Kamis, 28 Juni 2012

Tebusan Dosa dari Kakek (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Sumut Pos" edisi Minggu, 29 April 2012)


Saat berusia 21 tahun, kakek merantau ke Bolokebo, sebuah daerah yang kesohor dengan perguruan pencak silatnya. Di sana ia berguru pada Guru Sewu, tetua yang sangat dita’zimkan, baik oleh kalangan awam maupun para pendekar. Sang guru berjuluk demikian, sebab ia satu-satunya orang yang sanggup mengerahkan seribu jurus dalam satu waktu. Darinyalah, kakek mempelajari 313 jurus dan tenaga dalam. Sumpil Klepek, Dali Gagak, Sikil Lembu, yang tak asing dalam dunia persilatan, juga ia dalami dengan serius. Sebetulnya, ia berhasrat menguasai seribu jurus, namun sang guru melarang, sebab bisa membinasakan dirinya sendiri.
Setelah empat tahun menggali ilmu, kakek memutuskan pulang. Ia berbaur dengan Jaka Sungging, organisasi karang taruna desa Kedungadem. Bersama para pemuda, ia ikut meramaikan desa tiap kali digelar kegiatan. Mulai dari peringatan 17 Agustus, tayuban, hingga manganan di Sumur Gede. 
Keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan menjemput perhatian para warga. Pasalnya, selain rajin membantu kegiatan warga, pemuda satu ini dipandang lebih daripada yang lain. Tak jarang, orang-orang bersoal kepada kakek perihal jurus dan tenaga dalam yang baru dikantongi. Semisal, saat memotong bambu untuk Upacara Brobosan, sekonyong-konyong mulut Kang Jupri bocor: 
“Bandi, kata orang kamu sakti. Dapat ilmu dari mana?”
Bibir kakek hanya menyungging dan melanjutkan aktifitasnya, membelah-belah bambu buat upacara penghormatan kematian Mbah Sujak.
Berita kesaktian kakek begitu cepat meruap di hidung warga. Maklumlah, di desa Kedungadem jarang sekali ditemukan pendekar. Kalau pun ada, bisa dicongak dengan jari.
***
Selepas surya beringsut ke arah barat, Mbah Sukir menggelesot di samping ladang tembakau milik Pak Johar. Ia bernafsu mengecek sendiri ocehan keponakannya. Tangannya gatal, ingin lekas menjajal kesaktian pemuda yang kondang sanggup mengupas diri menjadi dua itu. Sebalik dari memancing di kali Nyamat, kakek dihadang.
“Bandi, katanya kau habis berguru silat di Bolokebo. Sini, biar kucoba ilmumu”
Bagai topan, Mbah Sukir menerjang ke arah kakek. Pisaunya dikeluarkan. Dan dengan membabi buta, ia menusukkannya ke perut kakek. Giginya terbentang saat melihat senjatanya bersarang beberapa centi meter ke jasad kakek.
Rasa heran Mbah Sukir menyergap. Perut yang disunduk dengan Pisau Kolobenji itu ternyata batal mengalirkan darah. Anehnya, lubang bekas serudukan pisau tiba-tiba kembali utuh seperti semula. Tanpa pikir panjang, ia hunjamkan lagi pisau bersisik naga itu ke perut kakek. Hasilnya nihil. Dan karena bagian perut dirasa musykil ditundukkan, akhirnya ia mencoba bagian tubuh lainnya. Sekali lagi, darah yang ditunggu-tunggu berceceran tak juga kunjung terbit.
Kakek hanya mematung. Memirsa lelaki berumur setengah abad itu menyerang bertubi-tubi, ia urung melawan. Mbah Sukir tampak ngos-ngosan. Batinnya mendesis:
“Benar juga apa yang dikatakan Pardi. Tubuh Bandi sakti mandraguna”.
***
Guna menabur ilmu dan menularkan kesaktian, kakek menumbuhkan perguruan Pendekar Geni. Dalam jangka dua bulan, beratus pemuda mencatatkan diri demi menimba ilmu kepada kakek. Magnet kewibawaannya begitu kuat, sehingga beberapa gelintir perempuan juga tertarik bergabung. 
Saking jamaknya pendaftar, kakek memaruh waktu berlatih dalam dua gelombang. Kakek menjadwalkan malam Senin dan malam Sabtu bagi gelombang pertama. Sedang untuk gelombang kedua, latihan jatuh pada malam Selasa dan malam Minggu. Pelataran depan rumah dimanfaatkan untuk melatih murid-muridnya.
Tiadalah warga terganggu atau terusik dengan suara gedebukan murid-murid Pendekar Geni. Bahkan, malah terhibur. Mereka gemar menyaksikan kakek menularkan jurus-jurus dan tenaga dalam. Apalagi kalau berbarengan dengan malam Bengi Sakti, yang biasanya jatuh pada malam Kamis Legi. Biasanya, selepas magrib, rumah kakek sudah dibanjiri banyak orang. Sebagian dari mereka berpunca dari desa-desa sebelah. Pada malam itu, kesaktian para murid diuji. Dari jam delapan sampai jam satu, ada sepuluh murid yang bertarung. Jadi, terdapat lima pertarungan dalam semalam. Dan setiap pertarungan dipatok maksimal satu jam. 
***
Hari berebut senja. Angin mengucur begitu deras. Petang bersiap-siap merayap, hendak menyapa warga Kedungadem.
Tak seperti biasanya, saat itu malam Jum’at, kakek menghimpun semua murid. Dalam pertemuan sekitar lima belas menit itu, intinya kakek menugasi mereka untuk memburu dan menghabisi orang-orang PKI. Tak peduli. Siapa saja. Tetangga, sanak kerabat, saudara, teman. Semua dilibas. Nyawa mereka halal. Dan jika di antara muridnya ada yang dicurigai, orang berjanggut putih itulah yang bakal menggoroknya.
Di atas gundukan tanah loka berlatih, suara kakek menggelegar bak petir menyambar.
“Orang-orang yang terlibat, kudu digorok. Siapa pun yang membangkang, aku gak sudi mengakuinya sebagai murid. Dan dalam dua hari, kesaktiannya akan hangus”
Berbondong-bondonglah murid-murid asuhan kakek melacak orang-orang yang tercium PKI. Beberapa orang yang dulu terbalut dalam Jaka Sungging turut ambil bagian. Mereka bersepakat, dalam sepuluh hari, Kecamatan Dosorejo harus bersih dari orang-orang yang dianggap tersangkut dalam partai berlambang palu dan arit.
Belum genap seminggu – dari enam desa – mereka berjaya meringkus sekitar tiga ratus orang. Kebun jagung Pak Sangit menjadi saksi bisu atas kekejaman mereka. Di tempat itulah, orang-orang dikumpulkan dan disembelih satu persatu layaknya kambing.
Dalam tempo relatif singkat, kecurigaan menyebar. Rasa percaya antara teman, tetangga atau keluarga luntur. Perkelahian di mana-mana. Permasalahan sepele bisa dengan mudah menyebabkan mereka saling tuding dan berakibat pembunuhan.
Hampir setiap orang menanam parang di pinggang. Mereka merasa tak ada lagi lokasi aman. Bahkan di rumahnya sendiri. Untuk yang terakhir, contohnya adalah Mbah Kasmo, yang meninggal dalam kamar. Orang yang setiap pagi dan sore menyapu surau kecil dekat sawah itu mendapat perlakuan istimewa dari cucunya sendiri. Sebatang parang membenam di dada. Ususnya berceceran di tanah. Sedang kepalanya terpisah, dan baru tiga hari ditemui di samping kakus.
***
Suatu sore yang hangat, seorang dokter dipanggil ke rumah kakek. Menurut diagnosa dokter, kakek diserbu penyakit, karena terbebani masalah. Ia mengusulkan kepada kakek untuk beristirahat yang cukup dan menenangkan pikiran.
Benar. Memang kakek diganduli sebongkah masalah. Masalah yang dari dulu sukar diusir. Masalah yang ketika berusaha dilupakan, malah menyembul ke permukaan dan menggumpal dalam ingatan. Kenangan akan masa lalu terus saja berloncatan di otaknya. Dosa-dosa yang dilakoni sewaktu muda belum sanggup dilalaikan. Dosa yang sangat sukar ditebus, meski dengan kematian.
Dua tahun kakek meringkuk di kamar. Mbah Sukinah, istrinya, selalu setia menjaganya. Juga menjaga Gelang Balung Kethek dan Sabuk Inten Kuning kepunyaan kakek. Guna menyelamatkan dua benda bertuah itu dari manusia tak bertanggung jawab, nenek menguburnya di kolong ranjang kakek. 
Nenek jualah yang menghibur warga kala mereka membesuk kakek, sebab kakek enggan ditemui. Nenek sebenarnya mengerti kalau kedatangan mereka sekadar ingin menyimak kesaktian kakek saat muda.
Perempuan berkaki tiga itu mafhum, bahwa cerita kesaktian kakek hanya akan menarik kenangan masa lalu. Sehingga dapat mempertebal penderitaan dan membuat sakit kakek semakin parah. Ia jengkel, apabila ada cucu yang merengek minta kakek berkisah tentang kesaktian suaminya.
Guna menyembuhkan sakit kakek, berpuluh kali ayah berinisiatif menerbangkan kakek ke rumah sakit. Walakin, kakek menolak. Ia memilih di rumah saja dan menikmati penyakit yang hinggap di tubuhnya.
Di dalam kamar, dengan sakit yang kian akut, kakek terus-terusan berpikir cara terbaik menebus segebok dosanya. Dalam batinnya, pernah terlintas untuk mengkhatami hidup dengan menggantung leher di kebun jambu. Akan tetapi, ia merasa itu bukan merupakan penebusan dosa yang sempurna.
Dan, ikhtiar kakek ternyata berbuah. Akhirnya ia berhasil menjumpai cara terbaik dan paling tepat untuk menebus dosa-dosanya.
Suatu pagi, nenek diajak ibu melihat sapinya yang baru melahirkan. Ketika situasi lengang, kakek mengambil parang. Sejurus kemudian, ia memotong-motong tubuhnya sendiri. Ya, tubuh yang dalam hatinya sesak dengan dosa itu diceraikan menjadi delapan bagian; Dua betis, dua paha, tangan sebelah kiri, dua kuping, dan hidung. Terkecuali tangan kanannya, yang memang digunakan untuk menyiksa daging segar itu. Dan usai kedua bola matanya dicongkel, ia menggorok lehernya sendiri. Darah memuncrat. Bau anyir menyeruak.
Sepulang dari rumah sang anak, Nenek melongok ke kamar dan menemukan tubuh kakek tergolek tanpa nyawa. Nenek tersenyum. Sembari menudungi mayat kakek dengan sarung, katup bibirnya menghembuskan kata-kata. “Kakek akan menuju surga. Seluruh dosanya sudah lenyap”.

Yogyakarta, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar