Minggu, 12 April 2015

Gratifikasi Buku (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Merapi" edisi Minggu, 12 April 2015)

Kasus-kasus gratifikasi yang menyeret para pejabat dan anggota legislatif ke jeruji besi menunjukkan bahwa di negeri ini degradasi moral sudah sedemikian akut. Moralitas umum berupa nilai kemanusiaan (humanity), nilai keadilan (justice), serta nilai kejujuran (honesty), telah dilanggar tanpa mengindahkan prinsip hidup bersama yang sejak dulu dijunjung tinggi oleh nenek moyang kita.  
Agar mendapat jatah kekuasaan, acap kali seseorang melakukan gratifikasi. Ada semacam konsensus tak tertulis: keputusan-keputusan politik mudah dicapai jika disertai komisi, tiket perjalanan, atau fasilitas bagi pemangku kebijakan.
Dalam jagat hukum, gratifikasi digencarkan guna menghindarkan seseorang dari sanksi. Lihatlah betapa nekatnya para pesakitan yang ingin lari dari tanggung jawab. Tanpa basa-basi, mereka menyediakan layanan ‘pijat plus’ gratis kepada hakim. Gratifikasi seks menjadi garansi bagi narapidana supaya masa hukuman dipersingkat atau bahkan dibebaskan.

Gratifikasi di Perguruan Tinggi
Tidak hanya pada bidang politik dan hukum, aroma gratifikasi juga terendus dalam dunia pendidikan. Baru-baru ini, dosen dan birokrat kampus ternama terlibat kasus gratifikasi. Hal ini terkuak dari kesaksian Ketua Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) Mansyur Ramli. Ia membocorkan bahwa saat melakukan akreditasi kampus, pihak asesor menerima buku yang di dalamnya terdapat gelang emas.
Pemberian seperti ini tergolong berani. Mengingat, pemerintah telah menetapkan sanksi bagi siapa saja yang terlibat gratifikasi. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 menetapkan, baik pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana penjara seumur hidup atau maksimal 20 (dua puluh) tahun dan denda maksimal Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Beratnya sanksi yang ditetapkan, sebab gratifikasi termasuk kejahatan korupsi sebagai extra ordinary crime. Dengan ketentuan ini, pemerintah berharap agar masyarakat menjauhkan diri dari bahaya laten korupsi.
Namun demikian, kasus pemberian gelang emas yang dibungkus buku menunjukkan bahwa seiring diperketatnya regulasi, berkembang pula cara menyiasati. Ungkapan “sepandai-sepandai polisi masih dikalahkan pencuri” barangkali ada benarnya. Dalam melancarkan siasat, pemberian yang dicurigai sebagai bentuk suap sengaja dihindari. Adapun semua jejak korupsi dihilangkan. Jadilah buku sebagai tameng kemunafikan. Dengan buku, seseorang dianggap menyebarkan ilmu pengetahuan. Padahal, sebenarnya ia sedang menanam benih-benih kerusakan di tengah masyarakat.
Betapa mata batin kita terbelalak saat mengetahui bahwa gratifikasi berhasil menyelundup di perguruan tinggi. Fakta ini menunjukkan bahwa satuan pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi tersebut belum terbebas dari virus korupsi. Akibatnya, citra perguruan tinggi sebagai garda terdepan pendidikan berkarakter memudar. Perguruan tinggi dianggap belum mampu mewujudkan visi pendidikan nasional yang bermaksud mengukuhkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial.
Bila diamati, fenomena di atas menyajikan dua hipotesa. Pertama, pernyataan John Dewey (dalam Mohammad Ali, 2009) bahwa pendidikan merupakan proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual maupun emosional belum sepenuhnya terwujud. Kedua, agen-agen pendidikan yang seyogyanya menampilkan kepribadian bermoral, justru memberi andil dalam proses kemunduran bangsa.

Alih Fungsi Buku
Adanya gratifikasi buku mengindikasikan bahwa sejarah buku di negeri ini tersusun atas lembaran-lembaran kelam. Lembaran-lembaran yang menghadirkan buku berwajah muram. Dari dulu hingga sekarang, betapa hanya karena menuruti beragam kepentingan, nasib buku akhirnya tergadaikan.
Buku yang seharusnya menjadi sumber pengetahuan, kadang kala beralih fungsi menjadi alat kejahatan (instrument of crime). Padahal, selain tergolong kriminal, penyalahgunaan buku mengidentifikasi pelaku telah berbuat amoral.  
Munculnya kasus ini memancing ingatan kita pada Teror Bom Buku pada 2011 di Jakarta. Serangkaian peristiwa teror dengan kiriman paket buku berisi bom tersebut membuat masyarakat menaruh kecurigaan terhadap buku. Ketakutan terhadap bahaya yang terselip dalam buku membuat anak kecil, remaja, dan dewasa menjauhinya. Buku mengandung fobia.
Alih fungsi buku sebagai sarana gratifikasi harus mendapat perhatian serius dari pemerintah, akademisi dan seluruh stakeholders. Kasus ini dikhawatirkan menjadi ‘inspirasi’ bagi lahirnya beragam kejahatan lain dengan pola serupa. Kalau tidak segera diatasi, boleh jadi, di masa yang akan datang, penyelundupan narkoba, pemberian tiket pesawat untuk hakim, serta pembunuhan aktivis, direncanakan dengan buku.
Kita harus waspada. Gratifikasi buku merupakan berita buruk bagi pegiat-pegiat literasi sekaligus kabar gembira bagi para penjunjung budaya korupsi.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar