Minggu, 27 Desember 2015

Buku dan Warung Kopi (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Jawa Pos" edisi Minggu, 27 Desember 2015)

Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan sesama guna membangun interaksi dan komunikasi. Di sinilah arti penting warung kopi. Ia tak hanya menyajikan kehangatan, keharmonisan, dan kebersamaan. Tetapi, itu juga memberi kesempatan bagi para pengunjung untuk membangun akses, jaringan, dan relasi.
Semua orang lebur di dalamnya. Karena itu, tidak berlebihan jika ada seloroh bahwa dari warung kopi lahir “masyarakat tanpa kelas”. Karena dikunjungi oleh beragam kalangan dan lapisan masyarakat, warung kopi dilegitimasi sebagai ruang publik yang mampu menawarkan ide demokratisasi. Wacana dan gagasan besar yang meliputi hajat hidup orang banyak bisa muncul di sini.
Bahkan, tokoh sekaliber Soekarno pernah memanfaatkan warung kopi demi mengakrabkan diri dengan Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon. Dalam catatan sejarah, keduanya pernah menyeruput kopi di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.
Peristiwa unik ini berawal dari kunjungan Richard Nixon ke Indonesia guna memastikan situasi politik Indonesia yang mengkhawatirkan. Sebelumnya, sang proklamator ingin mengajak Nixon berkunjung langsung ke Istana Negara.
Tetapi, di tengah perjalanan, tanpa direncanakan, keduanya mampir di sebuah warung kopi (Andika, 2015). Tokoh bangsa tersebut seolah mengajarkan bahwa memanasnya suhu politik tidak harus dihadapi dengan “kepala mengepul”.

Pemantik Inspirasi
Warung kopi mengandung anomali. Di satu sisi, ia menjembatani perjumpaan manusia dalam suasana guyub, santai, dan penuh canda. Di sisi lain, ia dianggap sebagai pangkalan bagi kumpulan orang tanpa pekerjaan dan kehormatan.
Ia menampung pecundang, pengangguran dan mereka yang kalah dalam persaingan. Tingkat produktifitas manusia, terutama dalam bekerja, berkurang karena banyak waktu lenyap hanya gara-gara secangkir kopi.
Namun, tidak demikian bagi para penyair. Lokasi dan suasana yang jauh dari kesan formal membuat warung kopi kerap mengundang inspirasi dan imajinasi. Ribuan puisi lahir di meja warung kopi. Bersama indahnya pagi dan hangatnya sinar mentari, mereka memanfaatkan kopi dalam ritual penyelamatan puisi.
Warung kopi bahkan diangkat menjadi judul antologi puisi, semisal Republik Warung Kopi: Antologi Puisi Delapan Penyair Kalbar. Buku ini memuat sejumlah puisi bergaya segar, dengan ironi yang tajam, serta spirit mempermainkan konsep yang serius. Dalam kata pengantarnya, Hanna Fransisca (2011) menyebutkan bahwa beberapa penyair berhasil menggarap tema kenegaraan dari sebuah warung kopi.
Dari bangku warung kopi, Pay Jarot Sujarwo meneropong potret beragam manusia. Dalam puisi “Warung Kopi Winny, Jalan Gajahmada”, warung kopi digambarkan sebagai representasi nasib sebuah negara: //kau akan mendengar suara lebah di sini/ bahkan lebih pikuk dari suara lebah//.
Adapun Ety Syaifurohyani, dalam puisi bertajuk “Kopitiam” berseloroh: kalau pejabat ingin mendengar keluhan dan jeritan rakyat/ duduklah di kopitiam/ para pejabat yang terhormat akan mendengar jeritan rakyat…//. Menggunakan logika “warung kopi”, tema-tema besar ke-Indonesia-an ditulis penuh genit tanpa berhasrat menggurui.
Banyak novel dan buku populer bermunculan setelah para penulis memikirkan urgensi, fungsi, dan filosofi warung kopi. Sebut saja Mencari Tuhan di Warung Kopi (Mizan Pustaka, 2004), Lawak Warung Kopi (M&C, 2012), dan Surga di Warung Kopi (Bhuana Sastra, 2014).

Perpustakaan ala Warung Kopi
Mengingat pentingnya warung kopi sebagai basis pengembangan budaya literasi, pada tahun 2014, Pemerintah Daerah Pontianak meluncurkan program Perpustakaan Berbasis Warung Kopi dan Komunitas. Program ini berhasil terselenggara setelah diadakan focus group discussion (FGD) dengan mengundang pemilik warung kopi, komunitas baca tulis, lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, budayawan, serta masyarakat awam.
Pemerintah setempat berinisiatif menyulap warung kopi menjadi medium berbagi informasi dan pengetahuan. Tersedianya sejumlah buku di warung kopi diyakini mampu mengatrol minat baca masyarakat. Ini juga merupakan langkah konkret menghadirkan buku di ruang publik dalam upaya “jemput bola” penikmat buku dan pembaca pemula.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar