Senin, 15 Januari 2018

Rabitah dan Potret Perempuan Desa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Suara NTB" edisi Sabtu, 13 Januari 2018)


Kasus Sri Rabitah yang diduga kuat menjadi korban perdagangan orang dan perdagangan organ tubuh di Qatar, empat tahun silam, seolah terkubur seiring dengan gencarnya berbagai berita politik di media cetak dan daring. Padahal, tenaga kerja wanita asal Desa Sesait, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat tersebut sedang menanti keadilan. Penyidikan oleh Subdit IV Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTB sejak Bupati Lombok Utara Nazmul Akhyar melaporkan kasus tersebut pada 11 April 2017 menunjukkan bahwa kasus Rabitah masih berlanjut.
Apa yang dialami oleh Rabitah merupakan secuplik dari rentetan panjang kisah penderitaan perempuan di negeri ini. Terutama di wilayah pedalaman, perempuan kurang mengantongi akses dan kesempatan untuk mengambil keputusan. Arah dan jalan hidup mereka seolah hanya mengikuti ke mana bandul zaman bergerak.
Hingga saat ini, potret perempuan desa direpresentasikan dengan gadis yang menikah pada usia belia (10-15 tahun), terpaksa putus sekolah, mempunyai kesehatan reproduksi buruk, tercemar lingkungan, serta angka kematian ibu (AKI) yang kian meroket. Kawasan perdesaan yang pada mulanya merupakan “lumbung padi”, kini tak lebih sekadar “penghasil” perempuan dan anak buruh migran sektor informal, gadis kecil yang sengaja dilacurkan, korban trafficking, penderita busung lapar, dan sebagainya. (Sulistyowati Irianto [ed.], 2008: 279).
Melalui buku Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: dari Wacana Bangsa hingga Wacana Agama, Yasir Alimi (2004: 79) menunjukkan bahwa demi kepentingan bangsa, perempuan sebelum masa developmentalisme dianjurkan untuk menghasilkan keturunan sebanyak mungkin. Sebaliknya, juga demi kepentingan bangsa, perempuan didorong bahkan diwajibkan untuk membatasi angka kelahiran. Pada masa developmentalisme, seorang ibu dituntut mempunyai maksimal dua anak. Oleh perangkat desa, tak jarang perempuan yang mengesampingkan program Keluarga Berencana (KB) dicap sebagai “komunis”.
Fakta di atas mengindikasikan begitu rentannya posisi perempuan di ranah publik. Hak mereka kerap diabaikan demi terpenuhinya misi penguasa. Beberapa program dan kebijakan pemerintah yang diselundupkan hingga wilayah perdesaan telah mengerdilkan hakikat perempuan.

Momok Menakutkan
Celakanya, perampasan hak kaum Hawa semakin dikukuhkan dengan praktik poligami. Betapa poligami telah menjadi momok menakutkan bagi mereka. Sejumlah kasus menunjukkan bahwa menjamurnya poligami tidak dilandasi dengan niat dan tujuan mulia. Seringkali poligami dijadikan oleh para lelaki sebagai alibi mengumbar berahi, bukan ikhtiar mengulurkan kasih sayang dan pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Praktik poligami berdalih agama menggambarkan bahwa dalam lingkup rumah tangga, perempuan kerap diposisikan sekadar sebagai konco wingking (teman di belakang). Tak heran jika keseharian kaum Hawa identik dengan dapur, sumur, dan kasur. Budaya patriarki yang cukup kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat membuat peran mereka dinihilkan.
Padahal, pada era 1980-an, pemerintah sempat mengurangi laju perkembangan poligami dengan melarang pemimpin lokal beristri banyak. Sebagaimana diketahui, lantaran menyandang perekonomian yang mapan, dahulu kala kepala desa gemar berbini. Hal ini dilakukan antara lain demi menyokong kedudukan elite lokal di mata masyarakat. Poligami merupakan salah satu kiat mengatrol status sosial sekaligus memantapkan image (citra) di hadapan publik. Pada beberapa kasus, poligami bahkan menjadi  gaya hidup (way of life) para pemimpin di level lokal.
Berdasarkan pernyataan Memed Tohir, pada waktu itu disinyalir masih banyak kepala desa beristri lebih dari satu. Harian Pikiran Rakyat edisi 09-02-1984 pernah mengutip ucapan Bupati Cirebon tersebut, “Jadi kalau mereka yang punya isteri lebih dari seorang itu, berminat kembali mengikuti pemilihan Kepala Desa tentunya mereka harus menceraikan isteri-isterinya sampai benar-benar hanya beristeri seorang saja.”

Fondasi Peradaban
Upaya memperjuangkan hak Rabitah seakan menguap apabila eksistensi perempuan di berbagai penjuru negeri ini masih direndahkan. Padahal, potensi perempuan dapat dimanfaatkan sebagai medium pengukuh fondasi peradaban bangsa. Atas dasar inilah, berbagai proyek pembangunan sebaiknya senantiasa melibatkan tenaga dan pikiran perempuan. Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa antara lain menggariskan bahwa perempuan berhak disertakan dalam keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa. Ini berarti, perempuan mengantongi daya saing di hadapan kaum Adam.
Fakta-fakta di lapangan menggambarkan tingginya produktivitas kaum Hawa. Dalam berbagai situasi, mereka dinilai mampu memelihara motivasi bekerja. Berdasarkan realitas historis, perempuan Nusantara sejak masa silam menggenggam etos kerja yang layak dibanggakan. Keteguhan mereka dalam menyiasati beban hidup diturunkan lintas generasi. Kelebihan ini, misalnya, terlihat jelas pada masa kolonialisme. Karakter tahan banting antara lain dibuktikan oleh perempuan ketika Indonesia dikuasai oleh Jepang.
Penelusuran Hario Kecik (2009: 12) menunjukkan bahwa penjajahan Jepang genap menciptakan istilah “bakul”. Kelompok baru di kalangan masyarakat perdesaan tersebut terdiri dari para perempuan yang menjalankan aktivitas jual-beli antara desa dan kota. Hasil tanaman di kawasan perdesaan, semisal rebung, pete, keluwak, biji kopi mentah, dan lain-lainnya, dibawa demi mendatangkan keuntungan. Aneka corak kebutuhan tersebut kemudian dijual atau ditukarkan dengan apa yang hanya dijumpai di wilayah perkotaan.

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar