Senin, 22 Januari 2018

Jagoan dan Kekuasaan (Teroka_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kompas" edisi Senin, 22 Januari 2018)


Dalam sejarahnya, setidaknya di negeri ini, kekuasaan (dalam arti politik) memiliki relasi langsung dengan kekuatan (dalam arti fisik). Di mana ada kekuasaan di situ tersimpan kekuatan. Maka, siapa saja yang dibekali kekuatan yang dapat dibuktikan secara fisikal/material memiliki peluang kian besar pula untuk mendapatkan kekuasaan.
Pola pikir masyarakat kita yang sederhana dan tradisional itu mungkin dilatari oleh sejarah terbentuk dan terebutnya kekuasaan di sebuah daerah atau kerajaan pada masa lalu yang memang banyak didahului ”adu otot” ketimbang ”adu otak” semacam kampanye di masa kini. Tak heran, bahkan para calon raja atau pemimpin lain di dalam hidup tradisi kita harus memiliki latar belakang, pendidikan, atau latihan semacam kanuragan yang bisa memberi seorang calon raja, misalnya, kekuatan atau ketangkasan fisik yang luar biasa.
Studi Onghokham mengenai priayi dan petani memperlihatkan bukti pada abad XIX di mana sosok jago(an) atau jawara secara natural menjadi pemimpin di perdesaan. Bagi masyarakat desa, menurut Ong, jagoan dengan seluruh kapasitas fisikalnya merupakan representasi dari semua kualitas kepemimpinan yang utama. Tingkat kesaktian atau kapasitas itu menentukan tingkat kekuasaan yang bisa direngkuhnya. Jagoan desa tentu saja belum apa-apa ketimbang priayi, apalagi bupati dan terlebih seorang raja, sang ”jagoan super”, alias superhero.

Manusia Pilihan
Kekuatan yang didapatkan dari ”wahyu langit”, saking abstrak bahkan absurdnya, tentu saja sulit diperoleh sembarang orang. Karena itu, ada semacam ”logika” kekuatan semacam itu tidak dapat diajarkan, tetapi diwariskan. Inilah prosedur di mana seorang penguasa besar, raja misalnya, selalu harus dimulai dari pertanda bahwa sang calon (raja) telah menerima warisan (wahyu) kekuasaan lebih dulu.
Dalam cara berpikir modern yang rasional-kritis, prosesus dan prosedur pemindahan kekuasaan itu tentu saja menafikan kemampuan manusia sesungguhnya. Prinsip-prinsip meritokratik tentu saja terbatalkan. Siapa saja, tak peduli jenis kelamin, usia, bahkan kecacatan, jika ia dianggap telah membuktikan kewahyuan dalam dirinya, ia pantas menjadi raja/pemimpin. Logika primordial ini berlaku universal, di Inggris, Skandinavia, China, hingga di Jawa.
Pada titik ini, kekuasaan wahyu tak lagi peduli pada hukum (yang diciptakan) manusia. ”Raja adalah hukum”. ”L’etat c’est moi”, begitu Raja Louis XIV menegaskan. Satu hukum yang berlaku di negeri kita hingga ke tingkat bawah, di mana jagoan juga merasa diri di atas hukum yang berlaku. Mereka bisa melanggarnya kapan saja tanpa perlu menanggung risiko yuridis apa pun. (Willem GJ Remmelin, 2002: 112)
Pada abad XX, sosok jagoan dalam tinjauan Onghokham dapat dihubungkan dengan jawara di Banten. Karakter jago bisa ditemukan dalam diri jawara. Menurut Harry A Poeze (2008: 19), pada 1943 jawara punya posisi luar biasa. Pada umumnya, jawara adalah petani muda yang memimpin kehidupan semi-ilegal. Di samping cukup ditakuti dan disegani, mereka juga mengantongi kehormatan, pengaruh, dan wibawa.
Sebagian di antara mereka berperan selaku penguasa bayangan, sedangkan sebagian lainnya menjadi pelaku tindak kriminal. Mereka berada dalam jaringan gerombolan dengan ritme kegiatan yang berubah-ubah seiring faktor sosial-ekonomi. Saat timbul keresahan sosial, mereka tampil di depan dan bersatu dengan penduduk desa. Di beberapa desa di Sumatera Selatan, misalnya, para jawara yang sebenarnya hidup sebagai bandit di kota-kota lain dianggap pahlawan atau ”Robin Hood”. Alasannya, mereka banyak melakukan aksi sosial hingga turut membangun desa. Hingga hari ini.
Maka, banyak masa para jawara itu tampil mewakili petani, memegang kendali kuasa di desa, terutama dalam menghadapi pihak asing yang hendak mengganggu ketenteraman desa. Meski sifatnya tak resmi, mereka sanggup menunjukkan ”taringnya” di depan publik. Eksistensi jawara menggambarkan betapa kaum petani tidak bisa dilihat sebelah mata oleh pemerintah ataupun penguasa bangsa lain.
Sementara bagi pemerintah, keberadaan jawara justru dianggap pencipta masalah. Perbuatan mereka bertolak belakang dengan kehendak hukum, notabene kehendak penguasa/pemerintah. Sebaliknya, dalam praktik kekuasaan lain, para jawara malah menjadi kaki tangan penguasa untuk melanggengkan kekuasaan atau memaksakan kehendak pemimpinnya. Penelitian Peter Carey di Jawa Tengah masa perang Diponegoro mengisahkan bagaimana para jagoan atau jawara digunakan bukan hanya untuk melindungi kekuasaan, melainkan juga rakyat jelata dari penindasan kolonial, bahkan menjadi bagian dari tentara perang Diponegoro.
Jawara dan jagoan seperti memiliki paradoks dalam peran sosial, politis, hingga kultural, dan spiritualnya. Ini membuat publik pun sering terbelah dua dalam memahami dan memosisikannya. Namun, dualisme atau paradoks itu pula yang membuat jawara dan jagoan senantiasa dibutuhkan hingga saat ini.

Yogyakarta, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar