Kamis, 17 September 2015

Konservasi Peninggalan Bersejarah (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Kamis, 17 September 2015)

Berusaha membangkitkan kepedulian sejarah di kalangan muda, 23 anggota Forum Pemuda Peduli Sejarah Karawang (FPPSK) bersama-sama membersihkan kantor bekas Kewedanaan Rengasdengklok, Jawa Barat. Bangunan bersejarah yang berdiri pada tahun 1920-an tersebut kurang terawat. Padahal, dia menjadi tempat  berkibarnya bendera merah putih untuk pertama kali.
Boleh jadi, secara arsitektural, bangunan ini kurang istimewa, tapi menjadi  “tinta emas” yang mengabadikan riwayat panjang kebudayaan bangsa. Sejarah kemerdekaan berkaitan dengan Rengasdengklok. Penyusunan teks proklamasi memanfaatkan rumah seorang Tionghoa bernama Djiaw Kie Siong di sebuah kecamatan di Kabupaten Karawang tersebut.
Wilayah yang dulu merupakan kecamatan Rengasdengklok (Raya) ini menjadi  saksi bisu penculikan Soekarno dan Hatta oleh sejumlah pemuda, antara lain Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh dari perkumpulan Menteng 31. Mereka menginginkan agar proklamasi dilaksanakan secepatnya tanpa melalui PPKI yang dituduh sebagai boneka Jepang.
Peristiwa  16 Agustus 1945 ini memancing kesepakatan antara antara golongan tua yang diwakili Soekarno, Hatta, serta Subardjo dengan  kaum muda tentang waktu  proklamasi. Orang muda khawatir  kemerdekaan dianggap sekadar pemberian Jepang. Mereka yang sebelumnya berunding di salah satu lembaga bakteriologi di Pegangsaan Timur Jakarta memutuskan, pelaksanaan kemerdekaan dipisahkan dengan segala janji kemerdekaan dari Jepang.
Berdasar kesepakatan inilah, keesokan harinya, pada tanggal 17 Agustus 1945, proklamasi dikumandangkan. Teks diketik Sayuti Melik menggunakan mesin ketik kantor Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jerman. Akhirnya kedaulatan Indonesia atas segala bentuk kolonialisme dan imperialisme dikukuhkan.
Penelantaran situs-situs bersejarah sungguh disesalkan karena menunjukkan bahwa bangsa tidak peduli dan seolah berpaham anti-kebudayaan. Bangunan-bangunan yang turut menguatkan sendi-sendi peradaban berantakan, dilahap  waktu. Akibatnya, sejumlah peninggalan  lambang kebesaran peradaban terbengkalai, bahkan tidak berbekas.
Contoh, Wisma Samudera di Toboali, Bangka Selatan  sangat memprihatinkan. Kondisi  persinggahan Soekarno ini terbengkalai. Atap rusak dan dinding kotor. Catnya juga terkelupas. Aksi vandalisme membuat gedung yang pernah menjadi kantor pemerintah Belanda tersebut penuh coretan. Bahkan, beberapa tahun silam, seorang pengusaha nekat menjadikannya sebagai sarang burung walet. Hal ini memperlihatkan bahwa gedung-gedung bersejarah belum sepenuhnya dimanfaatkan. Padahal, di balik fisik bangunan yang sebagian sudah hancur dan rusak, tersimpan nilai-nilai yang perlu dilestarikan.
Kemudian, pencurian empat benda artefak purbakala berlapis emas raib dari Museum Nasional atau Museum Gajah, Jakarta Pusat, dua tahun lalu. Benda-benda tersebut merupakan temuan abad ke-10 dan ke-11 warisan Kerajaan Mataram Kuno. Keempat artefak bernilai puluhan miliar rupiah ini berupa lempengan emas, lempeng bulan sabit beraksara, wadah berbentuk cepuk, serta lempeng harihara yang tersimpan di lemari kaca di ruang Khasanah lantai dua gedung lama museum.
Yang tak kalah serius, raibnya beragam manuskrip seperti lontara, babad, tambo, hikayat, dan naskah keagamaan abad ke-16 hingga  18 dalam jumlah yang relatif besar setiap tahun. Benda-benda pustaka tersebut merupakan khazanah pengetahuan yang menjadi bahan kajian beberapa universitas dan lembaga ilmu pengetahuan  dunia. Ironisnya, di negeri sendiri, benda-benda berharga ini tak diurus  (Paeni, 2014).
Hilangnya aset-aset budaya menunjukkan, bangsa  kurang menghargai warisan pejuang. Kesadaran historis rendah, sehingga  situs-situs bersejarah diabaikan. Kekayaan peradaban bangsa  dalam  tata nilai,  etika dan  ekspresi budaya berserak di mana-mana.

Rekonstruksi
Selama ini, situs-situs bersejarah tak terawat karena tak ada  manajemen dan konservasi koleksi. Keamanan dan database lemah. Ini sejalan ketidakseriusan negara  memperhatikan masa depan peradaban. Banyak program dan kebijakan yang diluncurkan cenderung sekadar perayaan (celebration). Bebagai kasus penistaan terhadap aset bersejarah di Tanah Air tidak pernah menjadi pelajaran. Masyarakat juga kurang  empati pada situs-situs bersejarah.
Jika tidak ada upaya penyelamatan, situs-situs bersejarah dikhawatirkan menjadi puing-puing tidak bernilai. Pemerintah  hendaknya mengagendakan konservasi warisan peradaban yang telah rusak.
Pemugaran secara bertahap terhadap koleksi cagar budaya perlu dilakukan demi menyelamatkan peradaban. Warisan budaya yang bersifat kebendaan seperti cagar, bangunan, situs, maupun kawasan budaya jangan sampai punah. Warisan tersebut memiliki arti dan kontribusi penting perkembangan sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, serta kebudayaan itu sendiri.
Jejak-jejak peradaban nenek moyang harus dihargai seperti  mengelola deposit bangsa. Eksistensi peradaban dalam suatu wilayah komunal-regional jangan sampai tergadai pada  modal yang menjadikannya barang dagangan demi kepuasan sesaat. Warisan budaya jangan jatuh ke tangan kaum pragmatis yang menilai segala sesuatu dalam bingkai komoditas ekonomis.
Sebaliknya, ikhtiar pelestarian peninggalan bersejarah mesti diwujudkan dengan mengedepankan kolektivitas yang telah menjadi etos laku para pendahulu. Dengan demikian, budaya difungsikan sebagai medium transformasi nilai-nilai luhur, kearifan, dan kebijakan yang menjadi penguat ikatan sosial masyarakat.
Upaya rekonstruksi sejarah harus digenapi dengan pendokumentasian  peninggalan fisik dan karya pemikiran dalam bentuk media digital dan buku referensi. Dengan mengetahui sejarah, niscaya karakter kebangsaan bisa terbentuk. Jangan sampai situs bersejarah tidak bermakna bagi generasi mendatang, apalagi sekadar menjadi bagian dari masa lalu (a thing of the past) lantaran kegagalan pemerintah memeliharanya.
Artefak-artefak kuno berjasa penting bagi perkembangan arkeologi Indonesia. Maka  yang  tersisa selayaknya difungsikan sebagai objek wisata. Selain mewariskan pengetahuan, akan  memperkuat ikatan emosional warga, sehingga semua lapisan masyarakat memiliki cara berpikir historis (berkesadaran sejarah). Dengan demikian, peluang ditegakkannya tiang negara-bangsa (nation-state) semakin terbuka lebar.
Sebuah bangsa yang besar, mengutip Endang (2013), senantiasa mencurahkan apresiasi terhadap warisan sejarahnya. Kesadaran sejarah bangsa terbentuk dari  ruang dan waktu di mana  pemahaman  hakiki  masa lalu berkontribusi besar dalam membangun masa depan.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar