisme Belanda di bumi Nusantara ternyata takluk hanya oleh buku primbon. Kesombongan dan kecongkakan kolonial ditertawakan oleh primbon. Martabat dan rasa bangga selaku kaum penjajah tumbang. Kepercayaan diri sebagai bangsa pemenang goyah. Dalam taraf tertentu, ternyata, buku primbon sanggup membuat nyali penguasa menciut.
“Teror” yang dihunjamkan semakin lengkap, dikarenakan selain rongrongan psikis, primbon juga menebar ancaman fisik. Beberapa buku primbon mengajarkan pembaca tentang resep-resep kekebalan tubuh, cara memperoleh kekuatan, serta kiat meningkatkan kesaktian. Buku jenis ini menularkan pengetahuan mengenai cara menghadapi musuh secara ragawi.
Tak heran jika dalam kacamata kolonial, buku primbon dicurigai dapat membangkitkan huru-hara yang sukar diredam. Pemberontakan besar bisa lahir dari sebuah buku primbon. Oleh karena itu, memberangusnya merupakan keniscayaan. Namun demikian, tampaknya mereka mengalami kebingungan dalam membendung tersebarnya buku-buku primbon. Dalam kebijakannya, pemerintah kolonial terkesan plinplan. Di satu sisi, mereka ingin segala bentuk agitasi dan propaganda dihancurkan. Akan tetapi, di sisi lain, mereka membiarkan “literasi primbon” tetap tumbuh dalam kehidupan masyarakat.
Asumsi ini berdasarkan fakta bahwa pada waktu Belanda menjadi bahasa resmi pemerintah, bahasa-bahasa daerah masih diperhatikan. Identitas kedaerahan dan kesukuan tetap dihormati. Sekolah-sekolah di desa dibiarkan menggunakan bahasa daerah sebagai pengantarnya. Bahkan, pada tanggal 14 September 1908, didirikan Commissie voor de Volkslectuur (Balai Pustaka) dengan tujuan mengembangkan beberapa bahasa daerah utama di Hindia Belanda (Jawa, Sunda, Melayu, dan Madura). Buku-buku primbon berbahasa Jawa, seperti Betaljemur Adammakna, Atassadhur Adammakna, serta Lukmanakim Adammakna, terus diterbitkan, meski tentu saja “diselaraskan” dengan kepentingan-kepentingan kolonial.
Problematis memang, di satu sisi khazanah primbon menjadi ancaman bagi kaum kolonial tetapi di sisi lain juga harus dirawat agar “tidak liar”.
Lepas dari tilikan sejarah tersebut, seyogianya kini generasi kita tidak abai pada keberadaan buku-buku primbon ini. Apalagi memandangnya kolot dan terbelakang, sebab bagaimanapun sederhananya, semua khazanah lama itu merupakan bagian dari bangunan besar bangsa ini.

Bojonegoro, 2016

Rabu, 01 Maret 2017

Sertifikasi Tanah Bondo Deso (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jateng" edisi Rabu, 1 Maret 2017)



Pemerintah Desa (Pemdes) Buko, Wedung, Demak, sibuk menertibkan tanah bondo deso. Di samping menghindari sengketa, sertifikasi 25 bidang tanah milik desa juga dimaksudkan sebagai sarana tertib administrasi. Mereka ingin mendukung upaya Pemkab Demak dalam meraih status wajar tanpa pengecualian (WTP) pada tahun 2017.
Langkah ini ditempuh setelah pamong melihat kenyataan bahwa banyak pihak kurang memiliki kepedulian terhadap status tanah bondo deso. Setelah pamong melelang dan melepaskannya ke masyarakat, seringkali luas tanah desa tersebut berubah, bahkan menyusut. Terjadi kecerobohan penggarap saat melakukan proses pengolahan.
Fakta di atas menandakan munculnya kesadaran pamong untuk melindungi aset desa. Mereka berharap pemasukan yang mengalir ke desa berjalan sebagaimana mestinya agar pembangunan senantiasa terlaksana. Bagaimanapun, kesejahteraan orang desa salah satunya ditopang oleh terpeliharanya tanah bondo deso. Rupiah yang dihasilkan darinya bisa dimanfaatkan untuk mengolah sumber daya alam, mengembangkan potensi lokal, serta memberdayakan masyarakat perdesaan.
Globalisasi menuntut orang-orang desa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Mereka dihadapkan pada realitas dengan ciri dan karakteristik yang berbeda dengan masa silam. Apabila tetap terkungkung dalam alam tradisional, tentu mereka akan dilindas oleh roda waktu. Saat arus modenitas tak mampu dibendung, sertifikasi tanah bondo deso merupakan keniscayaan.
Konvensi dalam masyarakat perdesaan tidak selamanya didasarkan pada kepercayaan, melainkan juga mekanisme “hitam di atas putih”. Dalam beberapa aspek, pemikiran masyarakat mulai bergeser. Pola pikir lapuk ditinggalkan dan tergantikan oleh pemikiran progresif. Futurisme membimbing mereka dalam bersikap, berperilaku, serta mengambil keputusan. Mereka tidak lagi terikat pada kondisi lampau, tetapi mulai mengarahkan perhatian pada kehidupan masa depan. Tak heran jika akhir-akhir ini terdapat kecenderungan bahwa mereka menghendaki kepastian hukum, terutama menyangkut kepentingan publik.

Secuplik Sejarah
Keberadaan tanah bondo deso tidak terlepas dari eksistensi tanah komunal. Berdasarkan catatan D.H. Burger, pada tahun 1929, pamong desa mulai kepala desa, carik, kamitua, kebayan, kepetengan, hingga modin memperoleh tanah komunal. Pada tahun-tahun berikutnya, sawah komunal yang kurang terurus berubah bentuk menjadi sawah bondo deso, suatu lembaga modern yang setiap tahun disewakan bagi keuntungan kas desa (S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, 2008: 108).
Di wilayah perdesaan, hak garap atas tanah komunal mengacu pada dua sumber, yaitu pemberian dan pelelangan. Tanah komunal yang diberikan kepada warga biasanya disebut norowito, gogolan, pekulen, playangan, kesikepan, dan sejenisnya. Sedangkan tanah-tanah yang memperoleh hak garap berdasarkan pelelangan umumnya dinamakan titisara, bondo deso atau kas desa.
Para warga yang berhak menerima hak garap berdasarkan pemberian (redistribusi) adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan berikut: telah berumah tangga, mempunyai rumah dan pekarangan, serta mengikuti kerja wajib desa. Terhadap tanah titisara, bondo deso, dan kas desa, setiap warga mengantongi peluang untuk mendapatkan hak garapnya melalui suatu pelelangan. Pemegang hak garap wajib membayar sejumlah uang yang akan dimanfaatkan bagi keperluan pemeliharaan desa, semisal perbaikan jembatan, pelebaran jalan, renovasi masjid, dan sebagainya (Ilyas Ismail, 2011: 143).

Kepemilikan Aset
Sertifikasi tanah bondo deso di Buko, Wedung, menjadi contoh sekaligus pilot project bagi desa-desa lainnya. Hal ini dikarenakan, di beberapa tempat, masih banyak aset desa yang terbengkalai sehingga rentan memancing konflik dan problematika sosial. Dalam taraf tertentu, situasi demikian kerap merugikan desa.
Merosotnya kekayaan desa antara lain disebabkan berkurangnya aset. Hak desa digerogoti oleh pihak tak bertanggung jawab yang memaksakan kepentingan pribadi. Tergerusnya nilai-nilai komunal oleh nilai-nilai individual menjadikan sebagian orang mudah mengorbankan kepentingan bersama. Belum lagi para pemodal yang ingin mengembangkan investasi sekaligus melancarkan kapitalisasi. Industrialisasi genap membuat tanah-tanah di desa menyempit. Lahan-lahan kosong telah dikapling sedemikian rupa oleh kaum urban yang bernafsu mengeruk keuntungan hingga wilayah pedalaman. Akibatnya, kaum petani merutuki penderitaan lantaran sawah mereka beralih fungsi menjadi mall dan pusat perbelanjaan. Mereka terperosok dalam kubangan pengangguran dan terbelit oleh beban utang. Ketiadaan modal membuat mereka seolah terusir dari tanah kelahiran.
Atas dasar inilah, para kepala desa beserta jajarannya dapat bersinergi dalam upaya mengamankan kekayaan desa. Dewasa ini, status tanah bondo deso beserta batas-batasnya tidak bisa lagi didasarkan pada kesaksian sesepuh desa. Mereka tak mungkin mengandalkan ingatan orang-orang tua yang seringkali dimanipulasi oleh oknum-oknum tertentu. Dalam konteks inilah, sertifikat tanah menjadi bukti atas kekayaan desa yang harus senantiasa dijaga. Bagaimanapun, kepemilikan aset merupakan modal terwujudnya prinsip-prinsip good governance di tingkat lokal.

Yogyakarta, 2017

Buah Muslihat Lohas (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Radar Lampung" edisi Minggu, 26 Februari 2017)



Baju perang yang dibawa Heto sungguh indah. Belum pernah seorang pun lulus mengenakannya. Pasukan Dunsa terkesima mengendus serpihan cahaya yang bertaburan. Rona yang dihasilkan berkilauan, hingga semua orang ingin berlama-lama memandangnya. Ada kedamaian di dalamnya. Pun ada kewibawaan disimpannya.
Begitu pula Cerhula, yang antusias memasang indra pirsa guna menadah keelokannya. Selama puluhan tahun, sang kakek melempar urita. Urita yang ringan ditangkap indra telinga, namun sukar dipungut nalarnya. Siapa duga, kini, baju agung tersebut teronggok di depannya dan ia berniat mencoba. “Barang siapa sanggup memakai baju ini, sesaat saja, ialah ksatria paling perkasa di daratan Humma.” Demikian pesan Gumon, pemuka dari Furka.
Heto begitu yakin dengan putra angkatnya itu. Kata Dores, penampilan Cerhula dalam berbagai laga menunjukkan bahwa ia ksatria tangguh. Panahnya sanggup menembus iga manusia paling keras sekalipun. Tinjunya kerap membuat lawan muntah darah lantas jatuh-lumpuh. Suaranya yang parau mengantarkan seterunya gemetaran atau memilih kabur tunggang-langgang. Bukan hanya itu, lelaki tampan bertudung sutra itu juga mempunyai sepasang sayap lembut yang melingkar di lengan.
Ini kali, Heto urung meleset. Entah berapa ratus ksatria yang hendak dianugerahi seragam kebesaran itu. Sayang, belum sempat menyentuh, tangan mereka sudah melepuh.
Bermodal dorongan luar biasa dari Mohes dan Suramo, dua saudara kembarnya, Cerhula menempelkan mira di kulitnya. Di luar purbasangka, tubuhnya begitu bersahabat dengan baju kebesaran tersebut. Mata Tami, ibunya, berkaca-kaca dan tak henti-hentinya giginya melukis gembira. Dadanya melebar hingga dua jengkal. Dengan apa yang disaksikan oleh segenap pasukan Dunsa itu, putranya telah turut serta melambungkan kehormatan keluarga.
“Pasti ayahmu di surga bangga denganmu, Cerhula.” Batinnya mendesis.
***
Mengetahui Cerhula berhasil menaklukkan mira, Gondares menghadiahkan kuda terhebat yang ia punya.  Melalui mapala—sejenis surat tugas—, ia menitahkan Kombes untuk lekas mengirimkannya pada Cerhula. Selaku panglima perang, Gondares tampak berbangga ketika memetik kabar menggembirakan tersebut. Sebenarnya, kurang rela ia berpisah dengan Jaine. Namun, menghargai seorang ksatria tangguh jauh diutamakan daripada sekadar memelihara tunggangan yang digunakan meluluhlantakkan pasukan Gebra sekian tahun silam.
Semisal Cerhula, si kuda juga bersayap. Namun jumlahnya lebih banyak; Empat. Dua di atas paha kaki depan. Dua lagi mendekati ekor. Berwarna putih mengkilat. Saban ujungnya tersepuh biji perak. Jika penunggang merasa kehausan, peluh kuda layak ditenggak berulang-ulang, tanpa harus mengeluh kekeringan. Ditambah lagi dengan sisipan khasisat: mengusir letih sampai dua-tiga bulan.
***
Cerhula sama sekali tak menyadari bahwa binatang yang ditunggangi bukanlah Jaine. Awalnya, ia merasa baik-baik saja, seolah tak terjadi apa-apa. Empat sayap yang menempel di tubuh kuda itu sungguh memesona. Celaka, saat diperintah mengepakkan sayap, ternyata si kuda malah meringkuk sambil meringkik. Sayap itu palsu! Demikian gumam Cerhula dengan mata membelalak sempurna.
Sebongkah tawa meledak riuh. “Keperkasaan mesti dihadapi dengan kecurangan.” Semboyan Lohas, si jago curang. “asal kau tahu. Aku telah menukar Jaine dengan Bahul; Kuda termalas dan terdungu dari Pubire.”
Tiada manusia selihai Lohas. Tiada rival selicik jantan pengumpul kuda bertuah itu. Kelihaian yang ia miliki seimbang dengan kelicikannya. Torrun menyebutnya tua bangka yang cerdik. Saking cerdiknya, otak busuknya mafhum, bahwa—di selembar pagi—, Gondares bermaksud memberikan Jaine kepada Cerhula. Malamnya, kuda berpenyakit kusta dan berkelamin ganda ia kirim ke kandang Jaine. Sedang Jaine diselundupkan pada kendi mungil yang menimbun kuda-kuda sakti dari berbagai loka. Dalam benaknya, ia bergumam: “Bila sanggup menahan kedua puluh kuda ini sebulan saja, aku bakal menjelma manusia kuat melebihi seratus ksatria. Dan jika mereka kupasung selama setahun, maka aku akan menjadi makhluk paling perkasa di jagat raya”.
Melayani amarah Cerhula, Lohas enggan turun tangan. Ia membuka tutup kendi secara perlahan; Mengeluarkan seluruh kuda sakti dari dalam, terkecuali Jaine; Binatang buruan yang baru saja ia dapatkan. “Tentu, Jaine belum sejinak piaraan-piaraan yang sudah kurawat lebih lama.” Pikirnya.
Musuh Cerhula berjumlah sembilan belas. Baru ini kali, Cerhula dipaksa beradu kening dengan kuda. Ya, kuda. Binatang miskin pusar dan fakir otak itu! Padahal semua orang maklum, bahwa ia paling rentan terhadap kuda. Rasa sayangnya kepada kuda memang berlebihan (sejak kecil, ia diajari ibunya untuk menyayangi semua satwa). Menghabisi hidup kuda sama saja melenyapkan nyawa sendiri. Bingung dan gelisah. Sungguh, relung jiwanya terbelit antara pilihan-pilihan menyakitkan.
Sepemakan sirih kemudian, mulut Lohas berkomat-kamit menghembuskan kata-kata asing bagi telinga. Dua hari yang lalu, Forgus—penyihir dari Kohan—menularkan beraneka mantra dengan macam-macam kegunaannya.
Atas instruksi Lohas, sembilan belas kuda membentuk lingkaran. Lidah mereka menjulur-julur layaknya binatang buas bersigap melalap mangsa. Cerhula gelagapan. Sebenarnya, jika sayapnya di kibaskan seper sekian detik saja, maka binatang-binatang itu akan lari ketakutan. Namun, Cerhula tetaplah Cerhula. Bertarung dengan kuda merupakan tindakan bodoh yang segan ditunaikan ksatria seperti dirinya.
Memergoki kepasrahan Cerhula, Lohas mendengus lirih.
“Matilah kau, Ksatria!”
***
Dengan firasatnya, Gondares mampu mencium di mana keberadaan Jaine. Ya, Boma. Di sana pula Cerhula dikepung sembilan belas kuda liar yang siap melumatnya.
Ia melesat segesit kilat. Sesampai di kota gersang itu, Gondares berteriak, hingga membangunkan lelap udara. “Keluarlah, wahai Jaine!”
Jaine adalah kuda yang patuh. Kepatuhan itulah yang memaksa agar ia terbebas dari cengkraman Lohas. Dengan sisa-sisa kekuatan, ia kepakkan sayap tujuh kali, hingga mampu meloloskan diri dari kendi Lohas.
Cerhula menyungging senang. Perpisahan selama sepekan dengan kuda hebatnya itu membuat ia menahan rindu yang mendalam. Pun dengan Jaine.
“Tolonglah majikanmu yang baru, Jaine!” Seloroh Gondares.
Dengan cekatan, moncong Jaine menyemburkan api raksasa dari delapan arah mata angin. Api yang bukan merah, hijau, atau kuning. Api yang saking panasnya hingga berwarna hitam legam. Sehitam hati Lohas.
Sembilan belas kuda itu tergeletak lemas. Daging dan tulang mereka melecur. Kulit serta bulu mereka terpanggang. Mereka mati mengenaskan. Sungguh, mereka cuma kuda dengan kadar kekuatan di bawah Jaine.
Lohas terjepit. Selain kelicikan, ia tak lagi mengantongi apa-apa. Tapi, dasar Lohas! Dalam situasi sesempit apa pun ia masih berkilah. Benar. Menggelar sandiwara di hadapan Cerhula, Gondares, juga Jaine. Itulah yang ia lakukan.
“Maaf, Ksatria dari negeri Dunsa.” Lohas mulai menebar tipu daya. “Ini… Ini semua salah sangka. Kita harus mengakhiri pertempuran ini. Mengumpulkan dua puluh kuda sakti adalah salah satu usahaku supaya ayahmu hidup kembali. Aku adalah adik dari ayahmu, Cerhula. Adik dari lain ibu. Inilah yang selama ini belum sempat diceritakan oleh keluargamu. Ibuku, Hermi, adalah wanita serakah. Itulah mengapa ibumu beserta ke delapan saudaranya urung mengakuinya.”
Dahi Cerhula menerbitkan gelombang-gelombang kecil. Tatapan kosong menyembul dari lubang netranya. Antara percaya dan tidak, ia melempar kesempatan bagi Lohas untuk melanjutkan buah tuturnya.
“Dengar, Keponakanku. Dengar! Selaku paman, tugasku menyampaikan kebenaran ini kepadamu. Kepercayaan atau keingkaranmu bukanlah tujuanku. Barangkali kau bertanya, kenapa sembilan belas kuda kuperintahkan menyerangmu. Kau tahu, Cerhula? Aku dibelit kekhawatiran. Kekhawatiran jika kendi ini kau hancurkan guna menyelamatkan Jaine. Perlu kau pahami, Cerhula. Kehancuran kendi ini, berarti kebebasan buat mereka. Mereka bisa dikurung dengan kucuran mantra, asal kendi ini utuh. Apabila kendi ini retak, maka gugurlah harapan kita untuk menghidupkan kembali Jolus, ayahmu.”
Layaknya prajurit menyimak petuah tetua, Gondares pun terkecoh dengan lidah Lohas.
Sedang Jaine, ia hanyalah binatang yang bebal akan logika manusia. Tugasnya mengindahkan instruksi. Itu saja.
“Jangan bimbang, Cerhula. Alangkah baiknya jika segera kau suruh Jaine menghidupkan ke sembilan belas kuda itu.Lalu kita bersama pergi ke Hades, tanah yang menyembunyikan mayat ayahmu.”
Cerhula dan Gondares bertukar pandang. Lalu keduanya……

Yogyakarta, 2011