Jumat, 08 September 2017

Guyonan Gus Dur dan Etos Literasi (Kolom_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Geotimes" edisi Jumat, 8 September 2017)


Putri mendiang Presiden Abdurrahman Wahid, Alissa Qotrunnada, menerima penghinaan melalui foto yang dikirimkan sebuah akun Instagram. Penghinaan terungkap setelah putri sulung Presiden RI keempat tersebut mengunggah foto yang dimaksud melalui akun Twitter pribadinya, @Alissawahid. Bukannya menyerang balik, Alisa justru merespons dengan bijak, “Itulah saya, dan saya bangga dengan itu!”
Beragam reaksi bermunculan. Para netizen melayangkan pembelaan dan dukungan terhadapnya. Mereka menilai bahwa Gus Dur adalah figur yang senantiasa dikenang jasa-jasanya. Itulah mengapa, setiap tahun anggota keluarga, pejabat, sahabat, simpatisan, serta pengagum Gus Dur (Gusdurian) disibukkan dengan peringatan haul tokoh besar tersebut.
Selain merenungi dan meratapi “kehilangan”, memperingati kepergian tokoh besar juga merupakan upaya membangkitkan semangat, etos, serta cita-citanya. Kala negeri ini terbelit problematika akut, mereka ingin menghadirkan kembali sosok Gus Dur sebagai Bapak Bangsa yang selalu dirindukan.
Mengenang riwayat tokoh besar sekaliber Gus Dur merupakan salah satu ikhtiar menggali lebih jauh tentang sejarah Indonesia. Ya, mengingat Gus Dur bukan hanya dikukuhkan sebagai ikon pluralisme negeri ini, melainkan juga “pembela perdamaian” di ranah global. Mementaskan memoar tokoh yang menerima banyak penghargaan tersebut di ruang publik sama saja dengan mengokohkan bangunan historiografi nasional. Gambaran kehidupan tokoh-tokoh besar tiada lain adalah refleksi mengenai kebudayaan Indonesia.
Gus Dur memandang bahwa semua manusia adalah sama, tak peduli asal-usul, jenis kelamin, warna kulit, suku, ras, dan kebangsaan mereka. Yang ia lihat adalah bahwa mereka adalah manusia sebagaimana dirinya. Yang ia perhatikan adalah niat baik dan perbuatan mereka. Gus Dur berteriak lantang dalam membela hak-hak mereka, meski banyak pihak yang malah menghujatnya. Ia teguh menemani orang-orang yang merasa kehormatannya diinjak-injak oleh negara atau otoritas yang dominan.
Husein Muhammad (2012) menilai bahwa ekspresi-ekspresi personal dan individual yang dianggap sebagian orang tak bermoral, menurut Gus Dur, tak boleh melibatkan negara, tak boleh diintervensi kekuasaan, tetapi harus diselesaikan sendiri oleh masyarakat dengan cara-cara yang mereka miliki tanpa kekerasan.
Beragam sisi kehidupannya selalu menarik untuk direkam, dihayati, serta diceritakan ulang. Salah satunya humor atau guyonan Gus Dur. Tak ayal lahirlah buku-buku yang memuat celoteh, penuturan, serta kisah lucu Presiden Republik Indonesia keempat tersebut. Sebut saja Lachen mit Gus Dur: Islamicher Humor Aus Indonesien (Mizan, 2005), Gus Dur, Asyik Gitu Loh (The Wahid Institute, 2007), Gitu Aja Kok Repot!! Banyolan Gus Dur (Citra Media, 2010), Humor Nyentrik Ala Gus Dur (Abdika, 2010), dan Tertawa Bersama Gus Dur: Humornya Kiai Indonesia (Mizan, 2010).
Ini menandakan warisan humor Gus Dur menjadi semacam oase bagi mereka yang “miskin inspirasi” sekaligus “haus imajinasi”. Urat syaraf masyarakat yang mudah tegang membutuhkan humor sebagai sarana rekreasi yang membebaskan. Kondisi politik, sosial, dan ekonomi yang carut-marut mengakibatkan orang berbondong-bondong mencari penyegaran. Humor menjadi medium masyarakat dalam menjalani hidup tanpa rasa marah, jenuh, dan benci. Dalam humor terselip wacana, kebajikan, serta kontemplasi.
Humor memang menjadi bagian tak terpisahkan dari kepribadian Gus Dur. Di berbagai kesempatan, Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia pada tahun 1994 tersebut tak lupa menyelipkan anekdot. Suasana yang formal dan serius tak menghalanginya untuk melempar beraneka kisah unik, lucu, tapi juga cerdas.
Greg Barton dalam karya fenomenalnya, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (LKiS, 2003) menyebutkan bahwa Gus Dur sering menghiasi pidatonya dengan anekdot-anekdot jenaka. Dalam suatu pertemuan, misalnya, ia mengibaratkan NU dengan mobil yang para penumpangnya terus-menerus mencoba untuk menginjak rem. Jika mobil ingin melaju, maka harus ada orang yang mengendalikan gas. Gus Dur mengaku bahwa dirinya bertugas menekan rem tersebut. Sontak para hadiri terkesima dan tak mampu mendebatnya.
Label humoris tak hanya melekat pada diri Gus Dur ketika beranjak dewasa. Masa mudanya ternyata juga dipenuhi pengalaman-pengalaman lucu. Setelah menamatkan studi di beberapa pondok pesantren Jawa dan Madura, pada tahun 1892, ia pergi ke Mekkah. Anehnya, di sana ia didaulat menjadi seorang ahli hadits dengan spesifikasi kisah jenaka kehidupan Nabi Muhammad SAW.
Itulah mengapa Gus Dur mengidentifikasi dirinya dengan figur Semar, tokoh wayang dengan sifat dan perilaku yang mengundang tawa orang-orang sekelilingnya. Semar adalah manusia sakti yang menitis pelawak istana yang gemuk, lucu, namun juga kritis.

Sumber Inspirasi
Humor Gus Dur menjadi sumber inspirasi bagi siapa saja yang ingin berkarya. Melalui humor, Gus Dur mampu menularkan etos literasi kepada anak bangsa. Dari humor, lahir ratusan buku. Bisa dibayangkan betapa banyak buku yang terbit lantaran terinspirasi dari sisi kepribadian Gus Dur lainnya. Para penulis, akademisi, dan peneliti dapat melakukan kajian terhadap biografi Gus Dur serta buah pemikirannya, mulai agama, sosial, budaya, hingga politik.
Karena itu, rasanya kurang lengkap jika rangkaian peringatan haul Gus Dur melewatkan diskusi mengenai etos literasinya. Dalam sosoknya tersimpan imaji literer yang sangat kuat. Motivasi belajar yang dimiliki Gus Dur memang tak perlu diragukan. Saat menempuh studi di luar negeri, ia doyan menghabiskan waktu di berbagai forum diskusi. Bahkan ia nekat meninggalkan kuliah demi menonton film-film berkualitas serta mengunjungi perpustakaan-perpustakaan “berkelas”. Baginya, lebih baik membuka wawasan keilmuan dari “ruang non-formal” daripada mengikuti jam pelajaran yang cenderung membosankan.
Etos literasi Gus Dur senantiasa diwariskan lintas zaman dan generasi. Itulah mengapa, pada tahun 2010, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X meresmikan perpustakaan Guru Bangsa. Dalam rangka mengenang jasa Gus Dur, perpustakaan ini didirikan terutama bagi kelas menengah ke bawah. Sebagaimana diketahui, Gus Dur adalah pembela kaum minoritas dan siapa saja yang tertindas.
Di sejumlah tempat, para Gusdurian juga mencetuskan perpustakaan keliling yang menyediakan bahan bacaan bagi semua lapisan masyarakat. Keberadaan perpustakaan keliling tidak hanya melayani kaum urban, melainkan juga masyarakat perdesaan yang jauh dari akses ilmu pengetahuan.
Belum lama ini Perpustakaan Gus Dur dibangun di kompleks Taman Budaya Indonesia Tionghoa, Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ini merupakan wujud apresiasi dan dedikasi atas sumbangsih Gus Dur selama hidup. Di samping menumbuhkan minat dan budaya membaca, kehadiran perpustakaan juga diharapkan mampu menggelorakan semangat kerukunan antarumat, toleransi antaretnis, dan harmonisme bangsa.

Yogyakarta, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar