Minggu, 12 April 2015

Anak, Buku, dan Egoisme (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Sabtu, 11 April 2015)


Akhir-akhir ini, kasus-kasus kekerasan menimpa anak-anak. Generasi bangsa tersebut menjadi korban kekejaman dan kelaliman, baik dari orang tak dikenal, guru, orang tua, maupun temannya sendiri.
Di kota-kota besar, anak tidak mempunyai loka bermain, sehingga ruang-ruang publik, seperti jalan raya dan lahan parkir, menjadi lapangan sepak bola. Pembangunan pusat perbelanjaan, gedung mewah, dan kantor, hanya menambah pundi kas Pemerintah Daerah, tanpa memedulikan anak-anak. Padahal, dengan kian sempitnya sarana bermain, anak-anak lebih memilih soft game, daripada permainan tradisional yang ‘memproduksi’ banyak keringat. Dengan permainan yang mengandalkan pikiran tanpa melibatkan ketangkasan, anak-anak cenderung jarang bergerak. Akibatnya, kecerdasan motorik mereka berkurang.
Kerasnya kehidupan menjadikan anak-anak tersisih dari dunia mereka. Kita mengelus dada saat mendapati anak-anak berjualan koran di jalanan. Kita terperangah ketika menemui anak-anak menjajakan makanan ringan di bus dan angkutan umum. Beban ekonomi yang seharusnya hanya berada di pundak orang tua nyatanya juga ditanggung anak-anak. Hal ini diperparah dengan menjamurnya artis cilik. Bagi orang tua, anak menjadi mesin uang yang dapat memperlancar deposito di bank. Imbasnya, selain terkena sindrom popularitas, anak-anak cenderung lebih matang ketimbang usia mereka. Akhirnya mereka mengalami ‘dewasa dini’. Mengikuti pola pikir orang tua, anak-anak melalui masa kecil tanpa bahagia.  

Ambisi Orang Tua
Fenomena di atas menunjukkan bahwa hak anak untuk bermain dan belajar dikalahkan oleh ambisi orang tua. Padahal, dahulu kala, negeri ini merupakan pionir peringatan Hari Anak Internasional yang diinisiasi oleh Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Keputusan Kongres Gerwani II tahun 1954 menyatakan bahwa hak kaum perempuan dan anak-anak tak dapat dipisahkan dari kemerdekaan dan perdamaian. Hak atas kemudahan fasilitas pendidikan dan kesehatan serta masa depan yang cerah tercakup dalam hak anak (Akbar, 2013).
Keserakahan manusia turut menyumbang daftar penderitaan anak-anak. Patut disayangkan, akhir-akhir ini, banyak produsen nakal enggan mencantumkan komposisi makanan. Demi meraup keuntungan, pemanis buatan diselundupkan pada jajanan anak-anak. Baik PP no. 69 Tahun 1999 maupun PerKa Badan POM RI no. HK 03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 ternyata tak cukup menangkal aksi nekat oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab. Padahal, jika pemanis buatan dikonsumsi secara berlebihan, anak-anak bisa mengidap kanker dan keterbelakangan mental.
Dalam keadaan darurat seperti ini, buku menjadi penyelamat nasib anak. Buku merepresentasikan benteng terakhir (the last bastion) bagi masa depan anak. Sayangnya, eksistensi buku kurang mendapat perhatian. Masyarakat kita lebih suka membekali anak dengan mainan. Mereka cenderung menjauhkan anak dari buku.

Pemanis Bibir
Peribahasa Arab klasik “khairu jalisin al kitabu” (sebaik-baik teman adalah buku) hanya menjadi pemanis bibir guru yang memberi motivasi anak didiknya ketika menghadapi Ujian Nasional (UN). Anak-anak harus berpura-pura bersahabat dengan buku. Menuruti guru, anak-anak ikut les dan privat. Anak-anak memanggul beban psikologis, lantaran jika mereka tidak lulus, pihak sekolah pasti malu. Di sinilah buku beralih fungsi, dari media penyampai ilmu pengetahuan ke sarana merawat gengsi.
Celakanya, buku selalu menghadirkan ironi. Di satu sisi, buku menyajikan pelajaran berharga, mengembangkan curiosity, serta membantu anak meraih cita-cita. Buku yang digarap sesuai formula dapat mengantar anak menggenggam dunia. Tono dan Tini karya Annie M.G. Schmidt merupakan contoh buku yang dimaksud. Menurut Adhim (2007), buku terbitan Djambatan (Jakarta) tersebut memiliki struktur cerita yang kuat dan sesuai dengan alam berpikir anak.   
Di sisi lain, buku juga memuat aksi kolonialisme terhadap pikiran anak-anak. Oleh produsen, buku tulis disulap menjadi panggung artis. Dari sampul buku tampak keglamoran yang sengaja dihidangkan. Mulai wajah yang dipermak, mobil mewah, hingga busana berharga puluhan juta rupiah. Tanpa disadari, buku dengan ilustrasi kurang mendidik yang menyajikan life style para penjunjung tinggi hedonisme telah membunuh karakter anak secara perlahan.
Atas dasar itulah, mulai sekarang, anak-anak harus dihindarkan dari “junk books” (buku-buku sampah). Maraknya pelbagai macam buku remaja dan dewasa menyebabkan pergeseran minat anak untuk melahap buku yang sebenarnya mereka butuhkan (Sumardi, 2005).  Langkah ini sulit dilakukan, jika sampai detik ini, pemerintah, masyarakat, dan produsen masih mengidap egoisme akut: penyakit yang jika tidak segera ditangani, kejahatan terhadap anak bakal terus berlanjut.

Bojonegoro, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar