Selasa, 19 Desember 2017

Mengawal Pembangunan Jalan Tol (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kedaulatan Rakyat" edisi Senin, 18 Desember 2017)


Pemerintah mengebut pengerjaan jalan tol se-Indonesia. Sesuai target Presiden Joko Widodo, sepanjang 1.850 kilometer (km) jalan tol diusahakan terbangun pada tahun 2018. Demi mengecek langsung proyek-proyek jalan tol tersebut, presiden sengaja blusukan. Selain proses pengerjaan bisa terpantau secara maksimal, hal ini juga dilakukan supaya pembangunan cepat terselesaikan.
Apa yang digencarkan oleh pemerintah di atas patut diapresiasi oleh semua pihak. Keberadaan jalan tol dipercaya dapat memperbaiki jalur transportasi, meningkatkan hasil produksi dalam negeri, serta membuat taraf hidup masyarakat lebih tinggi. Jalan tol berperan besar dalam upaya menciptakan civil society dan mewujudkan prinsip-prinsip good governance. Betapa berlangsungnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sangat terbantu oleh munculnya jalan-jalan tol di berbagai daerah.

Realitas Historis
Demi kelancaran proyek jalan tol, pembebasan lahan merupakan langkah konkrit yang dilakukan oleh pemerintah. Fenomena pembelian tanah untuk memaksimalkan jalannya program pembangunan sebenarnya sudah berlangsung sejak dahulu kala. Salah satunya melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh Raja-raja Mangkunegaran masa silam. Catatan sejarah menunjukkan,  meskipun tanah-tanah negara telah diserahkan secara tetap kepada desa, akan tetapi dalam hal-hal tertentu para penguasa Mangkunegaran boleh mengambil alih tanah tersebut. Pengambilan tanah bukanlah bentuk kezaliman dan kecongkakan penguasa. Dinilai legal karena dilindungi oleh hukum, tindakan demikian bermaksud agar negara bisa merealisasikan kepentingan publik dengan tetap memperhatikan asas demokrasi.
Dalam buku Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Wasino (2008: 165) menyebutkan bahwa pengambilan kembali tanah-tanah desa terjadi jika: (1) Pembebasan lahan diselenggarakan demi kepentingan umum (mundut bumi tumrap pahedahing akeh). Dalam bahasa sehari-hari, pengambilan tanah ini di Solo masyhur disebut dipijehake, istilah yang berakar dari kata dasar piji (sendiri) yang bermakna ‘tanah yang disisihkan’. Pemegang hak pakai yang diambil alih tanahnya untuk kepentingan umum berhak menerima ganti rugi atas bangunan atau tanaman yang terletak di atasnya. Sebuah komisi yang dibentuk oleh Mangkunegara bersama Residen Surakarta bertugas menaksir jumlah kerugian. (2) Pihak keraton memerlukan tanah desa yang akan dialokasikan untuk pengusaha perkebunan.
Adanya ketentuan di atas menunjukkan bahwa hukum selalu berubah mengikuti situasi dan kondisi. Berubahnya zaman menuntut hukum senantiasa memuat gejala-gejala ekonomi, politik, sosial, serta budaya yang berkembang dalam masyarakat. Hukum memberikan atensi dan simpati terhadap apa yang terjadi, baik di dalam maupun di luar manusia.

Utamakan Musyawarah
Bagaimanapun, agar upaya percepatan pengerjaan jalan tol dapat segera terwujud, pemerintah membutuhkan tanah desa yang menjadi faktor produksi terpenting bagi rakyat. Kebutuhan negara dalam memanfaatkan tanah desa menuntut adanya penghargaan terhadap orang-orang yang selama ini merawatnya. Pemerintah selayaknya menyadari bahwa dikerjakannya proyek jalan tol dengan mengambil sumber daya lokal meniscayakan dilestarikannya nilai-nilai keadilan dan kebersamaan. Dilaksanakannya berbagai kebijakan pemerintah mesti bertumpu pada ditegakkannya fondasi Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan berlandaskan sila-sila Pancasila, implementasi pembangunan seyogyanya menyerap aspirasi rakyat.
Dalam catatan Yudi Latif (2011: 387-388), adanya kepemilikan bersama berupa tanah menggariskan ketetapan bahwa setiap orang yang ingin memanfaatkannya harus mengantongi persetujuan kaum. Ketentuan demikian mendorong lahirnya tradisi gotong-royong dalam menggunakan tanah yang merembet pada hal-hal lainnya, termasuk urusan pribadi. Adat hidup tersebut menciptakan kebiasaan musyawarah menyangkut kepentingan umum yang diputuskan secara mufakat. Sebagaimana pepatah Minangkabau: “bulek aei dek pambuluah, bulek kato dek mufakat” (bulat air karena pembuluh/bambu, bulat kata karena mufakat).
Semangat inilah yang selayaknya ditangkap oleh pemerintah. Besarnya jumlah ganti rugi tidak boleh ditetapkan secara kurang layak dan cenderung tidak manusiawi. Dicapainya kesepakatan bersama antara masyarakat dengan pemerintah merupakan wujud penghormatan terhadap mereka yang terkena dampak pengerjaan jalan tol yang sudah berkorban demi lancarnya pembangunan. Merupakan suatu tuntutan bahwa dalam menjalankan tugasnya, tim pengadaan lahan mengacu pada Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa. Di dalamnya antara lain tercantum persyaratan digunakannya tanah desa untuk kepentingan publik.


Yogyakarta, 2017

Minggu, 17 Desember 2017

Desa dan Perkembangan Teknologi (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jateng" edisi Sabtu, 16 Desember 2017)


Lantaran tidak mempunyai jaringan seluler, warga Desa Lewoawan, Ile Bura, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur merakit tower tradisional. Sebuah tiang kayu setinggi kurang lebih satu meter yang menancap di atas tanah menjadi penopangnya. Tempurung kelapa yang terpasang di ujungnya berfungsi untuk menampung beberapa telepon seluler milik warga. Berbekal tower tersebut, mereka akhirnya nekat meluncurkan website desa. Atas kerja keras dan capaian prestasi inilah, Lewoawan ditetapkan sebagai desa pertama (bersama Desa Birawan) di Kabupaten Flores Timur yang berhasil menggunakan jaringan internet dalam Sistem Informasi Desa dan Sistem Administrasi Desa.
Berbekal bahan-bahan sederhana, warga Desa Lewoawan mampu mengejar ketertinggalan dan secara perlahan berusaha mencapai kemajuan. Fakta ini menggambarkan bahwa produk teknologi ternyata tidak selamanya identik dengan tersedianya sejumlah materi dengan harga selangit. Asalkan bahan-bahan di sekeliling manusia dapat dimodifikasi dengan sentuhan kreativitas, beragam inovasi tentu bisa tercipta.
Perubahan dan tuntutan zaman memaksa orang desa untuk menyesuaikan diri. Atas dasar itulah, mereka dituntut secara aktif terlibat dalam “logika modernisasi” tanpa harus mengorbankan jatidiri. Globalisasi yang oleh sejumlah pihak seringkali dimaknai sebagai kiat meredupkan lokalitas sekaligus upaya menggerus identitas suku bangsa, justru dianggap menjadi proses tak terelakkan kehidupan manusia.
Dalam konteks inilah, orang desa melakukan reinterpretasi terhadap semangat zaman dengan melepaskan ikatan-ikatan lama yang genap membelenggu pikiran dan membatasi kebebasan berekspresi. Mereka tidak ingin terjebak pada konsensus-konsensus kuno yang lebih bernuansa nostalgia ketimbang ideologis. Mereka tidak serta merta mengungkung diri dengan pola pikir primitif, melainkan membuka wawasan dan mengapresiasi perkembangan ilmu pengetahuan. Bagi mereka, memelihara warisan pemikiran dan ajaran para pendahulu tidak perlu diwujudkan secara kaku, rigit dan ekslusif, namun dengan adaptif, dinamis dan inklusif.

Hak Kelola Rakyat
Orang desa mampu memanfaatkan sekaligus memaksimalkan apa yang ada di sekitarnya secara efektif. Di balik keterbatasan, tersimpan inspirasi dan imajinasi yang melimpah. Itulah mengapa, dari tangan mereka lahir beberapa produk istimewa dengan karakter yang unik dan khas. Lebih dari itu, dalam menghasilkan beraneka kreasi, mereka selalu menjunjung tinggi kearifan lokal (local genius). Dengan senantiasa memegang teguh etos, nilai serta prinsip leluhur, mereka terhindar dari perilaku eksploitasi dan perusakan lingkungan.
Dalam taraf tertentu, aspek kehidupan lokal berimplikasi positif terhadap pelestarian alam. Dengan kata lain, pemanfaatan lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat perdesaan tidak selalu berakibat merugikan. Apa yang dilakukan oleh orang desa justru kerap membawa berkah bagi terpeliharanya ekosistem. Bagaimanapun, terdapat aspek-aspek tertentu yang bersifat menguntungkan sebagai hasil teknologi tradisional dan ikhtiar pemberdayaan sumber daya alam. Kenyataan inilah yang semestinya memperoleh perhatian publik dan pemerintah.
Nasruddin Anshoriy Ch dalam buku Dekonstruksi Kekuasaan: Konsolidasi Semangat Kebangsaan (2008: 64) memandang bahwa wilayah kelola rakyat adalah wilayah belajar kembali dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya lain demi terbentuknya sustainable livelihood bagi masyarakat perdesaan dan masyarakat desa-kota. Penyediaan, pengakuan serta perlindungan ruang kehidupan yang utuh bagi masyarakat Indonesia yang secara turun-temurun genap melakukan kegiatan produksi dan reproduksi sosial secara mandiri merupakan tujuan kontruksi hak kelola rakyat.

Perlunya Harmonisasi
Meskipun sebenarnya orang desa mampu mengadaptasi segala hal yang berasal dari luar, namun tetap ada batasan yang mesti diperhatikan. Dalam kondisi bagaimana pun, serta dengan alasan apa pun, tradisi lokal tidak boleh dikesampingkan atau bahkan dikorbankan. Siapa saja yang datang ke wilayah perdesaan dengan membawa hal-hal baru diwajibkan untuk mengindahkan “rambu-rambu” ini.
Penghormatan terhadap tradisi lokal menjadi bagian integral peneguhan hak-hak masyarakat perdesaan yang sejak dahulu kala menjadi unsur terbangunnya fondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan realitas historis tersebut, Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dibekali semangat utama “memberikan penghargaan terhadap asal-usul dan hak tradisional desa”. Sehingga, rekognisi dan subsidiaritas menjadi asas utama undang-undang tersebut. Kehadiran kedua asas inilah yang membedakannya dengan sejumlah peraturan perundang-undangan tentang desa yang pernah terbit sebelumnya.
Sayangnya, konsep-konsep baru di bidang teknologi dengan mudahnya diselundupkan ke desa tanpa memperhatikan terlebih dahulu tradisi yang ada. Padahal, apa yang diintrodusikan kepada orang desa seringkali terbilang “sama sekali baru” dan tidak mempunyai kaitan dengan sesuatu yang mereka miliki, termasuk kearifan lokal (local genius) yang telah lama terkubur. Imbasnya, konsep-konsep baru itu mirip “benda asing”, sehingga sulit diterima oleh publik. Padahal, pembaharuan selayaknya tetap bersifat endogen (Benny H. Hoed, 2001: 28-29).
Di sinilah perlunya harmonisasi. Ikhtiar mengenalkan masyarakat pedalaman dengan berbagai bentuk “keramaian” seyogyanya ditempuh secara bijak. Tradisi lokal menjadi landasan utama diberlakukannya hal-hal baru. Dengan demikian, orang desa tetap mampu meneguhkan diri dalam kepungan jutaan informasi.

Yogyakarta, 2017

Rabu, 13 Desember 2017

Nasionalisme Perdesaan (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Suara NTB" edisi Kamis, 23 November 2017)


November 1945 menjadi salah satu tonggak bersejarah dalam riwayat sebuah bangsa. Berbagai peristiwa gigantik, monumental, dan “penuh darah” yang terjadi sebelumnya merupakan kristalisasi motivasi, antusiasme, dan harapan orang desa dalam menggariskan cita-cita kebangsaan. Mereka berhasrat mengusir kaum kolonial dari bumi pertiwi untuk segera meraih kehidupan bebas, mandiri, dan penuh harga diri.
Saat Belanda memegang tampuk kekuasaan, nasionalisme orang desa dibuktikan dengan loyalitas dalam agenda perjuangan. Dapur umum digunakan untuk menyediakan logistik para pejuang. Perempuan-perempuan desa menyiapkan hidangan bagi mereka yang akan bertempur melawan bengisnya penjajah.
Saat tongkat estafet penjajahan beralih ke tangan Jepang, pemuda desa direkrut menjadi pasukan pembendung Perang Asia Timur Raya. Dibekali pendidikan militer agar kedisiplinan, semangat juang, dan jiwa ksatria terpupuk dalam diri mereka. Akibatnya, desa menjadi tulang punggung seinendan. Di samping itu, dibentuk keibodan, organisasi beranggotakan para pemuda bersenjata bedil kayu dan bambu runcing dengan misi utama menjaga keselamatan desa (Muljana, 2008: 12).
Celakanya, siasat yang digencarkan oleh Jepang menjadi bumerang. Alih-alih menjadikan pemuda desa sebagai alat propaganda, Jepang justru terkena getahnya. Pemuda desa yang genap memperoleh latihan militer menjadi kekuatan yang merongrong kedudukan Jepang di Indonesia. Itulah mengapa, di samping iklim politik yang kurang mendukung, hengkangnya Jepang dari negeri ini juga lantaran garangnya pemuda desa dalam melancarkan serangan terhadap kaum kolonial.

Apatisme
Belakangan ini, nasionalisme orang desa tampak diragukan. Ketika materialisme dan hedonisme menjangkiti orang desa, tersebar asumsi bahwa rasa cinta tanah air mereka mulai luntur. Perhatian mereka terhadap keadaan bangsa juga mulai pudar. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa dalam situasi tertentu sebagian orang desa menunjukkan sikap egoistis. Merosotnya prinsip komunal sekaligus menguatnya dasar-dasar individual antara lain disebabkan oleh urbanisme sebagai pola dan cara hidup orang kota serta perkembangan daerah perkotaan yang mempengaruhi kosmologi orang desa.
Betapa “hasrat urban” membujuk pemuda desa untuk merantau, menimba pengalaman, serta berburu rupiah ke kota. Munculnya berbagai alternatif membuat kerja-kerja tradisional semakin ditinggalkan. Dengan menjadi buruh atau “pegawai kantoran”, misalnya, mereka ingin menyaksikan kemajuan kota-kota besar berikut eksesnya. Pada waktu mereka bekerja, nilai-nilai desa dan kota saling bertukar. Asimilasi inilah yang dibawa untuk dibagi dengan warga desa lainnya Saat mereka kembali ke kampung halaman.
Gejala merembesnya nilai-nilai urban pada lingkungan perdesaan semakin dikokohkan oleh pendidikan. Abdul Munir Mulkhan (2009: 94) mensinyalir bahwa melalui pendidikan, modernisasi menelusup pada relung kehidupan orang desa. Banyak anak desa yang menempuh jenjang pendidikan modern di kota-kota besar, sehingga mereka mulai bersinggungan dengan prinsip hidup orang kota. Tarik menarik antara kepribadian rural di satu sisi dan kepribadian urban di sisi lainnya menyebabkan orang desa diderap kegamangan. Mereka merasa gagap dalam menggali sekaligus memaknai identitas kultural. Pendidikan yang semestinya mampu menabalkan jati diri justru mengaburkannya.
Selama ini, orientasi pendidikan seolah diarahkan pada pembentukan manusia egoistis. Kultur urban yang terselip melalui kurikulum pendidikan cenderung melahirkan kepribadian kasar, menang sendiri, serta sukar diatur. Hal ini berimbas pada meredupnya etos kerja dengan motif komunalisme sekaligus menanjaknya corak individualisme. Padahal, selama komunalisme masih diperhatikan oleh orang desa, kepedulian terhadap nasib bangsa akan tetap terpelihara. Sebaliknya, bila individualisme yang mendominasi corak pandang masyarakat, segala bentuk perhatian akan terpusat pada diri sendiri. Dalam perspektif terakhir inilah, mereka menganggap bahwa nasib tak kunjung berubah hanya dengan mengutamakan kepentingan bangsa.

Kearifan Lokal
Ketika tidak lagi berada pada jalurnya, pendidikan hanya akan memasung kreativitas manusia. Potensi anak desa akan terkubur seiring dengan semakin cepatnya arus globalisasi. Kearifan lokal sebagai penanda masyarakat adat bakal hilang tergantikan oleh ilmu pengetahuan yang serba rasional. Jika ini yang terjadi, maka kolonialisme genap berubah bentuk. Penjajahan berhasil melakukan transformasi bahkan evolusi dengan memanfaatkan celah-celah yang ada dalam sistem pendidikan. Kemerdekaan yang berhasil diraih seakan sirna jika pendidikan kurang mampu membebaskan, melainkan justru mengekang daya cipta manusia.
Upaya merawat kemerdekaan bisa diwujudkan dengan menempatkan pendidikan sesuai “kodrat”nya. Dalam konteks ini, pemerintah perlu menapaki jejak seorang petani bernama Sabur yang berusaha memadukan kurikulum nasional dengan kearifan lokal. Setelah menjual sebidang kebun kelapa sawit untuk pendirian sekolah tingkat SLTP, warga Desa Aur Cina, Bengkulu, tersebut menyusun silabus pendidikan lingkungan hidup dengan menitikberatkan pada kehidupan siswa saat berada di rumah maupun di sekolah. Sejak dini, siswa didorong untuk memahami kerusakan lingkungan sekaligus imbasnya. Capaian ini telah mengantongi apresiasi dari berbagai pihak, sehingga beberapa sekolah di Provinsi Bengkulu menjadikan silabusnya sebagai referensi.
Dengan mengombinasikan materi pelajaran formal dengan kearifan para leluhur, tentu pemerintah memberikan rekognisi sekaligus apresiasi terhadap beragam pengetahuan masyarakat adat. Bukan hanya memberdayakan sumber daya lokal, langkah ini tentu juga dapat membangkitkan kembali nasionalisme perdesaan. Selain itu, gejala urbanisme yang dalam beberapa dekade terakhir begitu mencolok juga menurun akibat bertunasnya kepercayaan diri orang desa. Bagaimanapun, geliat modernisme tak selamanya diwujudkan dengan menghapus karakter “orang udik”, melainkan justru meneguhkannya.

Yogyakarta, 2017

Penokohan Individu dalam Pilkades (Aspirasi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Harian Jogja" edisi Jumat, 17 November 2017)


Menjelang pelaksanaan pemilihan kepala desa (Pilkades) serentak yang pertama kali bakal diselenggarakan di Kabupaten Purworejo, tercatat ada 217 calon kepala desa (Kades) dari 82 desa. Mereka berasal dari beragam latar belakang pendidikan, mulai SLTP hingga S3. Fenomena ini menunjukkan bahwa selalu terjadi persaingan dalam upaya merebutkan kursi Kades. Oleh masyarakat perdesaan, jabatan pemimpin di tingkat lokal tersebut senantiasa dianggap bergengsi dan berwibawa.
Dalam dasawarsa terakhir, meski simbol kekayaan tidak lagi melekat pada Kades, akan tetapi posisi orang nomor satu di level desa tersebut tetap menjanjikan keuntungan. Para calon Kades sadar bahwa bengkok dan tunjangan yang diterima kelak tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan baik sebelum maupun setelah digelarnya Pilkades. Namun demikian, mereka memahami bahwa Kades merupakan aktor lokal dengan banyak akses. Relasi ke pengusaha, pemodal, bahkan ke pemerintahan supra desa dapat diperoleh dengan mudah apabila Kades mampu membaca peluang. Tak heran jika Kades kerap terlibat dalam proyek-proyek pembangunan sekaligus mengantongi banyak profit.
Dengan demikian, berapa pun besarnya, rupiah yang digelontorkan demi meraup sebanyak mungkin suara pada waktu coblosan akan kembali. Di sinilah perlunya perhitungan yang jitu untuk menimbang kekuatan individu, dukungan publik, dan ongkos politik. Orang-orang yang mencalonkan diri selaku Kades dituntut mempunyai seni yang tinggi dalam melihat situasi. Kegagalan dalam hal ini rentan mengakibatkan kerugian material, hancurnya motivasi, serta merosotnya harga diri.

