Rabu, 01 April 2015

Bangsa Singkong, Dulu-Kini (Teroka_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kompas" edisi Rabu, 1 April 2015)


Jadi kita mesti tidak malu/ untuk makan tiwul./ Saya selaku Presiden Republik Indonesia/ akan menginstruksikan kepada seluruh jajaran kabinet/ dan pejabat tinggi negara/ untuk mulai detik ini/ mengganti menu mereka dengan singkong./ Bilamana perlu saya akan keluarken/ Dekrit Singkong.//

Bisa jadi karena terinspirasi dari sajak F. Rahardi di atas, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi menerbitkan Surat Edaran No 10 Tahun 2014, yang menginstruksikan agar semua instansi pemerintahan menyediakan makanan lokal, antara lain singkong. Selain menghargai jerih payah para petani, makan singkong juga tidak berpotensi besar mengundang penyakit.
Di tengah gempuran makanan impor, kebijakan ini perlu diapresiasi. Kebijakan itu memberdayakan hasil local sekaligus mendorong hidup sehat dengan makanan lokal. Menjamurnya makanan cepat saja (fast food) yang mengesampingkan bahaya, perlu diimbangi dengan upaya memopulerkan makanan alami, tanpa bahan pengawet serta murah.
Sebelum merdeka, rakyat Indonesia terbiasa makan singkong. Itu bukan pilihan, melainkan mungkin keniscayaan. Singkong jadi makanan pokok, baru kemudian beras. Siapa yang mampu makan singkong dianggap beruntung, karena sulit mendapatkan makanan pokok itu.
Situasi itu berbeda dengan kondisi mutakhir, ketika singkong sekadar menjadi camilan atau kudapan tambahan dari beras/nasi. Bahkan bagi segolongan orang kota, singkong sekadar nostalgia: mengingat keguyuban di pedesaan. 

Derajat Singkong
Dalam batas tertentu, singkong berfungsi sebagai penanda status sosial. Setelah kemerdekaan, orang yang masih makan singkong dipandang “rendah”. Sebaliknya, semakin tinggi status sosial seseorang, semakin jauh pula dari singkong.
Itu mengapa muncul istilah “anak singkong”, untuk anak-anak bumiputera sebagai lawan “anak keju” bagi anak-anak Belanda. Anak pribumi dengan status sosial lebih rendah harus selalu mengalah pada anak-anak bangsa penjajah.
Keberadaan singkong kian disepelekan ketika orang yang makan keju dianggap berderajat lebih tinggi ketimbang pemakan singkong. Akibatnya, orang-orang kaya lebih suka membeli keju demi memperoleh pengakuan masyarakat. Fenomena ini sejalan dengan kerapnya penggunaan nama asing untuk tempat, jalan, dan bangunan. Padahal, sebenarnya, dengan kenyataan ini, masyarakat pribumi semakin terisolir dari alam, tradisi, serta sejarahnya (E.N. Timo, 2005: 104).
Keadaan ini diperparah dengan salah tafsir atas peribahasa “ana dina ana sega” (ada hari kalau ada nasi). Martabat singkong kian terpuruk. Di Jawa, sebagian orang belum merasa makan jika perutnya belum terisi nasi meski sudah kenyang menyantap singkong.

Identitas Singkong
Sebenarnya singkong tak selalu identik dengan stereotip negatif. Singkong masih memiliki harga diri, bahkan dimuliakan. Di Blitar, misalnya, ada bait mars perjuangan berbunyi: Telo jagung iku kang diutamakne (singkong jagung itulah yang diutamakan)/ Mergo cepet kanggo ngisi weteng luwe (karena cepat untuk mengisi perut lapar)/ Wargo Keprasan wis siji kaniatane (warga Keprasan sudah satu niatnya/tekadnya)/ Sopo wae sing ngadang disingkirake (siapa saja yang menghadang akan disingkirkan)//.
Selain pengganjal lapar, tanaman yang berasal dari Amerika Selatan itu juga berfungsi menumbuhkan daya juang. Begitu pun bagi kebanyakan masyarakat tradisional di Nusa Tenggara Barat, singkong tetap salah satu identitas kulinernya.
Bahkan di kalangan seniman modern, julukan “manusia singkong” dengan takzim dilekatkan pada F. Rahardi karena singkong menjadi sumber imajinasi. Lahir di lereng gunung Unggaran di Ambarawa, Jawa Tengah, yang terbiasa dengan alam pedesaan, seniman itu banyak memanfaatkan singkong sebagai penyampai pesan. Bangga dengan julukannya, sampai-sampai salah satu karyanya berjudul Kentrung Itelile: Kumpulan Cerpen Manusia Singkong (1993).
Singkong, bagi Rahardi, mewakili penderitaan rakyat. Dengan tanaman itu, dia ingin menunjukkan masih kuatnya ketimpangan sosial di negeri ini. Simaklah potongan “Sajak Transmigran”: sepuluh tahun masih makan singkong/ duapuluh tahun makin singkong/ dan limapuluh tahun kemudian/ transmigran beruban/ sakit-sakitan/ mati/ lalu dikubur di ladang singkong//.
Ahmad Tohari, sastrawan asal Banyumas, Jawa Tengah, juga memanfaatkan singkong dalam alur cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk. Rasus, tokoh dalam kisah itu, diceritakan berebut singkong bersama-sama temannya setelah dijebol ramai-ramai dengan bantuan air kencing mereka. Simak juga saat orang-orang upahan Pak Sentika mengangkut singkong dari Alaswangkal sampai ke pangkalan di tepi jalan besar.
Atau saat laki-laki gunung bercawat yang bergerombol di dekat pikulan singkong, memperhatikan kecantikan Srintil yang sedang memijat betisnya. Singkong yang banyak ditemukan di tempat kelahirannya, Banyumas, memberikan pengaruh terhadap karya sastrawan yang pernah mengantongi penghargaan dari Radio Nederlands Wereldomroep itu. Singkong, biarpun kelezatannya tertimbun dalam tanah, posisi dan perannya dalam hidup kita sebagai bangsa tak akan lenyap dalam sejarah.

Bojonegoro, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar