Minggu, 09 Juni 2013

Meraup Bijak dari Sajak (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Riau Pos" edisi Minggu, 26 Mei 2013)


Sepenggal sajak Taufik Ikram Jamil (TIJ) bertajuk Pujangga Hasan Junus yang terbit pada 1 April 2012 dipetik menjadi judul buku ini, Sekeping Ubi Goreng. Selain karena memang patut diapresiasi, sajak tersebut dipersembahkan kepada Hasan Junus sebagai sastrawan Riau yang disepuhkan. Bila merunut asbabun nuzul-nya, sajak berisi enam bait tersebut direkacipta selepas keberangkatan Hasan Junus menghadap Sang Maha Perancang tepat sehari sebelum karya TIJ ini lahir, yaitu 30 Maret 2012.
Guna menuang secuil memoar Hasan Junus, TIJ menulis: engkau telah membaca/ saat huruf-huruf baru menyusun makna.
Dari potongan sajak di atas, terlihat keseriusan TIJ dalam menggambarkan sosok Hasan Junus, baik dalam mengekalkan imajinasi dan intuisi maupun ketika menghayati ritme kehidupan. Proses kreatif Hasan Junus dalam berkarya ataupun saat berkontemplasi, menghayati alur hidup, divisualkan dengan kata ‘membaca’. Barang tentu kata kerja ‘membaca’ tidak terbatas pada telaah buku, catatan, coretan, surat, serat, dan lain sebagainya, namun lebih luas dan menjangkau hingga tataran mikrokosmos dan makrokosmos: seluruh rangkaian peristiwa di jagat raya. Bukan asal-asalan jika TIJ memilih kata satu ini. Sebab dengan membaca, kita bisa mengerti apa makna kehidupan sesungguhnya. Dengan membaca, kita mampu memahami esensi di balik segala fakta-realita.
 Meskipun demikian, kegiatan ‘membaca’ oleh Hasan Junus sebenarnya barulah berada pada tahap permulaan. Hal ini ditunjukkan dengan frase: saat huruf-huruf baru menyusun makna. Mengingat, bagaimana pun juga manusia, siapa pun dia, berapa pun usianya, akan terus mengalami proses pembelajaran. Jadi, seorang pembelajar dituntut untuk senantiasa mengikuti garis-garis dalam memungut remah-remah pengetahuan, hingga ia bersua dengan batas besar yang menjadi penghalang (baca: ajal).
Bagi TIJ, kepergian Hasan Junus menyebabkan keintiman dan keakraban dengannya selama ini harus dikorbankan. Inilah yang menyebabkan TIJ ‘kurang terima’ dengan kematian yang datangnya begitu tiba-tiba. Dengan penuh rasa menyesal, maka ia mempertanyakan kepada ‘yang diratapi’ ihwal kepergian yang terkesan amat tergesa-gesa: maka bagaimana engkau bisa pergi/ sementara semuanya masih di sini, di pucuk sajaknya.
84 karya dari 23 penyair yang terikat dalam buku terbitan Yayasan Sagang, Riau, akhir tahun 2012 ini merupakan sajak-sajak yang terbit di Riau Pos (rubrik Pujangga) setiap hari Minggu sepanjang tahun 2012. Sejumlah penyair terbilang produktif mengirimkan sajaknya, semisal Taufik Ikram Jamil, Saukani al Karim, Jefri al Malay, M. Badri, Musa Ismail, Riki Utomi, Marhalim Zaini, Isbedi Setiawan, dan Alvi Puspita, yang merupakan deretan nama dalam kancah sastra Indonesia. Akhir-akhir ini, muncul pula beberapa nama baru, seperti Monda Gianes, Ekky Gurin Andika dan Deni Afriadi. (halaman vi)
Tema-tema yang menjadi pilihan para penyair kini jauh lebih beragam. Namun demikian, persoalan Melayu dengan ‘rasa’ tempatan yang sangat lokal senantiasa menarik untuk ditulis, baik dengan rasa lama maupun kontemporer (halaman viii)
Ihwal Melayu yang di maksud misalnya bisa ditengok dalam sajak Terkenang Melayu. Penyairnya, Sukardi, menyentak pembaca dengan racikan kata memesona: senandung Melayu/ kecintaanku memukat/ seperti hitam kopi yang mengendap/ tentang Melayu/ resam adat kutampi dari zaman ke zaman/ hingga kini masih terjunjung.
Dengan sajak ini, kecintaan membabibuta pada akar sejarah Melayu dilukiskan begitu merdu dan mendayu-dayu. Kopi hitam sebagai visualisasi atas hati yang sedang dimabuk cinta menunjukkan bahwa meskipun bermodal tamsil sederhana, akan tetapi penyair tetap sanggup menghidangkan ‘rasa’ sajak yang istimewa.
Lain halnya dengan Marhalim Zaini yang menyajikan keindahan dan keberlimpahan makna dalam sajak Birahi Gunung: dari debu,/ kau menulis di daun-daun/ tentang duka tanah/ di malam ketigabelas/ yang gemetar// ada gigil,/ bukan oleh gugur hujan, dan/ dingin musim, tapi anak-anak api/ yang mendidih/ dalam tubuhmu// aku birahi, bisikmu.
Pemikiran yang mendalam tentang hakikat kehidupan didapatkan penyair dari ‘sosok’ gunung. Menghasilkan sajak yang memikat dengan memberdayakan kata-kata ‘lama’ untuk diolah menjadi metafora baru tentu bukan pekerjaan mudah. Tetapi, penyair sanggup melakukannya dengan lembut dan bernas.
Adapun refleksi atas penciptaan alam dan isinya menjadi daya kekuatan sajak Segumpal Tanah oleh Musa Ismail: segumpal tanah di tangan-Mu/ menjadi manusia dan pucuk-pucuk cemara/ menjadi hati dan buih-buih lautan/ juga daun-daun kering berguguran/ di hamparan bumi luas membentang.
Dari cuilan sajak di atas belum nampak kegenitan penyair dalam ‘mencampuri’ urusan Tuhan. Kecerewetan penyair baru ditemu-rasakan dalam cuilan lainnya: rerumputan hijau, sejuk di telapak hati/ alirkan air ke nadi-nadi kehidupan, kebijaksanaan/ dari tanah-tanah yang merekah di musim kemarau/ langkah-langkah yang menjejaki tanah-Mu/ adalah segumpal tanah dari tangan-Mu/ menjadi putih, menjadi hitam/ lalu, kembali dalam kekosongan/ diam.
Yang patut dinikmati tentu bukan hanya beberapa sajak yang telah disebut. Masih banyak sajak lain, semisal: Semburat Titis Hijau (Sujud Arismana), Adik Tak Berbaju (Muhammad Hanif MA), Bulan Berkalam (Kuni Masrohanti), Tentang Kepulangan (Hajral Sofi), Secangkir Kopi Sore Hari (Dwi S. Wibowo), Dialog sepasang Hawa (Nuraini), dan Kita Masih Saja Berbicara Lewat Peka Hujan… (Refila Yusra).
Buku ini kian menarik, sebab di samping dipadati dengan sajak-sajak yang lembut, juga diselingi sejumlah lukisan. Di antaranya yaitu Meraih Prestasi (Dantje S. Moes), Wajah, Tangan dan Kaki (Furqon Elwe), Pertemuan (Masteven Romus), Jelatik (Adi Bagong), serta Bunga Lilin (M. Rafi).

Yogyakarta, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar