Minggu, 14 Januari 2018

Waduk Simbol Harmonisasi (Aspirasi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Harian Jogja" edisi Sabtu, 13 Januari 2018)


Banyak desa di berbagai penjuru tengah dilanda bencana banjir. Di samping rusaknya fasilitas publik dan raibnya harta benda, malapetaka ini juga membuat penduduk desa terluka bahkan meninggal dunia. Dalam konteks inilah, waduk selaku instrumen pengendali banjir diperlukan guna menekan kerugian material dan meringankan beban psikologis.
Oleh sebagian orang, waduk dianggap sebagai pengukuh kedaulatan bangsa. Lantaran fungsinya yang strategis, waduk dapat menjadi penunjang kedaulatan air, pangan, dan energi. Menurut Basuki Hadimuljono (2015), pembangunan waduk sebagai infrastruktur sumber daya air diperlukan guna mendukung ketersediaan air bagi para petani. Apalagi, tekad pemerintah membangun waduk dilandasi beberapa manfaat. Di antaranya peningkatan ketersediaan air baku, pencegahan banjir, pengadaan pembangkit listrik tenaga air, transportasi air, perikanan, serta pariwisata.
Namun demikian, waduk semestinya tidak hanya dilihat dalam bingkai positif. Selama ini, realisasi pembangunan waduk masih jauh panggang dari api. Belum lagi, waduk berpotensi mendatangkan beragam risiko dan bahaya. Selain menyebarkan penyakit (misalnya demam berdarah), mencaplok lahan pertanian, serta mengubah ekosistem, waduk juga kerap menyisakan problem-problem sosial.

Kentalnya Problem Sosial
Di setiap daerah telah disediakan kawasan tertentu sebagai ruang terbuka hijau (RTH) yang menjadi tangkapan air. Dengan demikian, waduk tidak mungkin dibangun di sembarang tempat. Jadi, alih-alih menyokong kedaulatan air, pangan, dan energi, pembangunan waduk yang tidak pada tempatnya justru rentan menyulut masalah.
Sebenarnya, melalui instrumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), pemerintah telah mengkaji masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan atas pembangunan sejumlah waduk. Namun demikian, Suhardi Suryadi (2015) mensinyalir bahwa dalam banyak kasus, penyusunan amdal cenderung bersifat legal-formal, sehingga sukar dikontrol, non-partisipatif, dan kurang transparan.
Saat ini, keberadaan waduk dianggap kurang sustainable, baik secara ekonomi, politik, maupun sosial. Besarnya biaya pembangunan dan pemeliharaan tentu merugikan pelaksana proyek dan pemberi pinjaman. Ditambah lagi, problem-problem sosial menjadi latar belakang mengapa terjadi penolakan masyarakat terhadap pembangunan waduk.
Proyek pembangunan Waduk Jatigede, Jawa Barat, misalnya, terkesan mengesampingkan fakta bahwa warga sekitar memiliki ikatan sosio-kultural. Keterbatasan pemerintah memahami psikologi masyarakat perdesaan menyebabkan kasus-kasus pembangunan waduk kerap disambut resistensi. Setiap protes dan perlawanan yang digencarkan berdalih mempertahankan tanah leluhur.
Di wilayah penggenangan waduk tersimpan situs-situs sejarah bernilai keramat. Sebagian besar lahan dikelola bukan berlandaskan nilai ekonomi semata. Dianggap sakral, harta pusaka peninggalan nenek moyang dipegang teguh, dipelihara, dan dilestarikan. Bagaimanapun, masyarakat perdesaan tidak ingin tercerabut dari nilai, prinsip, dan kearifan para pendahulu. 
Dalam kasus Waduk Jatigede, faktor sosial, ekonomi, dan politik saling memintal antara satu dengan yang lain. Pembangunan waduk ini diwarnai dengan sulitnya warga direlokasi akibat minimnya kompensasi ribuan kepala keluarga (KK), kurang dihargainya kekayaan penduduk, dan ketidakjelasan pembangunan permukiman baru. Padahal, relokasi warga merupakan di antara prasyarat normalisasi waduk.
Masalah di atas diperkeruh dengan munculnya oknum yang memanfaatkan situasi dengan membangun ribuan rumah baru di kawasan yang bakal terendam air. Menjamurnya “rumah hantu” (harapan tunai) tersebut menggambarkan keinginan sejumlah pihak memperoleh ganti rugi dari Pemda (Bappeda). Kehadirannya tidak terlepas dari permainan yang melibatkan aktor-aktor di level desa hingga kabupaten. Tersebar dugaan, mereka merupakan para tokoh masyarakat dan elit-elit lokal yang dibekali jejaring informasi strategis tentang pembebasan lahan.

Simbol Harmonisasi
Waduk selayaknya menjadi simbol harmonisasi. Pemerintah dan masyarakat bisa bersama-sama merumuskan rencana pembangunan waduk, permasalahan serta solusinya. Supaya proses pembangunan berlangsung dalam suasana guyub, pemerintah bisa membuka ruang diskusi dan komunikasi dengan menempuh sejumlah langkah. Hal ini penting dilakukan, mengingat kebijakan pembangunan yang kurang aspiratif tentu rentan mengulang kembali “kesalahan masa lampau”.
Pertama, di samping melibatkan akademisi dan pengembang, pengelolaan kawasan waduk juga melibatkan warga. Dari sinilah, arah dan strategi pengembangan kawasan menjadi RTH bisa dirumuskan. Dengan demikian, waduk bisa diterima semua lapisan masyarakat (socially accepted) dan menjamin persetujuan tanpa paksaan (free prior informed consent).
Kedua, SIDCOM (survey, investigation, design, operation, dan maintenance) menjadi acuan dalam merealisasikan proyek pembangunan. Jika semua tindakan berdasarkan hasil studi kelayakan, ketersediaan dana, serta pelaksanaan teknis, maka bisa dipastikan tidak ada lagi keluhan mengenai ganti rugi.
Ketiga, pemerintah mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam pengawasan pihak-pihak yang terkena dampak proyek demi perbaikan tata kelola pembangunan waduk. Aktor-aktor nakal yang memanfaatkan situasi bisa dilaporkan untuk segera ditindak oleh aparat kepolisian.
Keempat, jika uang tunai disebut sebagai pengganti tempat penampungan pemukiman, maka pemerintah harus memberi pandangan ke mana warga harus berhijrah. Boleh jadi, lokasi hunian baru memiliki demografi, iklim, dan sosiokultur yang berbeda dengan lokasi asal. Dalam hal ini, mesti ada rekayasa sosial guna membangun budaya baru, sehingga tempat tinggal baru menjadi kawasan ramah lingkungan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.

Bojonegoro, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar