Kamis, 28 Juni 2012

Kalkulasi Amal Dua Hari (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di majalah "Sabili" edisi Februari 2012)


Di malam yang menggigil ini, Kawan. Ijabkan kusinggung sebagian mungil amal yang suah kubaktikan. Dua hari ini saja. Biarlah yaum-yaum sebelumnya berlalu. Tentu yang diobral oleh makhluk terpuji sepertiku adalah tindak-tanduk paling wajar, non-keren, dan kurang relevan. Walau bagimu, terang bergengsi.
Sehabis itu, hendak pula kudata amal-amal buruk yang sempat menimpaku. Alamak. Lamun mafhum, tetangga dan sanak keluarga niscaya menaruh hasad kala memirsa teraju amalku.
“Wah, berat sekali amal baikmu, Jufry. Pasti jarang sekali kau bermaksiat!”.
Ah, lumrah. Mereka kelewat tercengang. Aku memposisikan diri belaka selaku hamba. Itu saja. Tidak lebih.  
Kata orang, berburu pahala minta ampun muskilnya. Walakin, bagiku, menggelar dosa yang luar biasa runyam. Kok aneh. Merealisasikan kebajikan itu kan gampang. Lha wong, aku berkicau begini labelnya juga kebajikan. Ya tho?. Takah-takahnya, aku mesti sadik bila selama ini nyenyai memergoki diri terjerembab dalam maksiat. Setan saja kalang kabut bertembung namaku. Dalam diary mereka, aku terlanjur di-blacklist. Maksudnya, aku ini terbilang orang yang tidak termaktub dalam hitungan. Aku diluluskan dalam usaha penyesatan. Naga-naganya, mereka sudah terlampau frustasi menggoda imanku. Pernah sih, sesekali aku diganggu. Ya, terpaksa kutendang pantatnya. Kutebas tanduknya. Terus kucekik lehernya. Beres, kan? Barangkali orang-orang dungu itu sesekali perlu menimba ilmuku. Atau aku yang harus meringankan tangan menularkan tips-tips sederhana. Itu kan kebajikan pula. Sudah kuwartakan, tak kudu repot menimang-nimang pahala. Yang penting tersua niat, dan pahala bangat mengalir dengan sendirinya.
Agar lebih gamblang, langsung saja, hendak kulancarkan seputar telatahku dari rasa takzim pada orang tua.
Mereka berdua merupakan manusia yang syarif. Bagaimana tidak. Aku ditumbuh-besarkan dengan jutaan kasih sayang. Dibelai dengan segenap kelembutan. Segala yang mereka punya diberikan, supaya aku berkecambah menjadi bocah periang, renggang dari luka dan penderitaan.  
Ibu. Ya, perempuan berrambut senja itu bersigap mati-matian memuat janinku 9 bulan. Tanpa pamrih. Tanpa merasa letih. Dan tiadalah dalam lubuknya tersembul keinginan meletakkan kandungan barang sedetik pun. Ia sama sekali tak suah menuntut balas. Oleh dasar itu, kuhadiahkan kebaya kesukaannya. Kebaya yang sudah ia lamar dua warsa lampau, dan—sebab otak yang dihajar lupa—aku enteng saja menundanya. Padahal untuk memborong kebutuhan yang kurang primer, aku langsung menghunus uang, tanpa bertafakur panjang. Sebetulnya, aku bukan tergolong dermawan, sih. Akan tetapi, maklumlah. Dompetku sedang lumayan tebal. Dan hatiku masih mentak dibujuk kompromi. Kalau bukan tarikh muda seperti ini, tentu aku tak bakal hirau kepadanya. Ini kan cuma ikhtiarku menangkap surga. Dalam sebiji kitab tertutur bahwa surga terpendam di bawah telapak kaki ibu. Makanya, sejak dini aku berusaha sekencang tenaga. Jika tersua kebahagiaan berlebih, niscaya akan kusisihkan secuil untuknya.
Ayah. Lelaki dewasa yang mengeban tulang dan berpenat-penat demi merawatku, menghibahkan yang terbaik untukku, memadatkan ruang kehidupanku dengan seribu senyuman. Ia—yang sejak fajar terbit hingga mega merah berlabuh—mengejar rizki di kolong terik sang surya, hanya demi mengantongi sesuap nasi. Ia juga yang kebingungan tatkala aku merengek meminta jajan, mainan, celana baru, sepeda, serta beberapa keperluan yang sedianya tak terdaftar dalam benaknya. Ia pula yang siap sedia meleraiku ketika aku bersitegang dengan Pak Guru. Sungguh. Jasanya begitu agung. Dan kalau tiada aku ini putranya, tentu enggan aku menghadiahkan sarung Samarinda. Itu pun kutunaikan, setelah warna sarung tersebut kurang pas dengan kulitku yang sawo matang. Sedang bagi orang seusia ayah, akan sangat klop sekali. Ia kan tengah lansia. Jadi, tak mungkin lagi menggubris sekadar warna. Model baru ataupun lama, asal layak, pastilah dipakai jua.
Mencintai kedua orang tua merupakan sebulir kemuliaan. Bahkan pernah juga kupingku terbuka: “barangsiapa memuliakan orang tua, pasti masa hidupnya diperlama”.
Sebagai hamba saleh, selain menghormati kedua orang tua, rajin juga aku melantunkan Al-Qur’an. Jadwalku sudah kutata sedemikian rupa. Waktunya cocok sekali bagi orang sibuk sepertiku. Ya, sebagai direktur perusahaan, aku berusaha—meskipun di sela-sela kesibukan—untuk senantiasa mengikhlaskan teladan bagi semua karyawan. Saban kali membaca kitab suci, suara kujinjing keras-keras. Idghom, idzhar, ikhfa’, kubedakan. Panjang-pendek bacaan benar-benar kuteliti. Arti dan asbab an-nuzul-nya kukaji. Bukan hanya itu. Guna menggenapkan faedah, terlebih dulu kugosokkan siwak tiga kali ke batang gigi. Dan rasanya kurang afdol, kalau kebaikan ini tidak diiringi dengan sholat dluha. So, sebelum bertolak, sang istri membekaliku dengan sajadah, sarung, kopyah hitam, dan surban. Berdiri empat rokaat kemudian disusul dengan membaca Al-Qur’an tampaknya ibadah yang cukup istimewa dan terbilang sempurna. Tak terkecuali minggu ini. Ya, di minggu yang amat padat ini, aku masih menyenggangkan diri mewujudkannya. Padahal pekerjaan menumpuk. Bahkan, agenda rapat dan meeting tengah mengharap antri.
Sore kemarin, pengemis renta menghampiri gapura griyaku. Ya, benar. Pengemis yang bersuluh bulan di malam hari itu. Bajunya compang-camping. Badannya ceking. Bola matanya merintih. Bibirnya seperti telaga kering. Aromanya bangkai. Pikirku: “Ini merupakan suatu kehormatan”. Kehormatan yang tak dimiliki semua orang. Mempersembahkan sepotong rasa kasihan kepada kaum papa merupakan hal yang ditugaskan oleh agama. Dan aku—dengan segenap kerendahan—rela mengorbankan setetes kehangatan. Seribu rupiah cukuplah buat membungkam. Sesungguhnya, itu sudah kelewat lebih. Karena di hadapan kaum seperti mereka, seribu rupiah tentu sangatlah berharga. Ya, kalau menurut kita taraf uang sekian amatlah rendah. Namun, apakah tingkatan kebutuhan manusia itu sama? Adakah nilai kepuasan juga kembar? Menurut tilikanku, pengemis yang sedang tangan naik itu sudah lebih dari puas. Dan bisa dipastikan, kala tangan menengadah,  batinnya menerawang:
 “Jaman susah begini, kok masih ada ya orang seperti ini? Wah, seribu rupiah kan terlalu besar. Apa anaknya tidak butuh uang jajan?”
Wahai, kawan. Maaf saja. Kalau dari tadi kau lopak-lapik mengikuti ekor kata-kataku. Lain kali, bila mau merenjeng lidah denganku, terlebih dahulu kaucawiskan KBBI. Kau mengenalnya, kan? Kamus Bahasa Besar Indonesia itu, lho. Asal kau tahu. Aku ini jebolan sastra Indonesia di kampus ternama. Berpredikat cumlaude pula. Jangan bengong gitu, ah. Itu kan cuma satu saja prestasi—yang menurutku—kurang membanggakan. Masih jamak prestasi lain yang singgah ke tubuhku. Dan rasanya kurang pantas kusebutkan satu persatu. Seperti peraih delapan beasiswa luar negeri dalam satu masa. Pemenang lomba mengarang Dewan Sastra. Juara lomba debat tiga bahasa di Amerika. Dan jika kerap kausimak media massa. Jangan bosan, apabila mencium bau namaku berulang-ulang. Menulis kan bagian dari hayatku. Buatku, menulis adalah sarana berdakwah. Pesan moralnya bisa diserap manusia. Bahkan, sanggup menggerakkan dan membangkitkan jiwa. Bukan semisal segelintir penulis amatiran yang sedang bertebaran. Sejumput saja karya mereka nongkrong di koran, e.. sombongnya minta ampun. Niat mereka terkadang salah kaprah. Ada yang ingin masyhur. Ada yang menguber royalti. Rimbun pula yang berhasrat mengoleksi pujian. Mboh, wes.
O, ya. Tadi malam aku bangun jam tiga. Ini memang bawaanku semenjak balig. Aku belum sholat isya’ kalau jarum jam tak genap memeluk angka ganjil itu. Dan selepasnya, aku menyambungnya dengan sholat tahajjud. Sebagai muslim sejati, qiyam al-lail kan wajib. Tak banyak-banyaklah. 12 raka’at saja dengan 3 raka’at witir selepasnya. Sehingga kala fajar menyingsing, aku bisa langsung sholat shubuh. Dalam ibadah, ini kujuluki dengan konsep 3 in 1.
Itu tuh di antara fakta kebaikanku selama dua hari ini. Sebenarnya, masih banyak amal lain yang tersembunyi. Tetapi, tak usahlah kurinci semua. Khawatir terjebak riya’. Kan bisa hangus itu pahala. Manusia kan mesti waspada. Kalau tidak, ia bakal menanggung silap mata kepala pecah. Untuk keburukanku, hmmm, apa ya? Aku kok kesulitan mengungkap. Mungkin karena terbiasa berpolah baik, sih. Makanya seuntilpun tak kuingat. Kalaupun toh ada, mungkin sebab ketiadasengajaan. Atau keterpaksaan. Atau keterlupaan. Atau kedaruratan. Atau apa sajalah. Yang penting bukan atas motif kebiasaan atau kegemaran.
Sebentar, sebentar. Coba kukendurkan dulu bahuku. Sejenak kusingkap memoriku. Hmm, o, ya. Sekarang aku ingat. Tepatnya satu jam yang lalu dan berlangsung sampai saat ini. Jika boleh dikata, aku menggelesot di sini sambil menggembor-gemborkan sepenggal amal baikku inilah keburukanku. Ya, cuma ini. Itu pun kalau kau bersedia memutuskannya sebagai setitik keburukan. Berarti aku makhluk suci dong. Gak begitu amat, sih. Aku takut kalau tiba-tiba rasa sombongku membuntang. Meski setan berberat siku menggodaku. Namun, masih ada satu musuh lagi yang tengah kuhadapi. Ialah nafsu, yang doyan menginstruksikan tubuhku berbuat yang bukan-bukan. Untungnya, aku mudah memahami tipu muslihatnya.
***
Begini saja. Jika kau menghajatkan bantuan. Atau sekadar curhat tentang sukarnya menjinakkan setan. Hubungi saja nomorku. Ini. Catat, ya; 085649773437. Oke? Sampai bersua kembali!.

Yogyakarta, 2011

Catatan:
Menanggung silap mata kepala pecah = sebuah peribahasa, yang berarti kalau kurang awas, binasa diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar