Selasa, 04 Februari 2014

Geliat Sastra dalam Tubuh Negara (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 2 Februari 2014)

Sering kali, hubungan antara sastra dengan negara berada dalam kondisi yang akut. Kondisi di mana di dalamnya berhamburan benang-benang kusut. Kondisi yang terkesan hampa dari sehelai tawa, namun riuh dan gaduh dengan percikan air mata.
Sejarah berkoar, bahwa dalam beberapa dasawarsa, negara kita memperlakukan sastra tidak dengan semestinya. Negara melihat sastra dalam pandangan picik serta hati yang buta. Negara menaruh kecurigaan yang berlebihan terhadap sastra, dengan menganggapnya sebagai antek berbahaya. Tak ayal, para abdi negara mengantongi ‘tugas mulia’ untuk membumihanguskan segala hal yang berkaitan dengan sastra. Buku-buku dibakar, pementasan naskah drama dipaksa bubar, para penyair diculik, dibuang, diasingkan, atau dihabisi dengan kejam. Segenap upaya ditempuh demi membendung kemapanan sastra. Segala cara dijalankan guna menghalangi sastra, agar terhindar dari masa pertumbuhan, kemajuan, bahkan kejayaan.
Kebengisan negara terhadap sastra dari satu masa ke masa lainnya mengalami pasang surut. Hal ini mengakibatkan tingkat keakutan hubungan antara sastra dan negara selalu menunjukkan perbedaan. Jika dicermati, perbedaan tersebut tidak bisa terlepas dari profil siapa yang sedang menggenggam kekuasaan. Seberapa besar rasa benci penguasa terhadap sastra, sebesar itu pula perlakuan kasar yang ditunjukkan oleh negara. Jadilah negara sebagai sarana paling tepat dalam menelikung perjalanan sastra. Negara yang semestinya menjadi pemelihara serta pengembangbiak nilai-nilai kebudayaan—antara lain dengan memperkuat eksistensi sastra—malah dimanfaatkan untuk menuruti hasrat dan nafsu penguasa belaka. Sastra yang dibekali daya vitalitas tinggi dalam rangka mengokohkan nation building, ternyata justru mendapat tempat yang kurang layak, bahkan cenderung terkucil. Parahnya, dalam beberapa kasus, sastra dituduh selaku kambing hitam dalam melancarkan kudeta, mengincar posisi strategis penguasa. Dengan alasan inilah, akhirnya sastra didapuk menjadi musuh utama bagi negara.

Penguasa Versus Pemeluk Sastra
Dibanding beberapa kelompok masyarakat lain dalam negara, sastrawan dikenal sebagai pemeluk sastra paling teguh. Melalui sastra, kaum sastrawan begitu genit dan cerewet mengomentari berbagai ketimpangan sosial. Bermodal pena, para sastrawan melontarkan kritik pedas terhadap perilaku penguasa yang semena-mena. Imbasnya, penguasa menjadi gerah dan bermaksud menindaklanjuti dengan jalan menghalau atau bahkan menghentikan aksi mereka. Di antara langkah kongkrit yang diambil yaitu membekukan aktifitas sastrawan serta menerbitkan larangan terhadap ‘buah tangan’ mereka yang dinilai melawan arus pemikiran.
Saat tampuk kekuasaan di genggaman Orde Lama, khalayak tidak diperbolehkan mengkonsumsi tulisan-tulisan sastrawan. Diduga membawa pesan-pesan yang bertolak belakang dengan kemauan penguasa, karya mereka dilarang beredar di pasaran. 
Hamka mengunyah penderitaan berlarat-larat lantaran karya-karyanya sengaja dijauhkan dari masyarakat. Hal itu terjadi setelah ia diduga berencana membunuh Soekarno dan sejumlah menteri. Padahal, sebelumnya, ia dipaksa menginap dua tahun  di bui, meskipun kesalahannya tidak pernah terbukti.
Selain karya, perlakuan buruk penguasa juga merambah pada jabatan. Sastrawan-sastrawan yang bekerja di lembaga pemerintah digusur dari jabatannya, sebagai buntut dari terbitnya larangan resmi Presiden Soekarno terhadap Manikebu (Manifes Kebudayaan) pada tanggal 8 Mei 1964. Sebut saja Wiratmo Soekito yang diusir dari Radio Republik Indonesia dan HB. Jassin yang kehilangan kedudukannya selaku dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Padahal, tanpa mengawat jabatan tertentu, sastrawan merasa kesulitan untuk menyumbangkan pemikiran. Pasalnya, media kurang berani menampung tulisan mereka demi menghindar dari demonstrasi massa kelompok kiri. Atau kalaupun dimuat, harus mencantumkan nama samaran. (Arief Budiman, 2006: 340)
Ketika kekuasaan beralih tangan ke Orde Baru, nyaris saja nasib sastrawan berada di ujung tanduk. Penguasa memperlakukan sastrawan lebih buruk dari sebelumnya. Merasa dirongrong oleh teriakan-teriakan sastrawan, penguasa berusaha semaksimal mungkin untuk membungkam. Dalam hal ini, WS. Rendra menjadi salah seorang saksi atas kebuasan penguasa pada waktu itu.
Harry Aveling (2001) menyebutkan, ketika WS. Rendra menggelar pembacaan puisi di TIM pada Mei 1978, ketika itu pula sebuah bom meledak. Ia pun ditangkap dan dijebloskan ke penjara atas dasar bahwa aktivitasnya diyakini telah menggencarkan provokasi politik. Tiga bulan setelahnya, Si Burung Merak dibebaskan karena penahanan tersebut bertentangan dengan undang-undang kolonial Belanda. Meskipun demikian, ia segera ditetapkan sebagai tahanan kota sampai bulan Oktober, kala semua tuduhan atas dirinya dibatalkan. Akan tetapi, atas beragam pertimbangan yang kurang masuk akal, ia dilarang sepenuhnya untuk mengadakan pertunjukan karya hingga bulan November 1985.
Pada dekade berikutnya, penyair semisal Linus Suryadi Ag. dan Emha Ainun Najib juga mengetam perlakuan serupa, ketika bermaksud membacakan puisi di depan publik. Penguasa sempat melarang Linus Suryadi Ag. yang ingin sekali merapal puisinya “Maria dari Magdala”, sebab dikhawatirkan dapat menimbulkan ketegangan orang-orang Protestan dan Katolik. Padahal puisi tersebut sebelumnya pernah terbit di majalah Hidup yang diedit oleh seorang imam. Adapun Emha Ainun Najib, ia mendapat kesukaran mengantongi izin untuk menggelar karyanya, dikarenakan adanya kekhawatiran penguasa terhadap efek kata-kata pada massa yang cukup luas.
Mengutip Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya, Susastra 4 (2006: 141), penderitaan lahir dan batin harus ditelan oleh Pramoedya Ananta Toer ketika menghirup udara bui selama 14 tahun sebagai tahanan politik sejak 13 Oktober 1965 hingga 21 Desember 1979. Barang tentu apa yang dilakukan penguasa Orde Baru terhadap kandidat nobelis beberapa kali tersebut sangat jauh berbeda dengan penguasa-penguasa sebelumnya. Belanda menahannya 3 tahun, sedangkan Orde Lama memenjarakannya hanya 1 tahun. Sungguhpun demikian, sewaktu bermukim di Pulau Buru (1969-1979), Pram masih sanggup mengolah imajinasi dan intuisi dengan menghasilkan masterpiece-nya, tetralogi Bumi Manusia, yang semula lahir dari cerita lisan yang disampaikan kepada teman-temannya. 
Ketakutan penguasa pada kekuatan kata-kata Pram merupakan di antara latar belakang mengapa Orde Baru mengurungnya begitu lama. Hal tersebut menjadi lebih kentara saat disembunyikannya mesin ketik kiriman Jean Paul Sartre, sastrawan terkenal Prancis, yang seharusnya bisa dipakai Pram dalam ‘rumah derita’.

Mempertahankan Posisi Ideal
Memperhatikan perlakuan penguasa terhadap para sastrawan, baik Orde Lama maupun Orde Baru, dapat kita petik pelajaran berharga. Pelajaran bagaimana kaum sastrawan memperjuangkan hak-hak rakyat yang dirampas membabibuta. Pelajaran mengenai kegigihan sastrawan dalam membela orang-orang tak berdaya. Pelajaran tentang keberanian sastrawan menegakkan fondasi kebenaran, meskipun ditebus dengan cara menyakitkan.
Bila diperhatikan secara seksama, apa yang dilontarkan sastrawan, baik melalui lisan ataupun tulisan, merupakan kritik membangun bagi pribadi penguasa. Dengan kritik tersebut, diharapkan penguasa dapat berbenah diri dan mengadakan evaluasi. Dengan demikian, sudah seharusnya penguasa berterima kasih kepada mereka, bukannya naik darah dengan membelalakkan mata dan berpanas telinga.
Oleh karena itu, di masa sekarang maupun mendatang, kritik dari para sastrawan terhadap penguasa seyogyanya disikapi dengan arif dan bijak. Bagaimana pun juga, suara sumbang dari mulut sastrawan adalah suara yang menyembul dari hati nurani terdalam. Menghukum sastrawan dengan keji atau membabat habis karya mereka bukan pilihan tepat dalam rangka meningkatkan iklim bernegara, bahkan sebaliknya, dapat mengubur hidup-hidup peradaban bangsa. 
Sikap sastrawan yang berkacak pinggang di hadapan penguasa, karena selalu memberontak status quo, perlu dipertahankan. Sastrawan adalah kaum oposisi, yang bertugas mengkritisi kebijakan penguasa. Segala ketentuan penguasa yang melanggar norma dan etika kemanusiaan patut diluruskan. Jika penguasa enggan diingatkan, dalam diri sastrawan hanya ada satu kata, “lawan!”—mengutip kata-kata penyair Wiji Thukul.
Negara besar adalah negara yang menghargai dan menjunjung tinggi berbagai perbedaan, bukan yang menghendaki keseragaman. Mochtar Lubis (1995: 7) mengatakan bahwa kemajuan bangsa hanya dapat didorong dalam iklim kebebasan kebudayaan yang baik, di mana daya cipta setiap anggota masyarakat—termasuk sastrawan—dibiarkan berkembang. Pandangan yang ganjil dan mungkin pula bertentangan merupakan unsur vital bagi munculnya pemikiran-pemikiran yang matang mengenai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


Yogyakarta, 2012

Para Penghormat Buku (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bali Post" edisi Minggu, 26 Januari 2014)

Buku menjadi sesuatu yang sakral bagi sebagian manusia. Bukanlah ia sekadar bundelan kertas berlumur tinta yang memadati meja dan rak cendekiawan-cendekiawan atau pengaku penikmat-pencecap ilmu pengetahuan. Sebagaimana pusaka, dalam tubuh buku terselip kekuatan besar yang sanggup meluluhlantakkan benda di sekitarnya. Ia menyimpan daya magis sehingga dengan mudah sanggup menyihir dan melenakan setiap pembaca.
Lebih dari itu. Dalam kadar tertentu, buku adalah candu bagi para pemabuk-pecinta. Rangkaian kata dalam buku membuat orang rela membelanjakan nafsu dan waktu demi bermesraan dengannya. Ia begitu dipuja, disanjung, diagung-agungkan oleh kaum penggandrungnya. Bukan hanya itu! Bagi yang terlampau akur dengan derita, buku menjadi teman setia pengusap air mata. Bagi si sakit, layaklah ia sebagai pengusir-penundung bengalnya penyakit. Bagi si gelap jiwa, buku pantas didaulat menjadi sahabat penerang gulita, pengantar ke gerbang dunia.
Karena begitu penting dan berharga, para penggandrung buku merawat segenap cara dan upaya dalam menaruh takzim kepadanya. Mereka memposisikan buku sebagai makhluk suci yang harus mendapat kedudukan tinggi. Mereka berteguh niat dalam membela hak-hak buku. Mereka menempatkan diri dalam garda depan para penjunjung tinggi martabat aksara.
Itulah mengapa, dalam buku Wiji Thukul, Teka-teki Orang Hilang (KPG, 2013), Arif Zulkifli, dkk (penyunting) menyebut Wiji Thukul suatu saat sempat berang ketika mengetahui seorang temannya menggunakan buku selaku alas makanan. Aktivis politik sekaligus pembela kaum buruh yang dinyatakan raib dan hingga sekarang belum ditemukan itu tak sampai hati jika buku dihinakan atau direndahkan. Bahkan kepada sobekan koran atau majalah, ia pun melakukan hal serupa. Sepertinya, ia memupuk anggapan dan keyakinan bahwa setiap kertas yang memuat informasi genap membisikkan pada telinga nuraninya suatu kewajiban moral untuk senantiasa menghormati serta memuliakannya.
Dalam diri penyair cadel yang potongan puisinya “hanya satu kata: lawan!” selalu menjadi koor wajib bagi para demonstran tersebut, buku menempati posisi urgent. Atas dasar itulah, ke mana pun berlari dan bersembunyi—karena saking kerapnya diburu oknum militertak jarang ia menenteng tas karung berisi buku dan kacamata. Tentu saja kacamata yang dibawa bukanlah untuk tampil gaya-memesona, melainkan berfungsi sebagai peraba dan penanda huruf-huruf yang dalam penglihatannya sudah nampak agak pudar (barangkali karena suatu ketika, oleh seorang tentara, mukanya pernah dihantamkan ke kaca mobil pada waktu menggerakkan massa dalam sebuah demonstrasi).
Oleh Wiji Thukul, stempel ‘istimewa’ dilekatkan pada buku. Hal tersebut tak lain sebab dalam menjalankan aksi heroiknya ketika membela kaum pinggiran, buku menjadi guru terbaiknya. Bukulah yang diangkat sebagai pembimbing dalam melancarkan misi saat berusaha menghentikan kezaliman penguasa.
Adalah Muhidin M Dahlan bersama Taufik Rahzen, Dipo Andy, Galam Zulkifli, serta Eddy Susanto—para pencetus Yayasan Indonesia Buku—yang memiliki hasrat membabibuta dalam menyemarakkan jagat literasi, pada tahun 2011 mendirikan Radio Buku. Radio berbasis internet yang bermarkas di Jl. Patehan Wetan 3 Alun-alun Kidul Yogyakarta.
Bermodal kecintaan yang meluap-luap terhadap buku, para punggawa radio komunitas (buku) pertama di Indonesia tersebut mengabdikan diri sepenuh hati untuk menjadikan ‘ritual menghormati buku’ sebagai bagian dari alur kehidupan yang tidak bisa ditinggalkan. Bagi mereka, hidup bersama buku adalah keharusan yang tak boleh ditawar. Mereka membutuhkan buku seperti halnya menghajatkan hidup itu sendiri. Tanpa disertai buku, mereka bagaikan hidup tanpa ruh.
Ikhtiar pemuliaan buku mereka wujudkan dengan cara membuka Radio Buku sebagai lahan persinggahan bagi siapa pun yang tekun memelihara antusiasme terhadap buku. Itulah mengapa, tak bosan-bosannya mereka membujuk Booklovers—sebutan bagi para pecinta buku—untuk mengisi hari-hari dengan ‘bersenggama’ dengan buku. Dalam rangka itulah, diselenggarakan beberapa program agar berahi mereka dapat tersalurkan, antara lain—sesuai yang dijumput dari www.radiobuku.com: Katalog Seni (mengulas karya seni dari pelbagai bidang), Angkringan Buku (dialog seputar buku dengan menghadirkan komunitas pembaca selaku pembedah), Buku Pertamaku (cerita individu tentang keintiman dengan buku), dan Komunitas: (merekam geliat komunitas-komunitas literasi). Diharapkan dengan berjalannya program-program tersebut, mereka mengalami dua hal yang saling melengkapi antara satu dengan yang lain, yaitu puncak pemuliaan sekaligus klimaks kenikmatan.
Para penggandrung buku berikutnya berasal dari barisan kaum bersarung (santri). Para penimba ilmu di pesantren itulah yang giat menyuarakan slogan “hormati buku sekarang juga!”. Salah satu wujud tawadlu’ (sikap rendah hati) mereka terhadap ilmu yaitu dengan membaringkan buku tidak pada sembarang tempat. Tak ayal, jika ada seorang santri yang suatu kali sembrono menaruh buku di lantai, maka segera meluncur teguran dari teman atau bahkan gurunya. Bagaimana pun juga, hal itu dianggap sebagai bentuk penistaan terhadap ilmu.
Dalam Ta’lim al-Muta’allim, kitab acuan para santri dalam mempelajari tatakrama mencari ilmu disebutkan, buku harus dihormati dan dimuliakan sedemikian rupa dengan adanya larangan seseorang meletakkan buku di dekat atau sejajar dengan kaki ketika bersila. Bahkan, kitab anggitan Syeikh al-Zarnuji tersebut menuturkan bahwa ketika seseorang membaca buku, maka seyogyanya ia dalam keadaan suci (berwudlu). Karena, “ilmu adalah cahaya, wudlu juga cahaya. Mustahil cahaya ilmu bisa bertambah kecuali dengan berwudlu”.
Demikianlah di antara sebagian wujud penghormatan para penggandrung buku terhadap sesuatu yang dicintai. Dengan tulus-ikhlas, mereka menghargai buku melebihi dari yang lain. Bagi mereka, adalah suatu kebahagiaan berlipat, jika berhasil mendudukkan buku pada derajat terhormat. Pun sebaliknya. Merupakan penderitaan berlarat-larat, jika suatu saat tersebar warta tentang gencarnya pemerintah membumihanguskan ribuan buku atau bergeloranya teroris dalam merakit bom buku.


Yogyakarta, 2013

Maya dan Karina (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Sinar Harapan" edisi Sabtu-Minggu, 25-26 Januari 2014)

Maya meliuk-liuk di hadapan orang-orang dengan sesekali melempar senyum. Meskipun tampak lelah, ia berusaha menikmati profesi yang telah digeluti selama delapan tahun. Selama itu pula, sudah tak terhitung lagi berapa lusin lelaki yang menari-nari di tubuhnya, bersenang-senang di atas penderitaannya, berjingkrak-jingkrak menyanyikan lagu kebebasan ketika jiwanya justru berada dalam pasungan.
Nihil. Usahanya memungut kedamaian saat menghibur tamu atau bahkan pelanggan sama sekali tak berhasil. Seakan-akan, kehidupan ini ia jalani dengan keterpaksaan.
Atau keputusasaan? Entahlah.
Ia terus saja menggerakkan tubuh. Bergoyang ke kiri, kanan. Memperlihatkan lekukan demi lekukan yang lekas menyebabkan orang-orang di sekelilingnya mengulum jakun. Ia tancapkan pandangan pada mata-mata nakal yang begitu setia meresapi kecantikannya, lidah-lidah yang bernafsu memuji keindahannya, juga hidung-hidung yang berhasrat menjamah kemolekannya. Ia kerap berpikir, apakah di dunia ini kaum lelaki hanya ingin menjajah perempuan dengan berkilah bahwa mereka ingin berbagi kebahagiaan?
Turun, setelah hampir setengah jam tersiksa di atas panggung. Ia lantas menuju meja bar dan duduk santai menyandarkan punggung. Meskipun tanpa berbicara, si bartender paham bahwa perempuan di depannya sedang memesan segelas vodka dengan campuran anggur.
Menurut syak-wasangka, seorang lelaki segera menghampiri, duduk di samping, serta mengobral bualan yang semestinya tidak perlu ditanggapi. Ia tahu pasti, bahwa mereka yang mendekatinya hanya terkategori dua. Pertama, lelaki yang memintanya untuk menemani minum hingga lepas malam dengan risiko serata tubuhnya akan dirayapi jemari dan lidah yang genit. Untuk pekerjaan ini, nominal rupiah yang ia terima sangatlah kecil. Kedua, lelaki yang merayunya untuk bersedia mengalirkan kehangatan serta memuaskan gairah di atas ranjang. Untuk ini, ia akan mengantongi tips yang tidak begitu besar.
Dan, benar. Lelaki jangkung bermata sipit berjalan pelan ke arahnya. Akan tetapi, sesampai di dekatnya, lelaki tadi hanya menatap Maya, tanpa mengeluarkan sepatah kata. Berbeda jauh dengan dua macam lelaki di atas, ia tidak meminta Maya untuk melakukan apapun. Namun demikian, tangannya mengulurkan amplop berisi puluhan kali gaji pramusaji. Adapun Maya tergeragap dengan melipat kening, menautkan sepasang alis, bermain-main dengan pikirannya.
***
Itu pagi, lagi-lagi Karina mendapat pekerjaan tambahan. Ia, seperti biasanya, membuang sampah dan merapikan beberapa tempat tidur. Daftar kewajibannya kian melimpah lantaran teman-temannya gemar memaksa dirinya untuk mengambil alih tugas yang semestinya mereka laksanakan.
Sesungguhnya keadaan bisa berubah andai saja ia mampu melawan. Tetapi, tidak. Dua kali Karina melancarkan perlawanan, bukannya keberuntungan yang diketam, melainkan lebam-lebam di sekujur badan. Gino, Ramidi, Heru, Surya mengeroyoknya tanpa ampun. Layaknya para penderita kelaparan yang menyerbu dan melahap makanan sisa orang-orang kantoran.
Tetapi, Karina bukanlah makanan yang sengaja dibuang di tempat sampah, got, atau bahkan lubang kloset kamar mandi umum. Anak buangan? Entahlah. Yang pasti, hampir semua anak menyebutnya demikian ketika ia enggan menuruti permintaan mereka. Saat itulah, ia hanya bisa membisu dengan memegangi sepasang netra yang membendung gumpalan airmata.
Kepada para penghuni panti asuhan, ia tidak mungkin membocorkan rasa sedih yang selalu dipendam, sebab sama saja dengan mendermakan kepada mereka kesempatan untuk memberondongnya dengan olok-olok yang lebih dahsyat. Hal ini bukan berarti menunjukkan bahwa ia adalah anak yang tegar. Jika boleh dikata, ia adalah gadis kecil yang rapuh. Gadis kecil yang tanda-tanda kerapuhannya nampak saat teman-temannya sedang terlelap. Karena, di waktu mata-mata terpejam itulah ia begitu leluasa meluapkan kesedihan kepada bulan purnama yang berbaring di cakrawala.
“Bulan, hari ini adalah hari kesekian aku dijadikan bahan ejekan. Entah kenapa mereka enggan memberiku kesempatan membela diri. Mereka lebih suka tertawa terbahak-bahak ketika aku hendak berbicara.”
“Aku tidak pernah memiliki niat membalas mereka, Bulan. Aku hanya berharap mereka berhenti menyebutku anak buangan dari rahim ibu yang tidak bertanggung jawab.”
Atau di waktu lain, ia lebih suka mempertanyakan hal-hal yang kerap mengganggunya.
“Bulan, kenapa teman-teman memperlakukanku demikian? Apakah mereka sama sekali tidak sayang padaku?”
“Relakah kau melihat penderitaanku, Bulan? Tegakah kau menikmati duka yang semakin lama semakin menumpuk di badan? Ayo jawab, Bulan! Bulan!”
Jawaban tak kunjung datang. Malah, sering kali bulan menampilkan diri separuh. Tidak utuh. Karina begitu kecewa. Hal itu ditengarai sebagai keengganan bulan menanggapi pertanyaannya.
***
Pertemuan pertama dengan lelaki jangkung bermata sipit membuat Maya susah tidur. Ia selalu terbayang dengan sosoknya. Ia ingat betul dengan mata lelaki itu. Mata teduh yang siap melindunginya dari semua ancaman. Mata riuh yang bersigap mengusir segala kesunyian. Setiap kali memikirkan mata itu, ingin sekali ia berteduh di dekatnya. Merasakan kehangatan yang ditawarkannya. Meresapi bulir demi bulir kedamaian yang ditumbuhkannya.
Menurut Maya, mata lelaki itu ibarat pohon rindang, dimana setiap orang yang melewati, ingin sekali memetik kenyamanan. Dan ia, terlanjur mendaulat diri menjadi salah satu dari mereka. Itulah mengapa, saat membayangkan mata indah itu, timbul hasrat untuk merangkai kehidupan baru yang lebih menjanjikan.
Namun demikian, saat keinginan berlipat, ketakutan dan kegelisahan ikut merapat. Tak ingin ia mengulang kembali penderitaan yang menyebabkan hatinya tercabik-cabik. Apalagi mata dengan pelangi berada di selingkarnya itu menerbangkan kenangan pada seorang lelaki di masa lalu. Lelaki yang menyalakan api cinta, juga sedikit demi sedikit memadamkannya. Lelaki yang menjerumuskannya ke lembah kegelapan, padahal benih keturunan terlanjur ia tancapkan. Dan, secara ajaib, kenangan pahit tersebut membuatnya teringat pada gadis kecil, buah dari rasa cinta lelaki terkutuk itu dengannya. Maka, di satu sisi, ia sangat menyayangi gadis kecil yang merepresentasikan dirinya secara utuh. Namun, di sisi lain, hatinya menaruh dendam, karena bagaimana pun juga, dalam diri gadis kecil tersebut darah sang ayah ikut tertanam.
Sejak itu, hari-hari Maya harus dilalui dengan bayangan si mata indah, mantan kekasih, juga darah daging yang sengaja ia hindarkan dari kehidupan yang serba suram.
***
Beruntunglah Karina, karena saat kecewa terhadap bulan, seorang perempuan menjanjikannya sebuah harapan. Perempuan yang menurutnya sangatlah cantik dengan kasih sayang tiada tara. Selain karena bersedia menampung keluh-kesahnya, perempuan tersebut juga membawakannya beragam hadiah yang selama ini hanya mampir dalam mimpi Karina, seperti cokelat, permen warna-warni, dan boneka barby.
Waktu menemuinya di ruang tunggu panti asuhan, Karina melanting pertanyaan.
“Kenapa kau mau menjadi temanku? Padahal semua yang di sini sama menjauh.”
Hanya tetes air mata yang menjadi jawabannya.
“Kok malah menangis?”
“Air mata sanggup menjawab pertanyaan paling sulit sekalipun, Karina.”
Karina menggeleng tidak mengerti.
Sementara hati Karina mengayuh gembira, olok-olok sebagai anak buangan semakin gencar, setelah datangnya perempuan yang menurut Karina jelmaan bidadari. Di samping disulut kedengkian teman-temannya mengetahui Karina memperoleh banyak hadiah, juga karena kemiripan perempuan tersebut dengan Karina. Wajah tirus, hidung lancip, bibir tipis, dan rambut sedikit bergelombang merupakan di antara tanda-tanda fisik keduanya.
Ejekan yang semakin hebat nyatanya urung menyebabkan Karina jengah. Apalagi, di luar dugaan, sang bidadari ternyata rutin mengunjunginya dua minggu sekali. Hal yang membuat Karina terharu, karena di saat semua menjauh, justru hadir seseorang yang ingin mendekapnya erat.
Maka, suatu malam, kepada bulan, ia bersoal.
“Bolehkah aku menganggap bidadari itu sebagai…….”
Sejenak kemudian, ia menutup rapat kedua katup mulutnya. Sungguh, sekali lagi sungguh, Karina tidak ingin kembali dikecewakan. Bagi Karina, bulan adalah makhluk pendiam, yang terlahir tanpa dibekali perasaan.
***
Sesuai rencana, keduanya kini berjumpa di sebuah taman yang begitu luas. Taman yang oleh sebagian warga diyakini sebagai tempat terindah untuk meluapkan perasaan. Hati mereka berdebar hebat. Jantung mereka berdegup cepat. Di saat seperti inilah, dalam rindu yang membuncah, kepada bidadari itu Karina hendak memanggilnya ibu. Adapun Maya, si penari telanjang itu, harus segera melenyapkan putrinya, jika ingin melupakan kedua lelaki yang setiap detik bergentayangan di kepala.

Yogyakarta, 2013

Keterangan: saat terbit, cerpen ini beridentitas: Zazam Lut (nama pena Riza Multazam Luthfy).