Perilaku Individu
Di zaman yang serban instan, masyarakat menilai apa yang dilakukan oleh para calon Kades, meski sebatas masa kampanye, benar-benar mencerminkan kepribadiannya. Ketika seorang calon Kades berhasil ‘mencuri hati’ masyarakat dengan membangun berbagai sarana publik, misalnya, dukungan akan mengalir deras kepadanya. Sepak terjangnya selalu dinilai positif apabila disertai dengan uang serta hal-hal yang bersifat kebendaan.
‘Ringan tangan’ sebagai tolok ukur kesuksesan di panggung publik juga berlaku ketika seseorang berhasil menduduki jabatan Kades. Salah satu Kades di daerah Jawa Timur nekat menguras kantong pribadi ketika sebagian warganya tidak menerima ‘sumbangan’ dari Pemda lantaran kesalahan pendataan. Ia mengaku tidak ingin desanya gaduh gara-gara ada sebagian kecil siswa yang tak menikmati bantuan pendidikan. Masyarakat menaruh simpati kepadanya, setelah ia mampu menghindarkan munculnya desas-desus yang tak diinginkan.
Penilaian masyarakat terhadap efektivitas pemerintahan desa cenderung diarahkan pada kedermawanan Kades. Kepedulian sang pemimpin dimaknai sebagai keikhlasannya menyumbangkan uang bagi kegiatan-kegiatan seremonial, peringatan hari besar serta perayaan tahunan. Kebaikan hati sang pemimpin diartikan sebagai kerelaannya mengeluarkan uang pribadi bagi kepentingan publik. Hal ini antara lain ditandai dengan dicairkannya beragam proposal yang disodorkan kepadanya.
Meskipun tidak sepenuhnya salah, namun penilaian demikian menunjukkan minimnya pengetahuan masyarakat mengenai tugas, fungsi, dan peran Kades yang genap diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Oleh masyarakat, kinerja pemerintah desa sekadar ditinjau dari perilaku individunya. Kesan positif cenderung lahir lantaran sikapnya yang rendah hati kepada semua orang. Perhatiannya terhadap berbagai lapisan masyarakat tercermin dari kesediaan menghadiri acara dan hajatan yang diselenggarakan seluruh warga tanpa membedakan status sosial. Akibatnya, evaluasi penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal terjebak pada penokohan Kades.

Keteladanan
Ketimbang mengandalkan siasat ‘kedermawanan sesaat’ lebih baik para calon Kades mempertimbangkan keteladanan sebagai unsur terpenting yang harus dimiliki oleh pemimpin. Ada pelajaran berharga dari pengalaman pahit seorang calon Kades yang bertarung dalam ajang Pilkades di suatu desa di Bojonegoro. Ia gagal meraih kemenangan lantaran terjerat kasus perselingkuhan. Masyarakat setempat sengaja memberikan sanksi kepada orang yang nekat menerjang salah satu norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu norma kesusilaan.
Bagaimanapun, diterjangnya suatu norma berimplikasi buruk bagi pelanggarnya. Ini berarti, masyarakat tidak selalu berada dalam kondisi ‘terjepit’. Bagi mereka, terdapat banyak pilihan dan alternatif dalam menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin. Mereka tidak rela apabila dipimpin oleh orang dengan perilaku buruk dan integritas rendah.
Meski money politic dalam sejarahnya telah menghancurkan dinamika suksesi pemimpin lokal, namun di berbagai tempat, ternyata keteladanan masih menjadi alasan utama terpilihnya Kades. Dengan demikian, sebelum terdaftar sebagai calon Kades, seseorang dituntut mampu menilai dirinya sendiri: apakah ia dikenal gemar berbuat terpuji atau justru terbiasa menistakan harga diri.  

Bojonegoro, 2017