Selasa, 04 Februari 2014

Maya dan Karina (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Sinar Harapan" edisi Sabtu-Minggu, 25-26 Januari 2014)

Maya meliuk-liuk di hadapan orang-orang dengan sesekali melempar senyum. Meskipun tampak lelah, ia berusaha menikmati profesi yang telah digeluti selama delapan tahun. Selama itu pula, sudah tak terhitung lagi berapa lusin lelaki yang menari-nari di tubuhnya, bersenang-senang di atas penderitaannya, berjingkrak-jingkrak menyanyikan lagu kebebasan ketika jiwanya justru berada dalam pasungan.
Nihil. Usahanya memungut kedamaian saat menghibur tamu atau bahkan pelanggan sama sekali tak berhasil. Seakan-akan, kehidupan ini ia jalani dengan keterpaksaan.
Atau keputusasaan? Entahlah.
Ia terus saja menggerakkan tubuh. Bergoyang ke kiri, kanan. Memperlihatkan lekukan demi lekukan yang lekas menyebabkan orang-orang di sekelilingnya mengulum jakun. Ia tancapkan pandangan pada mata-mata nakal yang begitu setia meresapi kecantikannya, lidah-lidah yang bernafsu memuji keindahannya, juga hidung-hidung yang berhasrat menjamah kemolekannya. Ia kerap berpikir, apakah di dunia ini kaum lelaki hanya ingin menjajah perempuan dengan berkilah bahwa mereka ingin berbagi kebahagiaan?
Turun, setelah hampir setengah jam tersiksa di atas panggung. Ia lantas menuju meja bar dan duduk santai menyandarkan punggung. Meskipun tanpa berbicara, si bartender paham bahwa perempuan di depannya sedang memesan segelas vodka dengan campuran anggur.
Menurut syak-wasangka, seorang lelaki segera menghampiri, duduk di samping, serta mengobral bualan yang semestinya tidak perlu ditanggapi. Ia tahu pasti, bahwa mereka yang mendekatinya hanya terkategori dua. Pertama, lelaki yang memintanya untuk menemani minum hingga lepas malam dengan risiko serata tubuhnya akan dirayapi jemari dan lidah yang genit. Untuk pekerjaan ini, nominal rupiah yang ia terima sangatlah kecil. Kedua, lelaki yang merayunya untuk bersedia mengalirkan kehangatan serta memuaskan gairah di atas ranjang. Untuk ini, ia akan mengantongi tips yang tidak begitu besar.
Dan, benar. Lelaki jangkung bermata sipit berjalan pelan ke arahnya. Akan tetapi, sesampai di dekatnya, lelaki tadi hanya menatap Maya, tanpa mengeluarkan sepatah kata. Berbeda jauh dengan dua macam lelaki di atas, ia tidak meminta Maya untuk melakukan apapun. Namun demikian, tangannya mengulurkan amplop berisi puluhan kali gaji pramusaji. Adapun Maya tergeragap dengan melipat kening, menautkan sepasang alis, bermain-main dengan pikirannya.
***
Itu pagi, lagi-lagi Karina mendapat pekerjaan tambahan. Ia, seperti biasanya, membuang sampah dan merapikan beberapa tempat tidur. Daftar kewajibannya kian melimpah lantaran teman-temannya gemar memaksa dirinya untuk mengambil alih tugas yang semestinya mereka laksanakan.
Sesungguhnya keadaan bisa berubah andai saja ia mampu melawan. Tetapi, tidak. Dua kali Karina melancarkan perlawanan, bukannya keberuntungan yang diketam, melainkan lebam-lebam di sekujur badan. Gino, Ramidi, Heru, Surya mengeroyoknya tanpa ampun. Layaknya para penderita kelaparan yang menyerbu dan melahap makanan sisa orang-orang kantoran.
Tetapi, Karina bukanlah makanan yang sengaja dibuang di tempat sampah, got, atau bahkan lubang kloset kamar mandi umum. Anak buangan? Entahlah. Yang pasti, hampir semua anak menyebutnya demikian ketika ia enggan menuruti permintaan mereka. Saat itulah, ia hanya bisa membisu dengan memegangi sepasang netra yang membendung gumpalan airmata.
Kepada para penghuni panti asuhan, ia tidak mungkin membocorkan rasa sedih yang selalu dipendam, sebab sama saja dengan mendermakan kepada mereka kesempatan untuk memberondongnya dengan olok-olok yang lebih dahsyat. Hal ini bukan berarti menunjukkan bahwa ia adalah anak yang tegar. Jika boleh dikata, ia adalah gadis kecil yang rapuh. Gadis kecil yang tanda-tanda kerapuhannya nampak saat teman-temannya sedang terlelap. Karena, di waktu mata-mata terpejam itulah ia begitu leluasa meluapkan kesedihan kepada bulan purnama yang berbaring di cakrawala.
“Bulan, hari ini adalah hari kesekian aku dijadikan bahan ejekan. Entah kenapa mereka enggan memberiku kesempatan membela diri. Mereka lebih suka tertawa terbahak-bahak ketika aku hendak berbicara.”
“Aku tidak pernah memiliki niat membalas mereka, Bulan. Aku hanya berharap mereka berhenti menyebutku anak buangan dari rahim ibu yang tidak bertanggung jawab.”
Atau di waktu lain, ia lebih suka mempertanyakan hal-hal yang kerap mengganggunya.
“Bulan, kenapa teman-teman memperlakukanku demikian? Apakah mereka sama sekali tidak sayang padaku?”
“Relakah kau melihat penderitaanku, Bulan? Tegakah kau menikmati duka yang semakin lama semakin menumpuk di badan? Ayo jawab, Bulan! Bulan!”
Jawaban tak kunjung datang. Malah, sering kali bulan menampilkan diri separuh. Tidak utuh. Karina begitu kecewa. Hal itu ditengarai sebagai keengganan bulan menanggapi pertanyaannya.
***
Pertemuan pertama dengan lelaki jangkung bermata sipit membuat Maya susah tidur. Ia selalu terbayang dengan sosoknya. Ia ingat betul dengan mata lelaki itu. Mata teduh yang siap melindunginya dari semua ancaman. Mata riuh yang bersigap mengusir segala kesunyian. Setiap kali memikirkan mata itu, ingin sekali ia berteduh di dekatnya. Merasakan kehangatan yang ditawarkannya. Meresapi bulir demi bulir kedamaian yang ditumbuhkannya.
Menurut Maya, mata lelaki itu ibarat pohon rindang, dimana setiap orang yang melewati, ingin sekali memetik kenyamanan. Dan ia, terlanjur mendaulat diri menjadi salah satu dari mereka. Itulah mengapa, saat membayangkan mata indah itu, timbul hasrat untuk merangkai kehidupan baru yang lebih menjanjikan.
Namun demikian, saat keinginan berlipat, ketakutan dan kegelisahan ikut merapat. Tak ingin ia mengulang kembali penderitaan yang menyebabkan hatinya tercabik-cabik. Apalagi mata dengan pelangi berada di selingkarnya itu menerbangkan kenangan pada seorang lelaki di masa lalu. Lelaki yang menyalakan api cinta, juga sedikit demi sedikit memadamkannya. Lelaki yang menjerumuskannya ke lembah kegelapan, padahal benih keturunan terlanjur ia tancapkan. Dan, secara ajaib, kenangan pahit tersebut membuatnya teringat pada gadis kecil, buah dari rasa cinta lelaki terkutuk itu dengannya. Maka, di satu sisi, ia sangat menyayangi gadis kecil yang merepresentasikan dirinya secara utuh. Namun, di sisi lain, hatinya menaruh dendam, karena bagaimana pun juga, dalam diri gadis kecil tersebut darah sang ayah ikut tertanam.
Sejak itu, hari-hari Maya harus dilalui dengan bayangan si mata indah, mantan kekasih, juga darah daging yang sengaja ia hindarkan dari kehidupan yang serba suram.
***
Beruntunglah Karina, karena saat kecewa terhadap bulan, seorang perempuan menjanjikannya sebuah harapan. Perempuan yang menurutnya sangatlah cantik dengan kasih sayang tiada tara. Selain karena bersedia menampung keluh-kesahnya, perempuan tersebut juga membawakannya beragam hadiah yang selama ini hanya mampir dalam mimpi Karina, seperti cokelat, permen warna-warni, dan boneka barby.
Waktu menemuinya di ruang tunggu panti asuhan, Karina melanting pertanyaan.
“Kenapa kau mau menjadi temanku? Padahal semua yang di sini sama menjauh.”
Hanya tetes air mata yang menjadi jawabannya.
“Kok malah menangis?”
“Air mata sanggup menjawab pertanyaan paling sulit sekalipun, Karina.”
Karina menggeleng tidak mengerti.
Sementara hati Karina mengayuh gembira, olok-olok sebagai anak buangan semakin gencar, setelah datangnya perempuan yang menurut Karina jelmaan bidadari. Di samping disulut kedengkian teman-temannya mengetahui Karina memperoleh banyak hadiah, juga karena kemiripan perempuan tersebut dengan Karina. Wajah tirus, hidung lancip, bibir tipis, dan rambut sedikit bergelombang merupakan di antara tanda-tanda fisik keduanya.
Ejekan yang semakin hebat nyatanya urung menyebabkan Karina jengah. Apalagi, di luar dugaan, sang bidadari ternyata rutin mengunjunginya dua minggu sekali. Hal yang membuat Karina terharu, karena di saat semua menjauh, justru hadir seseorang yang ingin mendekapnya erat.
Maka, suatu malam, kepada bulan, ia bersoal.
“Bolehkah aku menganggap bidadari itu sebagai…….”
Sejenak kemudian, ia menutup rapat kedua katup mulutnya. Sungguh, sekali lagi sungguh, Karina tidak ingin kembali dikecewakan. Bagi Karina, bulan adalah makhluk pendiam, yang terlahir tanpa dibekali perasaan.
***
Sesuai rencana, keduanya kini berjumpa di sebuah taman yang begitu luas. Taman yang oleh sebagian warga diyakini sebagai tempat terindah untuk meluapkan perasaan. Hati mereka berdebar hebat. Jantung mereka berdegup cepat. Di saat seperti inilah, dalam rindu yang membuncah, kepada bidadari itu Karina hendak memanggilnya ibu. Adapun Maya, si penari telanjang itu, harus segera melenyapkan putrinya, jika ingin melupakan kedua lelaki yang setiap detik bergentayangan di kepala.

Yogyakarta, 2013

Keterangan: saat terbit, cerpen ini beridentitas: Zazam Lut (nama pena Riza Multazam Luthfy).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar